November 25, 2008

Jangan Menjadi Fotokopian

"You were born an original.
Don't die a copy."
- John Mason

Pagi ini, saya mau membaca email. Sebelum sempat membaca posting email yang lain, saya mendapatkan ungkapan di atas dan merenungkannya dengan saksama. Ungkapan singkat itu, sangat menggugah kesadaran.

Saya jadi teringat dengan tulisan Anthony de Mello, S. J., penulis dari India. De Mello, pernah berkata, banyak manusia mulai lahir, anak-anak, remaja, menikah, dewasa, bahkan mati, tanpa pernah sadar. Mungkin sepertinya perkataan de Mello terlalu keras, tapi kalau kita cermati lebih dalam, ada benarnya bahkan kalau kita dalami lebih serius dan jujur mungkin saja kita memang seperti itu.

De Mello, misalnya sering mengungkapkan bahwa sering kita mengatakan hal-hal sebagai diri kita, padahal itu hal-hal bukan diri kita. Misalnya sering saja kita membawakan diri kita, tapi sebetulnya yang kita anggap diri kita adalah orangtua kita, sahabat kita, orang yang kita hormati, idola kita, angan-angan kita.

Kita sering mengasosiasikan diri kita dengan orang lain. Bahkan untuk memilih pun mungkin saja kita langsung menentukannya hanya karena itu pendapat orangtua kita, bahkan idola kita. Ada yang menyamakan dirinya dengan orang lain. Bahkan ada orang yang mencoba dirinya menjadi orang lain.

Tapi yang lebih menarik adalah orang-orang yang mencoba dirinya menjadi bukan dirinya. Ini bisa semacam imitasi dari orang lain.

Memang benar kita harus mencoba yang lebih baik, lebih bagus dalam kehidupan ini. Dalam memutuskan sesuatu yang penting, kita memerlukan referensi, patokan, panduan dan sejenisnya. Tapi dalam hal diri, kita harus menjadi diri kita yang sejati, yang genuine, yang otentik, bukan tiruan orang lain, dan bukan menjadi orang lain.

Terikat Masa Lalu

Dalam kehidupan ini, ada kalanya kita terbawa ke masa lalu. Kita melihat diri kita sebagai 'orang yang dulu'. Dalam beberapa hal, terlalu sering juga kita mengasosiasikan diri kita dengan masa lampau.

Saya mengenal teman, yang dalam kehidupannya sekarang, selalu dikendalikan oleh masa lalu. Dia berkata, bahwa orangtuanya menyampaikan bahwa dia harus menikah dengan gadis tertentu dan harus tinggal di kota tertentu.

Ada yang menarik pada pendapatnya. Pertama, bahwa yang orangtuanya sudah tidak ada lagi. Jika pendapat kita tidak sesuai dengan pendapat orangtua kita, bukan berarti kita tidak hormat dan patuh dengan orangtua. Alasannya adalah bahwa, dalam kehidupan ini, bukan orangtua yana paling tahu seperti apa kehidupan yang cocok dengan diri kita. Yang paling tahu bagaimana hidup kita yang sesungguhnya adalah diri kita. Karena orangtua adalah orang lain bagi diri kita.

Alasan yang kedua adalah bahwa pendapat itu adalah pendapat masa lalu. Memang benar perencanaan perlu bagi kehidupan ini. Tapi tentang pendapat tadi, tidak berhubungan dengan perencanaan, tapi lebih kepada penentuan oleh orangtua yang mungkin tidak terlalu tepat. Apa alasan yang tepat, bahwa kita harus tinggal di kota tertentu? Mungkin saja pendapat orangtua kita itu adalah hanya pendapatnya pribadi dengan tujuan bersama (orangtua dan anak), tapi tidak murni untuk mengembangkan mental dan jiwa anaknya.

Barangkali, kenangan-kenangan masa lalu perlu untuk pembelajaran bagi diri kita. Juga masa lalu menciptakan pola, pandangan, dan semua seluk-beluk kehidupan kita saat ini. Sangat mungkin juga, pengalaman masa lalu membuat kita bertumbuh, berkembang dan berbuah. Bahkan dengan melalui masa lalulah, kita ada seperti sekarang ini.

---
Kita perlu mengetahui masa lalu kita, tapi kita tidak boleh terikat olehnya.

November 24, 2008

Berapa Lama Kita Perlu Tidur Setiap Hari?

Saya teringat percakapan dengan teman-teman tentang waktu tidur yang diperlukan seseorang setiap hari. Tidur dianggap yang cukup agar badan tetap fit. Intinya berapa jam yang diperlukan agar seseorang tetap sehat.

