October 31, 2008

Start Reading

Kalau kita perhatikan, masyarakat kita termasuk yang cukup gemar membaca, tapi sebatas koran. Cukup banyak juga sedikit lebih serius, membaca tabloid atau majalah. Tapi bagaimana dengan membaca buku?



Pertanyaan itu sangat serius. Ada yang bilang masyarakat kita, entah karena apa, bukan tergolong masyarakat pembaca. Kebiasaan membaca yang sangat minim, membuat budaya membaca yang semakin memprihatinkan.

Saya jadi teringat, beberapa bulan lalu. Ketika saya ikut dalam rapat pembentukan panitia suatu kegiagan sebuah alumni perguruan tinggi. Jadi semua yang hadir adalah pernah kuliah (dan kebanyakan menyelesaikan kuliahnya). Walaupun saya tidak termasuk alumnus, saya beberapa kali diminta pendapat atau masukan tentang apa saja yang bisa memajukan ikatan alumni itu.

Saya bertanya ke beberapa orang dengan langsung. Artinya saya tanya saat-saat tidak membahas yang serius, biasanya saat minum-minum teh atau kopi sambil makan roti atau goreng pisang. Pertanyaan saya, "Siapa di antara teman-teman yang pernah membaca satu buku, seteleh selesai kuliah?

Saya heran dan takjub!!! Satu orang pun tidak ada yang membaca satu buku. Mungkin mereka tidak menjawab atau tidak terlalu serius untuk menjawab. Tapi saya yakin bahwa tidak satu pun yang menjawab membaca satu buku. Jangankan buku yang menjadi subjek waktu kuliah, buku semacam komik atau humor atau novel singkat, mengaku tidak ada yang membacanya.

Bagaimana kita mencermati kondisi yang seperti ini? Memang kita bisa mencari dan membaca hasil penelitian tentang budaya membaca ini. Atau sekalian, kita yang membuatkan penelitiannya. Tapi terlepas dari jawaban yang jujur atau tidak, bahwa kebiasaan membaca memang masih tidak terlalu akrab bagi teman-teman yang pernah menjadi mahasiswa atau mahasiswi itu.

Bagaimana kita mengetahui dengan baik suatu topik apabila tidak membaca bahasan (biasanya berbentuk buku) tentang topik itu? Jangankan membaca sesuatu yang kita gemari, bagaimana dengan mau memahami sesuatu dengan topik yang serius?

Sepertinya, kita harus mulai membaca!

Salam, Frans. Nadeak

October 29, 2008

Kata-kata

Sore ini, saya coba menuliskan yang sering terpikirkan hari ini. Itu dimulai dari tadi malam, tentang kesulitan banyak teman yang tidak bisa mengungkapkan apa yang ada dalam benaknya. Ketidakbiasaan yang sulit untuk mengungkapkan apa yang dialami, dipikirkan; intinya kesulitan mengungkapkan apa yang terlintas dalam pikirannya.

Pikiran ini dimulai ketika seorang teman akan mengumumkan sesuatu. Dia tidak mampu mengungkapkan secara lisan, "Untuk kegiatan kumpul-kumpul kita, mohon keluarga agar tidak terlalu repot dengan snack atau makanan yang akan disediakan oleh tuan rumah. Cukuplah air putih, atau setidaknya teh manis atau kopi hangat. Tidak perlu repot menyediakan makanan yang banyak apalagi makan berat (ini istilah untuk makan nasi, biasanya dengan tambahan lauk dan sayurnya). Jadi jika diminta akan menjadi tuan rumah, maka keluarga yang ditunjuk menjadi tuan rumah bagi pertemuan berikut atau berikutnya lagi, tidak perlu menolak, dan dengan sukarela langsung bersedia."

Itulah inti yang harus disampaikan. "Kerelaan menjadi tuan rumah, tanpa perlu 'repot-repot'." Tapi apa yang terjadi? Untuk mengungkapkan pengumuman atau pemberitahuan atau permintaan atau apa pun sifatnya, banyak orang yang kesulitan untuk menyampaikannya.


Kata-kata

Permasalahan mengungkapkan sesuatu dengan baik atau dengan gamblang sebenarnya bagian dari masalah kepercayaan diri. Tapi lebih dari kepercayaan diri, ada satu hal lagi yang sangat menentukan, yakni kemampun diksi (pemilihan kata), penggunaan kata-kata, yang semuanya bermuara pada kemampuan verbal.

Cukup banyak orang hanya menggunakan kata-kata dalam pembicaraannya sehari-hari, sama dengan kata-kata yang digunakannya seperti hari-hari kemarin dan kemarin dulu. Artinya, karena suatu kebiasaan, dalam keseharian hidupnya seseorang tidak menambah perbendaharaan kosakatanya.

Kebiasaan membaca yang minim, ketidakbiasaan mengamati sesuatu, kebiasaan berpikir yang sangat jarang, atau setidaknya ketidakmampuan berpikir memperparah penambahan jumlah kosakata yang dimiliki seseorang.

