August 28, 2008

Paradoks Sibuk

"Menjadi sibuk saja tidaklah cukup;
semut-semut juga sibuk.
Persoalannya adalah:
Apa yang menyibukkan kita?"
- Henry David Thoreau, filsuf Amerika


Kita sering mendengar keluhan orang-orang yang bekerja di kota besar. Berangkat subuh, pulang gulita. Belum lagi kemacetan dan kesemrawutan di jalanan membuat situasi semakin lambat bergerak menuju tempat yang ingin dituju. Pekerjaan dan profesi terlalu banyak menguras hidup kita. Sering terjadi juga pekerjaan telah mengambil waktu kita. Yang paling hebat lagi, pekerjaan telah merenggut jiwa kita.

Kita ingin memiliki waktu luang. Kita mencari-cari waktu luang. Kita memilah-milah, menghitung-hitung lagi seluruh waktu hari-hari kita, kemudian menyusun lebih rapat dan padat lagi, agar menyisakan waktu untuk dinikmati. Tapi, sekiranya waktu luang itu ada, apa yang terjadi? Saat itu juga kita mencari kesibukan, mengisi waktu dengan kesibukan.

Sekarang sudah jarang istilah mencari nafkah atau rezeki. Paham kita adalah menjadi kaya akan materi. Coba bayangkan berapa banyak orang sekarang ini yang bekerja untuk mengumpulkan uang. Banting tulang mengumpulkan uang untuk membeli rumah yang layak dengan luas lahan yang cukup. Seteleh itu rumah direnovasi, diperbaiki, diperbesar dengan menguras keringat lagi. Tapi kita selalu sibuk sehingga rumah yang makin indah dan besar itu tidak bisa kita nikmati lagi.

Ada juga terjadi ketika sedang bekerja di luar rumah, ingin menikmati suasana rumah. Tapi ketika kita sedang di rumah, kita tidak tenang dan gelisah; ingin secepatnya keluar dari rumah. Ketika kita sibuk, muncul keinginan menikmati waktu luang dan ketika waktu luang ada, kita ingin sibuk dan sibuk lagi.

---
Fransiskus Nadeak

Belajar Sejarah

"Jika kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum kita lahir,
berarti kita tetap anak kecil."
- Cicero


Saya masih ingat sejarah yang saya pelajari ketika masih sekolah dasar dan menengah. Saat itu sejarah sesuatu yang sangat menarik, bukan karena suguhan guru yang terampil, tapi karena cerita-cerita heroik, keberanian para pahlawan, perlawanan-perlawanan tanpa takut, bahkan banyak pejuang sampai gugur di medan pertempuran.

Di sisi lain, mulai ada kecenderungan melebih-lebihkan peristiwa-peristiwa tertentu dan mengagung-agungkan pejuang-pejuang tertentu. Buku-buku sejarah mulai dibatasi hanya buku-buku tertentu. Mulai diciptakan kesan bahwa pejuang yang satu tidaklah berguna bahkan dicap pengkhianat. Ada kesan peristiwa dan tokoh tertentu sebagai sesuatu yang luar biasa. Kecenderungan ini makin menjadi-jadi ketika kondisi yang diciptakan mulai tidak rasional dan objektif.

Mengapa Belajar Sejarah?

Sejarah mengajarkan banyak hal. Apakah sejarah itu suatu kesuksesan atau kegagalan sama-sama mengajari manusia dengan hasil yang sama jika manusia mencermatinya dengan mata dan hati terbuka. Peristiwa Holocaust mengajari Orang Jerman, Orang Yahudi, bahkan segenap umat manusia dengan hasil yang sama.

Kalau kita baca buku sejarah suatu bangsa, sangat kentara sejarahnya kebanyakan mencatat keberhasilan bangsanya sendiri. Banyak juga tercatat sejarah suatu bangsa hanya menceritakan kebaikan bangsa sendiri. Mirip dengan banyak biografi, terlalu banyak buku sejarah yang hanya menampilkan kehebatan yang tokoh atau bangsa sendiri, tanpa cacat, tanpa cela. Tidak sulit menemukan sejarah yang isinya kebencian kepada bangsa lain.

