December 27, 2008

Makna Cinta - Gabriel García Márquez

Selama liburan di penghujung akhir tahun 2008, saya melihat ada film baru mumcul. Tentu baru di Indonesia kita ini, sebenarnya ini film tahun 2007. Judulnya adalah "Love in the Time of Cholera".

Saya langsung tertarik dengan film ini. Saya tertarik bukan karena judul film yang mengandung kata 'Love' atau 'Cholera'. Film itu didasarkan pada novel dengan judul yang sama. Tertariknya juga bukan karena judul novel dan film yang sama itu. Tepatnya lebih tertarik karena penulis novelnya, Gabriel García Márquez. Gabriel García Márquez adalah jurnalis sekaligus novelis Kolumbia, yang memperoleh Nobel Kesusasteraan tahun 1982.

Ketika terbaca namanya yang menjadi inspirasi film itu, saya teringat akan novelnya yang lain yang luar biasa juga. Novelnya yang terkenal itu adalah "One Hundred Years of Solitude" (1967), Seratus Tahun Kesunyian. Saya pun ingin menontonnya.

Kita kembali ke "Love in the Time of Cholera". Film ini diperankan oleh Javier Bardem sebagai Florentino Ariza; Gievanna Mezzogiorno sebagai Fermina Daza; dan Benjamin Bratt sebagai dr. Juvenal Urbino.

Walaupun tentang cinta adalah masalah klasik, tapi sepanjang film, tampil keadaan nyata manusia dengan perasaan, pengalaman, persepsi, pemaknaan, dan perjalanan hidup. Hidup yang senyatanya. Realisme yang bersifat magis.

Florentino, pengantar telegraf, jatuh cinta dengan Fermina yang anggun dan ayu. Melihat kesungguhan Florentino, Fermina pun mencintainya. Fermina dengan penguatan dari yang mendampinginya di rumahnya, akhirnya juga bersedia akan menikah dengan Florentino.

Dari sinilah mulai cerita yang akan menimbulkan penderitaan bagi Florentino. Karena sudah saling mencintai, dan seakan-akan, tidak terpisahkan lagi, orangtua Fermina tidak setuju akan keintiman anaknya dengan Florentino. Akhirnya, Fermina nantinya menikah dengan dr. Juvenal.

Ketika, sudah sampai kepada perasaan cinta ini, Florentino sering menangisi kisah cinta dan hidupnya. Ketika menangis di tempat tidur, ibunya menghibur sekaligus memberikan pengertian kepada Florentino,
"Nikmatilah cinta selagi masih muda, tapi bertahanlah dalam penderitaannya!"

Bahkan ketika Fermina sudah menikah dengan dr. Juvenal, untuk menjauhkan Florentino dari surat-menyurat yang mungkin ditulisnya dan akan dikirim kepada Fermina, ibunya mengirimnya merantau ke daerah terpencil yang tidak terjangkau surat atau telegraf sejauh tiga minggu perjalanan untuk mencapainya.

Tapi Florentino kembali ke rumahnya. Rasa cintanya yang murni kepada Fermina membuatnya pulang lagi ke rumahnya.

Ketika semakin lama dalam penderitaannya, terucap pesan, dari ibunya,
"Jangan kau sia-siakan hidupmu. Kau harus belajar melupakannya. Kau harus melupakannya."

Florentino tidak menikah. Florentino rela menunggu sampai 51 tahun. Setelah 51 tahun, sesudah dr. Juvenal meninggal, akhirnya Florentino dan Fermina, bertemu dan bersama lagi.

Sangat menarik pembicaraan mereka di usia yang sudah uzur. Fermina berkata,
"Kita hanya sama dalam kenangan, kita benar-benar berbeda. Perasaan cinta yang dulu hanya khayalan."
"Tapi bagi saya, tidak," kata Florentino.

Inilah pesan Gabriel García Márquez dalam pembicaraan dua insan yang saling mencintai ini:

Fermina:
"Tapi jika aku melihat ke belakang, aku rasa ada lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Terlalu banyak debat kusir. Terlalu banyak amarah."

Florentino:
"Mungkin sudah saatnya kita bertanya kepada diri kita sendiri, dengan hasrat kita untuk hidup,
apa yang harus dilakukan pada cinta yang telah jauh tertinggal tanpa pemilik."

Sambung Fermina:
"Luar biasa! Bagaimana seorang bisa bahagia selama bertahun-tahun di antara begitu banyak masalah, terrlalu banyak gangguan. Dan tidak begitu mengerti apakah itu cinta atau tidak."

Florentino:
"Izinkan aku menghapus kesalahan masa lalu. Usia tidak berpengaruh kecuali dalam dunia fisik. Esensi dari seorang manusia tidak terpengaruh oleh waktu. Kehidupan dalam diri kita bisa dikatakan abadi, sehingga jiwa kita tetap muda dan bergairah, seperti saat kita masih muda dan baru merekah."

Lanjut Fermina:
"Bayangkan cinta sebagai sebuah anugerah. Bukan sesuatu yang menyakitkan. Sebagai awal dan akhir. Sebagai akhir itu sendiri."

***
Fransiskus Nadeak
***

December 24, 2008

Belajar Membangun Diri

Terlalu banyak orang yang menganggap belajar itu sampai tahap sekolah atau kuliah. Terlalu banyak yang mengganggap belajar selesai ketika sudah tamat kuliah. Ada lagi yang mengganggap ketika lulus, seperti jenjang pendidikan di Indonesia, misalnya setelah selesai Strata-1 (S1) maka berhenti belajar. Kalau mau belajar lagi, maka harus pada jenjang Strata-2 (S2).

Mengapa banyak orang yang mengganggap bahwa 'belajar'seperti itu? Karena banyak orang menganggap belajar itu terjadi bukan pada seluruh hidup. Karena banyak orang menanggap belajar itu diskret, tidak kontinu.

Belajar adalah suatu proses seumur hidup, tanpa mengenal waktu. Belajar bukan karena ada kurikulum baru. Belajar bukan karena ada sekolah dasar, menengah, umum atau kejuruan, dan perguruan tinggi. Belajar adalah proses membuka diri kita agar menjadi diri yang lebih baru.

Dengan belajar, maka berarti kita tidak berhenti membangun diri kita sendiri. Kelihatannya pernyataan ini sangat sederhana. Tapi coba kita perhatikan implikasinya. Jika kita belajar terus, apa artinya? Berarti, dengan belajar terus kita berusaha membuka diri untuk pelajaran baru. Dengen belajar terus, bisa diartikan bahwa kita menganggap bahwa pengetahuan kita sebesar atau secanggih apa pun, itu tetap tidak sempurna.

Dengan belajar terus, berarti kita siap mendapat pengajaran, kita siap menjadi orang yang diajar. Bukan hanya seperti di kelas, dengan belajar terus, lewat media apa pun, berarti kita selalu bersedia melihat diri kita kembali. Kita bersedia melihat diri kita, dalam segala hal setidaknya pemahaman, penilaian, pertimbangan, sikap, perasaan, kepercayaan kita.

Dengan belajar seumur hidup maka, penilaian, pertimbangan, sikap, perasaan, kepercayaan, dan persepsi kita kepada segala hal pun akan semakin baik dan matang.

Begitulah. Sikap pembelajar akan menciptakan segala hal dari diri kita menjadi lebih baru.

Fransiskus Nadeak

****

December 23, 2008

Majulah dengan Yakin!

Kemarin sehabis latihan koor, terbersitlah pikiran tentang keyakinan diri ini. Saya buatlah judul tulisan singkat ini dengan, "Majulah dengan Yakin!"

Pemikiran ini berawal dari pertanyaan, "Baju apa yang saya pakai supaya saya pantas?" Pertanyaan itu disampaikan oleh beberapa orang teman ketika akan menampilkan diri dalam koor yang sudah dilatih berkali-kali berhari-hari.

Tentang pakaian ini, saya teringat dengan seorang sahabat yang selalu gelisah ketika memilih mau memakai baju apa pada acara tertentu. Ketika kami saling bercerita, dia menyampaikan bahwa bukan hanya pada hari tertentu yang ada acara saja dia was-was dengan pakaiannya. Sudah menjadi kegelisahan sehari-hari, bahkan kadang-kadang membuat dirinya tidak percaya diri, sehingga tubuhnya terlalu sering keringat dingin.

Mengapa dalam hal baju saja, seseorang bisa tidak percaya akan dirinya dalam hal berpakaian? Kemungkinan besar adalah karena hidupnya, setidaknya dalam hal berpakaian ditentukan oleh penilaian orang lain. Jadi bisa diartikan, dia berpakaian pantas atau tidak, tidak menggunakan penilaian sendiri, tapi penilaian orang lain (yang kemungkinan besar juga tidak valid.) Siapa yang menentukan kita harus memakai baju tertentu?

Ketika kami makin sering bercerita banyak hal, mulailah dia ada kesadaran akan penilaian bagi dirinya sendiri.

Sepatutnya, memang ada mode dan model pakaian tertentu. Kita juga tahu pada acara tertentu ada pakaian model umum tertentu. Bekerja di ladang, ada pakaian ke ladang. Kalau mau renang, ada pakaian renang. Ketika panjat tebing, ada pakaian untuk panjat tebing. Ketika bekerja, ada pakaian bekerja. Ah,... tapi pakaian bekerja pun tidak ada ketentuannya, tergantung pekerjaannya. Ah.... lagi, orang bekerja tanpa baju pun, oke-oke saja.

Jadi, suatu pola pun tidak harus dan tidak mutlak dilaksanakan dalam hal berpakaian. Ketika seseorang ke ladang, dengan pakaian yang pesta, tidak ada salahnya bukan? Kita juga tidak tahu, mengapa dia pergi ke ladang. Mungkin jalan-jalan. Atau mungkin saja dia ingin ke ladang dengan pakaian pesta. Atau jangan-jangan dia, sengaja mengelabui pikiran kita. "-:) Lagi pula, siapa yang menentukan pakaian tertentu menjadi 'pakaian pesta?'

Kembali ke pakaian koor tadi, seperti apa pakaian yang baik untuk koor, ya gunakanlah pakaian yang pantas. Yang bagaimana yang pantas? Seyogianya kita masing-masing tahu. Ada satu lagi yang paling penting, janganlah harmoni dan irama menyanyi dalam paduan suara atau koor berkurang hanya karena hal-hal yang tidak terlalu penting sekali. Janganlah busana mengurangi suara.

So, berjalanlah dengan yakin, bahwa tidak ada yang khusus memperhatikan diri kita harus hidup seperti apa di dunia ini. Apa buktinya? Coba ingat, diri kita sendiri. Sebulan lalu, hari Rabu, minggu kedua, kita sendiri menggunakan baju kita yang mana? Kecuali kita memiliki seragam yang harus digunakan hari Rabu, kemungkinan besar menggunakan baju yang mana, kita sendiri sudah lupa bukan?

Frans. Nadeak

***

Apa Itu Kebijaksanaan?

Beberapa hari ini, saya sering merenungkan arti bijaksana. Mungkin orang-orang menyebutnya, arif, atau hikmat. Permenungan ini dipicu oleh sharing bersama dari saya sendiri dan juga dari teman-teman.

Apa Arti Bijaksana?

Filsuf yang sering disebut salah satu manusia yang paling memiliki integritas yang pernah hidup di bumi ini, Socrates, berkata "The only true wisdom is in knowing you know nothing." Kita mungkin dapat mengerti setidaknya berusaha mengerti bahwa pernyataan Socrates adalah wujud kerendahhatian dan wujud penerimaan apa saja yang bisa memperdalam pengetahuannya. Bayangkan seperti Socrates, bisa berkata bahwa kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa dia tidak mengatahui apa-apa. Bisa kita mengerti juga, keterbukaannya kepada apa saja, yang membuat dirinya semakin bijaksana.

Saya teringat waktu awal kuliah. Ada acara film seri di RCTI, namanya Judge Bao. Saya teringat karena tertarik dengan kasus-kasus yang ada di film itu. Walaupun kebanyakan saya sudah lupa, tapi saya dapat mengerti bahwa walapun tentang hukum, tapi ada yang lain selalu muncul di sana, suatu yang lebih hebat: kebijaksanaan.

Suatu kali, seorang anak kita sebut saja namanya Jak Cun, terdakwa di pengadilan. Dia mencuri ayam. Saya lupa berapa ekor yang dia curi. Kita anggap saja mencuri satu ekor. Menurut hukum, dia harus dikurung tiga bulan. Dia terbukti mencuri ayam satu ekor, melalui penyelidikan dan pengakuan saksi-saksi yang jujur. Benar-benar terbukti tanpa cacat. Hukum positif menyatakan orang yang terbukti mencuri seekor ayam, dia dijatuhi hukuman tiga bulan kurungan.

Tapi apa yang terjadi, Judge Bao dengan berani membebaskan Jak Cun. Semua yang ada di pengadilan, heran dan keluarga yang kecurian ayam, bersungut-sungut. Tapi karena terkenal bijaksana, orang-orang mulai tenang. Keputusan Judge Bao, didasarkan kepada, bahwa Jak Cun dibebaskan karena alasan tertentu, motif tertentu, dan bukan untuk kepentingannya sendiri, sehingga dia mencuri.

Itulah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui aturan. Melampaui hukum. Melampaui pengetahuan. Melampaui kebenaran (hukum).