Cukup banyak orang yang setiap hari hanya menggunakan kata-kata yang biasa seperti 'bangun', 'mandi', 'sarapan', 'pakaian', 'kerja', 'bosan', 'capek', 'target', 'bos', 'pulang', 'tidur', 'menonton', 'televisi', dan hal-hal yang biasa dihadapi atau dilakukan setiap hari.

Bandingkan misalnya jika seseorang terpikir dengan kata-kata ini: 'hereditas', 'konvergen', 'transformasi', 'matriks', 'simultan', 'ramuan', 'spiritualitas', 'bertumbuh', 'berbuah', 'gemerincing', dan 'hegemoni'. Hanya dengan menyebutkan kata-kata ini saja, pikiran kita akan bergerak lebih luas dan berpikir lagi lebih dalam.


Keterbatasan kata-kata yang kita miliki, akan membatasi cara kita berpikir. Karena berpikir menggunakan kata-kata sebagai bahannya. Keterbatasan kita berpikir, akan membatasi kemampuan kita mengerti. Keterbatasan pengertian kita, akan membatasi kemampuan kita mengambil pilihan dan tindakan yang terbaik.

* Fransiskus Nadeak *, seorang pemikir.

October 22, 2008

Menjadi Manusia Merdeka

"One cannot make a slave of a free person,
for a free person is free even in a prison."
- Plato

Beberapa hari yang lalu, saya membuat tulisan singkat "'Roots and Wings' : Nilai dan Kebebasan." Cukup banyak teman yang merespons dan bertanya kepada saya untuk menjelaskan yang lebih lengkap, khususnya tentang 'Wings', tentang Kebebasan. Walaupun sebenarnya tujuan tulisan itu bukan untuk menjelaskan. Tulisan itu hanya sebagai pemikiran yang muncul karena mengetahui indah dan dalamnya metafora dan diksi "Roots" dan "Wings" itu.

Sebenarnya, dari Rabi Eugene Levy, sudah cukup jelas gambarannya. Beberapa teman lewat email, dan beberapa orang menelepon dan bertanya langsung apa arti kebebasan sebagai manusia. Untuk 'Roots' atau Nilai, mereka bisa mengerti arti dan penjelasan dari cerita itu. Juga, arti sebuah cerita memang harus kita cari sendiri. Makna sesuatu harus kita cari dan temukan sendiri.

Via telepon, ada yang sangat serius menanyakan bagaimanakah manusia yang bebas itu. Saya hanya memberi salah satu contoh, seorang manusia merdeka yang pernah hidup di bumi ini adalah umpama Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela. Dan sebetulnya banyak tokoh lagi, dan di sekeliling kita mungkin ada, atau setidaknya berusaha belajar dan mencoba menjadi manusia merdeka.

Tapi baiklah demi kebebasan yang kita cari itu, marilah kita sharing.

Apa Arti Kebebasan?

Orang-orang zaman (yang katanya) modern sekarang ini, sering memunculkan ungkapan-ungkapan, "Jadilah manusia bebas!" Tapi apa artinya bebas itu? Banyak orang beranggapan misalnya, negara Amerika Serikatlah sebuah contoh negara bebas. Itu ditandai dengan Patung Liberty-nya dan hal-hal lain yang sejauh pemahamannya tengang negara itu. Atau setidaknya bangsa itu, berusaha menanamkan paham kepada masyarakat, yang lahir di sana atau yang imigran, bahwa Amerika berniat selalu menjaga bebebasan manusia sebagai individu.

Dalam tradisi filsafat dan teologi, khususnya teologi moral, masalah kebebasan sangat erat dan dekat dengan kehendak bebas dan hati nurani. Tentu kita tidak mendiskusikan tentang kehendak bebas dan hati nurani ini di sini, tapi hanya sebagai gambaran untuk mendapatkan perspektif yang lebih baik, bahwa kebebasan itu sangat memerlukan pengertian yang cukup.

Agar kita bisa menjadi manusia yang merdeka, kita harus tahu apa arti merdeka. Apakah orang-orang yang menggelar acara yang namanya kebebasan berekspresi, berarti dia berarti orang yang bebas? Atau jargon-jargon popuper sekarang, jika seseorang sudah tahap kebebasan finansial, berarti dia sudah bebas?

Filsuf Prancis, Jean-Jacques Rousseu berkata, "Man is born free, but everywhere he is in chains." Sedangkan filsuf dan sastrawan Prancis Jean-Paul Sartre menegaskan bahwa manusia "condemned to be free" karena manusia selalu memiliki pilihan. Rousseau melihat bahwa sebenarnya setiap manusia, merdeka tapi karena hal-hal lain di luar dirinya, dia menjadi manusia yang belum atau tidak merdeka lagi.