Sebaiknya bangsa Indonesia belajar sejarah hubungan Indonesia-Malaysia misalnya, bukan hanya versi sejarah Indonesia, tapi juga dengan perspektif Malaysia. Orang Inggris sebaiknya belajar sejarah Jerman atau Perancis, bukan hanya versi Inggris, tapi versi Jerman dan Perancis juga. Sejarah dengan berbagai perpektif akan mengajari manusia untuk tidak berprasangka, dan menghindari pikiran buruk terhadap bangsa lain.

Dengan begitu, sejarah kan mengajarkan manusia budi pekerti. Sejarah akan mengajarkan manusia yang rendah hati di hadapan bangsa sendiri. Sejarah akan menciptakan manusia yang takjub dengan luasnya sejarah manusia. Sejarah sepantasnya memanusiakan manusia.
---

Fransiskus Nadeak

August 25, 2008

Otokritik - Mengkritik Diri

"Kalau kita tidak mengkritik diri, kita jadi bodoh dan buta,
sehingga kita berjuang dengan ketidaktahuan diri dan orang lain."
- Mohammed Arkoun,
guru besar Universitas Sorbonne, Paris



Dahulu, saya punya pengertian yang terlalu sederhana akan kepercayaan. Saya seolah-olah meyakini bahwa segala sesuatu yang saya percayai adalah benar-benar benar semuanya. Bahkan ada pengertian tentang berbagai hal adalah mutlak benar, tidak mungkin keliru atau salah. Saya mendengar juga di radio-radio, khotbah-khotbah yang tidak sepenuhnya membangun. Memang sepertinya nuansa khotbah itu adalah untuk menguatkan kepercayaan pendengarnya. Dan semakin sering khotbah dengan motif yang sama, menjadikan pendengarnya semakin percaya, dan yakin akan kebenarannya secara sempurna. Apa yang saya percayai dulu, seolah-olah pasti benar semuanya untuk selamanya.


Saya teringat akan sebuah nasihat seperti ini, "Jangan membaca yang lain, cukuplah (kitab) ini dipelajari dan diyakini, niscaya hidupmu akan tenang dan bahagia." Setelah menjalani hidup bersama banyak manusia dengan banyak kepercayaan, aneka kultur, bermacam sejarah; maka saya temukan, memang manusia sangat bervariasi. Manusia hidup di bumi ini dengan berbeda-beda perasaan, kesan, keyakinan, dan persepsi. Manusia sangat kaya. Maka kita sebaiknya bisa memanfaatkan kekayaan yang ada pada manusia itu.

Kebanyakan kita punya tendensi hanya mencari sesuatu yang menguatkan apa yang kita percayai. Kita hanya membaca buku-buku yang mengamini apa yang kita yakini. Alangkah baik dan mulianya jika kita mulai mencari perspektif baru atau yang berbeda. Kita perlu membaca buku-buku yang bukan hanya menguatkan apa yang kita yakini. Bukan berarti kita menjadi tidak memiliki keyakinan, skeptis, atau menjadi relativis. Ini bukan tentang menggugat apa yang kita yakini, tapi memperbarui dan memperbaiki cara kita meyakini.

Mengetahui perspektif lain membuat pemahaman kita makin kaya. Mendalami perspektif lain akan menjernihkan cara memandang kita. Melihat dengan cara berbeda memerlukan keterbukaan dan kejujuran diri. Melihat dengan cara pandang orang lain membutuhkan kerendahhatian. Dengan kemauan dan kemampuan melakukan ini, kita bisa mengkritik diri. Dengan kebiasaan seperti ini, kita semakin cerdas, semakin bertanggung jawab, semakin menghargai orang lain, dan semakin arif.

Seperti kata pemikir besar, Bernard Lonergan, "Be attentive, be intelligent, be responsible, be loving, and if necessary, change." Dengan kebiasaan melakukan otokritik, kita akan mampu meninggalkan keyakinan-keyakinan yang melenceng, yang tidak relevan, yang mungkin keliru atau error. Kita memperoleh pengertian (dengan cara) baru, lebih luas, lebih dalam, dan lebih tajam. Dengan pengertian seperti ini, maka bagaimana kita mengimani sesuatu akan semakin baik, dengan demikian keyakinan kita pun akan makin tangguh, teguh, dan kokoh.

----

Fransiskus Nadeak

Bendera Partai, di Mana Merah Putih?