Tapi kebijaksanaan selalu bertautan dengan pengetahuan, pengertian, akal budi, dan hati. Sekarang ini akan sangat sulit, mungkin mustahil menjadi bijak tanpa pengetahuan. Umpama dalam kebijaksanaan tadi, Judge Bao sudah mengetahui lebih daripada hukum dan dan seluk-beluknya, bahkan kebenaran. Judge Bao sudah mengetahui lebih luas dengan perspektif yang luas juga.

***

Diberi Kehidupan Dua Kali

Di kota saya tinggal sekarang, saya mendapat permenungan dan pencerahan yang luar biasa dari seorang yang pernah tidak sadarkan diri selama satu bulan karena tabrakan. Dia benar-benar pulih ingatannya sekitar 9 bulan. Walaupun menurut pengakuannya, masih banyak hal-hal yang dia tidak bisa ingat lagi, karena tabrakan itu sampai sekarang.

Saya sering terinspirasi dari cerita yang menjadi pengalaman hidupnya. Saya sudah minta izin untuk menyampaikan namanya di tulisan ini. Dia sendiri setuju. Tapi untuk kebijaksanaan saat ini, namanya tidak saya buatkan sekarang.

Ceritanya, dia naik sepeda motor, lalu tabrakan dan dia tidak sadarkan diri. Kepalanya seperti pecah. Dan kalau saya lihat bekas jahitan di kepalanya, saya tidak heran, bahwa kejadiannya memang mungkin mengerikan. (Semua biaya sampai sembuh ditanggung oleh perusahaannya bekerja saat itu, walaupun dia tidak bekerja di sana setelah 3 bulan peristiwa tabrakan.)

Selama sebulan di rumah sakit dia benar-benar tidak sadar. Setelah sebulan berikutnya, dia bisa keluar dari rumah sakit, tapi lupa segalanya, semua yang ada di memorinya hilang. Jadi sebulan setelah keluar dari rumah sakit, perlahan-lahan muncul ingatan-ingatannya.

Ketika tiba di rumahnya di kampungnya di Sumatera Utara, dia berkata dalam bahasa Batak kepada ibunya, "Nunga di dia Bapa? Nunga di dia Bapa?" -- "Di mana ayah? Di mana ayah?"

Selama pulang dan tinggal di rumah orangtuanya, dia harus didampingi karena tubuhnya masih goyang dan tidak stabil.

Ketika dia menanyakan di mana ayahnya tadi, ibunya langsung mengerti. Ibunya diam menahan tangis. Kemudian sahabat ini, dibimbing ke belakang rumahnya sekitar 60 meter. Semua orang keluarga yang ikut mendampingi menangis menahan suara kepiluan melihat kejadian ini.

Dia dibawa ke suatu tempat, makam ayahnya, karena ayahnya sudah meninggal sekitar sepuluh tahun sebelumnya.

Bulan-bulan berikutnya, dia dapat mendengar dan mengerti ucapan-ucapan orang, "Mungkin lebih baik dia itu mati saja. Kalaupun dia hidup, dia sudah pasti gila."

Inti dan permenungan darinya adalah seperti katanya, "Setelah kejadian itu, saya akan melakukan yang sebaik-baiknya, semampu saya. Karena saya diberi nyawa dua kali oleh Allah."

Bagaimana dengan kita, yang tidak (atau belum) diberi-Nya nyawa dua kali? Kita hidup hanya sekali.

Salah satu permenungan yang paling 'gila' tentang apa yang akan kita lakukan, akan menjadi seperti apa kita, kita hidup bagaimana, apa sebenarnya yang akan saya capai, untuk apa saya hidup, dan segala pertanyaan filosofis tentang makna pekerjaan, makna diri kita, makna hidup kita, tujuan hidup kita, sangat 'menggiurkan' dan 'menggetarkan' jika bertautan dengan waktu dan hidup.

Dua karunia-Nya yang jarang kita ingat. Sering kita tidak sadari sepenuhnya.

Fransiskus Nadeak

***

December 10, 2008

Menjadi Diri Sendiri

Saya sering mengingat ucapan dari seseorang kepada orang lain yang intinya menggugah kepercayaan diri. Ketika orangtua memberangkatkan anaknya merantau, sering juga titipannya berupa nasihat dan petuah-petuah lain.

Orangtua menasihatkan sesuatu kepada anaknya yang mau berangkat, tentu biasanya ke tempat yang secara geografis jauh, tapi yang lebih utama adalah karena di tempat baru yang hendak dituju, sangat berbeda kultur.

Ada ungkapan, "Jadilah dirimu sendiri!". Tapi saya sering merenungkan ungkapan yang hebat ini. Menjadi diri sendiri, ya, menjadi diri sendiri.

Permenungan saya adalah kira-kira seperti beberapa hal berikut. Apa artinya menjadi diri sendiri? Atau, diri sendiri yang bagaimana? Mungkin lebih detail, apa yang harus diketahui dan dipahami oleh seseorang agar dia bisa menjadi dirinya sendiri?

Dalam permenungan saya, agar seseorang bisa menjadi diri sendiri, setidaknya dia harus memahami diri sendiri. Pemahaman seseorang akan dirinya mencakup, perasaan, persepsi, kepercayaan, dan nilai akan dirinya sendiri.

Satu hal yang penting. Jika kita selalu membawa diri kita agar sesuai dengan harapan orang lain, dengan sendirinya kita akan semakin jauh dari diri sendiri. Jika kita hidup hanya untuk menyenangkan orang lain, berarti kita juga tidak akan menjauh dari diri sendiri.

Belum lagi ketidakpuasan kepada diri sendiri. Jika kita tidak bisa menerima penampilan kita, mungkin gaya rambut, warna kulit, bentuk tubuh, berat badan, bahkan posisi susunan gigi kita, akan sangat sulit menjadi diri kita sendiri. Kita akan membawakan diri kita sebagai orang yang gaya rambutnya seperti model, kulit yang halus seperti iklan kosmetik, bentuk tubuh seperti model di catwalk, karena kita belum bisa menerima yang ada pada kita.

François de La Rochefoucauld pernah berkata, "A man who finds no satisfaction in himself, will seek for it in vain elsewhere." Bagaimana mungkin menjadi diri sendiri, jalau hidup membawakan diri orang lain?

Menjadi diri sendiri, mengandaikan dalam segala hal memiliki penilaian sendiri. Dia memiliki nilai-nilai yang sangat kuat. Dengan nilai yang kuat ini, dia juga perlu mengetahui nilai atau pengetahuan lain. Dengan referensi yang beragam dan luas, maka memperluas kemampuan dan cakrawala untuk menilai, memutuskan dan membuat aksi dan tindakan sendiri.

Dalam kondisi yang seperti inilah seseorang bisa menuju dan menjadi dirinya sendiri.

November 25, 2008

Jangan Menjadi Fotokopian

"You were born an original.
Don't die a copy."
- John Mason

Pagi ini, saya mau membaca email. Sebelum sempat membaca posting email yang lain, saya mendapatkan ungkapan di atas dan merenungkannya dengan saksama. Ungkapan singkat itu, sangat menggugah kesadaran.

Saya jadi teringat dengan tulisan Anthony de Mello, S. J., penulis dari India. De Mello, pernah berkata, banyak manusia mulai lahir, anak-anak, remaja, menikah, dewasa, bahkan mati, tanpa pernah sadar. Mungkin sepertinya perkataan de Mello terlalu keras, tapi kalau kita cermati lebih dalam, ada benarnya bahkan kalau kita dalami lebih serius dan jujur mungkin saja kita memang seperti itu.

De Mello, misalnya sering mengungkapkan bahwa sering kita mengatakan hal-hal sebagai diri kita, padahal itu hal-hal bukan diri kita. Misalnya sering saja kita membawakan diri kita, tapi sebetulnya yang kita anggap diri kita adalah orangtua kita, sahabat kita, orang yang kita hormati, idola kita, angan-angan kita.

Kita sering mengasosiasikan diri kita dengan orang lain. Bahkan untuk memilih pun mungkin saja kita langsung menentukannya hanya karena itu pendapat orangtua kita, bahkan idola kita. Ada yang menyamakan dirinya dengan orang lain. Bahkan ada orang yang mencoba dirinya menjadi orang lain.

Tapi yang lebih menarik adalah orang-orang yang mencoba dirinya menjadi bukan dirinya. Ini bisa semacam imitasi dari orang lain.

Memang benar kita harus mencoba yang lebih baik, lebih bagus dalam kehidupan ini. Dalam memutuskan sesuatu yang penting, kita memerlukan referensi, patokan, panduan dan sejenisnya. Tapi dalam hal diri, kita harus menjadi diri kita yang sejati, yang genuine, yang otentik, bukan tiruan orang lain, dan bukan menjadi orang lain.

Terikat Masa Lalu

Dalam kehidupan ini, ada kalanya kita terbawa ke masa lalu. Kita melihat diri kita sebagai 'orang yang dulu'. Dalam beberapa hal, terlalu sering juga kita mengasosiasikan diri kita dengan masa lampau.

Saya mengenal teman, yang dalam kehidupannya sekarang, selalu dikendalikan oleh masa lalu. Dia berkata, bahwa orangtuanya menyampaikan bahwa dia harus menikah dengan gadis tertentu dan harus tinggal di kota tertentu.

Ada yang menarik pada pendapatnya. Pertama, bahwa yang orangtuanya sudah tidak ada lagi. Jika pendapat kita tidak sesuai dengan pendapat orangtua kita, bukan berarti kita tidak hormat dan patuh dengan orangtua. Alasannya adalah bahwa, dalam kehidupan ini, bukan orangtua yana paling tahu seperti apa kehidupan yang cocok dengan diri kita. Yang paling tahu bagaimana hidup kita yang sesungguhnya adalah diri kita. Karena orangtua adalah orang lain bagi diri kita.

Alasan yang kedua adalah bahwa pendapat itu adalah pendapat masa lalu. Memang benar perencanaan perlu bagi kehidupan ini. Tapi tentang pendapat tadi, tidak berhubungan dengan perencanaan, tapi lebih kepada penentuan oleh orangtua yang mungkin tidak terlalu tepat. Apa alasan yang tepat, bahwa kita harus tinggal di kota tertentu? Mungkin saja pendapat orangtua kita itu adalah hanya pendapatnya pribadi dengan tujuan bersama (orangtua dan anak), tapi tidak murni untuk mengembangkan mental dan jiwa anaknya.

Barangkali, kenangan-kenangan masa lalu perlu untuk pembelajaran bagi diri kita. Juga masa lalu menciptakan pola, pandangan, dan semua seluk-beluk kehidupan kita saat ini. Sangat mungkin juga, pengalaman masa lalu membuat kita bertumbuh, berkembang dan berbuah. Bahkan dengan melalui masa lalulah, kita ada seperti sekarang ini.

---
Kita perlu mengetahui masa lalu kita, tapi kita tidak boleh terikat olehnya.

November 24, 2008

Berapa Lama Kita Perlu Tidur Setiap Hari?

Saya teringat percakapan dengan teman-teman tentang waktu tidur yang diperlukan seseorang setiap hari. Tidur dianggap yang cukup agar badan tetap fit. Intinya berapa jam yang diperlukan agar seseorang tetap sehat.

Saya baca di majalah-majalah, berdasarkan penelitian atau kebiasaan, bahwa waktu yang diperlukan sekitar delapan jam. Pernah juga saya baca waktu yang diperlukan tubuh agar tetap kondisi normal adalah sekitar 6 sampai dengan 8 jam, setiap hari.

Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah, mungkin benar secara umum tidur yang cukup itu adalah delapan jam sehari. Tapi itu adalah secara umum, berarti tidak bagi semua orang, bukan? Karena lama waktu itu adalah umum, artinya bagi saya mungkin saja lebih daripada 8 jam, atau mungkin kurang daripada 8 jam, bahkan mungkin cukup kurang daripada 6 jam.

Saya mengamati banyak yang ketakutan ketika suatu malam, karena kegiatan tertentu yang 'menuntut' dia harus pergi tidur agak kemalaman, dan esok paginya harus bangun cepat, menjadi panik. Panik bukan karena waktu tidurnya berkurang, tapi lebih kepada karena dalam pikirannya sudah tercetak, jika tidur kurang dari biasanya, maka dia akan tidak fit dan mungkin menimbulkan gejala penyakit flu atau penyakit lain.

Bagi saya peristiwa-peristiwa dan anggapan-anggapan seperti ini cukup menarik. Sebaiknya, mungkin kita uji dulu diri kita, berapa sebenarnya waktu tidur yang tepat kita perlukan. Bagaimana caranya?

Saya pernah mengetahui bahwa untuk memulai suatu kebiasaan baru, lakukanlah secara berturut-turut tanpa putus minimum 26 kali. Baiklah, kita anggap sebulan atau 30 kali. Jadi mungkin kita coba tidur kita selama 30 kali berturut-turut dengan durasi 6 jam. Kita coba lagi secara berturut-turut 30 kali dengan durasi 5 jam atau mungkin 4 jam.

Tentu bagi orang yang tidak biasa mungkin awalnya agak pening. Bisa terjadi bagi orang tertentu mula-mula akan sakit demam. Tapi itu adalah wajar, karena baru dan berhubungan dengan lamanya istirahat fisik.