Two Concepts of Liberty

Isaiah Berlin seorang sejarawan dan pemikir liberal pernah menyampaikan dua tipe kebebasan. Berlin membedakan kebebasan menjadi kebebasan negatif dan positif. Kebebasan negatif disebutnya dengan istilah 'freedom from' : 'bebas dari', dan kebebasan positif dengan istilah 'freedom to' : 'bebas untuk'. Kebebasan dari tekanan, kekerasan, perbudakan misalnya dan kebebesan mengembangkan potensi diri harus dimiliki orang-orang yang benar bebas. Kedua contoh itu adalah dua tipe kebebasan itu, dan biasanya itulah kebebasan universal yang menjadi hak-hak asasi manusia. Isaiah Berlin menyatakan kebebasan dari hambatan-hambatan untuk melakukan tindakan atau aksi yang biasanya oleh orang lain, dan kebebasan untuk melakukan tindakan atau aksi melalui daya pilihan sendiri untuk melakukan tindakan.

Jadi pencapaian kebebasan seseorang sangat ditentukan oleh lingkungannya atau hal yang di luar dirinya dan satu yang sangat penting lagi, di dalam dirinya. Dahulu, kebebasan dari luar atau lingkungan masih sangat dominan, walaupun di beberapa wilayah di dunia ini, masih terjadi pengekangan kebebasan oleh negara, pemerintahan, peraturan, dan alasan-alasan lain. Tapi sekarang ini di zaman yang semakin terbuka dan demokratis, hal yang paling mendesak dan perlu supervisi diri adalah kebebasan positig itu. Kebebasan yang dari dalam diri sendiri.

Self-Mastery

Kalau kita baca biografi orang-orang besar, mereka justeru besar, karena tantangan dan hambatan yang terjadi di luar dirinya. Hambatan dan tantangan yang terjadi itulah yang dihadapi dan diatasi, dengan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri. Kita menyebut orang-orang besar bagi orang yang mengarahkan hidupnya bagi orang lain, bagi kemanusiaan.

Nelson Mandela, saksi hidup pengampunan, yang tidak menyimpan kebencian terhadap orang-orang atau institusi yang memenjarakannya, menjadi besar, justeru karena pengalaman hidupnya. Nelson Mandela, saat masih muda, pemarah, gampang naik pitam, dan pendendam. Dia dipenjarakan puluhan tahun, bahkan masih meledak-ledak waktu masa awal di penjara.

Martin Luther King, Jr., seorang pendeta kulit hitam, membela hak-hak sipil warga Amerika Serikat, khususnya yang berkulit hitam, menghadapi kultur rasial dan hukum yang diskriminatif, akhirnya ditembak mati oleh orang yang membenci dia dan gerakannya. Pendeta Martin Luther King, Jr., terkenal dengan ungkapan "I Have A Dream", menjadi lagu yang pernah juga dipopulerkan oleh grup musik West Life. Termasuk juga golongan orang-orang besar seperti Dorothy Day, Uskup Agung Oscar Romero, Rosa Parks, Winston Churchill, Dalai Lama, Vavlac Havel, Lech Walesa, Albert Schweitzer, Bunda Teresa.

Tentu banyak juga orang besar, walaupun cukup banyak yang tidak menghadapi tantangan seperti itu, para pemikir zaman dulu, pelaku karitas, pembela orang-orang, orang-orang bijaksana, yang masih banyak kita tidak tahu. Termasuk ke golongan ini adalah Bertrand Russell, Albert Einstein, Socrates, Plato, Immanuel Kant, Soren Kierkegaard.

Setelah saya perhatikan, yang terjadi banyak pada manusia, yang menunjukkan kadar kebebasannya adalah mengenai pikirannya. Sering terjadi dan banyak manusia bukannya menjadi guru bagi pikirannya tapi malah menjadi korban dan budak pikirannya. Pikiran seseorang sangat menentukan tingkat kebebasan personalnya.

Orang-orang di atas yang kita sebutkan namanya termasuk orang yang bisa mengelola diri sendiri, mampu mengendalikan diri sendiri, mampu mendisiplinkan diri dan pikirannya. Kebebasan sangat ditentukan oleh kondisi batinnya dan dan menjadi master bagi kondisi dirinya, dalam menghadapi kondisi luar dirinya.

Menjadi manusia merdeka mengandaikan inner autonomy yang seimbang dan baik, yang berarti mengandung kemungkinan ini:

  • kemampuan bertindak rasional

  • kemampuan bertindak sesuai dengan nilai-nilai dirinya, suara hatinya

  • kemampuan bertindak sesuai dengan norma dan nilai universal (seperti kebenaran, keadilan, kebaikan, dan keutamaan manusia lainnya)

  • kemampuan bertindak independen dengan cara rasional dari desakan hasrat atau keinginannya.

Dalam mengembangkan spiritualitas, dikatakan bahwa kebebasan itu lebih karena pencapaian oleh manusia, bukan genetik bawaan lahir. Rudolf Steiner berkata bahwa, "acting in freedom is acting out of a pure love of the deed as one intuits the moral concept implicit in the deed." Mirip dengan itu, pemikir Jerman, penulis buku yang terkenal Small is Beautiful, E. F. Schumacher berkata bahwa kebebasan berada dalam diri kita, sehingga kita tidak dapat 'memiliki' kebebasan, tapi 'dapat membuat diri kita menjadi bebas."