Di kota tempat saya tinggal,
hampir seluruh persimpangan besar jalan dan bundaran,
berdiri tiang-tiang bendera partai.
Ada yang masih berdiri kokoh, banyak juga yang sudah roboh.

Bendera berwarna-warni.
Ada yang kuning, merah, ungu, hijau, ada yang campuran.

Banyak yang menarik dari nama-nama partai ini.

Ada nama-nama sedikit berbau utopia, walaupun memang tujuan mulia:
Sejahtera, Kebangkitan, Kedaulatan, Peduli Rakyat, Patriot, Perjuangan,
Damai, Peduli Bangsa, Keadilan, Penegak Demokrasi, dan Reformasi.

Gambar-gambarnya juga beraneka ragam:
ada jabatan tangan, ada juga kepalan tangan,
ada beringin, ada hasil tanaman:
padi dan kapas.

Ada juga membawa-bawa lambang keagamaan:
Kabah, salib, juga rosario.

Ada yang suka binatang-binatang:
burung-burung dan kepala banteng.

Ada yang menggemari benda-benda angkasa:
Bulan, Bintang, dan Matahari.

Yang paling mencengangkan dan mengharukan:
di mana benderamu, bendera kita,
Merah Putih?

---
Frans. Nadeak

Menjadi Dewasa

Baru-baru ini saya membaca buku “Here and Now, Living in the Spirit.” Buku yang sangat inspiratif karya seorang berkewarganegaraan Belanda, Henri J. M. Nouwen. Buku itu sebetulnya berisi permenungan-permenungan singkat. Dengan rendah hati, Nouwen menyadari bahwa sampai usia yang tidak muda lagi, betapa hidup emosionalnya amat dipengaruhi oleh orangtua, saudara, dan saudarinya. Pengaruh yang begitu kuat itu hingga bertahun-tahun emosinya masih terikat sangat kuat dengan orangtua.

Sama seperti Nouwen, mungkin sekali kita selalu melakukan apa yang menjadi keinginan orangtua kita. Memang seorang anak harus menghormati orangtua, tapi bertindak melulu karena keinginan orangtua mungkin tidak selalu tindakan dewasa dan bijaksana. Mungkin kita masih ingin melakukan ‘permintaan’ orangtua tanpa memikirkan dengan matang sebenarnya apakah permintaan itu mengembangkan diri kita atau tidak. Mungkin saja kita secara otomatis taat dan melakukan permintaan hanya karena yang meminta adalah orangtua kita.

Mungkin juga kita masih terbawa emosi, kebencian, kemarahan, kekecewaan yang bersumber dari hubungan keluarga. Kita mungkin masih ingin mengubah orangtua kita, bahkan apabila orangtua kita pun sudah meninggal. Kita belum benar-benar ‘meninggalkan’ rumah. Kita mungkin belum berusaha menjadi dewasa.

Apakah kita bergerak, mampu dan siap melepaskan diri kita dari ikatan emosional yang menjerat dan menghalangi kita mengikuti panggilan batin kita yang paling dasar? Apakah kita mampu mendengar suara hati kita yang benar?
--

Fransiskus Nadeak

August 22, 2008

Bertanya, Membuka Pikiran Kita


“You can tell whether a man is clever by his answers.
You can tell whether a man is wise by his questions.”

- Naguib Mahfouz,
penerima Nobel Kesusasteraan dari Mesir


Konon, para jenius bukan hanya orang-orang dengan skor Intelligence Quotient (IQ) yang sangat tinggi. Mereka mungkin orang-orang biasa yang menggunakan kepandaian mereka dengan cara lebih baik dari orang kebanyakan. Orang jenius selalu berpikir terbuka dengan melakukan pendekatan pada berbagai masalah dengan serangkaian pertanyaan.

Jika kita ingin mengetahui suatu topik lebih dalam, salah satu yang paling pokok adalah bertanya sesuatu yang termasuk dalam topik itu. Mungkin kita pernah mendengar tentang model 4W + 1H (Where, When, Who, Why, dan How). Kata-kata itu semua adalah kata tanya dan alat untuk mengetahui suatu hal lebih baik.