Saya baca di majalah-majalah, berdasarkan penelitian atau kebiasaan, bahwa waktu yang diperlukan sekitar delapan jam. Pernah juga saya baca waktu yang diperlukan tubuh agar tetap kondisi normal adalah sekitar 6 sampai dengan 8 jam, setiap hari.

Yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah, mungkin benar secara umum tidur yang cukup itu adalah delapan jam sehari. Tapi itu adalah secara umum, berarti tidak bagi semua orang, bukan? Karena lama waktu itu adalah umum, artinya bagi saya mungkin saja lebih daripada 8 jam, atau mungkin kurang daripada 8 jam, bahkan mungkin cukup kurang daripada 6 jam.

Saya mengamati banyak yang ketakutan ketika suatu malam, karena kegiatan tertentu yang 'menuntut' dia harus pergi tidur agak kemalaman, dan esok paginya harus bangun cepat, menjadi panik. Panik bukan karena waktu tidurnya berkurang, tapi lebih kepada karena dalam pikirannya sudah tercetak, jika tidur kurang dari biasanya, maka dia akan tidak fit dan mungkin menimbulkan gejala penyakit flu atau penyakit lain.

Bagi saya peristiwa-peristiwa dan anggapan-anggapan seperti ini cukup menarik. Sebaiknya, mungkin kita uji dulu diri kita, berapa sebenarnya waktu tidur yang tepat kita perlukan. Bagaimana caranya?

Saya pernah mengetahui bahwa untuk memulai suatu kebiasaan baru, lakukanlah secara berturut-turut tanpa putus minimum 26 kali. Baiklah, kita anggap sebulan atau 30 kali. Jadi mungkin kita coba tidur kita selama 30 kali berturut-turut dengan durasi 6 jam. Kita coba lagi secara berturut-turut 30 kali dengan durasi 5 jam atau mungkin 4 jam.

Tentu bagi orang yang tidak biasa mungkin awalnya agak pening. Bisa terjadi bagi orang tertentu mula-mula akan sakit demam. Tapi itu adalah wajar, karena baru dan berhubungan dengan lamanya istirahat fisik.

Tapi dari pengujian yang serius dan penghargaan terhadap diri kita, yang berarti juga penghargaan terhadap waktu, yang berarti penghargaan terhadap kehidupan, mungkin kita tidak perlu dalam kehidupan ini, menghabiskan waktu berlama-lama hanya untuk tidur.

Menahan Pembicaraan

"If you have knowledge,
let others light their candles in it."
- Margaret Fuller


Dalam pergaulan yang cukup dekat dengan sahabat-sahabat kita, mungkin sekali terjadi pembicaraan-pembicaraan ringan. Mungkin juga terjadi dialog-dialog yang saling menguatkan. Tidak jarang juga terjadi ungkapan-ungkapan yang menarik di mana terjadi perbedaan persepsi. Cukup sering juga terjadi, ketika dalam perjumpaan dengan sahabat-sahabat itu, terdengar suatu ungkapan yang janggal bahkan mungkin tidak benar.

Dalam menghadapi pergaulan seperti ini, ada kemungkinan kita ingin memperbaiki ungkapan yang muncul, karena ungkapan itu mengandung ketidakbenaran. Kondisi seperti inilah waktu yang paling tepat kita menahan diri untuk tidak langsung menyampaikan yang sebenarnya, tentu yang benar menurut pendapat kita, atau setidaknya seperti yang kita ketahui.

Beberapa kali terjadi persepsi atau kepercayaan seorang sahabat kita yang kelihatannya keliru, tapi dia mempercayai betul tentang itu. Bahkan seperti mitos atau takhayul, sangat sulit menghilangkannya dalam diri pribadi seseorang. Dalam keadaan normal saja, orang yang ingin mendalami sesuatu agar mendapat pencerahan yang diharapkan atas kepercayaan-kepercayaan yang selama ini dipegangnya, masih sulit untuk mengubahnya. Apalagi seseorang yang tidak ada keinginan secara terbuka menyelidiki apa yang dipercayainya, kemungkinan besar dia akan sangat sulit menerima hal-hal yang lebih bisa dipercaya atau yang lebih benar.