###Frans. Nadeak





October 21, 2008

Mengapa Kita Merindukan Kampung Halaman?

Kalau saya ingat lagi masa kecil, selalu muncul kerinduan. Rindu akan kampung halaman. Tentu bagi orang yang lahir dan dibesarkan di kota, bukan berarti tidak memiliki kampung halaman. Tempat kita dilahirkan atau dibesarkan kita anggap saja sebagai kampung halaman, walaupun mungkin kota, misalnya Jakarta.

Tapi mengapa kita merindukan kampung atau kota halaman itu? Mengapa rindu masa-masa 'doeloe'?

Saya menduga karena kita memiliki kenangan di sana. Tapi kenangan yang bagaimana? Apakah semua kenangan menimbulkan kerinduan bagi kita?

Saya masih ingat sewaktu sekolah dasar (SD), saya harus memakai sepatu karet warna hitam. Sewaktu sekolah menengah pertama (SMP), saya masih ingat akan seragam putih-biru dan putih abu-abu. Tidak seperti yang lain yang negeri, SMP saya adalah swasta, dan siswa harus memiliki dua seragam, putih-biru dan putih-abu-abu. Putih-abu-abu digunakan setiap Senin dan Rabu. Saya masih juga ingat bagaimana, kami setelah pulang sekolah harus membersihkan ruangan kelas sendiri dengan jadwal masing-masing. Saya juga masih ingat bagaimana guru menghukum kami yang tidak disiplin, karena tiba terlambat atau tidak menyelesaikan pekerjaan rumah (PR).

Judul tulisan ini menjadi permenungan saya, setelah membaca cerita singkat yang ditulis Elie Wiesel. Elie Wiesel adalah salah satu yang lolos, korban kamp konsentrasi. Korban Holocaust, korban yang selamat dari kekejaman dan kebrutalan Nazi. Elie Wiesel menjadi pusat perhatian dunia ketika ia menuliskan pengalaman hidupnya dalam 'Night'. Bukunya sangat tipis, pernah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Wiesel, seorang Yahudi Romania, yang hampir kehilangan iman dan kemanusiaannya kerena pengalamannya yang sangat pahit dan getir. Pengalaman hidupnya sangat memilukan.

Pada tahun 1986, Panitia Nobel memberikan penghormatan kepadanya Nobel Perdamaian, karena perjuangannya akan kemanusiaan dan harapannya, dan tentu karena cerita-ceritanya.

Yang juga membahagiakan kita umat manusia adalah karena Elie Wiesel, menceritakannya kepada Dunia, juga kepada kita. Sebuah pelajaran berharga, yang telah menghancurkan jutaan manusia yang tidak bersalah. Sepantasnya karena pengalaman sepahit itu, tidak ada lagi manusia yang mau mencoba mengulanginya.

Konon salah satu yang membuat bangsa Yahudi bertahan adalah karena komitmen mereka mendongeng, ketekunan mereka bercerita.

Apa hubungannya kerinduan kampung halaman dengan kisah Wiesel ini? Saya akan mengutip tulisan Wiesel yang sangat dalam. Elie Wiesel mengawali novelnya, 'The Gates to the Forest'. Begini kisahnya:

Ketika Rabi Israel Baal Shem-Tov yang hebat melihat kesialan mengancam orang Yahudi, ia terbiasa pergi ke bagian tertentu hutan untuk bermeditasi. Di sana, ia menyalakan api, memanjatkan doa khusus, dan mukjizat pun terwujud, dan kesialan pun terhindari.

Kemudian, ketika muridnya, Magid dari Mezritch yang ternama, karena suatu alasan yang sama mendapat kesempatan untuk memohon pengampunan dari sorga, ia pergi ke tempat yang sama di hutan dan berkata, "Tuhan alam semesta, dengarkanlah! Aku tidak tahu cara menyalakan api, tetapi aku masih bisa memanjatkan doa." Dan sekali lagi mukjizat pun terwujud.

Lama sesudahnya, Rabi Moshe-Leib dari Sasov, guna menyelamatkan bangsanya sekali lagi, pergi ke hutan dan berkata, "Aku tak tahu cara menyalakan api, aku tak tahu doa, tetapi aku tahu tempat ini, dan ini harus cukup." Usahanya memang cukup, dan mukjizat pun terwujud.

Kemudian, tibalah giliran Rabi Israel dari Rizhyn untuk menanggulangi kesialan. Sembari duduk di kursi berlengan, dengan kepala di kedua tangannya, ia bicara kepada Tuhan, "Aku tak bisa menyalakan api, dan aku tak tahu doanya; aku bahkan tak bisa menemukan tempat itu di hutan. Yang bisa kulakukan adalah menceritakan kisah ini, dan ini harus cukup." Dan usahanya pun cukup.


