September 25, 2008

Suatu Malam di Bulan Ramadhan

Dalam bulan Ramadan tahun 2008 ini, beberapa kali sore menjelang malam, saya menyusuri jalan di kota saya tinggal. Jalan yang saya lalui dilalui banyak orang juga. Ingin rasanya melihat situasi kota. Situasi manusia yang mendiami kota. Pedagang martabak, nasi goreng, mi instan, goreng-gorengan, bandrek, pecel lele, telur setengah matang berjejer di pinggir jalan. Juga tukang tempel ban, penjual stiker, dan tukang taksi tak resmi, berlomba-lomba dengan semangatnya menyapa orang yang lalu lalang. Kadang-kadang ada juga yang menjual baju bekas yang kelihatannya masih cukup baru.

Sehabis azan Magrib, saya duduk minum teh manis hangat di salah satu warung. Kursinya hanya ada untuk empat orang. Ketika saya coba memulai pembicaraan dengan ibu penjual teh manis, mengapa ramai sekali yang jualan, dia berkata karena bulan puasa, jadi banyak yang mengelar dagangannya.

"Lho, Ibu tidak mudik?" tanyaku.
"Walah Mas, saya enggak bisa mudik ke Jawa Mas. Jawa Tengah." jawabnya.
"Tiket udah mahal sekali Mas. Kalau ada rezeki, mungkin tahun depan, atau tahun depannya lagi Mas. Itu pun kalau ada rezeki ya." Ditambahkannya, "Kalau orang-orang mudik bersilaturahmi dengan keluarga, kami cari rezeki dulu Mas, agar bisa bersilaturahmi kapan-kapan, di suatu saat." Saya melihat ketenangan dan kesungguhannya menyapa orang yang singgah di warungnya. Kulit wajahnya menampakkan letih, tapi ibu itu masih bersemangat. Doaku, semoga ibu dan keluarganya diberkati Allah, mendapat rezeki yang mencukupi untuk menghidupi keluarganya.
***
Semoga bulan yang suci ini membawa berkat, karunia, rahmat bagi kita semua.
Selamat Idul Fitri!
***
Fransiskus Nadeak

September 23, 2008

Roots and Wings - Nilai dan Kebebasan

"Two great things you can give your children:
one is Roots,
the other is Wings."

- Hodding Carter

Pertama sekali mengetahui ungkapan "Roots and Wings" ini, saya sangat kagum karena pilihan kata dan metaforanya. Kemudian beberapa minggu setelah kekaguman itu, saya berbagi cerita dengan beberapa orang yang kebanyakan sudah menjadi orangtua. Orangtua yang harus mengajari dan membimbing anak-anaknya. Pembicaraan berkisar tentang pendidikan, khususnya pendidikan anak-anak, lebih khusus lagi pendidikan anak yang dimulai dari rumah, dari keluarga, oleh ayah-ibunya. Baru kemudian pendidikan di sekolah.

Banyak orangtua mengeluh tentang anak zaman sekarang yang 'tidak seperti dulu'. Dulu katanya, siswa segan kepada guru. Siswa sangat menghormati guru-gurunya. Dari cerita-cerita, jika akan berpapasan di jalan, sering seorang siswa akan 'sembunyi' atau 'minggir' dulu, agar tidak berhadapan langsung dengan gurunya. Bisa dimengerti, siswa berlaku seperti itu bukan karena ketakutan, tapi karena rasa hormat kepada gurunya. Sebaliknya, anak sekarang dipandang tidak disiplin, gampang patah semangat, mudah putus asa, suka hura-hura, tidak mau mengambila tanggung jawab, tidak hormat kepada guru dan orangtua. Tapi benarkah demikian?

Setelah sekian lama saya merenungi ungkapan yang indah penuh makna itu, saya mulai dapat mencerna apa yang dimaksud dengan akar dan sayap itu. Awalnya mendapatkan ide itu dari seorang pendidik Jesuit Australia. Suatu saat, saya bercerita dengan seseorang yang sangat 'concern' dengan masalah itu. Dengan kebaikan hatinya, beliau kemudian mengirimi saya sebuah buku yang sangat luar biasa karya Jay B. McDaniel. Pemahaman saya semakin diperdalam dengan mendapatkan pencerahan yang sangat bagus dari Jay B. McDaniel.

McDaniel memulai tulisannya dengan cerita suatu kunjungan seorang rabi ke sekolah tempatnya mengajar, karena McDaniel mengajar khusus bidang agama-agama dunia. Rabi Eugene Levy diundang untuk berbicara dan mengajar di kelasnya. Tapi karena sesuatu yang tidak diingat McDaniel lagi, sampailah ke pembicaraan tentang kehidupan keluarga dalam lingkungan Yahudi. Rabi Levy menyampaikan gambaran 'akar' dan 'sayap' itu. Dan di situlah McDaniel mengetahui pertama sekali metafora itu. Secara bebas, pembicaraannya seperti ini:

Rabi Levy berkata, "Dalam mendampingi anak-anak, Engkau harus memberi mereka Akar dan Sayap. Engkau harus membuat anak-anak menanamkan fondasi yang kuat dan merasa aman. Tapi Engkau juga harus memberi kemampuan 'to think new thoughts, to feel new feelings, dan to be able to fly in new directions."

"Kalau kita beri anak itu sayap, bagaimana kalau dia lari lepas?", tanya McDaniel setengah bercanda, setengah serius.

"Dia tidak akan lari, karena dia punya akar yang menjaganya?", sahut rabi.