Tapi dari pengujian yang serius dan penghargaan terhadap diri kita, yang berarti juga penghargaan terhadap waktu, yang berarti penghargaan terhadap kehidupan, mungkin kita tidak perlu dalam kehidupan ini, menghabiskan waktu berlama-lama hanya untuk tidur.

Menahan Pembicaraan

"If you have knowledge,
let others light their candles in it."
- Margaret Fuller


Dalam pergaulan yang cukup dekat dengan sahabat-sahabat kita, mungkin sekali terjadi pembicaraan-pembicaraan ringan. Mungkin juga terjadi dialog-dialog yang saling menguatkan. Tidak jarang juga terjadi ungkapan-ungkapan yang menarik di mana terjadi perbedaan persepsi. Cukup sering juga terjadi, ketika dalam perjumpaan dengan sahabat-sahabat itu, terdengar suatu ungkapan yang janggal bahkan mungkin tidak benar.

Dalam menghadapi pergaulan seperti ini, ada kemungkinan kita ingin memperbaiki ungkapan yang muncul, karena ungkapan itu mengandung ketidakbenaran. Kondisi seperti inilah waktu yang paling tepat kita menahan diri untuk tidak langsung menyampaikan yang sebenarnya, tentu yang benar menurut pendapat kita, atau setidaknya seperti yang kita ketahui.

Beberapa kali terjadi persepsi atau kepercayaan seorang sahabat kita yang kelihatannya keliru, tapi dia mempercayai betul tentang itu. Bahkan seperti mitos atau takhayul, sangat sulit menghilangkannya dalam diri pribadi seseorang. Dalam keadaan normal saja, orang yang ingin mendalami sesuatu agar mendapat pencerahan yang diharapkan atas kepercayaan-kepercayaan yang selama ini dipegangnya, masih sulit untuk mengubahnya. Apalagi seseorang yang tidak ada keinginan secara terbuka menyelidiki apa yang dipercayainya, kemungkinan besar dia akan sangat sulit menerima hal-hal yang lebih bisa dipercaya atau yang lebih benar.

Saat seperti ini, kebenaran yang kita sampaikan melalui pengetahuan kita, akan sangat sulit dia terima. Pengetahuan yang kita sampaikan, karena kondisi seseorang yang belum terbuka, atau membuka diri, membuat dirinya sangat enggan bahkan tidak bisa melihat dengan pandangan yang lebih jernih. Karena pendidikan, kultur, pengalaman hidupnya seseorang bisa sangat tertutup kepada hal-hal yang seperti 'menyelidiki' keyakinan-keyakinan yang digenggamnya.

Saat seperti inilah sebenarnya pengetahuan itu mengambil tempatnya untuk mencerahkan kegelapan, ketidaktahuan, dan kesimpangsiuran yang selama ini kita alami. Tapi saat seperti ini juga kita memerlukan kerendahan hati untuk menahan diri menyampaikan kebenaran itu, walaupun seharusnya itulah yang kita sampaikan. Bukan karena kita takut tapi, mungkin saatnya pencerahan itu mungkin untuk kita dulu, belum saatnya untuk sahabat-sahabat kita. Saat menahan saja, sudah menjadi merupakan situasi pencerahan bagi jiwa kita. Semoga suatu saat kita semakin tercerahkan lagi, demikian juga dengan orang lain.

November 20, 2008

Bagaimana Menuliskan Isi Pikiran?

Judul ini ditanyakan oleh beberapa orang kepada saya setelah mereka membaca blog ini. Saya bilang kepada mereka, coba tuliskan pertanyaannya atau apa saja yang terlintas dalam pikiran itu pada bagian komentar di sebelah bawah setelah tulisan. Tapi mereka juga tidak menuliskannya, malah menanya langsung secara lisan lewat telepon dan perjumpaan.

Yang menarik bagi saya adalah mengapa mereka menanyakannya dengan mulut bukan dengan tulisan, karena yang mereka ingin mereka usahakan adalah menulis?

Marilah kita bagikan sesuatu yang mudah-mudahan bermanfaat. Sebaiknya tuliskan saja apa saja yang terlintas itu. Apakah berurutan, sesuai dengan tata bahasa, atau sesuai dengan acuan-acuan menulis, abaikan saja dulu, tulis saja apa yang terbersit dalam pikiran.

Kalau pikiran kita berkata, "Mengapa saya tidak bisa menuliskan yang seperti ini?" Ya, tuliskan saja pertanyaan itu. Mungkin juga menuliskan apa pendapat kita, apa yang kita ketahui. Bahkan kita pun dapat menuliskan apa yang tidak kita ketahui.

Bukankah pertanyaan juga mengandung hal-hal yang tidak kita ketahui? Jadi tuliskan saja!

Salam, Frans. Nadeak

Dua Atlet Favorit

Sejak kecil ketika stasiun televisi hanya TVRI, permainan olahraga yang disiarkan sudah sangat menarik perhatian. Belakangan muncul stasiun RCTI dan yang lain tanpa saya ingat lagi persis urutan-urutan stasiun televisi itu ada di wilayah Indonesia ini.

Khusus sepakbola, dari cerita-cerita ada yang bilang beberapa pemain hebat. Ada yang bilang Pele, Beckenbauer, Cruyif, Platini, Maradona. Ada juga yang bilang pemain lain. Tapi kebanyakan saya tidak melihat langsung melalui televisi. Beberapa yang pernah saya lihat langsung melalui televisi adalah Platini dan Maradona. Yang lain sebetulnya masih bisa dilihat lewat televisi, tapi tidak bersamaan zamannya dengan saat saya bisa menikmati sepakbola.

Dari semua yang saya tonton dan amati serta nikmati, ada dua atlet favorit saya sepanjang masa, setidaknya sampai saat ini. Kedua pemain itu adalah John Stockton dan Didier Deschamps. Anda tahu John Stockton? Juga Didier Deschamps?

Mungkin Didier Deschamps masih kenal dan ingat. Bagaimana dengan John Stockton? Stockton bukanlah seorang pemain sepakbola tapi pemain basket NBA. Sedangkan Deschamps pesepakbola yang pernah membela Juventus dan tim nasional Prancis.

Selanjutnya saya akan menuliskan kedua pemain ini dengan segala yang menarik bagi saya. Mengapa kedua pemain ini menjadi favorit.

Fransiskus Nadeak

Permainan Sepakbola

Saya gemar menonton pertandingan olahraga. Tentu, juga gemar berolahraga. Olahraga kegemaran adalah sepakbola. Khusus sepakbola bukan hanya gemar menonton juga gemar bermain. Jika melihat permainan sepakbola secara langsung, ingin rasanya langsung bergabung dengan para pemain. Permainan sepakbola yang saya maksud bukan pertandingan resmi di stadion, tapi lebih kepada permainan yang dimainkan tidak serius untuk mencari kemenangan tapi untuk bergembira dan menikmati sepakbola.

Kenikmatan permainan sepakbola biasanya justeru bukan pada pertandingan yang mengejar sebuah trofi atau piala atau hadiah. Memang ada aturan baku, tapi kadang-kadang saja saya bisa menikmati dengan utuh pertandingan seperti itu. Karena pertandingan sepakbola yang memperbutkan hadiah akan mengkibatkan tim mengatur strategi untuk kemenangan. Dan ketika strategi untuk mencari kemenangan dibuat saat itulah mulai kehilangan nikmatnya sepakbola.

Karena apa pun akan kita lakukan untuk kemenangan itu. Tentu ada rambu-rambu permainan tapi sepanjang hukumannya masih dalam batas sepakbola, pemain pun mungkin akan melakukan pelanggaran. Mungkin fatal. Misalnya, seorang pemain mungkin akan sengaja memegang bahkan menangkap bola di area kotak penalti, apabila dia tidak bisa lagi mengendalikan bola dengan kaki, asal tidak langsung gol. Jadi hukuman terberatnya adalah mungkin dia dikartumerahkan sekaligus lawan diberi hadiah penalti. Tapi secara teori dan ilmu peluang, masih mungkin tidak terjadi gol, daripada sebelumnya kalau tidak ditangkapnya, sudah pasti gol. Apalagi jika saat melakukannya pada saat akhir bahkan injury time.

Setelah kita amati, bahwa tingkah pemain yang terakhir ini sebetulnya bukan lagi menikmati sepakbola tapi dibelenggu oleh sepakbola.

Kalau permainan di lapangan yang mungkin pemainnya bahkan tidak memakai sepatu bola, permainan kebanyakan menjadi lucu. Pertandingan bisa menjadi ajang untuk benar-benar menikmati olahraga tanpa embel-embel harus menang. Dengan demikian, permainan pun akan terbuka karena kemungkinan besar tidak ada yang secara serius sengaja mencederai lawan.

***
Marilah kita menikmati permainan sepakbola, lebih daripada sekadar pertandingan memperebutkan hadiah, piala, trofi atau bahkan kemenangan.

Fransiskus Nadeak

November 19, 2008

Individual Commitment

"Individual commitment to a group effort
-- that is what makes a team work,
a company work,
a society work,
a civilization work."
- Vince Lombardi


Saya sering memikirkan hal-hal yang disampaikan oleh Vince Lombardi ini. Sering terpikirkan karena saya sering mendengar keluhan atau semacam pikiran dari banyak orang yang menunggu orang lain melakukan sesuatu yang baik.

Saya teringat dengan kegiatan pembentukan panitia suatu acara, yang biasanya dilaksanakan setiap tahun. Ketika panitia dibentuk, seseorang berkata, "Kita lihatlah, apa yang akan dilakukan oleh ketua panitia itu!"

Saya sungguh heran mendengarnya. Bukan karena harapannya yang agak melihat kepanitiaan itu sebagai proyek orang lain, tapi karena dia sendiri termasuk dalam struktur kepanitiaan.

Saya sering mendengar bahwa seseorang menunggu yang lain untuk melakukan sesuatu. Padahal, siapakah orang lain itu sehingga dia yang harus melakukan sesuatu? Mengapa tidak membalik pernyataan itu, "Okelah, panitia sudah terbentuk, apa yang bisa saya sumbangkan?"

Jika kita menunggu orang lain melakukan sesuatu, di samping dengan mudah nantinya kita menjatuhkan vonis jika terjadi sedikit 'kekurangan', berarti menyerahkan segala sesuatu kepada orang lain, dan yang pasti kita menolak tanggung jawab.

--

Jika kita sudah ikut dalam komunitas atau suatu organisasi, selalu pertanyakan diri kita, "Apa yang bisa saya lakukan untuk komunitas atau organisasi ini?"


Frans. Nadeak

November 12, 2008

Bertindak Bijaksana

Tulisan ini saya buat judulnya bertindak bijaksana. Sebetulnya sebelum seseorang bertindak bijaksana, dia sudah memiliki pengetahuan tentang tindakannya. Artinya, agar seseorang dikatakan bertindak bijaksana, dia sudah memikirkan segala hal tentang tindakannya, dan lebih baik lagi jika pikiran itu lebih luas, dalam, jauh, dan lengkap.

Dalam hal sederhana misalnya di persimpangan yang ada traffic light-nya. Agar orang berlaku bijaksana di persimpangan, dia sudah sepatutnya memiliki pengetahuan tentang aturan traffic light. Jika lampu merah berhenti, lampu hijau bergerak. Walaupun dalam kasus tertentu, kondisi lampu merah juga bisa tetap bergerak maju, jika yang berwenang menyuruh maju dengan tanda-tanda yang dia lakukan. Dan orang yang menyuruh maju itu adalah institusi yang berwenang misalnya polisi atau petugas lalu lintas.

Jika yang berwenang menyuruh tetap maju, padahal lampu merah karena misalnya ada yang mau lewat ambulans atau pejabat kenegaraan, berarti sebaiknya kita juga ikut maju. Bukan berarti karena aturan dasar lampu merah berarti berhenti maka kita harus berhenti sampai menolak dan menentang suruhan polisi. Tindakan 'yang benar' ini bisa mengganggu, berbahaya, bahkan memakan korban manusia. Bahkan dalam kejadian tertentu, lampu merah, kuning atau hijau, kita tetap harus berhenti jika bergerak membuat kekacauan yang lebih besar. Kita harus mempertimbangkan akibat dari tindakan yang akan kita lakukan. Penulis Norman Cousins pernah mengatakan, "Wisdom consists of the anticipation of consequences."

Artinya, ini semua, sedikit pengetahuan tentang traffic ligtht. Dengan pengetahuan ini, kita bisa bertindak makin bijaksana di jalanan, khususnya di persimpangan jalan. Dan tentu pengetahuan lainnya. Dalam pengertian tertentu, cara bijak juga memikirkan yang bertentangan dengan aturan yang sudah ada. Filsuf dan penulis Amerika, George Santayana berkata, "Almost every wise saying has an opposite one, no less wise, to balance it."

Jadi apa artinya bertindak bijaksana?


Memang ada istilah, "Kadang-kadang, lebih baik untuk bertindak dengan sedikit informasi." Ini benar untuk tindakan tertentu misalnya untuk mengatasi kegugupan sementara, tindakan-tindakan yang sederhana. Dan kembali ke istilah tadi, itu berlaku untuk kasus 'kadang-kadang'. Untuk tindakan yang kompleks tidak bisa hanya mengandalkan secuil informasi. Semakin banyak informasi yang perlu, semakin baik. Martin Fischer berkata, "Knowledge is a process of piling up facts; wisdom lies in their simplification."