Inilah kekuatan kisah, kehebatan cerita. Kita rindu kampung halaman, karena kita memiliki kenangan. Kenangan itu menjadi kisah kita sekarang. Pengalaman kita membentuk jati diri kita. Kisah yang diceritakan Wiesel menjadi ritual yang mengandung kerendahhatian, kepolosan, kejujuran dan ketekunan. Sejarah hidup kita, apalagi yang menjadi ritual kita, seharusnya membuat kita makin manusia, jika kita mampu memaknainya.

*** Fransiskus Nadeak***

October 17, 2008

The Shawshank Redemption: Film Paling Favorit

Saya cukup gemar menonton dan menikmati film. Saya juga menonton film yang menurut media atau iklan bagus. Tapi setelah saya tonton, yang kata 'media atau iklan' bagus, kebanyakan biasa saja. Pengertian bagus memang memerlukan banyak kriteria. Karena banyak kriteria, maka tentu akan sangat sulit menentukan ukuran sebuah film yang bagus.

Walaupun begitu, dari seluruh kriteria yang banyak, saya selalu memiliki pedoman, bahwa film yang bagus adalah yang membawa pesan. Pesan yang mengangkat manusia. Meninggikan nilai manusia. Film yang membangun jiwa kita, jiwa manusia, yang mendatangkan hormat akan manusia, menghormati martabat manusia.

Itu dari segi pesan film. Syukur-syukur juga filmnya bisa menghibur kita, menghibur dan membangun jiwa kita.

Saya biasanya menyewa film. Tapi beberapa saya sengaja membeli DVD filmnya (tentu yang original), sebagai apresiasi dan penghormatan kepada seluruh kru sampai film itu kelar dan di-release ke masyarakat. Beberapa film yang sangat bagus, sebagai wujud apresiasi dan penghormatan itu, saya beli dan saya hadiahkan kepada orang-orang istimewa. Dan ada yang sudah saya beri hadiah film itu berkali-kali, yakni film The Shawshank Redemption.

Kadang-kadang saya berpikir, jika sebuah film sangat menginspirasi, maka harga nominal sebuah film itu bisa sangat murah. Atau sangat tidak memadai dibandingkan dengan hasil atau manfaat yang saya dapatkan dari film itu. Mirip juga dengan apresiasi saya kepada penulis buku atau film, sering saya pikirkan, buku yang sangat mengilhami, dan tantangan yang sangat sulit untuk menuliskan sebuah buku bermutu, maka sangat sering 'harga' buku tidak sebanding (terlalu kecil) dengan 'nilai' buku itu. Demikian juga halnya dengan film yang bermutu.

Seperti awal tadi, banyak film digembar-gemborkan lewat media, tapi isinya sebenarnya tidak terlalu istimewa. Banyak juga yang menyatakan suatu film bagus, tapi memang bagus karena minatnya ada di sana, bukan karena film itu membawa pesan baik secara universal. Ada juga film yang kata orang bagus tapi hanya untuk alasan propaganda ideologi tertentu. Alasan seperti ini tidak universal. Tentu ada beberapa juga film yang bertemakan religi murni, tapi saya tidak tampilkan di sini.

Beberapa yang langsung teringat, film yang pernah saya tonton yang cukup baik dan membawa dan meciptakan pesan mulia dalam diri saya adalah, misalnya: Life is Beautiful, Saving Private Ryan, The Pianist, Doctor Zhivago, Pather Panchali, Schindler's List, Pan's Labyrinth, West Side Story, The Sound of Music, Ben-Hur, Scent of A Woman, Forrest Gump, Dances with Wolves, The Last of the Mohicans, Braveheart, Mystic River, Gladiator, Jaws, E.T. the Extra-Terrestrial, Moscow Does Not Believe in Tears, The Chronicles of Narnia, Finding Neverland, trilogi The Godfather, trilogi The Lord of the Rings, Gandhi, Hotel Rwanda, Billy Eliot, Erin Brockovich, A Beautiful Mind, Good Will Hunting.

Tentu masih banyak juga film yang belum saya tuliskan di atas. Ada juga yang bagus tapi bagus hanya sebagai film. Atau sebagai hiburan yang menggetarkan atau menegangkan seperti film-film thriller atau horor, misalnya Psycho dan Gangs of New York. Tapi kurang membawa pesan, walaupun film itu menyenangkan bahkan mendebarkan.

Terlepas dari masalah selera, kesukaan, dan kegemaran, dari semua film-film di atas, dilihat dari segi isi film, belum ada yang sebaik dan sehebat The Shawshank Redemption.

The Shawshank Redemption

The Shawshank Redemption, film tahun 1994, disutradari oleh Frank Darabont. Sangat banyak pencinta film, pemerthati film, komentator, kritikus film yang mmembuat peringkat atau ranking film ini sebagai 'the greates films of all time'. Film ini terinspirasi dan berdasarkan novel Stephen King, 'Rita Hayworth and Shawshank Redemption'. Banyak juga yang beranggapan, karena berdasarkan novel Stephen King, langsung menduga filmnya tentang horor atau kengerian. Tapi The Shawshank Redemption bukan bertemakan seperti yang biasanya menjadi cerita novel-novel Stephen King.