Saat seperti ini, kebenaran yang kita sampaikan melalui pengetahuan kita, akan sangat sulit dia terima. Pengetahuan yang kita sampaikan, karena kondisi seseorang yang belum terbuka, atau membuka diri, membuat dirinya sangat enggan bahkan tidak bisa melihat dengan pandangan yang lebih jernih. Karena pendidikan, kultur, pengalaman hidupnya seseorang bisa sangat tertutup kepada hal-hal yang seperti 'menyelidiki' keyakinan-keyakinan yang digenggamnya.

Saat seperti inilah sebenarnya pengetahuan itu mengambil tempatnya untuk mencerahkan kegelapan, ketidaktahuan, dan kesimpangsiuran yang selama ini kita alami. Tapi saat seperti ini juga kita memerlukan kerendahan hati untuk menahan diri menyampaikan kebenaran itu, walaupun seharusnya itulah yang kita sampaikan. Bukan karena kita takut tapi, mungkin saatnya pencerahan itu mungkin untuk kita dulu, belum saatnya untuk sahabat-sahabat kita. Saat menahan saja, sudah menjadi merupakan situasi pencerahan bagi jiwa kita. Semoga suatu saat kita semakin tercerahkan lagi, demikian juga dengan orang lain.

November 20, 2008

Bagaimana Menuliskan Isi Pikiran?

Judul ini ditanyakan oleh beberapa orang kepada saya setelah mereka membaca blog ini. Saya bilang kepada mereka, coba tuliskan pertanyaannya atau apa saja yang terlintas dalam pikiran itu pada bagian komentar di sebelah bawah setelah tulisan. Tapi mereka juga tidak menuliskannya, malah menanya langsung secara lisan lewat telepon dan perjumpaan.

Yang menarik bagi saya adalah mengapa mereka menanyakannya dengan mulut bukan dengan tulisan, karena yang mereka ingin mereka usahakan adalah menulis?

Marilah kita bagikan sesuatu yang mudah-mudahan bermanfaat. Sebaiknya tuliskan saja apa saja yang terlintas itu. Apakah berurutan, sesuai dengan tata bahasa, atau sesuai dengan acuan-acuan menulis, abaikan saja dulu, tulis saja apa yang terbersit dalam pikiran.

Kalau pikiran kita berkata, "Mengapa saya tidak bisa menuliskan yang seperti ini?" Ya, tuliskan saja pertanyaan itu. Mungkin juga menuliskan apa pendapat kita, apa yang kita ketahui. Bahkan kita pun dapat menuliskan apa yang tidak kita ketahui.

Bukankah pertanyaan juga mengandung hal-hal yang tidak kita ketahui? Jadi tuliskan saja!

Salam, Frans. Nadeak

Dua Atlet Favorit

Sejak kecil ketika stasiun televisi hanya TVRI, permainan olahraga yang disiarkan sudah sangat menarik perhatian. Belakangan muncul stasiun RCTI dan yang lain tanpa saya ingat lagi persis urutan-urutan stasiun televisi itu ada di wilayah Indonesia ini.

Khusus sepakbola, dari cerita-cerita ada yang bilang beberapa pemain hebat. Ada yang bilang Pele, Beckenbauer, Cruyif, Platini, Maradona. Ada juga yang bilang pemain lain. Tapi kebanyakan saya tidak melihat langsung melalui televisi. Beberapa yang pernah saya lihat langsung melalui televisi adalah Platini dan Maradona. Yang lain sebetulnya masih bisa dilihat lewat televisi, tapi tidak bersamaan zamannya dengan saat saya bisa menikmati sepakbola.

Dari semua yang saya tonton dan amati serta nikmati, ada dua atlet favorit saya sepanjang masa, setidaknya sampai saat ini. Kedua pemain itu adalah John Stockton dan Didier Deschamps. Anda tahu John Stockton? Juga Didier Deschamps?

Mungkin Didier Deschamps masih kenal dan ingat. Bagaimana dengan John Stockton? Stockton bukanlah seorang pemain sepakbola tapi pemain basket NBA. Sedangkan Deschamps pesepakbola yang pernah membela Juventus dan tim nasional Prancis.

Selanjutnya saya akan menuliskan kedua pemain ini dengan segala yang menarik bagi saya. Mengapa kedua pemain ini menjadi favorit.

Fransiskus Nadeak

Permainan Sepakbola

Saya gemar menonton pertandingan olahraga. Tentu, juga gemar berolahraga. Olahraga kegemaran adalah sepakbola. Khusus sepakbola bukan hanya gemar menonton juga gemar bermain. Jika melihat permainan sepakbola secara langsung, ingin rasanya langsung bergabung dengan para pemain. Permainan sepakbola yang saya maksud bukan pertandingan resmi di stadion, tapi lebih kepada permainan yang dimainkan tidak serius untuk mencari kemenangan tapi untuk bergembira dan menikmati sepakbola.