"Kalau memang lepas dan tidak kembali?", tanya McDaniel lagi. McDaniel langsung serius karena saat itu dia sedang membesarkan dua orang anaknya.

Kemudian rabi Levy berkata, "Engkau harus mengambil risiko itu." Rabi Levy melanjutkan, "Mungkin saja anak-anak mencederai akarnya dengan sayapnya. Tapi kita tetap harus memberi mereka sayap karena tanpa itu mereka tidak dapat bertumbuh; mereka mungkin seperti tercekik atau mati lemas. Jadi berikan mereka Sayap untuk terbang dan Akar sebagai penuntun untuk dipelihara. Untuk Itulah sebenarnya orangtua ada."

Rabi Levy berkata bahwa bukan dia yang meciptakan metafora itu. Metafora itu didapatnya dari teman, yang didapat temannya dari teman temannya.

Metafora itu sebenarnya bukan hanya di lingkungan anak-anak dan keluarga. Akar dan Sayap. Nilai dan Kebebasan, adalah hal yang sangat penting dan perlu perhatian terus-menerus dalam hidup kita terlebih sekarang ini.

Metafora 'akar' dan 'sayap' adalah gambaran yang harus dimiliki seorang anak dalam mengarungi kehidupan yang semakin mengglobal dan banyak tantangan ini. Dan itulah yang harus diberikan oleh orangtua, guru, dan para pendidik. Rabi itu berkata, bahwa seorang anak harus diberi 'akar' yang mencakup nilai-nilai mulai dari prinsip, ajaran, ritual, tatanan, akidah, iman. Setelah ini semua sudah ditanam, maka orangtua (juga guru, pendidik) harus memberinya sayap agar dia terbang melihat pemandangan dunia. Sayap adalah gambaran kebebasan.

Anak-anak dengan sayap kebebasannya harus bisa melihat pemikiran-pemikiran baru, belajar pandangan-pandangan baru. Anak-anak dengan akarnya harus memiliki nilai, grounded to the earth, to know where home is, menjujung tinggi etika dan moral, menghormati budaya dan nilai-nilai keluarga. Tapi tidak menjadi kaku dan tertutup. Mereka harus terbuka kepada hal-hal lain dan hal-hal baru; memiliki harapan, cita-cita, dan tujuan yang harus dituju.

Pembicaraan ini sangat singkat, tapi inilah sebenarnya inti pengajaran dan pendidikan. Memupuk tanah agar akar tertancap dalam tanggung jawab dan mengembangka sayap agar berpikir merdeka. Menanamkan akar nilai, dan mengepakkan sayap kebebasan.

***oleh Fransiskus Nadeak ***

September 22, 2008

Mencintai dengan Cara yang Salah

Beberapa bulan ini saya 'menemani' sebuah keluarga yang bermasalah. Bermasalah di sini bukan dalam pengertian negatif. Memang betul, keluarga ini punya sedikit hambatan relasi antara orangtua dan anaknya. Anaknya sudah menikah dan sudah dikaruniai seorang putri.

Keluarga ini konflik frontal. Sang ibu sering ada mulut dengan anak dan menantunya. Sampai-sampai, sudah tiga bulan terakhir, mereka tidak saling menyapa. Sebelumnya, kalau mereka adu mulut, menantu yang menggendong bayi mungilnya sering berakhir dengan menangis meraung-raung dan diikuti tangisan anaknya yang semakin keras pula.

Selama menemani keluarga ini, dan mendengar mereka bercerita, bahkan kadang-kadang dalam suasana emosional, tampak bahwa mereka sebenarnya saling memperhatikan dan menyayangi. Tampak bahwa mereka sebetulnya ingin saling menolong. Ibu mertua ingin membantu menantuanya. Menantu ingin memperhatikan ibu mertua. Tapi mengapa 'sakit hati' yang berkepanjangan ini selalu terjadi?
***
Sebenarnya banyak pertentangan, konflik, antara orangtua dan anak, bukan karena mereka tidak mencintai, tapi justeru karena sangat mencintai, tapi tidak tahu caranya, atau dengan cara yang salah.
***

Terkenal tapi Kesepian

Kita sering mendengar seseorang yang kelihatannya gembira, penuh sorak sorai, penuh tawa, glamour, tapi benar-benar kesepian. Untuk kasus seperti ini sering menjadi contoh adalah seorang model, membintangi banyak film, incaran fotografer, dan yang lebih populer sebagai simbol seks. Dialah Marylin Monroe. Marylin Monroe selalu hidup dalam histeria fans, tapi hidup selalu kesepian dan meninggal pada usia 36 tahun dalam kondisi minum obat bius, dan diduga mati bunuh diri.

Tapi itu adalah kisah lama. Baru-baru ini, Oprah Winfrey menampilkan orang yang mengalami seperti Monroe. Orangnya adalah David Cassidy. Di acara The Oprah Winfrey Show, ditampilkan David Cassidy dengan pengakuannya yang jujur, yang sebelumnya dia tidak memberi tahu ke publik.

David Cassidy (lahir 1950) mencapai puncak ketenarannya dengan bernyanyi tahun 70-an. Dia bercerita bahwa saat itu dia mulai menjadi asing bagi dirinya. Setiap saat dia dikerumuni orang-orang. Gadis-gadis muda mengejar-ngejarnya. Dia tidak bisa ke restoran sendiri. Dia selalu dipuja-puja.