Di samping topik-topik yang real, yang paling utama dengan mengandalkan pertanyaan adalah untuk menelaah topik yang abstrak. Misalnya saja tentang kebahagiaan atau kebijaksanaan. Kita mungkin sering mendengar tentang kebahagiaan atau kebijaksanaan. Tapi pengertian kata-kata itu tidak sesederhana yang kita pikirkan. Mungkin kita bisa mengerti seadanya tentang kebahagiaan atau kebijaksanaan, tapi kalau kita pikirkan lebih jauh, kata-kata ‘bahagia’ dan ‘bijaksana’ sangatlah tidak mudah mendefinisikannya. Definisinya bisa sangat bervariasi. Makin banyak kita bertanya tentang ‘bahagia’ dan ‘bijaksana’, maka makin baik pengertian kita tentang topik itu.

Lebih daripada itu, mungkin cukup banyak orang yang mempertanyakan arti kata itu bahkan sampai arti dalam praksis kehidupan tapi berhenti sampai dengan pertanyaan saja.

Pengertian bertanya adalah tidak hanya bertanya saja. Pertanyaan berasal dari bahasa Latin, “quaerere”, yang berarti “to ask, to seek”. Artinya bertanya mengandung pengertian mencari.

Pertanyaan yang muncul dalam hati tentang suatu hal yang belum kita mengerti dengan sempurna, alangkah baiknya dimulai dengan mencari. Mencari mempunyai pengertian yang lebih jauh dari yang kita bayangkan selama ini. Mencari adalah proses untuk mendalami lebih jauh tentang suatu topik. Dalam proses pencarian, mungkin akan menemukan jawaban. Dalam proses pencarian mungkin akan menghasilkan pertanyaan baru. Proses pertanyaan, pencarian, dan jawaban akan menjadi siklus. Siklus proses ini jika diteruskan, maka akan menghasilkan pemahaman yang semakin baik tentang topik itu.



Kebiasaan bertanya, mencari, dan menemukan jawaban terhadap hal-hal apa pun, akan mejadikan kita berpikiran terbuka. Bertanya, mencari, dan menemukan (jawaban) kemudian berulang lagi, akan meningkatkan pemahaman, melihat lebih jauh, bahkan lebih baik dalam memutuskan sesuatu. Proses seperti ini juga akan membuat kita tidak terlalu mudah menilai, men-judge, bahkan menghakimi sebelum memiliki pengertian yang cukup baik.


Ilmu pengetahuan semakin maju sangat ditentukan oleh rasa penasaran dan curious manusia. Rasa penasaran dan keingintahuan manusia akan menentukan pencapaian manusia dalam hal apa pun, bukan hanya ilmu pengetahuan. Pengetahuan akan semakin berkembang dan maju sepesat pertanyaan yang muncul dalam diri manusia.

Maka sangat menarik apa yang dikatakan penyanyi penyair Joan Baez, "As long as one keeps searching, the answers come."Bahkan dalam kenyataannya, pertanyaan jauh lebih penting daripada jawaban. Bo Bennett seorang pebisnis dan pemotivasi mengatakan, “A single question can be more influential than a thousand statements."Kebiasaan bertanya, mencari dan menemukan, akan membuat kita berpikiran terbuka.


Fransiskus Nadeak

August 21, 2008

Ingin Lebih Maju? Coba Paksakan Diri Sedikit!

Dulu semasa mahasiswa di Bandung, radio adalah benda yang selalu hadir. Sambil belajar atau membaca novel, radio selalu menjadi teman yang setia. Setelah sekian lama, dari banyak gelombang radio FM, saya coba dengarkan sebaik-baiknya satu per satu dalam jangka waktu tertentu. Dari banyak stasiun radio, bisa saya amati, bagaimana celetukan penyiarnya, seperti apa perbincangannya, orang-orang seperti apa yang biasa pendengar setianya, bahkan sampai jenis lagu apa yang biasa diperdengarkan.

Dari sekian banyak stasion radio, hanya beberapa yang menampilkan sedikit iklan. Saat itu, Radio CBS-lah yang sangat jarang menampilkan iklan. Hanya saja musiknya selalu dan hanya jenis jazz. Saat itu, kesukaanku akan musik jazz belum ada. Di samping iklannya yang minim dan hentakan dan harmoni musiknya yang unik, muncul pemikiran, "Mengapa tidak mencoba mendengar radio ini?" dan "Mengapa tidak mencoba menyukai jazz?" Dengan semangat dan ketetapan hati, saya mendengarkan stasiun 'radio jazz' ini. Tidak tanggung-tanggung, selama ada di kamar, radio ini selalu "tune in" selama 4 minggu non-stop.