Kenikmatan permainan sepakbola biasanya justeru bukan pada pertandingan yang mengejar sebuah trofi atau piala atau hadiah. Memang ada aturan baku, tapi kadang-kadang saja saya bisa menikmati dengan utuh pertandingan seperti itu. Karena pertandingan sepakbola yang memperbutkan hadiah akan mengkibatkan tim mengatur strategi untuk kemenangan. Dan ketika strategi untuk mencari kemenangan dibuat saat itulah mulai kehilangan nikmatnya sepakbola.

Karena apa pun akan kita lakukan untuk kemenangan itu. Tentu ada rambu-rambu permainan tapi sepanjang hukumannya masih dalam batas sepakbola, pemain pun mungkin akan melakukan pelanggaran. Mungkin fatal. Misalnya, seorang pemain mungkin akan sengaja memegang bahkan menangkap bola di area kotak penalti, apabila dia tidak bisa lagi mengendalikan bola dengan kaki, asal tidak langsung gol. Jadi hukuman terberatnya adalah mungkin dia dikartumerahkan sekaligus lawan diberi hadiah penalti. Tapi secara teori dan ilmu peluang, masih mungkin tidak terjadi gol, daripada sebelumnya kalau tidak ditangkapnya, sudah pasti gol. Apalagi jika saat melakukannya pada saat akhir bahkan injury time.

Setelah kita amati, bahwa tingkah pemain yang terakhir ini sebetulnya bukan lagi menikmati sepakbola tapi dibelenggu oleh sepakbola.

Kalau permainan di lapangan yang mungkin pemainnya bahkan tidak memakai sepatu bola, permainan kebanyakan menjadi lucu. Pertandingan bisa menjadi ajang untuk benar-benar menikmati olahraga tanpa embel-embel harus menang. Dengan demikian, permainan pun akan terbuka karena kemungkinan besar tidak ada yang secara serius sengaja mencederai lawan.

***
Marilah kita menikmati permainan sepakbola, lebih daripada sekadar pertandingan memperebutkan hadiah, piala, trofi atau bahkan kemenangan.

Fransiskus Nadeak

November 19, 2008

Individual Commitment

"Individual commitment to a group effort
-- that is what makes a team work,
a company work,
a society work,
a civilization work."
- Vince Lombardi


Saya sering memikirkan hal-hal yang disampaikan oleh Vince Lombardi ini. Sering terpikirkan karena saya sering mendengar keluhan atau semacam pikiran dari banyak orang yang menunggu orang lain melakukan sesuatu yang baik.

Saya teringat dengan kegiatan pembentukan panitia suatu acara, yang biasanya dilaksanakan setiap tahun. Ketika panitia dibentuk, seseorang berkata, "Kita lihatlah, apa yang akan dilakukan oleh ketua panitia itu!"

Saya sungguh heran mendengarnya. Bukan karena harapannya yang agak melihat kepanitiaan itu sebagai proyek orang lain, tapi karena dia sendiri termasuk dalam struktur kepanitiaan.

Saya sering mendengar bahwa seseorang menunggu yang lain untuk melakukan sesuatu. Padahal, siapakah orang lain itu sehingga dia yang harus melakukan sesuatu? Mengapa tidak membalik pernyataan itu, "Okelah, panitia sudah terbentuk, apa yang bisa saya sumbangkan?"

Jika kita menunggu orang lain melakukan sesuatu, di samping dengan mudah nantinya kita menjatuhkan vonis jika terjadi sedikit 'kekurangan', berarti menyerahkan segala sesuatu kepada orang lain, dan yang pasti kita menolak tanggung jawab.

--

Jika kita sudah ikut dalam komunitas atau suatu organisasi, selalu pertanyakan diri kita, "Apa yang bisa saya lakukan untuk komunitas atau organisasi ini?"


Frans. Nadeak

November 12, 2008

Bertindak Bijaksana

Tulisan ini saya buat judulnya bertindak bijaksana. Sebetulnya sebelum seseorang bertindak bijaksana, dia sudah memiliki pengetahuan tentang tindakannya. Artinya, agar seseorang dikatakan bertindak bijaksana, dia sudah memikirkan segala hal tentang tindakannya, dan lebih baik lagi jika pikiran itu lebih luas, dalam, jauh, dan lengkap.