Dia ingin berkencan, tapi tidak bisa lagi. Padahal gadis-gadis yang mengejarnya ingin 'berkencan' dengannya. Dia tidak bisa hidup normal lagi. Banyak benda-benda menampilkan gambar-gambarnya. Bungkus permen karet, kartu-karu ucapan, kemasan makanan, sampul buku, gelas-gelas minuman, menampilkan gambar-gambarnya. Dan akhirnya hidupnya terisolasi. Dia kesepian dan benar-benar menyesakkan jiwanya.

Dia berhenti bernyanyi dan tidak tampil lagi di hadapan umum pada saat usianya 25 tahun. Dia ingin hidup normal. Ketika berhenti pada usia itu, dia mengatakan walaupun saat itu usianya 25 tahun, tapi secara emosional usianya 19 tahun.

Ketika hilang mendadak, banyak penggemarnya yang menduga, Cassidy marah karena sesuatu. Penggemarnya menduga dia berhenti karena penggemarnya sudah keterlaluan dan sudah tanpa batas. Tapi saat acara Oprah itu, dia tampil gembira, matang, dan kelihatan cukup bijaksana, bahwa dia berhenti bukan karena dia marah. Tapi karena dia saat itu benar-benar asing dengan dirinya dan selalu kesepian.

Ketika Oprah bertanya, berapa lama waktu yang diperlukan agar kembali normal, Cassidy menjawab, sekitar 10 tahun. Cassidy mengatakan, bahwa sangat sulit menjadi manusia normal. Cassidy mengatakan mengapa dia berhenti dari ketenaran, dan puja-puja, karena ingin melanjutkan hidupnya.
---
Frans. Nadeak

Percaya yang Baik


Pernah menonton The Cosby Show? Itulah acara televisi yang sangat populer tahun 80-an. Acara itu sangat banyak penontonnya. Saya menontonnya setelah beberapa tahun disiarkan salah satu stasiun televisi negeri kita. Bahkan acara paling favorit televisi sepanjang 5 tahun berturut-turut di Amerika Serikat, mulai tahun 1985-86 sampai dengan tahun 1989-90.

Acara dengan menampilkan keluarga Huxtable, sebuah keluarga menengah-atas dengan Bill Cosby sebagai kepala keluarga. Keluarga itu menampilan kejadian-kejadian biasa pada sebuah keluarga, tapi 'dikemas' menjadi cerita menarik dengan komentar-komentar unik dan sering tidak terduga, yang membuat sesama anggota keluarga tertawa dan gembira. Memang acaranya adalah komedi. Tapi bukan hanya keluarga saja yang tertawa, utamanya penonton. Tampak, bahwa keluarga itu terbuka dan demokratis.

Keluaga Cosby berkulit berwarna, atau tepatnya adalah berkulit hitam atau negro. Di Amerika, warna kulit inilah yang sering menjadi bahasan. Sering acara itu dikritik. Yang mengkritik biasanya justeru bukan kulit putih atau orang-orang hispanik. Tapi dari kalangan kulit hitam sendiri.

Banyak komentar bahwa acara itu adalah ilusi dan mengejek negro sendiri, karena banyak anggapan, bahwa tidak ada kehidupan orang negro seperti itu. Kehidupan seperti itu adalah mimpi. Kehidupan seperti itu tidak menggambarkan yang kehidupan para keluarga kulit hitam yang sebenarnya. Keluarga Cosby selalu dalam suasana keakraban, kehangatan, dan kegembiraan. Umpama, sering terjadi seorang anak melakukan kesalahan atau melanggar peraturan, tapi cara ibunya melihat anak yang melakukan kesalahan menyebabkan anak mengaku, dan ibunya memaafkan dengan melihat dengan hati seorang ibu, sehingga mereka akrab lagi.

Memang suasana itu adalah dalam acara televisi atau katakanlah fiksi. Tapi mengapa banyak keluarga negro Amerika mengejeknya? Memang kejadian seperti itu saat itu sangat langka dan mungkin bagi orang kulit hitam sendiri jarang melihat bahkan mungkin tidak pernah melihat keluarga yang hidup seperti itu.
***
Bukan berarti jika kita belum pernah melihat keluarga bahagia, lantas kita menyimpulkan tidak ada keluarga yang bahagia. Atau menyimpulkan tidak mungkin keluarga seperti itu. Mengapa kita tidak mempercayai yang baik? Membentuk keluarga seperti itu sangat mungkin dan harus menjadi harapan. Dab sebetulnya sangat banyak keluarga bahagia di bumi ini. Kita harus mempercayai sebuah keluarga bisa rukun dan gembira, walaupun kita belum mengalami atau melihatnya. Kita harus tetap percaya kepada yang yang baik, walaupun pengalaman kita tidak selalu baik.
***
Fransiskus Nadeak

September 18, 2008

Menerima Tubuh Kita

Saya pernah terkejut melihat foto seseorang gadis di sebuah acara televisi.

Itu terjadi saat saya menonton acara The Oprah Winfrey Show yang menampilkan seorang gadis berusia 21 tahun. Dia sudah lebih daripada 20 kali melakukan operasi pada tubuhnya. Operasi plastik dilakukannya pada beberapa bagian tubuh. Ada yang sudah lebih satu kali pada bagian tubuh yang sama.