Frans. Nadeak

November 7, 2008

Tentang Menulis

"I never know what I think about something until I read what I've written on it."
- William Faulkner

Setelah saya menulis tentang Obama yang terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, beberapa teman diskusi dengan saya.

Diskusinya sangat menarik. Bahasannya bukan lagi tentang Obama, Amerika, perekonomian dunia, perubahan, atau tentang anggapan orang-orang yang awalnya skeptis tentang presiden Amerika yang berkulit hitam. Diskusinya tidak khusus mengenai tulisan saya itu. Tulisan itu hanya pemicu menjadi bahan diskusi. Diskusinya tentang menulis.

Sebenarnya diskusi biasa, tapi muncul pernyataan-pernyataan yang janggal. Seorang teman berkata begini, "Saya tidak mau membaca tulisan yang hanya menyampaikan yang biasa-biasa. Saya tidak mau membaca tulisan yang sudah diketahui masyarakat. Dan karena hal-hal seperti inilah maka saya enggan membaca, dan akhirnya tidak mau membaca buku. Saya mau membaca kalau misalnya, pendapat atau cerita seseorang sebelum peristiwa itu terjadi."

Dia menyambung, "Sebagai contoh, Obama. Banyak orang menulis tentang Obama, mulai dari masa kecil, perkembangannya, hidupnya perjuangannya sampai dia terpilih menjadi presiden. Bagi saya itu sesuatu yang biasa. Saya mau membaca jika tulisan itu dibuat sebelum Obama menjadi presiden. Bisa tentang dugaannya, atau prediksinya tentang Obama dan terjadi. Atau saya tertarik hanya kepada opini yang eksentrik dan menghebohkan"

Bagi saya, muncul pertanyaan, "Untuk apa sebenarnya menulis?" Pernyataan teman yang sebelumnya, adalah kesukaan salah satu jenis isi tulisan atau buku. Dan sebenarnya, kita kehilangan banyak peristiwa atau hal-hal yang mungkin terjadi dulu, tapi karena tidak dituliskan atau diceritakan lewat tulisan atau lisan, peristiwa itu menjadi hilang dari pengetahuan.

Katanya, untuk mengetahui bagaimana kehidupan umum masyarakat Inggris pada abad ke-18, bacalah novel karya-karya Jane Austen (16 December 1775 – 18 July 1817). Novelnya yang sangat populer adalah 'Sense and Sensiblility' dan 'Pride and Prejudice'. Novel-novelnya itu juga sudah dibuatkan menjadi film dengan judul yang sama.

Mengapa novel-novelnya menjadi rujukan untuk mengetahui kehidupan masyarakat Inggris abad ke-18? Jawaban yang pasti: karena Jane Austen menuliskannya. Novelnya bisa menjadi semacam buku sejarah.

Lalu apa hubungannya novel Jane Austen dengan topik awal tadi? Dari pernyataan teman tadi, bahwa dia mau membaca kalau bisa memprediksi sesuatu dan sesuatu itu terjadi. Atau tulisan yang membuat heboh.

Padahal, mungkin pada awalnya, novel Jane Austen, adalah hal biasa menceritakan ikhwal kehidupan saat itu, dan pembacanya adalah orang-orang sezaman. Tapi bagaimana dengan warga Inggris atau kita yang hidup di zaman sekarang? Novel Austen, bukan lagi hanya sebagai novel tapi semacam petunjuk kitab acuan atau bahkan kitab sejarah yang sangat penting dan menentukan.

Jadi, menulis sesuatu, apa pun itu pasti sangat bermanfaat. Jangankan bagi penulisnya, mungkin bagi pembaca, atau siapa saja yang punya akses terhadap tulisan itu. Bahkan ada yang mencari lagi tulisan atau coret-coretan apa saja yang pernah dibuat seseorang karena seseorang itu rupanya pemikir tajam atau penulis hebat atau ilmuwan luar biasa.

Frans. Nadeak

November 5, 2008

Presiden Obama

"It's been a long time coming, but tonight... change has come to America!" begitulah pekikan Barack Obama, presiden Amerika Serikat terpilih. Obama unggul setelah melebihi electoral vote yang berjumlah total 538. Untuk memenangi pemilihan seseorang minimal mengumpulkan 270 electoral votes. Pidato kemenangannya itu sesuai dengan mottonya "Change - We Can Believe In" dengan logo Obama 08.

Sistem pemilihan presiden Amerika menggunakan sistem Electoral atau sering digunakan istilah sistem distrik. Pemilihan presiden Amerika memang langsung, tapi tidak langsung memilih presiden. Pilihan dimenangkan oleh jumlah electoral vote di negara bagian, bukan total jumlah penduduk pemilih. Jadi bisa saja misalnya secara total jumlah penduduk yang memilih calon A lebih banyak daripada calon B, tapi karena secara electoral B lebih banyak, maka yang menjadi presiden adalah B. Jumlah electoral vote terbesar ada secara berturut-turut di negara bagian: California (55), Texa (34), New York (31), Florida (27) dan Pennsylvania (21). Sedangkan di negara bagian Alaska, Delaware, Montana, North Dakota, South Dakota, Vermont, Wyoming masing-masing cuma 3. Delaware adalah negara bagian asal Joseph Biden, calon wakil presiden terpilih.

Siapa yang menang di satu negara bagian, dia yang mengambil semua suara. Walaupun di negara bagian California misalnya Obama unggul satu suara, tapi Obama mengambil suara 55 semuanya.

American Dream

"If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible; who still wonders if the dream of our founders is alive in our time; who still questions the power of our democracy, tonight is your answer." Demikianlah dari Washington Post, mengambarkan seperti biasa harapan dan cita-cita Amerika, setelah terpilihnya Obama.

Obama menjadi presiden dalam pemilihan umum yang historis. Rentetan pemilihan yang meneganggkan bahkan sampai kamanye rasialis, mempertentangkan keagamaan, bahkan kasar. Bukan hanya antara Obama dengan lawannya dari Partai Republik, John McCain. Sebelumnya, untuk memenangi calon dari Partai Demokrat, Obama juga sedah mendapat serangan yang tidak biasa dari kawan (atau lawanny?) dari Demokrat sendiri.

Sampai terakhir masih harus bersaing dengan Senator dari New York, Hillary Clinton. Obama adalah senator dari negara bagian Illinois yang didukung oleh rekannya senator sesama negara bagian Illinois, Richard Durbin, bahkan mulai dari awal pemilihan senator untuk negara bagian Chicago.

Walaupun para senator senior Partai Demokrat meminta agar Clinton, mengundurkan diri demi kebaikan dan keutuhan Partai Demokrat, Clinton juga berjuang sampai akhir. Bahkan black campaign yang disampaikan Clinton terhadap Obama, sama brutalnya dengan yang disampaikan McCain untuk menghancurkan Obama.

Ada yang memelesetkan namanya menjadi Obama bin Laden. Ada yang mengatakannya beragama Islam. Ada yang menuduhnya teroris. Dengan pasangannya Biden, juga diejek dengan sebutan Obama bin Biden.

Walapun hidup di negara dan dalam budaya beradab, tapi karena kepentingan sesaat politikus, tetap saja muncul kampanya yang sangat menyerang dan sangat kotor dan menjijikkan.

Tapi sepertinya karena pengalaman hidupnya yang katakanlah cukup pahit dan hidup di beberapa tempat dengan multi-budaya, menambah pengertiannya yang cukup baik akan banyak hal yang tidak didapati senator atau calon presiden lain.

Di samping bakat orator-nya yang luwes dan luar biasa, juga pilihan kata yang digunakannya, sering orang-orang membandingkannya dengan Presiden John F. Kennedy. Banyak persamaan antara Kennedy dan Obama. Kennedy calon pertama presiden Amerika yang beragama Katolik, sedangkan Obama calon pertama berkulit hitam. Kennedy menghadapi permasalahan hubungan luar negeri saat itu, Obama juga. Kennedy presiden termuda Amerika, Obama baru saja berusia 47 tahun. Sama seperti Kennedy, orang-orang meyakini kemenangan Obama karena hal tadi dan juga karena momentum yang tepat.

Momentum

Karena buruknya juga kondisi dunia, terutama karena yang berkuasa sekarang George W. Bush dianggap gagal, maka momentum Republik sangat tidak menjanjikan. Pemilihan anggota kongres juga hampir selalu dimenangi calon Demokrat. Para pakar dan profesor ilmu politik sudah mengatakan bahwa Bush adalah presiden Amerika terburuk sepanjang sejarah.

Terburuk bukan karena kegagalan menangani masalah-masalah krusial negara tapi karena perangai Bush yang suka perang dan sering memanipulasi rakyat, mulai dari soal reaktor nuklir Irak dan sampai laporan-laporan intelijen yang dimanipulasi dan digunakan serampangan untuk memenuhi hasrat ketidakmanusawiannya.

Masalah kegagalah korporasi multinasional, kemunduran ekonomi Amerika, pengangguran, keterpurukan Wall Street, penyerangan Afganistan dan Irak yang sudah membunuh terlalu banyak tentara Amerika, memperburuk suasana sekarang ini bagi siapa saja calon dari Partai Republik.

Momentum inilah yang sangat menguntungkan Partai Demokrat, yang menguntungkan Obama. Demokrat sudah menguasai parlemen. Dan ini juga memudahkan tugas Obama nantinya untuk membuat keputusan-keputusan publik.

Presiden Obama

Obama sudah terpilih. Obama menjadi presiden Amerika pertama yang berkulit hitam. Obama menjadi presiden Amerika yang ke-44.

McCain sudah mengucapkan selamat kepada Obama. Presiden Bush juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, hal yang kita harapkan, penyatuan dan kesatuan masih ada. Minta maaf masih ada, walapun sebelumnya kompetisi sangan melelahkan dan memperburuk media televisi dan harian-harian Amerika.

Semoga dengan kemenangannya dan memulai berkarya secara definitif Januari 2009, Amerika semakin damai, dunia semakin maju. Terutama kita mengharapkan perekonomian dunia yang semakin baik.

Selamat Obama!
Proficiat!!!

Frans. Nadeak, seorang pemikir.

Life Comes with Problems

Sengaja judulnya saya buat dalam Bahasa Inggris. Bukan karena dengan Bahasa Inggris, judulnya lebih keren. Bukan juga karena dalam Bahasa Inggris lebih singkat dan padat. Saya buat dalam Bahasa Inggris hanya karena artinya lebih 'kena'.

Saya punya beberapa komunitas. Ada komunitas paduan suara, ada komunitas berbagi rasa, ada komunitas olahraga, ada komunitas teman sekerja, ada komunitas arisan. Sebagai pembanding untuk judul itu, kita ambil komunitas berbagi rasa. Komunitas berbagi rasa, sering disebut komunitas berbagi. Tapi istilah ini pun tidak terlalu jelas. Istilah yang sering digunakan oleh kami untuk kelompok berbagi ini adalah komunitas sharing. Jadi istilah sharing, lebih pas. Seperti inilah gambaran untuk judul tulisan ini.

Dalam perjalanan komunitas ini, selalu saja ada komentar-komentar dari para anggota yang anehnya juga selalu berulang-ulang. Komentar-komentar bermunculan dalam bentuk keluhan. Anggota mengeluh karena selalu saja ada orang yang jarang berkumpul, ada anggota yang cuek, bahkan ada yang secara definitf anggota, tapi tidak pernah berkumpul.

Ada penilaian dari beberapa anggota, bahwa orang-orang atau keluarga yang jarang berkumpul dalam kegiatan komunitas adalah semacam penyakit. Ada juga yang beranggapan bahwa orang-orang yang secara definitif adalah anggota tapi tidak pernah menampakkan batang hidungnya, harus disingkirkan biar tahu rasa.

Mengapa banyak orang yang berpikir seperti ini? Saya menduga, karena banyak orang beranggapan segala sesuatu haruslah ideal atau sempurna. Memang sebaiknya semua anggota rajin, responsif dan bertanggung jawab. Tapi kapan dan di mana ada yang selalu seperti ini?

Bahkan dalam suatu tim sepakbola, seorang gelandang juga tidak akan pernah ada yang ideal atau sempurna. Yang mungkin adalah idealnya seorang pemain gelandang yang ada pada sebuah tim adalah misalnya Didier Deschamps, di tim Juventus atau Prancis. Tentu Deschamps pun, bisa dikatakan yang terbaik hanya pada saat itu, untuk tim itu dari seluruh pemain tim yang ada. Tapi tetap tidak ada seorang pemain gelandang yang ideal atau sempurna untuk sebuah tim sepakbola.

Jangankan organisasi yang menggunakan garis komando, seperti militer umpamanya. Selalu saja ada yang kurang, ada yang tidak lengkap, ada yang lalai, bahkan ada yang gagal. Sedangkan komunitas ini adalah kumpulan orang-orang yang secara sukarela menyediakan dirinya. Kondisi seperti ini menciptakan komunitas yang bertenggang rasa kepada sesama dan semua anggota. Artinya, anggota yang belum rajin, menyatakan komunitas itu masih memiliki anggota yang belum rajin. Dan karena sifat organisasi yang terbuka ini, tidak bisa seseorang memaksa dia harus rajin.