Bagi orang yang sedikit pun belum ada kesukaan akan musik ini, selalu mendengar musik ini dalam waktu yang cukup lama membuat telinga dan badan menjadi 'sakit'. Tapi dalam usaha menyukai musik ini selalu saya coba memaksakan diri untuk mendengarnya. Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, musik ini menjadi asyik. Jika tidak mendengar jazz lagi, ada sesuatu yang kurang, ada sesuatu yang hilang. Akhirnya, semakin lama semakin bisa mengalami musik ini, semakin bisa merasakan apa yang membuat musik ini 'enak' didengar.

Demikian juga, jika kita mau memahami sesuatu sedikit lebih maju, coba kita paksakan sedikit diri kita. Dalam hal keinginan untuk lebih jago dalam hal sesuatu yang penting, yang memerlukan keseriusan, yang 'bermutu', --- sediakanlah waktu, cobalah memaksakan diri. Misalnya ingin mendapatkan kebiasaan membaca, atau menyukai musik klasik, bahkan menggemari filsafat, cara ini sangat membantu dan manjur.

By Fransiskus Nadeak

August 15, 2008

Penemu Barang Baik

Dalam menghadapi dunia yang banyak permasalahan, konflik, pertentangan, bahkan perang, kita sering merasa ada hambatan untuk memulai sesuatu yang baik. Dalam lingkungan kerja yang semakin terbuka, posisi perusahaan yang semakin kompetitif, bahkan perilaku rekan sekerja yang semakin beragam dan mungkin negatif, kita mungkin merasa sulit melakukan perubahan. Muncul pertanyaan bagaimana saya sedikit membawa perubahan, bagaimana sedikit membuat perbaikan?

Saya teringat tentang, "Penemu Barang Baik" yang saya dapat dari tulisan John Powell, S. J. Penemu barang baik adalah orang yang berusaha mencari dan menemukan yang baik dalam hidupnya, dalam diri orang lain, dan juga dalam segala situasi hidup. (Bisa dimengerti, bahwa bukan berarti kita menutup mata kepada kekurangan, ketidakbecusan, kejahatan, kekejaman, horor, dan sejenisnya).

Mungkin memang benar bahwa kita biasanya menemukan apa yang kita cari. Jika kita mencari yang jahat, banyak yang jahat akan ditemukan. Demikian juga dengan yang mencari baik. Jika kita mencari yang baik, banyak yang baik yang kita temukan. Mungkin saja pencari dan penemu barang baik dikira naif dan aneh, sekarang ini. Karena kondisi dunia yang semakin mengglobal, ada kecenderungan orang-orang tidak percaya lagi dengan prinsip seperti ini.

Segalanya bergantung kepada apa yang kita cari. Mungkin pernah mendengar atau membaca, "Dua orang yang melihat dari balik jeruji penjara. Seorang melihat lumpur yang busuk, seorang lagi melihat bintang-bintang."

Kalau mengingat peristiwa-peristiwa kriminal, kecurangan, perang, kita mungkin akan surut. Kalau kita lihat ketidakberesan orang-orang yang bertugas mengayomi hidup orang banyak -- menyelewengkan jabatan, amanah, tanggung jawab, kita mungkin ragu, menyerah dan tidak percaya.

Tapi peristiwa itu memanggil kita untuk bangkit bertindak dan berkarya. Seperti kejahatan yang banyak terjadi di bumi ini, juga begitu banyaknya kebaikan dan mujizat, tidak lagi menyurutkan kita untuk melakukan yang bermanfaat.

Kita percaya semata-mata bahwa jika kita menguduskan, rahmat mengalir ke dunia ini melalui saluran tangan kita: menyembuhkan dunia ini, meluruskan apa yang bengkok, memperbaiki apa yang rusak, dan menerangi apa yang gelap. Kita ini hanyalah alat pembawa karunia. Kebanyakan dari kita tidak mempunyai talenta yang besar, tetapi kita semua dapat mengerjakan hal-hal kecil. Tidak ada orang besar di dunia ini. Yang ada hanyalah tantangan-tantangan besar yang harus dihadapi orang-orang biasa.


By Fransiskus Nadeak