Waktu gadis itu ditampilkan dan diajak omong-omong oleh Oprah, dia memang kelihatan cantik. Tapi sepanjang acara dia merasa tidak cukup cantik. Dia kelihatan selalu gelisah dan berkali-kali mencurahkan air mata karena sedih. Sebelum memulai operasi pertama sekali pada bagian tubuhnya, dia merasa sangat tidak cantik. Setelah operasi juga perasaannya sama, sehingga melakukan operasi lagi dan lagi.

Dia sedih karena tidak merasa cantik, dan tidak bisa berhenti untuk melakukan operasi lagi. Dia mengaku seluruh bagian tubuhnya juga sudah mulai kaku. Sehingga gerakannya juga semakin terbatas dan tidak elastis. Saat acara, dia sering menarik-narik napas seperti baru mengeluarkan ingus. Saat itu dia juga bercerita bahwa batang hidungnya sudah seperti kayu. Hidungnya seperti diletakkan atau ditempel saja pada tubuhnya. Dia beberapa kali bersin dan mengaku agak sesak bernapas.

Kembali ke foto yang membuat kaget tadi. Pada bagian penghujung sesi dengan gadis ini, Oprah menampilkan foto terbaru gadis ini tentu setelah operasi lebih daripada dua puluh kali itu. Pipinya dan hidungnya kelihatan agak berkilau seperti lilin. Berikutnya, Oprah menampilkan foto lain gadis ini, di samping foto yang baru tadi. Pemirsa acara dan gadis itu sendiri, termasuk saya kaget dan terpana melihat fotonya sebelum operasi: dia sangat manis dan cantik, bahkan lebih jelita.

Mengapa dia harus mengoperasi plastik bagian-bagian tubuhnya? Dan kalau kita duga, berapa biaya yang sudah dia bayar untuk membiayai operasi plastik yang mahal dan berulang kali ini?

Para wanita sering membenci tubuh mereka, merasa malu terhadap tubuh mereka sendiri. Masyarakat mengajarkan mereka dinilai berdasarkan penampilan mereka. Lingkungan menggembar-gemborkan kecantikan sebagai hal yang paling menentukan hidup wanita. Media massa khusunya televisi menawarkan seluruh produk dan alat-alat kecantikan. Iklan selalu menggoda agar wanita tidak tenang dengan dirinya. Penampilan mereka akan menentukan siapa diri mereka.

Rabi Harold Kushner, yang tinggal di Boston, pernah menanyai seratus orang perempuan dan bertanya bagaimana perasaan mereka tentang penampilan, rambut, dan bentuk tubuh mereka. Kushner menebak 95 sampai 100 orang dari mereka akan mengungkapkan ketidakpuasan.

Akhirnya, Harold Kushner* berkata bernada kritis, tetapi menarik, "Semua industri -- pakaian, kosmetik, parfum, makanan rendah kalori, buku-buku terlaris tentang diet, oprasi plastik, klinik penurunan berat badan -- telah dibangun berdasarkan rasa malu perempuan terhadap penampilan mereka, hingga seseorang pernah berspekulasi bahwa jika seluruh perempuan Amerika bangun setiap pagi dengan perasaan puas terhadap tubuh mereka, maka perekonomian Amerika akan runtuh."

*Harold Kushner, 'How Good Do We Have to Be? A New Understanding of Guilt and Forgiveness'
---
Fransiskus Nadeak

We are Born Weak

"In real life, as every parent knows,
children are born fragile, born needy,
born ignorant, born uninformed,
born weak, born unimaginative
."
- Benjamin R. Barber


Pernah memiliki hewan peliharaan di rumah? Di kota banyak yang memelihara anjing dan kucing. Di pedesaan atau pedalaman, mungkin juga di luar kota, hewan peliharaan biasa kita temui. Sapi, kuda, kerbau, kambing merupakan binatang peliharaan banyak dimiliki masyarakat kita. Bahkan di beberapa tempat, babi berkeliaran di desa penduduk, hidup sebagai hewan yang dipelihara seperti ayam.

Tapi pernahkah memperhatikan ketika ibu hewan itu melahirkan anaknya? Lebih lagi, bagaimana bayi hewan itu hadir di dunia ini setelah hidup beberapa bulan dalam rahim ibunya? Kita perhatikan misalnya sapi, ketika ibunya melahirkan anaknya, anak sapi baru ini sudah cukup kuat untuk langsung 'gompang' dalam bahasa Bataknya. Gompang adalah posisi seperti tengkurap tapi leher dan kepalanya tegak. Dan sapi melahirkan sendiri tanpa bantuan sapi atau sapi-sapi lain.

Babi melahirkan anaknya juga hampir sama, bahkan biasanya lebih banyak anaknya. Bayi babi yang baru lahir kadang-kadang sudah bisa bergerak normal, berjalan, berlari-lari kecil dan berguling-guling berlomba-lomba mau menyusui. Secara naluriah anak sapi akan dengan cepat mengetahui jenis makanannya, rumput.

Bagaimana dengan bayi manusia? Setelah beberapa bulan, bayi manusia akan memasukkan apa pun yang bisa dijangkaunya, dipegangnya, memasukkannya ke mulut, dan mungkin menelannya.

Dibandingkan binatang yang baru lahir, bayi manusia lahir sangat lemah. Secara fisik bayi manusia juga sangat rentan terhadap kondisi alam. Bahkan sepertinya, dibandingkan dengan bayi hewan lain, bayi manusia lahir prematur.