Dalam hal sederhana misalnya di persimpangan yang ada traffic light-nya. Agar orang berlaku bijaksana di persimpangan, dia sudah sepatutnya memiliki pengetahuan tentang aturan traffic light. Jika lampu merah berhenti, lampu hijau bergerak. Walaupun dalam kasus tertentu, kondisi lampu merah juga bisa tetap bergerak maju, jika yang berwenang menyuruh maju dengan tanda-tanda yang dia lakukan. Dan orang yang menyuruh maju itu adalah institusi yang berwenang misalnya polisi atau petugas lalu lintas.

Jika yang berwenang menyuruh tetap maju, padahal lampu merah karena misalnya ada yang mau lewat ambulans atau pejabat kenegaraan, berarti sebaiknya kita juga ikut maju. Bukan berarti karena aturan dasar lampu merah berarti berhenti maka kita harus berhenti sampai menolak dan menentang suruhan polisi. Tindakan 'yang benar' ini bisa mengganggu, berbahaya, bahkan memakan korban manusia. Bahkan dalam kejadian tertentu, lampu merah, kuning atau hijau, kita tetap harus berhenti jika bergerak membuat kekacauan yang lebih besar. Kita harus mempertimbangkan akibat dari tindakan yang akan kita lakukan. Penulis Norman Cousins pernah mengatakan, "Wisdom consists of the anticipation of consequences."

Artinya, ini semua, sedikit pengetahuan tentang traffic ligtht. Dengan pengetahuan ini, kita bisa bertindak makin bijaksana di jalanan, khususnya di persimpangan jalan. Dan tentu pengetahuan lainnya. Dalam pengertian tertentu, cara bijak juga memikirkan yang bertentangan dengan aturan yang sudah ada. Filsuf dan penulis Amerika, George Santayana berkata, "Almost every wise saying has an opposite one, no less wise, to balance it."

Jadi apa artinya bertindak bijaksana?


Memang ada istilah, "Kadang-kadang, lebih baik untuk bertindak dengan sedikit informasi." Ini benar untuk tindakan tertentu misalnya untuk mengatasi kegugupan sementara, tindakan-tindakan yang sederhana. Dan kembali ke istilah tadi, itu berlaku untuk kasus 'kadang-kadang'. Untuk tindakan yang kompleks tidak bisa hanya mengandalkan secuil informasi. Semakin banyak informasi yang perlu, semakin baik. Martin Fischer berkata, "Knowledge is a process of piling up facts; wisdom lies in their simplification."

Frans. Nadeak

November 7, 2008

Tentang Menulis

"I never know what I think about something until I read what I've written on it."
- William Faulkner

Setelah saya menulis tentang Obama yang terpilih menjadi presiden Amerika Serikat, beberapa teman diskusi dengan saya.

Diskusinya sangat menarik. Bahasannya bukan lagi tentang Obama, Amerika, perekonomian dunia, perubahan, atau tentang anggapan orang-orang yang awalnya skeptis tentang presiden Amerika yang berkulit hitam. Diskusinya tidak khusus mengenai tulisan saya itu. Tulisan itu hanya pemicu menjadi bahan diskusi. Diskusinya tentang menulis.

Sebenarnya diskusi biasa, tapi muncul pernyataan-pernyataan yang janggal. Seorang teman berkata begini, "Saya tidak mau membaca tulisan yang hanya menyampaikan yang biasa-biasa. Saya tidak mau membaca tulisan yang sudah diketahui masyarakat. Dan karena hal-hal seperti inilah maka saya enggan membaca, dan akhirnya tidak mau membaca buku. Saya mau membaca kalau misalnya, pendapat atau cerita seseorang sebelum peristiwa itu terjadi."

Dia menyambung, "Sebagai contoh, Obama. Banyak orang menulis tentang Obama, mulai dari masa kecil, perkembangannya, hidupnya perjuangannya sampai dia terpilih menjadi presiden. Bagi saya itu sesuatu yang biasa. Saya mau membaca jika tulisan itu dibuat sebelum Obama menjadi presiden. Bisa tentang dugaannya, atau prediksinya tentang Obama dan terjadi. Atau saya tertarik hanya kepada opini yang eksentrik dan menghebohkan"

Bagi saya, muncul pertanyaan, "Untuk apa sebenarnya menulis?" Pernyataan teman yang sebelumnya, adalah kesukaan salah satu jenis isi tulisan atau buku. Dan sebenarnya, kita kehilangan banyak peristiwa atau hal-hal yang mungkin terjadi dulu, tapi karena tidak dituliskan atau diceritakan lewat tulisan atau lisan, peristiwa itu menjadi hilang dari pengetahuan.

