Beberapa hari yang lalu, saya berdiskusi dengan baberapa teman. Teman-teman kebanyakan berprofesi guru, dan semua pernah belajar dan kuliah di perguruan tinggi. Ada yang kuliah mengambil fakultas atau jurusan tertentu tapi mengajar bidang studi yang lain sekali dengan bidang yang dipelajari khusus sewaktu mahasiswa. Ada yang sudah bersertifikat Akta 4.
Profesi guru hanya boleh dijabat oleh para lulusan pendidikan keguruan dan mereka yang memiliki sertifikasi akta mengajar bagi lulusan pendidikan non-keguruan, maka pemilikan sertifikat akta mengajar merupakan keharusan bagi sarjana non-keguruan yang ingin berprofesi sebagai guru. Untuk menjadi guru, sarjana non-keguruan dipersyaratkan memiliki akta mengajar, yaitu "Akta 4", yang dapat dicapai melalui tingkat pendidikan sarjana ilmu keguruan dan pendidikan.
Memang guru sejatinya bukan hanya mengajar. Justeru yang paling penting adalah mendidik. Tapi tulisan singkat ini tidak membahas mengenai mengajar atau mendidik, dan juga bukan mengenai guru.
Setelah bercerita-cerita tentang ini-itu, sampailah kepada topik tentang perpeloncoan. Perpeloncoan di tingkat mahasiswa sampai tingkat sekolah menengah. Boleh dikatakan, hampir semua setuju dan mendukung perpeloncoan di tingkat sekolah menengah dan perguruan tinggi. Khusus di perguruan tinggai, dalam pengertian serupa, mereka sangat setuju perpeloncoan dengan alasan pengenalan kampus. Ada juga yang beralasan untuk melanjutkan tradisi. Ada juga yang beralasan untuk menghormati senior.
Bagi saya alasan-alasan itu tidak masuk akal, tidak logis yang justeru terjadi di lingkungan kampus. Mengapa? Karena kita sudah tahu bahwa masa orientasi adalah masa pengenalan. Artinya karena di tempat belajar menjadi cendekia, maka pengenalan harus dibuat dengan cara cendekia pula. Untuk pengenalan fisik kampus, cobalah jelajahi bangunan dan material fisik lainnya. Dan itu semua bisa dibuatkan dalam bentuk buku pengenalan dan panduan. Ini bisa mencakup semua silabus atau jenis kurikulum. Juga semua orang yang terlibat di kampus mulai dari rektor atau ketua sampai dengan cleaning service sampai pengelola taman.
Berikutnya, anggapan perpeloncoan menjadi hal yang umum dan menjadi tradisi karena khusus yang mau kuliah di perguruan tinggi negeri, peraturan yang menyatakan, yang boleh ikut ujian saringan adalah lulusan tiga tahun terakhir. Jadi peraturan ini dianggap menjadi yang seharusnya syarat menjadi kuliah secara umum. Sebetulnya jangankan di perguruan tinggi negeri atau swasta, seseorang yang mau kuliah tidak boleh dibatasi usia.
Tentang Senioritas
Sering menjadi alasan mahasiswa atau kampus mengadakan perpeloncoan kerena senioritas. Artinya seorang mahasiswa baru menjadi junior bagi mahasiswa yang lebih dahulu. Tapi dari hakikat pendidikan dan tentang kuliah saja ini sebenarnya sudah tidak berlaku.
Karena seharusnya seseorang kuliah tidak perlu diwajibkan harus lulusan tiga tahun terakhir dari SMA atau SMU. Bagaimana misalnya seorang siswa baru mengambil fakultas atau jurusan psikologi, tapi dia sudah selesai dan menjadi sarjana teknik elektro. Siapa yang lebih senior menjadi mahasiswa dibandingkan dengan mahasiswa psikologi yang baru semester tiga? Apakah mahasiswa baru itu lebih junior? Di bidang apa? Umur? Menjadi mahasiswa? Dalam hal seperti ini, apa artinya senior? Dan yang lebih penting lagi, untuk apa?
Lagi pula, menjadi mahasiswa, masuk pertama tidak ada jaminan selesai lebih dahulu. Beragam masa yang digunakan mahasiswa untuk menyelesaikan kuliahnya.
Perpeloncoan Harus Dihentikan
Di samping karena tidak bermanfaat, tidak mendidik, membuat bodoh, semua jenis perpeloncona harus ditiadakan dari kampus dan dari muka bumi ini. Perpeloncoan adalah pertunjukan kediktatoran, pembodohan, penipuan, cenderung mengarah kepada kekerasan. Tindakan perpeloncoan, sedikit pun tidak menunjukkan intelektual.
*** Fransiskus Nadeak***
No comments:
Post a Comment