Seorang manusia lahir sangat membutuhkan manusia lain. Keterikatan kita dengan manusa lain, bukan hanya simbol atau semboyan. Bayi manusia pada minggu-minggu awal kehidupannya di dunia ini bahkan tidak bisa melihat. Kebutuhan bayi manusia agar dia selamat dan hidup, semuanya diberikan oleh orang lain. Dia hidup, mutlak karena pemberian orang lain, mutlak karena cinta orang lain. "We need each other and cannot survive alone." Tapi kita sering melupakannya dan tidak menyadarinya lagi. "We are born belonging to others."
---
Frans. Nadeak

September 16, 2008

Kesenangan dan Kebahagiaan

"Pleasure may come from illusion, but
happiness can come only of reality."
- Nicolas Chamfort
&&&
"Action may not always bring happiness; but
there is no happiness without action."
- Benjamin Disreali


Kita sering confuse memahami kesenangan dan kebahagiaan. 'Kesenangan' dan 'kebahagiaan' membingungkan bagi kita, dan karenanya mungkin mengakibatkan pengertian yang keliru. Banyak orang menyamakan kesenangan dengan kebahagiaan, menganggap kesenangan sebagai kebahagiaan, dan sebaliknya. Kalau begitu, apa itu kesenangan dan kebahagiaan?

Coba ingat, hal-hal yang mungkin pernah kita lakukan, misalnya: main game berjam-jam; melihat pemandangan alam yang indah; makan minum enak di restoran; tidur-tiduran sampai tengah hari Sabtu karena libur; menonton sinetron kesukaan di televisi.

Coba ingat lagi jika pernah, misalnya: menolong seorang anak belajar matematika, sehingga dia bergembira dan dapat menyerap ilmunya; membesarkan seorang anak dengan penuh perhatian; memberikan bantuan rutin kepada seorang siswa yang tidak mampu; mendamaikan satu keluarga yang hampir cerai-berai menjadi rukun bersatu; menjadi teman berbagi bagi seseorang yang punya masalah serius; membina relasi yang baik dengan seseorang, teman, tetangga, atau orangtua.

Bagaimana kita memaknainya? Semua kegiatan yang bagian pertama menyenangkan dan membantu kita untuk santai. Mungkin masalah-masalah terlupakan sebentar, dan mungkin bisa membuat kita tertawa. Itulah kesenangan. Dan semua aksi yang kedua termasuk yang mendatangkan kebahagiaan. Kesenangan merupakan apa yang kita alami selama berlangsungnya kegiatan itu. Sedangkan kebahagiaan adalah apa yang kita alami setelah tindakan. Bisa dikatakan, kebahagiaan lebih mendalam dan menetap.

Sering juga kita beranggapan bahwa kehidupan yang menyenangkan dan bebas dari penderitaan, itulah kebahagiaan. Padahal, untuk menuju kebahagiaan, sering melibatkan kesulitan, kesusahan, dan sejenisnya. Dan karenanya banyak orang yang menghindarinya dan akibatnya semakin jauh dari kebahagiaan. Sebagai gambaran, sebuah keluarga yang memiliki anak mulai dari kandungan, membesarkannya sejak bayi, anak-anak, remaja hingga dewasa. 'Penderitaan' membesarkan anaklah yang mendatangkan kebahagiaan orangtua. Bandingkan dengan sebuah keluarga, misalnya tiba-tiba, mendapatkan seorang anak pada saat anak sudah berumur misalnya 20 tahun.

Kesenangan itu sementara, dan tidak perlu banyak usaha. Kebahagiaan berlangsung lama, mungkin sampai akhir hayat. Kebahagiaan membutuhkan usaha. Aeschylus berkata, "Happiness is a choice that requires effort at times." Walaupun kebahagiaan tidak terdiri dari kesenangan-kesenangan, tapi kebahagiaan bukan berarti meniadakan kesenangan-kesenangan. Kebahagiaan mungkin terjadi dalam peristiwa-peristiwa menyenangkan. Tapi kesenangan bukan prasyarat kebahagiaan.

Kebahagiaan merupakan juga mengandung dimensi intelektual. Bukan seluruh aksi intelektual merupakan kebahagiaan, tapi aksi kebajikan yang bermuara pada kebahagiaan itu. Dengan demikian kebahagiaan berkaitan erat dengan pikiran dan dunia batin seseorang. "Happiness is an inner state of well being. A state of well being enables you to profit from your highest: thoughts, wisdom, intelligence, common sense, emotions, health, and spiritual values in your life," demikian kata Lionel Ketchian.

Kebahagiaan sejatilah yang menjadi tujuan hidup manusia dan yang harus dicarinya dalam hidupnya. Dan itu terjadi dalam tindakan-tindakan kebaikan, kebajikan, dan keutamaan-keutamaan hidup. "Orang yang paling bahagia adalah orang yang menyentuh kehidupan pada sebanyak mungkin titik," kata Theodore Roosevelt.

Albert Einstein, filsuf dan ahli fisika yang terkenal itu pernah menuliskan, "If you want to live a happy life, tie it to a goal, not to people or things." Pertanyaannya adalah, "Apa yang menjadi tujuan hidup Anda?"
---
Fransiskus Nadeak
***

September 12, 2008

Memilih Calon Legislatif dan Eksekutif


Saat ini adalah masa-masa kampanye. Partai menampakkan dirinya kepada masyarakat lewat spanduk-spanduk, brosur-brosur, gambar-gambar, lembaran-lembaran, stiker, dan macam lagi jenisnya. Yang paling menarik adalah gambar-gambar dan pidato-pidato calon legislatif atau eksekutif.

