(Tulisan ini sudah tampil di Harian Batam Pos, Batam Provinsi Kepulauan Riau)
Pemimpin tidak sama dengan pimpinan. Ada kecenderungan selama ini, untuk mengungkapkan pemimpin, orang-orang menggunakan istilah pimpinan. Pemimpin adalah orang yang memimpin. Sedangkan pimpinan adalah hasil kepemimpinan. Sebagai gambaran yang lebih mirip lagi adalah penari dan tarian. Penari adalah orang yang mengadakan kegiatan menari, dan tarian adalah hasilnya. Sama dengan pimpinan, tarian juga tidak bisa dilihat. Kita hanya bisa lihat penarinya.
Sudah biasa apabila seseorang terpilih memangku jabatan politik (misalnya: bupati, walikota, gubernur, presiden, DPRD, DPR, dan MPR), maka janji-janji yang didengungkan sewaktu kampanye (apabila ada) maka dengan cepat janji itu seolah-olah tidak pernah dilontarkan oleh pemangku jabatan. Apalagi, ketika di negara kita ini diberlakukan pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau presiden oleh MPR, maka semakin menjauhlah kesesuaian antara apa yang perlu bagi rakyat dan apa yang diusahakan oleh pemangku jabatan politik itu.
Bagaimana rakyat menentukan pemimpinnya dalam pemilihan kepala daerahnya? Untuk melihat seperti apakah pemimpin yang akan cepat diterima masyarakat, maka pemimpin itu diketahui atau sudah diketahui oleh masyarakat. Khusus Batam, yang dalam waktu dekat akan mengadakan pemilihan walikota Batam, maka yang ada beberapa tipikal orang dalam menentukan pilihannya. Pertama, orang yang sudah berafiliasi atau bergabung dengan partai tertentu, maka dia akan memilih pasangan yang ditentukan oleh partai di mana dia bergabung. Untuk yang pertama ini termasuk simpatisannya. Yang kedua, orang yang sudah berafiliasi atau bergabung dengan partai tertentu tapi akan memilih pasangan yang dicalonkan oleh partai lain. Ini disebabkan bukan karena dia tidak menyukai pasangan yang dicalonkan oleh partainya tapi karena dia melihat calon lain lebih baik atau lebih berpeluang menurut penilaiannya. Yang ketiga, seseorang yang independen, non-partai, tidak simpatisan terhadap partai apa pun. Untuk yang ketiga ini, pilihannya murni yang terbaik menurut dia. Yang keempat, orang yang berafiliasi atau bergabung dengan partai tertentu tapi tidak menggunakan hak pilihnya karena kesal atau tidak setuju dengan pasangan yang dicalonkan oleh partainya. Yang kelima, orang yang tidak menggunakan hak pilihnya karena dia tidak melihat salah catu calon pun yang cukup memadai, atau bahkan tidak menggunakan hak pilihnya karena dia punya pengalaman siapa pun yang terpilih tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik atau tidak membuat perubahan apa-apa.
Dalam pengalaman pemilihan presiden Republik Indonesia misalnya, bahwa rakyat memilih sudah mulai dengan tidak berdasarkan calon yang dipaketkan oleh partai atau fraksi yang menjadi partainya sendiri tetapi memilih berdasarkan pandangan atau pengetahuannya sendiri.
Dalam era yang sudah dijejali dengan informasi yang berseliweran di telinga dan penglihatan masyarakat pemilih, bagaimana rakyat mengetahui calon yang akan dia pilih dan akhirnya membuat keputusan untuk memilih dengan menggunakan hak pilihnya? Memang kampanye ada manfaatnya, apalagi didukung oleh media massa khususnya lewat surat kabar, radio, bahkan televisi. Tapi seperti sebelumnya, janji-janji selama kampanye dianggap hanya sebagai pemanis atau kadang-kadang sudah semacam dagelan. Karena tidak ada tools atau regulasi yang dapat mengukur kevalidan apa yang disampaikan saat kampanye dengan apa yang terlaksana ketika calon itu sudah terpilih. Sehingga apabila apa yang dikampanyekan dengan yang dilaksanakan setelah terpilih tidak sesduai bahkan bertentangan, maka rakyat hanya melihat makin jelas janji-janji kosong, bahkan dalam hal-hal tertentu sudah bisa dikelompokkan menjadi kebohongan dan penipuan. Tapi karena tidak ada peraturan atau hukum yang menangani itu, maka rakyat makin malas, acuh, dan muak.