Kondis seperti ini justeru sangat berpeluang menumbuhkan orang yang berjiwa menyemangati, mengayomi dan saling memperhatikan. Masalah-masalah yang dihadapi seseorang anggota menjadi masalah yang dihadapi oleh komunitas itu.

Masalah-masalah yang datang, dihadapi, teratasi akan menciptakan anggota dan komunitas yang matang. Menghadapi dan mengatasi masalah dengan sendirinya menumbuhkan tim yang bekerja sama dan solid.

Coba bayangkan, jika semua anggota sudah ideal dan sempurna. Sudah pasti anggota dan komunitas stagnan dan tidak bisa berkembang. Mengapa? Karena sudah sempurna. Tapi adalah organisasi yang sudah sempurna? Secara faktual tidak ada.

Masalah-masalah dengan sendirinya membuat anggota dan komunitasnya menjadi matang, dewasa jika dimaknai dengan baik.

Selamat berkumpul dan berbagi!

*Frans. Nadeak, seorang pemikir

Mengapa Membuat Jurnal?

"We do not write because we want to; we write because we have to. "
- Somerset Maugham
*
"Writing is its own reward. "
- Henry Miller


Saya sering mendapat bahwa membuat jurnal atau semacamnya berfaedah banyak bagi jiwa kita. Bahkan dalam kondisi kesedihan atau dukacita yang mendalam, bahkan amarah yang berapi-api, jika perasaan itu dituliskan, maka kesedihan dan amarah kita bisa semakin terkendali, dan lama-kelamaan hilang, dan akhirnya menyehatkan diri kita.

Jurnal yang kita maksud di sini, bukan harus jurnal formal, seperti jurnalis atau wartawan atau akademisi atau ilmuwan atau filsuf. Cukuplah dengan menuliskannya dalam coretan-coretan kecil di buku diari atau agenda kita.

Saya pernah membaca, bahwa seseorang yang marah besar kepada agen asuransi karena tidak mendapat yang seharusnya menjadi haknya, berbulan-bulan dikungkung oleh perasaan kesal dan marah. Tetapi setelah menuliskannya, seperti membuat tulisan pembaca yang akan ditampilkan di sebuah harian, semacam keluhan atau klaim, dia bisa menuliskan perasaan dan runut. Ketika dia selesai menuliskan 'uneg-uneg'-nya, bukan hanya tulisannya yang kelar, amarahnya pun redam, dan dirinya pun bisa tersenyum. Dia bisa menertawai dirinya sendiri. Dia membaca tulisannya dan menggumam, "Wah, kok hebat sekali suratku ini?"

Membuat jurnal juga akan membuat diri kita aware dengan waktu. Dengan tulisan, kita seperti bisa melihat diri kita kemarin. Kalau ada tulisan kita setahun lalu, kita bisa melihat diri kita setahun lalu. Setahun lalu, bagaimana kita menulis, bagaimana perasaan kita terhadap sesuatu. Kalau kita menuliskan sesuatu dua tahun lalu, sekarang kita baca lagi, kita bisa melihat pengertian dan pemahaman kita dua tahun lalu terhadap sesuatu seperti dalam tulisan itu.

Yang lebih hebat, pernah saya membaca ide dari seseorang (saya belum tahu nama penemunya, maafkanlah saya), berkata, "Kita belum benar-benar mengerti, sebelum kita bisa menuliskannya."

*Fransiskus Nadeak*, seorang pemikir

November 4, 2008

Bahasa yang Menjemukan

"Television has a real problem.
They have no page two. "
- Art Buchwald

Dibandingkan dengan membaca, hanya beberapa peristiwa tertentu yang lebih menarik jika ditonton lewat televisi. Sebagai contoh adalah menonton pertandingan sepakbola atau misalnya tragedi kehancuran World Trade Center di New York City karena diledakkan. Walaupun sebenarnya bagi orang yang sangat kuat mendeskripsikan bisa menyamai keseruan permainan sepakbola atau kengerian detik demi detik kehancuran World Trade Center.

Lebih daripada itu, hampir selalu lebih baik mengetahui sesuatu lewat tulisan teks daripada tontonan televisi. Kita ambil sebagai contoh, berita. Berita yang ditampilkan di televisi tidak lebih baik jika ditampilkan lewat tontonan. Keterbatasan pemberitaan lewat televisi salah satunya adalah pada tampilan gambar yang dibuat setidaknya harus sesuai dengan suara yang ditampilkan. Dan sebetulnya, suara yang menyampaikan berita di televisi juga sebetulnya menggunakan teks sebagai bentuk aslinya. Jadi jika ada berita yang didapat, tapi tidak punya gambar yang akan ditampilkan, akan menjadi tidak mantap untuk ditampilkan. Justeru karena televisi adalah media visual, maka setiap ada sesuatu yang akan disampaikan (berita) tapi tanpa gambar, maka berita itu kemungkinan besar urung ditampilkan.

Pernah menonton seorang perempuan (artis - apa arti sebenarnya 'artis'?) yang tertangkap karena dituduh memakai narkoba? Hampir semua televisi swasta membuat beritanya di infotainment. Bukan hanya gambarnya yang hampir sama, bahkan cerita, ulasan, dan semua bahasa yang digunakan hampir sama, bahasa yang seragam. Di stasiun televisi mana pun kita mau menyaksikan berita tentang gadis itu, kita akan melihat bahwa tidak ada bedanya. Bahkan sepertinya berita itu berulang-ulang walaupun kita menontonnya beberapa hari yang lalu. Tambahan, bukan hanya bahasanya yang seragam, beritanya pun hampir sama, tanpa perkembangan, tanpa kreasi, tanpa imajinasi.

Geoffrey O'Brien, direktur eksekutif perpustakaan Amerika, menyatakan dalam New Work Review of Books, "Siapa saja yang berlangganan televisi kabel sudah mengalami pergantian yang cepat dari satu saluran ke saluran yang lain dan mendengar nada serta modulasi yang serupa di setiap saluran, kosakata yang mirip, pesan yang sama yaitu: penyederhanaan suatu bahasa menjadi sebuah kode yang dengan sedikit semboyan dan slogan... Merupakan dialek pamungkas dan pergantian yang terjadi terus menerus, selalu bermaksud menjual dan terlebih lagi untuk mengisi waktu."

Geoffrey O'Brien menganggap ini sebagai 'penyeragaman bahasa', dan menyatakan bahwa program-program tayangan televisi kekurangan bahasa yang figuratif, retorika yang rumit, kefasihan berbicara, permainan kata-kata atau bahasa kiasan.

*Fransiskus Nadeak*, seorang pemikir.

October 31, 2008

Start Reading

Kalau kita perhatikan, masyarakat kita termasuk yang cukup gemar membaca, tapi sebatas koran. Cukup banyak juga sedikit lebih serius, membaca tabloid atau majalah. Tapi bagaimana dengan membaca buku?



Pertanyaan itu sangat serius. Ada yang bilang masyarakat kita, entah karena apa, bukan tergolong masyarakat pembaca. Kebiasaan membaca yang sangat minim, membuat budaya membaca yang semakin memprihatinkan.

Saya jadi teringat, beberapa bulan lalu. Ketika saya ikut dalam rapat pembentukan panitia suatu kegiagan sebuah alumni perguruan tinggi. Jadi semua yang hadir adalah pernah kuliah (dan kebanyakan menyelesaikan kuliahnya). Walaupun saya tidak termasuk alumnus, saya beberapa kali diminta pendapat atau masukan tentang apa saja yang bisa memajukan ikatan alumni itu.

Saya bertanya ke beberapa orang dengan langsung. Artinya saya tanya saat-saat tidak membahas yang serius, biasanya saat minum-minum teh atau kopi sambil makan roti atau goreng pisang. Pertanyaan saya, "Siapa di antara teman-teman yang pernah membaca satu buku, seteleh selesai kuliah?

Saya heran dan takjub!!! Satu orang pun tidak ada yang membaca satu buku. Mungkin mereka tidak menjawab atau tidak terlalu serius untuk menjawab. Tapi saya yakin bahwa tidak satu pun yang menjawab membaca satu buku. Jangankan buku yang menjadi subjek waktu kuliah, buku semacam komik atau humor atau novel singkat, mengaku tidak ada yang membacanya.

Bagaimana kita mencermati kondisi yang seperti ini? Memang kita bisa mencari dan membaca hasil penelitian tentang budaya membaca ini. Atau sekalian, kita yang membuatkan penelitiannya. Tapi terlepas dari jawaban yang jujur atau tidak, bahwa kebiasaan membaca memang masih tidak terlalu akrab bagi teman-teman yang pernah menjadi mahasiswa atau mahasiswi itu.

Bagaimana kita mengetahui dengan baik suatu topik apabila tidak membaca bahasan (biasanya berbentuk buku) tentang topik itu? Jangankan membaca sesuatu yang kita gemari, bagaimana dengan mau memahami sesuatu dengan topik yang serius?

Sepertinya, kita harus mulai membaca!

Salam, Frans. Nadeak

October 29, 2008

Kata-kata

Sore ini, saya coba menuliskan yang sering terpikirkan hari ini. Itu dimulai dari tadi malam, tentang kesulitan banyak teman yang tidak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Ketidakbiasaan yang sulit untuk mengungkapkan apa yang dialami, dipikirkan; intinya kesulitan mengungkapkan apa yang terlintas dalam pikirannya.

Pikiran ini dimulai ketika seorang teman akan mengumumkan sesuatu. Dia tidak mampu mengungkapkan secara lisan, "Untuk kegiatan kumpul-kumpul kita, mohon keluarga agar tidak terlalu repot dengan snack atau makanan yang akan disediakan oleh tuan rumah. Cukuplah air putih, atau setidaknya teh manis atau kopi hangat. Tidak perlu repot menyediakan makanan yang banyak apalagi makan berat (ini istilah untuk makan nasi, biasanya dengan tambahan lauk dan sayurnya). Jadi jika diminta akan menjadi tuan rumah, maka keluarga yang ditunjuk menjadi tuan rumah bagi pertemuan berikut atau berikutnya lagi, tidak perlu menolak, dan dengan sukarela langsung bersedia."

Itulah inti yang harus disampaikan. "Kerelaan menjadi tuan rumah, tanpa perlu 'repot-repot'." Tapi apa yang terjadi? Untuk mengungkapkan pengumuman atau pemberitahuan atau permintaan atau apa pun sifatnya, banyak orang yang kesulitan untuk menyampaikannya.


Kata-kata

Permasalahan mengungkapkan sesuatu dengan baik atau dengan gamblang sebenarnya bagian dari masalah kepercayaan diri. Tapi lebih dari kepercayaan diri, ada satu hal lagi yang sangat menentukan, yakni kemampun diksi (pemilihan kata), penggunaan kata-kata, yang semuanya bermuara pada kemampuan verbal.

Cukup banyak orang hanya menggunakan kata-kata dalam pembicaraannya sehari-hari, sama dengan kata-kata yang digunakannya seperti hari-hari kemarin dan kemarin dulu. Artinya, karena suatu kebiasaan, dalam keseharian hidupnya seseorang tidak menambah perbendaharaan kosakatanya.

Kebiasaan membaca yang minim, ketidakbiasaan mengamati sesuatu, kebiasaan berpikir yang sangat jarang, atau setidaknya ketidakmampuan berpikir memperparah penambahan jumlah kosakata yang dimiliki seseorang.

Cukup banyak orang yang setiap hari hanya menggunakan kata-kata yang biasa seperti 'bangun', 'mandi', 'sarapan', 'pakaian', 'kerja', 'bosan', 'capek', 'target', 'bos', 'pulang', 'tidur', 'menonton', 'televisi', dan hal-hal yang biasa dihadapi atau dilakukan setiap hari.

Bandingkan misalnya jika seseorang terpikir dengan kata-kata ini: 'hereditas', 'konvergen', 'transformasi', 'matriks', 'simultan', 'ramuan', 'spiritualitas', 'bertumbuh', 'berbuah', 'gemerincing', dan 'hegemoni'. Hanya dengan menyebutkan kata-kata ini saja, pikiran kita akan bergerak lebih luas dan berpikir lagi lebih dalam.


Keterbatasan kata-kata yang kita miliki, akan membatasi cara kita berpikir. Karena berpikir menggunakan kata-kata sebagai bahannya. Keterbatasan kita berpikir, akan membatasi kemampuan kita mengerti. Keterbatasan pengertian kita, akan membatasi kemampuan kita mengambil pilihan dan tindakan yang terbaik.

* Fransiskus Nadeak *, seorang pemikir.

October 22, 2008

Menjadi Manusia Merdeka

"One cannot make a slave of a free person,
for a free person is free even in a prison."
- Plato

Beberapa hari yang lalu, saya membuat tulisan singkat "'Roots and Wings' : Nilai dan Kebebasan." Cukup banyak teman yang merespons dan bertanya kepada saya untuk menjelaskan yang lebih lengkap, khususnya tentang 'Wings', tentang Kebebasan. Walaupun sebenarnya tujuan tulisan itu bukan untuk menjelaskan. Tulisan itu hanya sebagai pemikiran yang muncul karena mengetahui indah dan dalamnya metafora dan diksi "Roots" dan "Wings" itu.