Gambar-gambar

Cara yang paling mudah agar dikenali masyarakat adalah memajang wajah di billboard di samping jalan besar atau di persimpangan jalan. Sebetulnya tujuannya adalah supaya dikenal, tapi apakah dengan melihat gambar orang-orang yang menjadi calon pemilih bisa mengenal? Sepertinya ini hanya untuk tujuan praktis dan instan.


Sebetulnya agar calon legislatif atau eksekutif dikenal oleh masyarakat, alangkah baiknya mereka sudah dikenal lewat cara yang mulia. Artinya dikenal masyarakat lewat karya-karya yang sudah dilakukan. Yang paling penting adalah yang sudah dilakukan. Jadi masyarakat mengenal calon dengan layak dan semestinya. Sudah ada acuan dan track record-nya.


Mengapa? Jika seperti janji-janji kampanye, "Nanti jika saya terpilih, maka saya akan....". Ini bisa menjadi tanda kebohongan. Apalagi kalau janji-janji yang tidak mungkin dilakukannya sendiri. Seseorang yang memegang jabatan politik, maka sistem yakni hukum dan perundang-undangan mengatur eksekutif atau judikatif untuk melakukan sesuatu program. Maka terlalu banyak hal yang dijanjikan oleh calon legislatif atau eksekutif yang bisa menjadi utopia. Karena program yang dijanjikan sebenarnya sudah agak mustahil untuk dilakukan.


Alangkah baiknya, seseorang calon legislatif atau eksekutif yang ikut dipilih dalam pemilu, dikenal masyarakan pemilih setelah melakukan sesuatu yang membuat masyarakat pantas memilihnya. Artinya, sepatutnya masyarakat mengenal calon karena karya yang sudah ditunaikan. Dengan begitu masyarakat sudah mengetahui kualitas, integritas calon. Artinya karya baik atau mulia yang sudah dilakukan otomatis diketahui, dinilai, dipuji, dan dikenang masyarakat. Karya itu menjadi 'kampanye termulia', di mana masyarkat sudah yakin akan proses dan hasilnya. Tidak ujuk-ujuk, terpampang foto-foto yang dilengkapi dengan nama. Padahal rakyat menjadi kaget tiba-tiba ada tokoh dadakan yang tidak dikenal dalam pengertian yang sebenarnya.

*****

September 11, 2008

Pengubah Dunia


Ada tiga, di samping yang lain tentunya, yang paling banyak mengubah dunia ini. Ketiganya adalah pemikir, seniman, dan penemu. Ketiganya sangat mempengaruhi dunia ini berjalan, manusia berperilaku dan bertindak.

Penemu, kita sudah tahu hasil dan akibatnya. Mulai dari mesin ketik, kertas, fotokopi, mesin uap, kain, telepon, sampai saat sekarang ini, internet. Belum lagi, penemu dan pendiri agama-agama yang pengikutnya sangat banyak dan antusias.

Yang kedua, seniman. Seniman melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat manusia kebanyakan. Lukisan, musik, patung, novel, bahkan syair dihasilkan oleh seniman menjadi karya yang orisinil. Seniman membuat dunia ini menjadi dan semakin indah. Bahkan konon, semua hal bisa dipelajari di dunia ini, kecuali penyair. Tentu kita bisa belajar membuat syair, tapi menjadi penyair, sepertinya penyair 'diciptakan'.

Yang ketiga, pemikir. Buku-buku tentang bisnis pun sekarang banyak mengutip tulisan-tulisan para pemikir. Karya-karya para filosofer, para filsuf mengubah cara berpikir manusia, menciptakan perpektif.

Dan katanya juga, bagi pemerintah otoriter, ada beberapa yang ditakutkan. Walapun pemberontak tidak dikehendakinya, tapi yang paling ditakutkannya adalah filsuf dan seniman.

***

Mencari Makna: Telepon Genggam

Di tempat saya tinggal, sangat biasa dan lumrah orang-orang gonta-ganti handphone (HP). Untuk menyemarakkan bahasa Indonesia, kita gunakan saja pengganti handphone sebagai telepon tangan atau mungkin lebih afdol lagi dengan istilah telepon genggam.

Dan entahlah, saya termasuk orang yang tidak biasa gonta-ganti telepon genggam. Alasannya sederhana saja. Saya membeli telepon yang saya butuhkan, mungkin dengan tambahan sedikit pertimbangan lain. Pertimbangan karena pertumbuhan teknologi telekomunikasi ditunjang lagi pertambahan fitur-fitur teknologi seluler itu sendiri. Maka dapatlah saya tentukan telepon genggam yang memadai untuk kebutuhan.

Tapi banyak juga orang-orang yang memilih telepon genggam untuk kebutuhan sebanyak-banyaknya. Dan sebetulnya telepon genggam itu jadinya berfungsi lebih banyak dan lebih sering bukan lagi sebagai telepon. Alat itu berfungsi mulai dari radio, kamera, komputer, bahkan televisi. Dan memang nantinya sepertinya alat untuk bertelepon, berinternet, memotret, browsing menjadi satu saja. Tapi kita akan melihat bagaimana manusia memaknai dan bagaimana efektivitasnya nanti, setelah alat itu diciptakan dan dipakai umum.