Dari iklan atau informasi mulut ke mulut, yang berpengaruh atau tidak, setiap anggota masyarakat memiliki kriteria yang menjadi pemimpinnya. Dan satu hal-hal yang pasti adalah nilai-nilai dalam diri pribadi calon. Tapi nilai-nilai keutamaan yang ada pada calon tidak diketahui oleh masyarakat atau pemilih dengan jelas. Tapi ada satu yang sudah pasti, bahwa rakyat pasti memilih berdasarkan track record calon yang ada. Pengertian track record di sini diperlebar daripada hanya sekadar mengerjakan sesuatu dengan baik, atau kinerja atau pencapaian aktual.
Pernyataan yang menyebutkan bahwa untuk memimpin diperlukan pengalaman pemimpin. Ini benar, tapi bukan seperti pengertian zaman orde baru, untuk mengelabui masyarakat dengan pernyataan bahwa untuk memilih seorang presiden, maka pilih saja yang sudah pernah menjadi presiden, karena sudah terbukti mampu. Ini pernyataan yang tidak mengarah ke kemajuan dan cencerung tidak mau berubah. Jadi tidak perlu untuk menjadi seorang walikota, dia sudah pernah menjadi walikota. Tapi untuk menjadi walikota diperlukan kemampuan sebagai walikota. Kemampuan di sini, kita pusatkan kepada kepemimpinan.
Menurut Warren Bennis, yang bukan saja hanya ahli di bidang kepemimpinan, tetapi langsung terjun sebagai pemimpin di di beberapa universitas, dan mengabdi di beberapa fakultas di MIT’s Sloan Schoool of Management, dan juga Universitas Harvard, dalam bukunya “Managing People is Like Herding Cats”, menyatakan bahwa agar dapat bertahan di abad ke-21, kita memerlukan generasi pemimpin baru – pemimpin, bukan hanya sekadar manajer, bukan hanya sekadar mengelola.
Warren Bennis menekankan bahwa pemimpin menaklukkan konteks-konteks keadaan sekitar yang tidak menentu, kacau, dan penuh ambiguitas yang tampaknya berkomplot melawan dan akan mencekik leher kita jika dibiarkan. Perbedaan-perbedaan penting lainnya, menurut Bennis adalah: manajer mengatur, sedangkan pemimpin menginovasi; manajer merupakan jiplakan, pemimpin bersifat orisinal; manajer memelihara, pemimpin mengembangkan; manajer mengandalkan pada kontrol, pemimpin mengilhami saling percaya; manajer memiliki pandangan sempit, pemimpin mempunyai perspektif yang luas; manajer mempertanyakan bagaimana dan kapan, pemimpin mempertanyakan apa dan mengapa; manajer selalu memperhatikan target, pemimpin mengarahkan pandangannya ke batas cakrawala; manajer menerima status quo, pemimpin menantangnya; manajer adalah prajurit yang baik, pemimpin menjadi dirinya sendiri; pemimpin mengerjakan berbagai hal dengan tepat, pemimpin mengerjakan hal dengan tepat.
Sekali lagi, di lingkungan Batam, siapa dan bagaimana orang memimpin area ini, memimpin rakyat? Rakyat akan memililih pemimpin yang sudah berbuat. Masyarakat dengan senang hati akan memilih calon walikota yang sudah melakukan seuatu yang bermanfaat bagi Batam, berfaedah bagi rakyat Batam. Adakah calon yang sudah memberikan kemajuan bagi Batam? Adakan calon yang sudah berjuang bagi rakyat Batam? Bukan nanti setelah terpilih, tapi adakah yang dapat dilihat oleh rakyat bahwa seorang calon sudah membawa perubahan bagi rakyat Batam? Seperti kriteria Bennis, adakah yang sudah pantas memimpin Batam? Bisakah Batam menampilkan seorang pemimpin seperti Michael Bloomberg, walikota New York, dipilih oleh rakyat New York, bukan karena janji-janjinya, bahkan dipilih untuk kedua kalinya, tapi karena apa yang sudah dilakukannya?
Frans. Nadeak, account manager PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
No comments:
Post a Comment