Sebenarnya, dari Rabi Eugene Levy, sudah cukup jelas gambarannya. Beberapa teman lewat email, dan beberapa orang menelepon dan bertanya langsung apa arti kebebasan sebagai manusia. Untuk 'Roots' atau Nilai, mereka bisa mengerti arti dan penjelasan dari cerita itu. Juga, arti sebuah cerita memang harus kita cari sendiri. Makna sesuatu harus kita cari dan temukan sendiri.

Via telepon, ada yang sangat serius menanyakan bagaimanakah manusia yang bebas itu. Saya hanya memberi salah satu contoh, seorang manusia merdeka yang pernah hidup di bumi ini adalah umpama Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela. Dan sebetulnya banyak tokoh lagi, dan di sekeliling kita mungkin ada, atau setidaknya berusaha belajar dan mencoba menjadi manusia merdeka.

Tapi baiklah demi kebebasan yang kita cari itu, marilah kita sharing.

Apa Arti Kebebasan?

Orang-orang zaman (yang katanya) modern sekarang ini, sering memunculkan ungkapan-ungkapan, "Jadilah manusia bebas!" Tapi apa artinya bebas itu? Banyak orang beranggapan misalnya, negara Amerika Serikatlah sebuah contoh negara bebas. Itu ditandai dengan Patung Liberty-nya dan hal-hal lain yang sejauh pemahamannya tengang negara itu. Atau setidaknya bangsa itu, berusaha menanamkan paham kepada masyarakat, yang lahir di sana atau yang imigran, bahwa Amerika berniat selalu menjaga bebebasan manusia sebagai individu.

Dalam tradisi filsafat dan teologi, khususnya teologi moral, masalah kebebasan sangat erat dan dekat dengan kehendak bebas dan hati nurani. Tentu kita tidak mendiskusikan tentang kehendak bebas dan hati nurani ini di sini, tapi hanya sebagai gambaran untuk mendapatkan perspektif yang lebih baik, bahwa kebebasan itu sangat memerlukan pengertian yang cukup.

Agar kita bisa menjadi manusia yang merdeka, kita harus tahu apa arti merdeka. Apakah orang-orang yang menggelar acara yang namanya kebebasan berekspresi, berarti dia berarti orang yang bebas? Atau jargon-jargon popuper sekarang, jika seseorang sudah tahap kebebasan finansial, berarti dia sudah bebas?

Filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseu berkata, "Man is born free, but everywhere he is in chains." Sedangkan filsuf dan sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa manusia "condemned to be free" karena manusia selalu memiliki pilihan. Rousseau melihat bahwa sebenarnya setiap manusia, merdeka tapi karena hal-hal lain di luar dirinya, dia menjadi manusia yang belum atau tidak merdeka lagi.

Two Concepts of Liberty

Isaiah Berlin seorang sejarawan dan pemikir liberal pernah menyampaikan dua tipe kebebasan. Berlin membedakan kebebasan menjadi kebebasan negatif dan positif. Kebebasan negatif disebutnya dengan istilah 'freedom from' : 'bebas dari', dan kebebasan positif dengan istilah 'freedom to' : 'bebas untuk'. Kebebasan dari tekanan, kekerasan, perbudakan misalnya dan kebebesan mengembangkan potensi diri harus dimiliki orang-orang yang benar bebas. Kedua contoh itu adalah dua tipe kebebasan itu, dan biasanya itulah kebebasan universal yang menjadi hak-hak asasi manusia. Isaiah Berlin menyatakan kebebasan dari hambatan-hambatan untuk melakukan tindakan atau aksi yang biasanya oleh orang lain, dan kebebasan untuk melakukan tindakan atau aksi melalui daya pilihan sendiri untuk melakukan tindakan.

Jadi pencapaian kebebasan seseorang sangat ditentukan oleh lingkungannya atau hal yang di luar dirinya dan satu yang sangat penting lagi, di dalam dirinya. Dahulu, kebebasan dari luar atau lingkungan masih sangat dominan, walaupun di beberapa wilayah di dunia ini, masih terjadi pengekangan kebebasan oleh negara, pemerintahan, peraturan, dan alasan-alasan lain. Tapi sekarang ini di zaman yang semakin terbuka dan demokratis, hal yang paling mendesak dan perlu supervisi diri adalah kebebasan positig itu. Kebebasan yang dari dalam diri sendiri.

Self-Mastery

Kalau kita baca biografi orang-orang besar, mereka justeru besar, karena tantangan dan hambatan yang terjadi di luar dirinya. Hambatan dan tantangan yang terjadi itulah yang dihadapi dan diatasi, dengan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri. Kita menyebut orang-orang besar bagi orang yang mengarahkan hidupnya bagi orang lain, bagi kemanusiaan.

Nelson Mandela, saksi hidup pengampunan, yang tidak menyimpan kebencian terhadap orang-orang atau institusi yang memenjarakannya, menjadi besar, justeru karena pengalaman hidupnya. Nelson Mandela, saat masih muda, pemarah, gampang naik pitam, dan pendendam. Dia dipenjarakan puluhan tahun, bahkan masih meledak-ledak waktu masa awal di penjara.

Martin Luther King, Jr., seorang pendeta kulit hitam, membela hak-hak sipil warga Amerika Serikat, khususnya yang berkulit hitam, menghadapi kultur rasial dan hukum yang diskriminatif, akhirnya ditembak mati oleh orang yang membenci dia dan gerakannya. Pendeta Martin Luther King, Jr., terkenal dengan ungkapan "I Have A Dream", menjadi lagu yang pernah juga dipopulerkan oleh grup musik West Life. Termasuk juga golongan orang-orang besar seperti Dorothy Day, Uskup Agung Oscar Romero, Rosa Parks, Winston Churchill, Dalai Lama, Vavlac Havel, Lech Walesa, Albert Schweitzer, Bunda Teresa.

Tentu banyak juga orang besar, walaupun cukup banyak yang tidak menghadapi tantangan seperti itu, para pemikir zaman dulu, pelaku karitas, pembela orang-orang, orang-orang bijaksana, yang masih banyak kita tidak tahu. Termasuk ke golongan ini adalah Bertrand Russell, Albert Einstein, Socrates, Plato, Immanuel Kant, Soren Kierkegaard.

Setelah saya perhatikan, yang terjadi banyak pada manusia, yang menunjukkan kadar kebebasannya adalah mengenai pikirannya. Sering terjadi dan banyak manusia bukannya menjadi guru bagi pikirannya tapi malah menjadi korban dan budak pikirannya. Pikiran seseorang sangat menentukan tingkat kebebasan personalnya.

Orang-orang di atas yang kita sebutkan namanya termasuk orang yang bisa mengelola diri sendiri, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mendisiplinkan diri dan pikirannya. Kebebasan sangat ditentukan oleh kondisi batinnya dan dan menjadi master bagi kondisi dirinya, dalam menghadapi kondisi luar dirinya.

Menjadi manusia merdeka mengandaikan inner autonomy yang seimbang dan baik, yang berarti mengandung kemungkinan ini:

  • kemampuan bertindak rasional

  • kemampuan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dirinya, suara hatinya

  • kemampuan bertindak sesuai dengan norma dan nilai universal (seperti kebenaran, keadilan, kebaikan, dan keutamaan manusia lainnya)

  • kemampuan bertindak independen dengan cara rasional dari desakan hasrat atau keinginannya.

Dalam mengembangkan spiritualitas, dikatakan bahwa kebebasan itu lebih karena pencapaian oleh manusia, bukan genetik bawaan lahir. Rudolf Steiner berkata bahwa, "acting in freedom is acting out of a pure love of the deed as one intuits the moral concept implicit in the deed." Mirip dengan itu, pemikir Jerman, penulis buku yang terkenal Small is Beautiful, E. F. Schumacher berkata bahwa kebebasan berada dalam diri kita, sehingga kita tidak dapat 'memiliki' kebebasan, tapi 'dapat membuat diri kita menjadi bebas."

###Frans. Nadeak





October 21, 2008

Mengapa Kita Merindukan Kampung Halaman?

Kalau saya ingat lagi masa kecil, selalu muncul kerinduan. Rindu akan kampung halaman. Tentu bagi orang yang lahir dan dibesarkan di kota, bukan berarti tidak memiliki kampung halaman. Tempat kita dilahirkan atau dibesarkan kita anggap saja sebagai kampung halaman, walaupun mungkin kota, misalnya Jakarta.

Tapi mengapa kita merindukan kampung atau kota halaman itu? Mengapa rindu masa-masa 'doeloe'?

Saya menduga karena kita memiliki kenangan di sana. Tapi kenangan yang bagaimana? Apakah semua kenangan menimbulkan kerinduan bagi kita?

Saya masih ingat sewaktu sekolah dasar (SD), saya harus memakai sepatu karet warna hitam. Sewaktu sekolah menengah pertama (SMP), saya masih ingat akan seragam putih-biru dan putih abu-abu. Tidak seperti yang lain yang negeri, SMP saya adalah swasta, dan siswa harus memiliki dua seragam, putih-biru dan putih-abu-abu. Putih-abu-abu digunakan setiap Senin dan Rabu. Saya masih juga ingat bagaimana, kami setelah pulang sekolah harus membersihkan ruangan kelas sendiri dengan jadwal masing-masing. Saya juga masih ingat bagaimana guru menghukum kami yang tidak disiplin, karena tiba terlambat atau tidak menyelesaikan pekerjaan rumah (PR).

Judul tulisan ini menjadi permenungan saya, setelah membaca cerita singkat yang ditulis Elie Wiesel. Elie Wiesel adalah salah satu yang lolos, korban kamp konsentrasi. Korban Holocaust, korban yang selamat dari kekejaman dan kebrutalan Nazi. Elie Wiesel menjadi pusat perhatian dunia ketika ia menuliskan pengalaman hidupnya dalam 'Night'. Bukunya sangat tipis, pernah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Wiesel, seorang Yahudi Romania, yang hampir kehilangan iman dan kemanusiaannya kerena pengalamannya yang sangat pahit dan getir. Pengalaman hidupnya sangat memilukan.

Pada tahun 1986, Panitia Nobel memberikan penghormatan kepadanya Nobel Perdamaian, karena perjuangannya akan kemanusiaan dan harapannya, dan tentu karena cerita-ceritanya.

Yang juga membahagiakan kita umat manusia adalah karena Elie Wiesel, menceritakannya kepada Dunia, juga kepada kita. Sebuah pelajaran berharga, yang telah menghancurkan jutaan manusia yang tidak bersalah. Sepantasnya karena pengalaman sepahit itu, tidak ada lagi manusia yang mau mencoba mengulanginya.

Konon salah satu yang membuat bangsa Yahudi bertahan adalah karena komitmen mereka mendongeng, ketekunan mereka bercerita.

Apa hubungannya kerinduan kampung halaman dengan kisah Wiesel ini? Saya akan mengutip tulisan Wiesel yang sangat dalam. Elie Wiesel mengawali novelnya, 'The Gates to the Forest'. Begini kisahnya:

Ketika Rabi Israel Baal Shem-Tov yang hebat melihat kesialan mengancam orang Yahudi, ia terbiasa pergi ke bagian tertentu hutan untuk bermeditasi. Di sana, ia menyalakan api, memanjatkan doa khusus, dan mukjizat pun terwujud, dan kesialan pun terhindari.

Kemudian, ketika muridnya, Magid dari Mezritch yang ternama, karena suatu alasan yang sama mendapat kesempatan untuk memohon pengampunan dari sorga, ia pergi ke tempat yang sama di hutan dan berkata, "Tuhan alam semesta, dengarkanlah! Aku tidak tahu cara menyalakan api, tetapi aku masih bisa memanjatkan doa." Dan sekali lagi mukjizat pun terwujud.

Lama sesudahnya, Rabi Moshe-Leib dari Sasov, guna menyelamatkan bangsanya sekali lagi, pergi ke hutan dan berkata, "Aku tak tahu cara menyalakan api, aku tak tahu doa, tetapi aku tahu tempat ini, dan ini harus cukup." Usahanya memang cukup, dan mukjizat pun terwujud.

Kemudian, tibalah giliran Rabi Israel dari Rizhyn untuk menanggulangi kesialan. Sembari duduk di kursi berlengan, dengan kepala di kedua tangannya, ia bicara kepada Tuhan, "Aku tak bisa menyalakan api, dan aku tak tahu doanya; aku bahkan tak bisa menemukan tempat itu di hutan. Yang bisa kulakukan adalah menceritakan kisah ini, dan ini harus cukup." Dan usahanya pun cukup.


Inilah kekuatan kisah, kehebatan cerita. Kita rindu kampung halaman, karena kita memiliki kenangan. Kenangan itu menjadi kisah kita sekarang. Pengalaman kita membentuk jati diri kita. Kisah yang diceritakan Wiesel menjadi ritual yang mengandung kerendahhatian, kepolosan, kejujuran dan ketekunan. Sejarah hidup kita, apalagi yang menjadi ritual kita, seharusnya membuat kita makin manusia, jika kita mampu memaknainya.

*** Fransiskus Nadeak***

October 17, 2008

The Shawshank Redemption: Film Paling Favorit

Saya cukup gemar menonton dan menikmati film. Saya juga menonton film yang menurut media atau iklan bagus. Tapi setelah saya tonton, yang kata 'media atau iklan' bagus, kebanyakan biasa saja. Pengertian bagus memang memerlukan banyak kriteria. Karena banyak kriteria, maka tentu akan sangat sulit menentukan ukuran sebuah film yang bagus.

