Ketika dua sejoli berjanji sehidup semati, saat itulah dimulai lagi hidup baru. Dua pasang dengan beraninya berjanji kepada dirinya, pasangannya, saksi, umat, bahkan kepada Allah. Janji setia seumur hidup, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, sampai maut memisahkan.
Dibanding keputusan yang penting dalam hidup, kebanyakan kita yang berkeluarga tidak terlalu mempersiapkan diri untuk menghadapi dan menjalaninya. Memang mungkin untuk menghadapi awalnya pernikahan dalam hal acara nikah, resepsi (kalau ada), dan adat (juga kalau ada) pasangan cukup mempersiapkan diri. Tapi bagaimana dengan menjalaninya? Apakah kita cukup mempersiapkannya?
Bagaimana pemahaman pasangan baru ini tentang sebuah keluarga? Mengapa seorang suami bisa dengan mudahnya marah dan berkata kasar kepada isterinya? Mengapa seorang isteri tidak cukup menghormati suaminya? Apa artinya dalam suka dan duka? Apa artinya dalam untung dan malang?
Arti Pasangan HidupBanyak pasangan membanyangkan dirinya, pada awal pernikahan sungguh-sungguh mencintai pasangannya. Tapi mencintai saat itu masih dalam bayangan dengan perasaan. Dan dibayangkan biasanya, hidupnya berdua saja. Tidak ada anak. Tidak ada orangtua. Tidak ada mertua. Jadi ketika seorang anak 'muncul', barulah pasangan mulai ada kesadaran.
Kesadaran akan makna hidup berkeluarga akan menumbuhkan kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran ini harus menciptakan pemahaman yang lebih baik lagi akan makna relasi suami-isteri, relasi orangtua-anak, dan relasi keluarga yang lain.
Untuk menyakralkan pernikahan, banyak bangsa membuat filosofi untuk menghormati penyatuan dua insan manusia. Ada kultur yang menyatakan, "
Pasangan hidupmu adalah setengah dirimu yang lain." Ada juga yang mengungkapkan, "
Pasangan hidupmu adalah dirimu yang lain." Ada juga ajaran agama, tradisi dan pengertian yang menyatakan, "
Seorang laki-laki atau perempuan pergi meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengan pasangannya."
Meninggalkan OrangtuaApa arti meninggalkan orangtua? Banyak dari kita karena berbagai hal, walaupun sudah membentuk sebuah keluarga, tetap tidak mengerti arti meninggalkan orangtua. Ketika masih anak-anak, kita sepenuhnya dalam bimbingan orangtua. Ketika mulai beranjak dewasa, kita sudah mulai, memutuskan sendiri, mulai hidup sendiri. Ketika kita membentuk keluarga baru, kita benar-benar membentuk keluarga baru, yang berdiri sendiri. Sebuah keluarga.
Sudah barang tentu, orangtua kita tetap menjadi keluarga kita. Tapi saat kita menikah kita membentuk keluarga baru yang terpisah dari keluarga kita yang lama. Bukan berarti dengan terpisah, hubungan menjadi tidak ada. Dalam ajaran agama tertentu, seorang isteri harus lebih patuh kepada suaminya daripada kepada orangtuanya. Ajaran ini mau menekankan bahwa hubungan suami-isteri lebih tinggi nilainya daripada hubungan dengan orangtua.
Tapi apa yang sering terjadi? Banyak keluarga yang hidupnya selalu diatur oleh orangtua atau mertua. Kebanyakan orangtua berkata mereka mengatur anaknya yang sudah berkeluarga sebagai wujud cintanya? Benarkan demikian?
Saya mengenal seorang ibu mertua yang setiap minggu mendatangi rumah putra dan menantunya. Rak piring dan susunan piring dalam rak pun, ibu mertua ini yang mengatur? Mengapa seorang mertua melakukan ini? Konon, ibu mertua melakukan ini karena beberapa hal. Biasanya ibu mertua beranggapan dirinya lebih baik mengurus keluarga. Juga anggapan yang mengatakan dia lebin pandai mengasuh anak. Memang ibu mertua lebih dahulu mengalami berkeluarga, mengasuh anak dan lain-lain, Mungkin juga memang ibu mertua lebih jago dibandingkan anaknya, tapi seorang tua tidak bisa mendikte anaknya untuk melakukan itu semua. Karena anaknya sudah membentuk keluarga baru.
Dalam pengertian yang lebih baik, sebuah keluarga yang dibentuk, segala keputusan harus dibuat oleh keluarga itu. Nasehat orangtua bisa kita dengar, tapi keputusan tetap dilakukan oleh keluarga itu, bukan oleh orang lain, termasuk orangtua.
Membentuk sebuah keluarga, memerlukan pembelajaran. Kita belajar dari pasangan dan dari anak yang dikaruniakan kepada kita. Kita belajar dari orang-orang yang sudah mengalami. Kita belajar dari orang-orang yang lebih berpengetahuan. Kita belajar dari orang-orang bijaksana.
Kita harus selalu menyanyai diri kita, arti berkeluarga yang seutuhnya. Pepatah Yahudi berkata, "Orang bijaksana adalah orang yang belajar dari siapa saja."
***
Fransiskus Nadeak
***