Ceritanya, seorang bankir muda, Andy Dufresne, dituduh dan akhirnya dijebloskan ke penjara karena membunuh isteri dan selingkuhannya. Dan di penjara inilah semua cerita film itu.

Filmnya unik karena tokohnya ada dua. Andy Dufresne dan Ellis Boyd "Red" Redding. Andy Dufresne diperankan oleh Tim Robbins dan Red oleh Morgan Freeman. Dan monolog atau cerita batin yang ditampilkan di film ini, justeru oleh Red, bukan Andy. Jadi Red menjadi 'story teller' dan yang diceritakan adalah Andy.

Karena sesuatu (...Anda harus menonton filmnya...:-))) Red berteman akrab dengan Andy. Dari cerita film dengan durasi lebih daripada dua jam, dan seluruh perbincangan mereka, akan tampak bahwa persahabatan mereka sangat menguatkan. Red adalah orang lama di tempat itu. Sedangkan Andy pendatang baru. Red sudah lihai memasukkan barang-barang masuk ke dalam penjara, dan sudah menjadi ahli dan spesialis mendatangkan barang-barang yang sebenarnya tidak boleh berada dalam penjara.

Persahabatan Andy dan Red semakin akrab, dan semakin menjadi dua sejoli. Red karena sudah terbiasa terpenjara, sudah mulai putus asa. Bahkan pembebasan bersayaratnya juga selalu ditolak. Jangankan memikirkan dunia yang indah, Red tidak memiliki pikiran kebebasan, tidak memiliki harapan.

Andy selalu menguatkan Red agar tetap bertahan, dan selalu berjuang untuk dirinya, untuk kebebasannya. Andy selalu menunjukkan cita-cita kebebasan. Andy selalu memberi harapan kepada Red dengan kata-kata, "Jika sudah bebas nanti...."

***
Film ini sangat fenomenal dalam pengertian yang sebenarnya. Bukan karena iklan atau gembar-gembor Hollywood. Setelah film ini di-release dan ditonton banyak orang, dengan cepat cerita menyebar, mengapa film sebaik dan sehebat ini tidak memenangi hadiah Oscar atau Academy Award.

Film ini adalah tahun 1994, dengen 7 nominasi Oscar. Walaupun begitu, yang menjadi film terbaik saat itu adalah Forrest Gump.

Ada juga baiknya, film ini tidak dihadiahi Oscar. The Shawshank Redemption membuktikan bahwa film terbaik, tidak harus ditentukan oleh hadiah Oscar dan tidak ditentukan oleh penilaian 'orang-orang Hollywood' tapi oleh para penontonnya.

Film ini sangat menginspirasi karena unsur-unsur: kecerdasan, ketenangan, ketekunan, kesabaran, HOPE, persahabatan, keberanian, 'entrepreneurship', Redemption, sangat mengilhami jiwa, sangat menghibur, dan hal-hal yang menghasilkan virtues oleh dan untuk manusia.

Selamat menonton dan selamat menikmati! :-)

Fransiskus Nadeak

October 14, 2008

Semua Jenis Perpeloncoan Harus Ditiadakan

Beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi dengan baberapa teman. Teman-teman kebanyakan berprofesi guru, dan semua pernah belajar dan kuliah di perguruan tinggi. Ada yang kuliah mengambil fakultas atau jurusan tertentu tapi mengajar bidang studi yang lain sekali dengan bidang yang dipelajari khusus sewaktu mahasiswa. Ada yang sudah bersertifikat Akta 4.

Profesi guru hanya boleh dijabat oleh para lulusan pendidikan keguruan dan mereka yang memiliki sertifikasi akta mengajar bagi lulusan pendidikan non-keguruan, maka pemilikan sertifikat akta mengajar merupakan keharusan bagi sarjana non-keguruan yang ingin berprofesi sebagai guru. Untuk menjadi guru, sarjana non-keguruan dipersyaratkan memiliki akta mengajar, yaitu "Akta 4", yang dapat dicapai melalui tingkat pendidikan sarjana ilmu keguruan dan pendidikan.

Memang guru sejatinya bukan hanya mengajar. Justeru yang paling penting adalah mendidik. Tapi tulisan singkat ini tidak membahas mengenai mengajar atau mendidik, dan juga bukan mengenai guru.

Setelah bercerita-cerita tentang ini-itu, sampailah kepada topik tentang perpeloncoan. Perpeloncoan di tingkat mahasiswa sampai tingkat sekolah menengah. Boleh dikatakan, hampir semua setuju dan mendukung perpeloncoan di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi. Khusus di perguruan tinggai, dalam pengertian serupa, mereka sangat setuju perpeloncoan dengan alasan pengenalan kampus. Ada juga yang beralasan untuk melanjutkan tradisi. Ada juga yang beralasan untuk menghormati senior.