Walaupun begitu, dari seluruh kriteria yang banyak, saya selalu memiliki pedoman, bahwa film yang bagus adalah yang membawa pesan. Pesan yang mengangkat manusia. Meninggikan nilai manusia. Film yang membangun jiwa kita, jiwa manusia, yang mendatangkan hormat akan manusia, menghormati martabat manusia.

Itu dari segi pesan film. Syukur-syukur juga filmnya bisa menghibur kita, menghibur dan membangun jiwa kita.

Saya biasanya menyewa film. Tapi beberapa saya sengaja membeli DVD filmnya (tentu yang original), sebagai apresiasi dan penghormatan kepada seluruh kru sampai film itu kelar dan di-release ke masyarakat. Beberapa film yang sangat bagus, sebagai wujud apresiasi dan penghormatan itu, saya beli dan saya hadiahkan kepada orang-orang istimewa. Dan ada yang sudah saya beri hadiah film itu berkali-kali, yakni film The Shawshank Redemption.

Kadang-kadang saya berpikir, jika sebuah film sangat menginspirasi, maka harga nominal sebuah film itu bisa sangat murah. Atau sangat tidak memadai dibandingkan dengan hasil atau manfaat yang saya dapatkan dari film itu. Mirip juga dengan apresiasi saya kepada penulis buku atau film, sering saya pikirkan, buku yang sangat mengilhami, dan tantangan yang sangat sulit untuk menuliskan sebuah buku bermutu, maka sangat sering 'harga' buku tidak sebanding (terlalu kecil) dengan 'nilai' buku itu. Demikian juga halnya dengan film yang bermutu.

Seperti awal tadi, banyak film digembar-gemborkan lewat media, tapi isinya sebenarnya tidak terlalu istimewa. Banyak juga yang menyatakan suatu film bagus, tapi memang bagus karena minatnya ada di sana, bukan karena film itu membawa pesan baik secara universal. Ada juga film yang kata orang bagus tapi hanya untuk alasan propaganda ideologi tertentu. Alasan seperti ini tidak universal. Tentu ada beberapa juga film yang bertemakan religi murni, tapi saya tidak tampilkan di sini.

Beberapa yang langsung teringat, film yang pernah saya tonton yang cukup baik dan membawa dan meciptakan pesan mulia dalam diri saya adalah, misalnya: Life is Beautiful, Saving Private Ryan, The Pianist, Doctor Zhivago, Pather Panchali, Schindler's List, Pan's Labyrinth, West Side Story, The Sound of Music, Ben-Hur, Scent of A Woman, Forrest Gump, Dances with Wolves, The Last of the Mohicans, Braveheart, Mystic River, Gladiator, Jaws, E.T. the Extra-Terrestrial, Moscow Does Not Believe in Tears, The Chronicles of Narnia, Finding Neverland, trilogi The Godfather, trilogi The Lord of the Rings, Gandhi, Hotel Rwanda, Billy Eliot, Erin Brockovich, A Beautiful Mind, Good Will Hunting.

Tentu masih banyak juga film yang belum saya tuliskan di atas. Ada juga yang bagus tapi bagus hanya sebagai film. Atau sebagai hiburan yang menggetarkan atau menegangkan seperti film-film thriller atau horor, misalnya Psycho dan Gangs of New York. Tapi kurang membawa pesan, walaupun film itu menyenangkan bahkan mendebarkan.

Terlepas dari masalah selera, kesukaan, dan kegemaran, dari semua film-film di atas, dilihat dari segi isi film, belum ada yang sebaik dan sehebat The Shawshank Redemption.

The Shawshank Redemption

The Shawshank Redemption, film tahun 1994, disutradari oleh Frank Darabont. Sangat banyak pencinta film, pemerthati film, komentator, kritikus film yang mmembuat peringkat atau ranking film ini sebagai 'the greates films of all time'. Film ini terinspirasi dan berdasarkan novel Stephen King, 'Rita Hayworth and Shawshank Redemption'. Banyak juga yang beranggapan, karena berdasarkan novel Stephen King, langsung menduga filmnya tentang horor atau kengerian. Tapi The Shawshank Redemption bukan bertemakan seperti yang biasanya menjadi cerita novel-novel Stephen King.

Ceritanya, seorang bankir muda, Andy Dufresne, dituduh dan akhirnya dijebloskan ke penjara karena membunuh isteri dan selingkuhannya. Dan di penjara inilah semua cerita film itu.

Filmnya unik karena tokohnya ada dua. Andy Dufresne dan Ellis Boyd "Red" Redding. Andy Dufresne diperankan oleh Tim Robbins dan Red oleh Morgan Freeman. Dan monolog atau cerita batin yang ditampilkan di film ini, justeru oleh Red, bukan Andy. Jadi Red menjadi 'story teller' dan yang diceritakan adalah Andy.

Karena sesuatu (...Anda harus menonton filmnya...:-))) Red berteman akrab dengan Andy. Dari cerita film dengan durasi lebih daripada dua jam, dan seluruh perbincangan mereka, akan tampak bahwa persahabatan mereka sangat menguatkan. Red adalah orang lama di tempat itu. Sedangkan Andy pendatang baru. Red sudah lihai memasukkan barang-barang masuk ke dalam penjara, dan sudah menjadi ahli dan spesialis mendatangkan barang-barang yang sebenarnya tidak boleh berada dalam penjara.

Persahabatan Andy dan Red semakin akrab, dan semakin menjadi dua sejoli. Red karena sudah terbiasa terpenjara, sudah mulai putus asa. Bahkan pembebasan bersayaratnya juga selalu ditolak. Jangankan memikirkan dunia yang indah, Red tidak memiliki pikiran kebebasan, tidak memiliki harapan.

Andy selalu menguatkan Red agar tetap bertahan, dan selalu berjuang untuk dirinya, untuk kebebasannya. Andy selalu menunjukkan cita-cita kebebasan. Andy selalu memberi harapan kepada Red dengan kata-kata, "Jika sudah bebas nanti...."

***
Film ini sangat fenomenal dalam pengertian yang sebenarnya. Bukan karena iklan atau gembar-gembor Hollywood. Setelah film ini di-release dan ditonton banyak orang, dengan cepat cerita menyebar, mengapa film sebaik dan sehebat ini tidak memenangi hadiah Oscar atau Academy Award.

Film ini adalah tahun 1994, dengen 7 nominasi Oscar. Walaupun begitu, yang menjadi film terbaik saat itu adalah Forrest Gump.

Ada juga baiknya, film ini tidak dihadiahi Oscar. The Shawshank Redemption membuktikan bahwa film terbaik, tidak harus ditentukan oleh hadiah Oscar dan tidak ditentukan oleh penilaian 'orang-orang Hollywood' tapi oleh para penontonnya.

Film ini sangat menginspirasi karena unsur-unsur: kecerdasan, ketenangan, ketekunan, kesabaran, HOPE, persahabatan, keberanian, 'entrepreneurship', Redemption, sangat mengilhami jiwa, sangat menghibur, dan hal-hal yang menghasilkan virtues oleh dan untuk manusia.

Selamat menonton dan selamat menikmati! :-)

Fransiskus Nadeak

October 14, 2008

Semua Jenis Perpeloncoan Harus Ditiadakan

Beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi dengan baberapa teman. Teman-teman kebanyakan berprofesi guru, dan semua pernah belajar dan kuliah di perguruan tinggi. Ada yang kuliah mengambil fakultas atau jurusan tertentu tapi mengajar bidang studi yang lain sekali dengan bidang yang dipelajari khusus sewaktu mahasiswa. Ada yang sudah bersertifikat Akta 4.

Profesi guru hanya boleh dijabat oleh para lulusan pendidikan keguruan dan mereka yang memiliki sertifikasi akta mengajar bagi lulusan pendidikan non-keguruan, maka pemilikan sertifikat akta mengajar merupakan keharusan bagi sarjana non-keguruan yang ingin berprofesi sebagai guru. Untuk menjadi guru, sarjana non-keguruan dipersyaratkan memiliki akta mengajar, yaitu "Akta 4", yang dapat dicapai melalui tingkat pendidikan sarjana ilmu keguruan dan pendidikan.

Memang guru sejatinya bukan hanya mengajar. Justeru yang paling penting adalah mendidik. Tapi tulisan singkat ini tidak membahas mengenai mengajar atau mendidik, dan juga bukan mengenai guru.

Setelah bercerita-cerita tentang ini-itu, sampailah kepada topik tentang perpeloncoan. Perpeloncoan di tingkat mahasiswa sampai tingkat sekolah menengah. Boleh dikatakan, hampir semua setuju dan mendukung perpeloncoan di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi. Khusus di perguruan tinggai, dalam pengertian serupa, mereka sangat setuju perpeloncoan dengan alasan pengenalan kampus. Ada juga yang beralasan untuk melanjutkan tradisi. Ada juga yang beralasan untuk menghormati senior.

Bagi saya alasan-alasan itu tidak masuk akal, tidak logis yang justeru terjadi di lingkungan kampus. Mengapa? Karena kita sudah tahu bahwa masa orientasi adalah masa pengenalan. Artinya karena di tempat belajar menjadi cendekia, maka pengenalan harus dibuat dengan cara cendekia pula. Untuk pengenalan fisik kampus, cobalah jelajahi bangunan dan material fisik lainnya. Dan itu semua bisa dibuatkan dalam bentuk buku pengenalan dan panduan. Ini bisa mencakup semua silabus atau jenis kurikulum. Juga semua orang yang terlibat di kampus mulai dari rektor atau ketua sampai dengan cleaning service sampai pengelola taman.

Berikutnya, anggapan perpeloncoan menjadi hal yang umum dan menjadi tradisi karena khusus yang mau kuliah di perguruan tinggi negeri, peraturan yang menyatakan, yang boleh ikut ujian saringan adalah lulusan tiga tahun terakhir. Jadi peraturan ini dianggap menjadi yang seharusnya syarat menjadi kuliah secara umum. Sebetulnya jangankan di perguruan tinggi negeri atau swasta, seseorang yang mau kuliah tidak boleh dibatasi usia.

Tentang Senioritas

Sering menjadi alasan mahasiswa atau kampus mengadakan perpeloncoan kerena senioritas. Artinya seorang mahasiswa baru menjadi junior bagi mahasiswa yang lebih dahulu. Tapi dari hakikat pendidikan dan tentang kuliah saja ini sebenarnya sudah tidak berlaku.

Karena seharusnya seseorang kuliah tidak perlu diwajibkan harus lulusan tiga tahun terakhir dari SMA atau SMU. Bagaimana misalnya seorang siswa baru mengambil fakultas atau jurusan psikologi, tapi dia sudah selesai dan menjadi sarjana teknik elektro. Siapa yang lebih senior menjadi mahasiswa dibandingkan dengan mahasiswa psikologi yang baru semester tiga? Apakah mahasiswa baru itu lebih junior? Di bidang apa? Umur? Menjadi mahasiswa? Dalam hal seperti ini, apa artinya senior? Dan yang lebih penting lagi, untuk apa?

Lagi pula, menjadi mahasiswa, masuk pertama tidak ada jaminan selesai lebih dahulu. Beragam masa yang digunakan mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya.

Perpeloncoan Harus Dihentikan

Di samping karena tidak bermanfaat, tidak mendidik, membuat bodoh, semua jenis perpeloncona harus ditiadakan dari kampus dan dari muka bumi ini. Perpeloncoan adalah pertunjukan kediktatoran, pembodohan, penipuan, cenderung mengarah kepada kekerasan. Tindakan perpeloncoan, sedikit pun tidak menunjukkan intelektual.
*** Fransiskus Nadeak***

October 6, 2008

Jangan Meremehkan Dirimu

Dalam mengisi liburan Idul Fitri kali ini, saya menyewa beberapa film untuk ditonton. Beberapa film baru, tapi ada juga film yang sudah pernah saya tonton beberapa kali.

Saya tidak menduga, bahwa film favorit yang saya saksikan berkali-kali, setiap saya tonton lagi, selalu ada saja yang terlewat. Seperti gumaman ini, "Wah, (adegan) ini dulu kok enggak ada."

Cukup sering, kita pernah menonton suatu film, setelah beberapa lama, mungkin dalam hitungan tahun, kita lihat dan ingat lagi judulnya, jangankan adegannya yang lupa, bisa sampai jalan cerita pun kita lupa. Mungkin muncul pertanyaan, "Lho film ini sudah pernah saya tonton, tapi mengenai apa ya?"

Saya menetapkan menonton dua film dalam suatu hari. Saya meminjam The Shawshank Redemption dan The Sea Inside (El Mar Adentro). Kedua film ini sama-sama nominasi hadiah Oscar, yang pertama tahun 1994 dan yang kedua tahun 2004. The Shawshank Redemption sudah berkali-kali saya tonton, dan sepertinya akan saya tonton lagi. The Sea Inside, baru saya tonton pertama kali. Sejujurnya, saya sudah beberapa kali membeli video film The Shawshank Redemption yang original. Sengaja memang, karena filmnya luar biasa, dan juga sebagai wujud terima kasih dan penghormatan saya kepada semua kru film itu.

Jadi ketika saya memiliki film itu dalam bentuk DVD yang asli, selalu ada saja yang meminjam lagi, dan dan 'baiknya' lagi, DVD film itu tidak pernah kembali. Jadi memang sepertinya bukan hanya untuk saya, untuk yang meminjam atau menonton film itu, juga luar biasa dan tidak terlupakan sampai lupa mengembalikan.