Tentang gonta-ganti telepon genggam ada yang menarik ketika saya perhatikan pembicaraan beberapa orang. Ketika seseorang membeli telepon genggam, secepatnya dia membeli chasing baru. Chasing yang asli dilepas digantikan dengan chasing yang baru dibeli yang tentu tidak original. Jadi dia membeli telepon genggam tapi menggunakan perkakas yang tidak asli, padahal yang asli ada. Ada yang menarik di sini. Memang mungkin alasannya menggunakan chasing tiruan adalah untuk alasan ekonomis. Artinya, karena kegemaran gonta-ganti HP tadi, maka dia akan menjual HP itu lagi lengkap dengan asesoris yang original agar harga jualnya sedikit lebih tinggi, walaupun biasanya harga HP second jauh lebih murah harganya daripada yang baru walaupun penggunaannya belum lama. Dia menjual HP, mungkin karena sudah bosan atau karena keinginan untuk mengganti HP lagi dengan model baru.

Muncul pertanyaan, sebagai user, untuk apa sebenarnya HP itu? Untuk dibeli, jual, superfisial, atau memang untuk dimanfaatkan?

***

September 9, 2008

Pasangan Hidup

Ketika dua sejoli berjanji sehidup semati, saat itulah dimulai lagi hidup baru. Dua pasang dengan beraninya berjanji kepada dirinya, pasangannya, saksi, umat, bahkan kepada Allah. Janji setia seumur hidup, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, sampai maut memisahkan.

Dibanding keputusan yang penting dalam hidup, kebanyakan kita yang berkeluarga tidak terlalu mempersiapkan diri untuk menghadapi dan menjalaninya. Memang mungkin untuk menghadapi awalnya pernikahan dalam hal acara nikah, resepsi (kalau ada), dan adat (juga kalau ada) pasangan cukup mempersiapkan diri. Tapi bagaimana dengan menjalaninya? Apakah kita cukup mempersiapkannya?

Bagaimana pemahaman pasangan baru ini tentang sebuah keluarga? Mengapa seorang suami bisa dengan mudahnya marah dan berkata kasar kepada isterinya? Mengapa seorang isteri tidak cukup menghormati suaminya? Apa artinya dalam suka dan duka? Apa artinya dalam untung dan malang?

Arti Pasangan Hidup

Banyak pasangan membanyangkan dirinya, pada awal pernikahan sungguh-sungguh mencintai pasangannya. Tapi mencintai saat itu masih dalam bayangan dengan perasaan. Dan dibayangkan biasanya, hidupnya berdua saja. Tidak ada anak. Tidak ada orangtua. Tidak ada mertua. Jadi ketika seorang anak 'muncul', barulah pasangan mulai ada kesadaran.

Kesadaran akan makna hidup berkeluarga akan menumbuhkan kesadaran yang lebih tinggi. Kesadaran ini harus menciptakan pemahaman yang lebih baik lagi akan makna relasi suami-isteri, relasi orangtua-anak, dan relasi keluarga yang lain.

Untuk menyakralkan pernikahan, banyak bangsa membuat filosofi untuk menghormati penyatuan dua insan manusia. Ada kultur yang menyatakan, "Pasangan hidupmu adalah setengah dirimu yang lain." Ada juga yang mengungkapkan, "Pasangan hidupmu adalah dirimu yang lain." Ada juga ajaran agama, tradisi dan pengertian yang menyatakan, "Seorang laki-laki atau perempuan pergi meninggalkan orangtuanya dan bersatu dengan pasangannya."

Meninggalkan Orangtua

Apa arti meninggalkan orangtua? Banyak dari kita karena berbagai hal, walaupun sudah membentuk sebuah keluarga, tetap tidak mengerti arti meninggalkan orangtua. Ketika masih anak-anak, kita sepenuhnya dalam bimbingan orangtua. Ketika mulai beranjak dewasa, kita sudah mulai, memutuskan sendiri, mulai hidup sendiri. Ketika kita membentuk keluarga baru, kita benar-benar membentuk keluarga baru, yang berdiri sendiri. Sebuah keluarga.

Sudah barang tentu, orangtua kita tetap menjadi keluarga kita. Tapi saat kita menikah kita membentuk keluarga baru yang terpisah dari keluarga kita yang lama. Bukan berarti dengan terpisah, hubungan menjadi tidak ada. Dalam ajaran agama tertentu, seorang isteri harus lebih patuh kepada suaminya daripada kepada orangtuanya. Ajaran ini mau menekankan bahwa hubungan suami-isteri lebih tinggi nilainya daripada hubungan dengan orangtua.

Tapi apa yang sering terjadi? Banyak keluarga yang hidupnya selalu diatur oleh orangtua atau mertua. Kebanyakan orangtua berkata mereka mengatur anaknya yang sudah berkeluarga sebagai wujud cintanya? Benarkan demikian?

Saya mengenal seorang ibu mertua yang setiap minggu mendatangi rumah putra dan menantunya. Rak piring dan susunan piring dalam rak pun, ibu mertua ini yang mengatur? Mengapa seorang mertua melakukan ini? Konon, ibu mertua melakukan ini karena beberapa hal. Biasanya ibu mertua beranggapan dirinya lebih baik mengurus keluarga. Juga anggapan yang mengatakan dia lebin pandai mengasuh anak. Memang ibu mertua lebih dahulu mengalami berkeluarga, mengasuh anak dan lain-lain, Mungkin juga memang ibu mertua lebih jago dibandingkan anaknya, tapi seorang tua tidak bisa mendikte anaknya untuk melakukan itu semua. Karena anaknya sudah membentuk keluarga baru.