Bagi saya alasan-alasan itu tidak masuk akal, tidak logis yang justeru terjadi di lingkungan kampus. Mengapa? Karena kita sudah tahu bahwa masa orientasi adalah masa pengenalan. Artinya karena di tempat belajar menjadi cendekia, maka pengenalan harus dibuat dengan cara cendekia pula. Untuk pengenalan fisik kampus, cobalah jelajahi bangunan dan material fisik lainnya. Dan itu semua bisa dibuatkan dalam bentuk buku pengenalan dan panduan. Ini bisa mencakup semua silabus atau jenis kurikulum. Juga semua orang yang terlibat di kampus mulai dari rektor atau ketua sampai dengan cleaning service sampai pengelola taman.

Berikutnya, anggapan perpeloncoan menjadi hal yang umum dan menjadi tradisi karena khusus yang mau kuliah di perguruan tinggi negeri, peraturan yang menyatakan, yang boleh ikut ujian saringan adalah lulusan tiga tahun terakhir. Jadi peraturan ini dianggap menjadi yang seharusnya syarat menjadi kuliah secara umum. Sebetulnya jangankan di perguruan tinggi negeri atau swasta, seseorang yang mau kuliah tidak boleh dibatasi usia.

Tentang Senioritas

Sering menjadi alasan mahasiswa atau kampus mengadakan perpeloncoan kerena senioritas. Artinya seorang mahasiswa baru menjadi junior bagi mahasiswa yang lebih dahulu. Tapi dari hakikat pendidikan dan tentang kuliah saja ini sebenarnya sudah tidak berlaku.

Karena seharusnya seseorang kuliah tidak perlu diwajibkan harus lulusan tiga tahun terakhir dari SMA atau SMU. Bagaimana misalnya seorang siswa baru mengambil fakultas atau jurusan psikologi, tapi dia sudah selesai dan menjadi sarjana teknik elektro. Siapa yang lebih senior menjadi mahasiswa dibandingkan dengan mahasiswa psikologi yang baru semester tiga? Apakah mahasiswa baru itu lebih junior? Di bidang apa? Umur? Menjadi mahasiswa? Dalam hal seperti ini, apa artinya senior? Dan yang lebih penting lagi, untuk apa?

Lagi pula, menjadi mahasiswa, masuk pertama tidak ada jaminan selesai lebih dahulu. Beragam masa yang digunakan mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya.

Perpeloncoan Harus Dihentikan

Di samping karena tidak bermanfaat, tidak mendidik, membuat bodoh, semua jenis perpeloncona harus ditiadakan dari kampus dan dari muka bumi ini. Perpeloncoan adalah pertunjukan kediktatoran, pembodohan, penipuan, cenderung mengarah kepada kekerasan. Tindakan perpeloncoan, sedikit pun tidak menunjukkan intelektual.
*** Fransiskus Nadeak***

October 6, 2008

Jangan Meremehkan Dirimu

Dalam mengisi liburan Idul Fitri kali ini, saya menyewa beberapa film untuk ditonton. Beberapa film baru, tapi ada juga film yang sudah pernah saya tonton beberapa kali.

Saya tidak menduga, bahwa film favorit yang saya saksikan berkali-kali, setiap saya tonton lagi, selalu ada saja yang terlewat. Seperti gumaman ini, "Wah, (adegan) ini dulu kok enggak ada."

Cukup sering, kita pernah menonton suatu film, setelah beberapa lama, mungkin dalam hitungan tahun, kita lihat dan ingat lagi judulnya, jangankan adegannya yang lupa, bisa sampai jalan cerita pun kita lupa. Mungkin muncul pertanyaan, "Lho film ini sudah pernah saya tonton, tapi mengenai apa ya?"

Saya menetapkan menonton dua film dalam suatu hari. Saya meminjam The Shawshank Redemption dan The Sea Inside (El Mar Adentro). Kedua film ini sama-sama nominasi hadiah Oscar, yang pertama tahun 1994 dan yang kedua tahun 2004. The Shawshank Redemption sudah berkali-kali saya tonton, dan sepertinya akan saya tonton lagi. The Sea Inside, baru saya tonton pertama kali. Sejujurnya, saya sudah beberapa kali membeli video film The Shawshank Redemption yang original. Sengaja memang, karena filmnya luar biasa, dan juga sebagai wujud terima kasih dan penghormatan saya kepada semua kru film itu.

Jadi ketika saya memiliki film itu dalam bentuk DVD yang asli, selalu ada saja yang meminjam lagi, dan dan 'baiknya' lagi, DVD film itu tidak pernah kembali. Jadi memang sepertinya bukan hanya untuk saya, untuk yang meminjam atau menonton film itu, juga luar biasa dan tidak terlupakan sampai lupa mengembalikan.

Entah kebetulan, kedua film itu ada pembicaraan dari satu orang kepada yang lain, "Jangan meremehkan dirimu!" Dalam The Shawshank Redemption, ungkapan itu disampaikan oleh Andy Dufresne kepada Red. Andy Dufresne diperankan Tim Robbins, dan Red oleh Morgan Freeman. Dalam The Sea Inside, disampaikan oleh pengacara berparas cantik Julia kepada Ramon Sampedro. The Sea Inside, film Spanyol (El Mar Adentro) yang berkisah tentang eutanasia. Ramon Sampedro diperankan Javier Bardem, dan Julia oleh Belen Rueda.