Katanya, untuk mengetahui bagaimana kehidupan umum masyarakat Inggris pada abad ke-18, bacalah novel karya-karya Jane Austen (16 December 1775 – 18 July 1817). Novelnya yang sangat populer adalah 'Sense and Sensiblility' dan 'Pride and Prejudice'. Novel-novelnya itu juga sudah dibuatkan menjadi film dengan judul yang sama.

Mengapa novel-novelnya menjadi rujukan untuk mengetahui kehidupan masyarakat Inggris abad ke-18? Jawaban yang pasti: karena Jane Austen menuliskannya. Novelnya bisa menjadi semacam buku sejarah.

Lalu apa hubungannya novel Jane Austen dengan topik awal tadi? Dari pernyataan teman tadi, bahwa dia mau membaca kalau bisa memprediksi sesuatu dan sesuatu itu terjadi. Atau tulisan yang membuat heboh.

Padahal, mungkin pada awalnya, novel Jane Austen, adalah hal biasa menceritakan ikhwal kehidupan saat itu, dan pembacanya adalah orang-orang sezaman. Tapi bagaimana dengan warga Inggris atau kita yang hidup di zaman sekarang? Novel Austen, bukan lagi hanya sebagai novel tapi semacam petunjuk kitab acuan atau bahkan kitab sejarah yang sangat penting dan menentukan.

Jadi, menulis sesuatu, apa pun itu pasti sangat bermanfaat. Jangankan bagi penulisnya, mungkin bagi pembaca, atau siapa saja yang punya akses terhadap tulisan itu. Bahkan ada yang mencari lagi tulisan atau coret-coretan apa saja yang pernah dibuat seseorang karena seseorang itu rupanya pemikir tajam atau penulis hebat atau ilmuwan luar biasa.

Frans. Nadeak

November 5, 2008

Presiden Obama

"It's been a long time coming, but tonight... change has come to America!" begitulah pekikan Barack Obama, presiden Amerika Serikat terpilih. Obama unggul setelah melebihi electoral vote yang berjumlah total 538. Untuk memenangi pemilihan seseorang minimal mengumpulkan 270 electoral votes. Pidato kemenangannya itu sesuai dengan mottonya "Change - We Can Believe In" dengan logo Obama 08.

Sistem pemilihan presiden Amerika menggunakan sistem Electoral atau sering digunakan istilah sistem distrik. Pemilihan presiden Amerika memang langsung, tapi tidak langsung memilih presiden. Pilihan dimenangkan oleh jumlah electoral vote di negara bagian, bukan total jumlah penduduk pemilih. Jadi bisa saja misalnya secara total jumlah penduduk yang memilih calon A lebih banyak daripada calon B, tapi karena secara electoral B lebih banyak, maka yang menjadi presiden adalah B. Jumlah electoral vote terbesar ada secara berturut-turut di negara bagian: California (55), Texa (34), New York (31), Florida (27) dan Pennsylvania (21). Sedangkan di negara bagian Alaska, Delaware, Montana, North Dakota, South Dakota, Vermont, Wyoming masing-masing cuma 3. Delaware adalah negara bagian asal Joseph Biden, calon wakil presiden terpilih.

Siapa yang menang di satu negara bagian, dia yang mengambil semua suara. Walaupun di negara bagian California misalnya Obama unggul satu suara, tapi Obama mengambil suara 55 semuanya.

American Dream

"If there is anyone out there who still doubts that America is a place where all things are possible; who still wonders if the dream of our founders is alive in our time; who still questions the power of our democracy, tonight is your answer." Demikianlah dari Washington Post, mengambarkan seperti biasa harapan dan cita-cita Amerika, setelah terpilihnya Obama.

Obama menjadi presiden dalam pemilihan umum yang historis. Rentetan pemilihan yang meneganggkan bahkan sampai kamanye rasialis, mempertentangkan keagamaan, bahkan kasar. Bukan hanya antara Obama dengan lawannya dari Partai Republik, John McCain. Sebelumnya, untuk memenangi calon dari Partai Demokrat, Obama juga sedah mendapat serangan yang tidak biasa dari kawan (atau lawanny?) dari Demokrat sendiri.

Sampai terakhir masih harus bersaing dengan Senator dari New York, Hillary Clinton. Obama adalah senator dari negara bagian Illinois yang didukung oleh rekannya senator sesama negara bagian Illinois, Richard Durbin, bahkan mulai dari awal pemilihan senator untuk negara bagian Chicago.