Entah kebetulan, kedua film itu ada pembicaraan dari satu orang kepada yang lain, "Jangan meremehkan dirimu!" Dalam The Shawshank Redemption, ungkapan itu disampaikan oleh Andy Dufresne kepada Red. Andy Dufresne diperankan Tim Robbins, dan Red oleh Morgan Freeman. Dalam The Sea Inside, disampaikan oleh pengacara berparas cantik Julia kepada Ramon Sampedro. The Sea Inside, film Spanyol (El Mar Adentro) yang berkisah tentang eutanasia. Ramon Sampedro diperankan Javier Bardem, dan Julia oleh Belen Rueda.

Andy Dufresne meneguhkan Red agar memiliki harapan, karena Red sudah dipenjara hampir tiga puluh tahun. Agar kalau dia nanti bebas agar berbuat sesuatu yang baik. Tapi Red tidak pernah berpikir tentang itu, bahkan kebebasan pun tak pernah terlintas dalam pikirannya. Red sudah terbiasa terpenjara. Red menjadi kehilangan harapan, apalagi setelah dua kali ditolak kebebasan bersyaratnya.

Julia menguatkan Ramon karena ketakutannya sendiri. Bahkan Ramon memiliki satu keinginan yang sangat hebat, agar dia mati saja, eutanasia. Julia menambahkan, "Ketakutan adalah senjata yang mematikan. Ketakutan membelengggu kebebasan berpikir. Jangan bertindak atas rasa takut!" Julia memberikan kekuatan agar Ramon memiliki harapan, karena memang Ramon mempunyai bakat yang tidak biasa, ditandai dari puisi-puisi yang dia hasilkan.

Andy menumbuhkan harapan Red, ketika Andy memberikan sebuah harmonika, alat musik yang sangat didambakan Red. Red teringat indahnya kehidupan dulu ketika anak-anak menjelang remaja memainkan harmonika. Dunia begitu indah untuk didiami. Tapi perjalanan hidupnya, mengungkungnya di penjara. Harmonika adalah simbol semangat muda ketika Red memainkannya saat belia. Harmonika ditiupnya dengan lagu-lagu kesayangannya.

Dalam setiap pembicaraannya dengan Red mengandung harapan akan kebebasan. "Red, jika kamu bebas nanti, ....". Bukan hanya menjadi kenyataan, harapan yang selalu dihembuskan Andy, menjadi impian yang terjadi, bahkan Andy dan Red sama-sama bebas dengan caranya masing-masing. Mereka bersatu kembali di 'negeri tanpa kenangan', negeri harapan semasa mereka di penjara, selama puluhan tahun

Kedua film itu mengajarkan kita agar tetap berharap. Mengajari kita agar tidak meremehkan diri sendiri. "Hope, trust, and friendship are among the most powerful of human values."


***
Fransiskus Nadeak
***

October 2, 2008

Selamat (Hari Raya) Idul Fitri

Dunia anak-anak adalah dunia yang mempesona. Anak-anak melihat sesuatu dengan takjub. Melihat sesuatu yang baru, dia pun ingin meraihnya. Kegembiraan, lari-lari kecil, berebutan sesuatu barang tapi bukan karena egois atau individualistis, tertawa gembira; menjadi sifat anak-anak yang khas.

Di hari Idul Fitri tahun 1429 Hijriah ini, saya teringat lagi akan bawaan ceria anak-anak ini. Saya tinggal di pinggir jalan besar sebuah perumahan. Pagi itu hari gerimis. Saudara-saudaraku berpakaian putih-putih bersih. Baru saja menunaikan Sholat Ied. Memang terasa hari itu pun tenang dan bening, penuh kedamaian.

Sekitar jam sepuluh pagi, mulai rombongan-rombongan kecil ada yang dua orang, tiga orang, juga enam orang. Bagi anak-anak, kegiatan ini merupakan kegembiraan yang mungkin tidak terlupakannya seumur hidupnya. Dia nanti akan datang ke rumah menyapa tuan rumah. Mereka datang karena hari ini adalah hari Lebaran. Terlepas dari arti sebenarnya Lebaran, tapi bagi anak-anak yang suci ini, Lebaran adalah keceriaan. Maka mereka datang mengucapkan "Selamat Idul Fitri!" dengan hati yang gembira. Dan mungkin juga mereka mengharapkan kue-kue kecil. Banyak juga yang mengharapkan oleh-oleh kecil berupa makanan yang sudah jadi dan sudah dibungkusi dalam plastik. Tapi cukup banyak juga anak-anak ini mengharapkan 'angpau'.

Sekali lagi, terlepas dari makna Idul Fitri bagi anak-anak, saya melihat kesucian hatinya. Dan saya yakin mereka datang mengunjungi kita, mengunjungi rumah kita adalah sebagai berkat bagi kita juga. Dan saya tidak mau menyurutkan kegembiraan hati anak-anak. Saya akan dan tetap menyambutmu semua dengan gembira juga.

Buat teman-temanku anak-anak, keceriaan, kegembiraan, kebersamaan, semangat telah mengingatkan saya juga akan masa anak-anak dulu, yang juga mengunjungi rumah-rumah keluarga untuk menyampaikan Salam dan Selamat Tahun Baru.
***
Anak-anak mengajari kita keceriaan, kegembiraan, dan ketulusan.
***
Selamat Idul Fitri!

September 25, 2008

Suatu Malam di Bulan Ramadhan

Dalam bulan Ramadan tahun 2008 ini, beberapa kali sore menjelang malam, saya menyusuri jalan di kota saya tinggal. Jalan yang saya lalui dilalui banyak orang juga. Ingin rasanya melihat situasi kota. Situasi manusia yang mendiami kota. Pedagang martabak, nasi goreng, mi instan, goreng-gorengan, bandrek, pecel lele, telur setengah matang berjejer di pinggir jalan. Juga tukang tempel ban, penjual stiker, dan tukang taksi tak resmi, berlomba-lomba dengan semangatnya menyapa orang yang lalu lalang. Kadang-kadang ada juga yang menjual baju bekas yang kelihatannya masih cukup baru.

Sehabis azan Magrib, saya duduk minum teh manis hangat di salah satu warung. Kursinya hanya ada untuk empat orang. Ketika saya coba memulai pembicaraan dengan ibu penjual teh manis, mengapa ramai sekali yang jualan, dia berkata karena bulan puasa, jadi banyak yang mengelar dagangannya.

"Lho, Ibu tidak mudik?" tanyaku.
"Walah Mas, saya enggak bisa mudik ke Jawa Mas. Jawa Tengah." jawabnya.
"Tiket udah mahal sekali Mas. Kalau ada rezeki, mungkin tahun depan, atau tahun depannya lagi Mas. Itu pun kalau ada rezeki ya." Ditambahkannya, "Kalau orang-orang mudik bersilaturahmi dengan keluarga, kami cari rezeki dulu Mas, agar bisa bersilaturahmi kapan-kapan, di suatu saat." Saya melihat ketenangan dan kesungguhannya menyapa orang yang singgah di warungnya. Kulit wajahnya menampakkan letih, tapi ibu itu masih bersemangat. Doaku, semoga ibu dan keluarganya diberkati Allah, mendapat rezeki yang mencukupi untuk menghidupi keluarganya.
***
Semoga bulan yang suci ini membawa berkat, karunia, rahmat bagi kita semua.
Selamat Idul Fitri!
***
Fransiskus Nadeak

September 23, 2008

Roots and Wings - Nilai dan Kebebasan

"Two great things you can give your children:
one is Roots,
the other is Wings."

- Hodding Carter

Pertama sekali mengetahui ungkapan "Roots and Wings" ini, saya sangat kagum karena pilihan kata dan metaforanya. Kemudian beberapa minggu setelah kekaguman itu, saya berbagi cerita dengan beberapa orang yang kebanyakan sudah menjadi orangtua. Orangtua yang harus mengajari dan membimbing anak-anaknya. Pembicaraan berkisar tentang pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak, lebih khusus lagi pendidikan anak yang dimulai dari rumah, dari keluarga, oleh ayah-ibunya. Baru kemudian pendidikan di sekolah.

Banyak orangtua mengeluh tentang anak zaman sekarang yang 'tidak seperti dulu'. Dulu katanya, siswa segan kepada guru. Siswa sangat menghormati guru-gurunya. Dari cerita-cerita, jika akan berpapasan di jalan, sering seorang siswa akan 'sembunyi' atau 'minggir' dulu, agar tidak berhadapan langsung dengan gurunya. Bisa dimengerti, siswa berlaku seperti itu bukan karena ketakutan, tapi karena rasa hormat kepada gurunya. Sebaliknya, anak sekarang dipandang tidak disiplin, gampang patah semangat, mudah putus asa, suka hura-hura, tidak mau mengambila tanggung jawab, tidak hormat kepada guru dan orangtua. Tapi benarkah demikian?

Setelah sekian lama saya merenungi ungkapan yang indah penuh makna itu, saya mulai dapat mencerna apa yang dimaksud dengan akar dan sayap itu. Awalnya mendapatkan ide itu dari seorang pendidik Jesuit Australia. Suatu saat, saya bercerita dengan seseorang yang sangat 'concern' dengan masalah itu. Dengan kebaikan hatinya, beliau kemudian mengirimi saya sebuah buku yang sangat luar biasa karya Jay B. McDaniel. Pemahaman saya semakin diperdalam dengan mendapatkan pencerahan yang sangat bagus dari Jay B. McDaniel.

McDaniel memulai tulisannya dengan cerita suatu kunjungan seorang rabi ke sekolah tempatnya mengajar, karena McDaniel mengajar khusus bidang agama-agama dunia. Rabi Eugene Levy diundang untuk berbicara dan mengajar di kelasnya. Tapi karena sesuatu yang tidak diingat McDaniel lagi, sampailah ke pembicaraan tentang kehidupan keluarga dalam lingkungan Yahudi. Rabi Levy menyampaikan gambaran 'akar' dan 'sayap' itu. Dan di situlah McDaniel mengetahui pertama sekali metafora itu. Secara bebas, pembicaraannya seperti ini:

Rabi Levy berkata, "Dalam mendampingi anak-anak, Engkau harus memberi mereka Akar dan Sayap. Engkau harus membuat anak-anak menanamkan fondasi yang kuat dan merasa aman. Tapi Engkau juga harus memberi kemampuan 'to think new thoughts, to feel new feelings, dan to be able to fly in new directions."

"Kalau kita beri anak itu sayap, bagaimana kalau dia lari lepas?", tanya McDaniel setengah bercanda, setengah serius.

"Dia tidak akan lari, karena dia punya akar yang menjaganya?", sahut rabi.

"Kalau memang lepas dan tidak kembali?", tanya McDaniel lagi. McDaniel langsung serius karena saat itu dia sedang membesarkan dua orang anaknya.

Kemudian rabi Levy berkata, "Engkau harus mengambil risiko itu." Rabi Levy melanjutkan, "Mungkin saja anak-anak mencederai akarnya dengan sayapnya. Tapi kita tetap harus memberi mereka sayap karena tanpa itu mereka tidak dapat bertumbuh; mereka mungkin seperti tercekik atau mati lemas. Jadi berikan mereka Sayap untuk terbang dan Akar sebagai penuntun untuk dipelihara. Untuk Itulah sebenarnya orangtua ada."

Rabi Levy berkata bahwa bukan dia yang meciptakan metafora itu. Metafora itu didapatnya dari teman, yang didapat temannya dari teman temannya.

Metafora itu sebenarnya bukan hanya di lingkungan anak-anak dan keluarga. Akar dan Sayap. Nilai dan Kebebasan, adalah hal yang sangat penting dan perlu perhatian terus-menerus dalam hidup kita terlebih sekarang ini.

Metafora 'akar' dan 'sayap' adalah gambaran yang harus dimiliki seorang anak dalam mengarungi kehidupan yang semakin mengglobal dan banyak tantangan ini. Dan itulah yang harus diberikan oleh orangtua, guru, dan para pendidik. Rabi itu berkata, bahwa seorang anak harus diberi 'akar' yang mencakup nilai-nilai mulai dari prinsip, ajaran, ritual, tatanan, akidah, iman. Setelah ini semua sudah ditanam, maka orangtua (juga guru, pendidik) harus memberinya sayap agar dia terbang melihat pemandangan dunia. Sayap adalah gambaran kebebasan.

Anak-anak dengan sayap kebebasannya harus bisa melihat pemikiran-pemikiran baru, belajar pandangan-pandangan baru. Anak-anak dengan akarnya harus memiliki nilai, grounded to the earth, to know where home is, menjujung tinggi etika dan moral, menghormati budaya dan nilai-nilai keluarga. Tapi tidak menjadi kaku dan tertutup. Mereka harus terbuka kepada hal-hal lain dan hal-hal baru; memiliki harapan, cita-cita, dan tujuan yang harus dituju.

Pembicaraan ini sangat singkat, tapi inilah sebenarnya inti pengajaran dan pendidikan. Memupuk tanah agar akar tertancap dalam tanggung jawab dan mengembangka sayap agar berpikir merdeka. Menanamkan akar nilai, dan mengepakkan sayap kebebasan.

***oleh Fransiskus Nadeak ***