Dalam pengertian yang lebih baik, sebuah keluarga yang dibentuk, segala keputusan harus dibuat oleh keluarga itu. Nasehat orangtua bisa kita dengar, tapi keputusan tetap dilakukan oleh keluarga itu, bukan oleh orang lain, termasuk orangtua.

Membentuk sebuah keluarga, memerlukan pembelajaran. Kita belajar dari pasangan dan dari anak yang dikaruniakan kepada kita. Kita belajar dari orang-orang yang sudah mengalami. Kita belajar dari orang-orang yang lebih berpengetahuan. Kita belajar dari orang-orang bijaksana.

Kita harus selalu menyanyai diri kita, arti berkeluarga yang seutuhnya. Pepatah Yahudi berkata, "Orang bijaksana adalah orang yang belajar dari siapa saja."

***
Fransiskus Nadeak

***

September 8, 2008

Mencari Makna: Pernikahan

Saya selalu tertarik mengikuti dan mengamati acara pernikahan. Menariknya, bukan hanya saat resepsi, kegembiraan, nyanyi-nyanyi, dansa, atau pesta-pestanya. Tapi sangat menarik karena kata-kata yang pengantin berdua ucapkan.

Acara seperti ini sebenarnya bukan tontonan. Peristiwa ini mengingatkan orang yang sudah menikah juga akan janjinya 'dulu' sewaktu acara pernikahannya. Sering disebut, kita mengikuti acara pernikahan untuk mengingatkan kita akan janji nikah kita, atau memperbarui janji kita juga.

Mereka berjanji untuk hidup bersama dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, sependeritaan, seperjuangan, sampai maut memisahkan mereka. Mereka berjanji kepada diri sendiri dan pasangannya di hadapan pasangannya, orangtua, saudara, kerabat, orang lain yang acara, bahkan di hadapan Allah.

Kalau kita bayangkan, janji ini sebenarnya janji yang sangat luar biasa. Janji sehidup semati, seumur hidup. Tapi muncul pertanyaan apa yang sudah mereka persiapkan untuk janji itu? Pengetahuan apa yang harusnya mereka ketahui agar bisa bertahan dengan janji itu? Kekuatan apa yang mereka perlukan agar dapat menghadapi tantangan kehidupan?

Pernikahan di Ameria sekarang ini sangat tinggi persentase perceraian. Setengah dari pernikahan diakhiri dengan perceraian. Kalau apa arti janji setia?

September 5, 2008

Wonder dan Curiosity

"Orang-orang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi
tidak sekadar toleran terhadap ambiguitas;
mereka menyukainya dan tertarik untuk membedahnya."
- Martin E. P. Seligman

Keingintahuan merupakan jalan menuju kearifan. Begitulah yang pernah saya baca. Tapi, mengapa keingintahuan bisa membawa kita kepada kebijaksanaan? Itulah yang sering saya pikirkan. Apakah pikiran ini sudah sebuah bentuk keingintahuan?

Para pemikir, penemu, dan para ilmuwan mengembangkan gagasannya karena ingin tahu tentang suatu hal. Sebetulnya, keingintahuan ada dua yakni yang pasif dan aktif. Ada orang yang ingin tahu tentang suatu hal, tapi dia duduk di sofa dan hanya menonton televisi. Ini adalah yang pasif dan mugkin akan lekas menimbulkan kebosanan. Tapi ada lagi keingintahuan yang aktif, yang selalu mencari dan mencari lagi.

Dahulu orang mendalami dan mengembangkan filsafat dan ilmu pengetahuan karena rasa kagum atau takjub. Kagum akan ilmu pengetahuan, kagum akan indahnya alam, kagum akan luasnya langit dan gemerlapnya bintang-bintang, kagum akan keteraturan jagad raya dan kosmos, kagum atas luasnya ilmu pengetahuan itu sendiri.

Sekarang orang-orang banyak yang ingin tahu justeru karena ragu-ragu, bimbang, dan skeptis. Orang-orang bimbang, lalu ingin mencari informasi untuk meyakinkan dirinya atau orang lain. Orang-orang mengisi pikirannya dengan kesangsian-kesangsian. Orang-orang sangsi sistem ekonomi yang baik, sangsi tentang sistem sosial yang baik, sangsi tentang pemerintahan yang baik, sangsi tentang tata dunia yang baik, sangsi tentang yang benar dan salah, sangsi tentang eksistensi Allah, sangsi tentang makna hidupnya, bahkan sangsi kepada kewibawaan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ada juga orang-orang sekarang ingin mengetahui suatu hal karena sinis. Keinginan seperti ini menciptakan cara berpikir berakhir pada tindakan yang kurang justeru bertentangan dengan rasa ingin tahu sendiri.

Walaupun mendalami sesuatu adalah cara yang sangat cendekia, tapi cara dan motif kita mendalami itu adalah hal yang lebih penting lagi. Cara dan motif kita akan keingintahuan itulah yang mengarahkan kita kepada hikmat dan kebijaksanaan. Aristoteles berkata, "Wonder implies the desire to learn." Dengan cara takjub, heran, dan kagum; keingintahuan kita lewat belajar akan semakin menarik dan tidak membosankan. Mempelajari sesuatu karena kagum, akan menimbulkan kekaguman (baru) lagi. Kita akan mengetahui dengan semakin baik, lebih luas, lebih lengkap, dan lebih luwes. Sehingga sangat menggugah apa yang diatakan pepatah Yunani kuno, "Wonder is the beginning of wisdom."

-----

Fransiskus Nadeak