Walaupun para senator senior Partai Demokrat meminta agar Clinton, mengundurkan diri demi kebaikan dan keutuhan Partai Demokrat, Clinton juga berjuang sampai akhir. Bahkan black campaign yang disampaikan Clinton terhadap Obama, sama brutalnya dengan yang disampaikan McCain untuk menghancurkan Obama.

Ada yang memelesetkan namanya menjadi Obama bin Laden. Ada yang mengatakannya beragama Islam. Ada yang menuduhnya teroris. Dengan pasangannya Biden, juga diejek dengan sebutan Obama bin Biden.

Walapun hidup di negara dan dalam budaya beradab, tapi karena kepentingan sesaat politikus, tetap saja muncul kampanya yang sangat menyerang dan sangat kotor dan menjijikkan.

Tapi sepertinya karena pengalaman hidupnya yang katakanlah cukup pahit dan hidup di beberapa tempat dengan multi-budaya, menambah pengertiannya yang cukup baik akan banyak hal yang tidak didapati senator atau calon presiden lain.

Di samping bakat orator-nya yang luwes dan luar biasa, juga pilihan kata yang digunakannya, sering orang-orang membandingkannya dengan Presiden John F. Kennedy. Banyak persamaan antara Kennedy dan Obama. Kennedy calon pertama presiden Amerika yang beragama Katolik, sedangkan Obama calon pertama berkulit hitam. Kennedy menghadapi permasalahan hubungan luar negeri saat itu, Obama juga. Kennedy presiden termuda Amerika, Obama baru saja berusia 47 tahun. Sama seperti Kennedy, orang-orang meyakini kemenangan Obama karena hal tadi dan juga karena momentum yang tepat.

Momentum

Karena buruknya juga kondisi dunia, terutama karena yang berkuasa sekarang George W. Bush dianggap gagal, maka momentum Republik sangat tidak menjanjikan. Pemilihan anggota kongres juga hampir selalu dimenangi calon Demokrat. Para pakar dan profesor ilmu politik sudah mengatakan bahwa Bush adalah presiden Amerika terburuk sepanjang sejarah.

Terburuk bukan karena kegagalan menangani masalah-masalah krusial negara tapi karena perangai Bush yang suka perang dan sering memanipulasi rakyat, mulai dari soal reaktor nuklir Irak dan sampai laporan-laporan intelijen yang dimanipulasi dan digunakan serampangan untuk memenuhi hasrat ketidakmanusawiannya.

Masalah kegagalah korporasi multinasional, kemunduran ekonomi Amerika, pengangguran, keterpurukan Wall Street, penyerangan Afganistan dan Irak yang sudah membunuh terlalu banyak tentara Amerika, memperburuk suasana sekarang ini bagi siapa saja calon dari Partai Republik.

Momentum inilah yang sangat menguntungkan Partai Demokrat, yang menguntungkan Obama. Demokrat sudah menguasai parlemen. Dan ini juga memudahkan tugas Obama nantinya untuk membuat keputusan-keputusan publik.

Presiden Obama

Obama sudah terpilih. Obama menjadi presiden Amerika pertama yang berkulit hitam. Obama menjadi presiden Amerika yang ke-44.

McCain sudah mengucapkan selamat kepada Obama. Presiden Bush juga melakukan hal yang sama. Akhirnya, hal yang kita harapkan, penyatuan dan kesatuan masih ada. Minta maaf masih ada, walapun sebelumnya kompetisi sangan melelahkan dan memperburuk media televisi dan harian-harian Amerika.

Semoga dengan kemenangannya dan memulai berkarya secara definitif Januari 2009, Amerika semakin damai, dunia semakin maju. Terutama kita mengharapkan perekonomian dunia yang semakin baik.

Selamat Obama!
Proficiat!!!

Frans. Nadeak, seorang pemikir.

Life Comes with Problems

Sengaja judulnya saya buat dalam Bahasa Inggris. Bukan karena dengan Bahasa Inggris, judulnya lebih keren. Bukan juga karena dalam Bahasa Inggris lebih singkat dan padat. Saya buat dalam Bahasa Inggris hanya karena artinya lebih 'kena'.

Saya punya beberapa komunitas. Ada komunitas paduan suara, ada komunitas berbagi rasa, ada komunitas olahraga, ada komunitas teman sekerja, ada komunitas arisan. Sebagai pembanding untuk judul itu, kita ambil komunitas berbagi rasa. Komunitas berbagi rasa, sering disebut komunitas berbagi. Tapi istilah ini pun tidak terlalu jelas. Istilah yang sering digunakan oleh kami untuk kelompok berbagi ini adalah komunitas sharing. Jadi istilah sharing, lebih pas. Seperti inilah gambaran untuk judul tulisan ini.