Andy Dufresne meneguhkan Red agar memiliki harapan, karena Red sudah dipenjara hampir tiga puluh tahun. Agar kalau dia nanti bebas agar berbuat sesuatu yang baik. Tapi Red tidak pernah berpikir tentang itu, bahkan kebebasan pun tak pernah terlintas dalam pikirannya. Red sudah terbiasa terpenjara. Red menjadi kehilangan harapan, apalagi setelah dua kali ditolak kebebasan bersyaratnya.

Julia menguatkan Ramon karena ketakutannya sendiri. Bahkan Ramon memiliki satu keinginan yang sangat hebat, agar dia mati saja, eutanasia. Julia menambahkan, "Ketakutan adalah senjata yang mematikan. Ketakutan membelengggu kebebasan berpikir. Jangan bertindak atas rasa takut!" Julia memberikan kekuatan agar Ramon memiliki harapan, karena memang Ramon mempunyai bakat yang tidak biasa, ditandai dari puisi-puisi yang dia hasilkan.

Andy menumbuhkan harapan Red, ketika Andy memberikan sebuah harmonika, alat musik yang sangat didambakan Red. Red teringat indahnya kehidupan dulu ketika anak-anak menjelang remaja memainkan harmonika. Dunia begitu indah untuk didiami. Tapi perjalanan hidupnya, mengungkungnya di penjara. Harmonika adalah simbol semangat muda ketika Red memainkannya saat belia. Harmonika ditiupnya dengan lagu-lagu kesayangannya.

Dalam setiap pembicaraannya dengan Red mengandung harapan akan kebebasan. "Red, jika kamu bebas nanti, ....". Bukan hanya menjadi kenyataan, harapan yang selalu dihembuskan Andy, menjadi impian yang terjadi, bahkan Andy dan Red sama-sama bebas dengan caranya masing-masing. Mereka bersatu kembali di 'negeri tanpa kenangan', negeri harapan semasa mereka di penjara, selama puluhan tahun

Kedua film itu mengajarkan kita agar tetap berharap. Mengajari kita agar tidak meremehkan diri sendiri. "Hope, trust, and friendship are among the most powerful of human values."


***
Fransiskus Nadeak
***

October 2, 2008

Selamat (Hari Raya) Idul Fitri

Dunia anak-anak adalah dunia yang mempesona. Anak-anak melihat sesuatu dengan takjub. Melihat sesuatu yang baru, dia pun ingin meraihnya. Kegembiraan, lari-lari kecil, berebutan sesuatu barang tapi bukan karena egois atau individualistis, tertawa gembira; menjadi sifat anak-anak yang khas.

Di hari Idul Fitri tahun 1429 Hijriah ini, saya teringat lagi akan bawaan ceria anak-anak ini. Saya tinggal di pinggir jalan besar sebuah perumahan. Pagi itu hari gerimis. Saudara-saudaraku berpakaian putih-putih bersih. Baru saja menunaikan Sholat Ied. Memang terasa hari itu pun tenang dan bening, penuh kedamaian.

Sekitar jam sepuluh pagi, mulai rombongan-rombongan kecil ada yang dua orang, tiga orang, juga enam orang. Bagi anak-anak, kegiatan ini merupakan kegembiraan yang mungkin tidak terlupakannya seumur hidupnya. Dia nanti akan datang ke rumah menyapa tuan rumah. Mereka datang karena hari ini adalah hari Lebaran. Terlepas dari arti sebenarnya Lebaran, tapi bagi anak-anak yang suci ini, Lebaran adalah keceriaan. Maka mereka datang mengucapkan "Selamat Idul Fitri!" dengan hati yang gembira. Dan mungkin juga mereka mengharapkan kue-kue kecil. Banyak juga yang mengharapkan oleh-oleh kecil berupa makanan yang sudah jadi dan sudah dibungkusi dalam plastik. Tapi cukup banyak juga anak-anak ini mengharapkan 'angpau'.

Sekali lagi, terlepas dari makna Idul Fitri bagi anak-anak, saya melihat kesucian hatinya. Dan saya yakin mereka datang mengunjungi kita, mengunjungi rumah kita adalah sebagai berkat bagi kita juga. Dan saya tidak mau menyurutkan kegembiraan hati anak-anak. Saya akan dan tetap menyambutmu semua dengan gembira juga.

Buat teman-temanku anak-anak, keceriaan, kegembiraan, kebersamaan, semangat telah mengingatkan saya juga akan masa anak-anak dulu, yang juga mengunjungi rumah-rumah keluarga untuk menyampaikan Salam dan Selamat Tahun Baru.
***
Anak-anak mengajari kita keceriaan, kegembiraan, dan ketulusan.
***
Selamat Idul Fitri!