Dalam perjalanan komunitas ini, selalu saja ada komentar-komentar dari para anggota yang anehnya juga selalu berulang-ulang. Komentar-komentar bermunculan dalam bentuk keluhan. Anggota mengeluh karena selalu saja ada orang yang jarang berkumpul, ada anggota yang cuek, bahkan ada yang secara definitf anggota, tapi tidak pernah berkumpul.

Ada penilaian dari beberapa anggota, bahwa orang-orang atau keluarga yang jarang berkumpul dalam kegiatan komunitas adalah semacam penyakit. Ada juga yang beranggapan bahwa orang-orang yang secara definitif adalah anggota tapi tidak pernah menampakkan batang hidungnya, harus disingkirkan biar tahu rasa.

Mengapa banyak orang yang berpikir seperti ini? Saya menduga, karena banyak orang beranggapan segala sesuatu haruslah ideal atau sempurna. Memang sebaiknya semua anggota rajin, responsif dan bertanggung jawab. Tapi kapan dan di mana ada yang selalu seperti ini?

Bahkan dalam suatu tim sepakbola, seorang gelandang juga tidak akan pernah ada yang ideal atau sempurna. Yang mungkin adalah idealnya seorang pemain gelandang yang ada pada sebuah tim adalah misalnya Didier Deschamps, di tim Juventus atau Prancis. Tentu Deschamps pun, bisa dikatakan yang terbaik hanya pada saat itu, untuk tim itu dari seluruh pemain tim yang ada. Tapi tetap tidak ada seorang pemain gelandang yang ideal atau sempurna untuk sebuah tim sepakbola.

Jangankan organisasi yang menggunakan garis komando, seperti militer umpamanya. Selalu saja ada yang kurang, ada yang tidak lengkap, ada yang lalai, bahkan ada yang gagal. Sedangkan komunitas ini adalah kumpulan orang-orang yang secara sukarela menyediakan dirinya. Kondisi seperti ini menciptakan komunitas yang bertenggang rasa kepada sesama dan semua anggota. Artinya, anggota yang belum rajin, menyatakan komunitas itu masih memiliki anggota yang belum rajin. Dan karena sifat organisasi yang terbuka ini, tidak bisa seseorang memaksa dia harus rajin.

Kondis seperti ini justeru sangat berpeluang menumbuhkan orang yang berjiwa menyemangati, mengayomi dan saling memperhatikan. Masalah-masalah yang dihadapi seseorang anggota menjadi masalah yang dihadapi oleh komunitas itu.

Masalah-masalah yang datang, dihadapi, teratasi akan menciptakan anggota dan komunitas yang matang. Menghadapi dan mengatasi masalah dengan sendirinya menumbuhkan tim yang bekerja sama dan solid.

Coba bayangkan, jika semua anggota sudah ideal dan sempurna. Sudah pasti anggota dan komunitas stagnan dan tidak bisa berkembang. Mengapa? Karena sudah sempurna. Tapi adalah organisasi yang sudah sempurna? Secara faktual tidak ada.

Masalah-masalah dengan sendirinya membuat anggota dan komunitasnya menjadi matang, dewasa jika dimaknai dengan baik.

Selamat berkumpul dan berbagi!

*Frans. Nadeak, seorang pemikir

Mengapa Membuat Jurnal?

"We do not write because we want to; we write because we have to. "
- Somerset Maugham
*
"Writing is its own reward. "
- Henry Miller


Saya sering mendapat bahwa membuat jurnal atau semacamnya berfaedah banyak bagi jiwa kita. Bahkan dalam kondisi kesedihan atau dukacita yang mendalam, bahkan amarah yang berapi-api, jika perasaan itu dituliskan, maka kesedihan dan amarah kita bisa semakin terkendali, dan lama-kelamaan hilang, dan akhirnya menyehatkan diri kita.

Jurnal yang kita maksud di sini, bukan harus jurnal formal, seperti jurnalis atau wartawan atau akademisi atau ilmuwan atau filsuf. Cukuplah dengan menuliskannya dalam coretan-coretan kecil di buku diari atau agenda kita.

Saya pernah membaca, bahwa seseorang yang marah besar kepada agen asuransi karena tidak mendapat yang seharusnya menjadi haknya, berbulan-bulan dikungkung oleh perasaan kesal dan marah. Tetapi setelah menuliskannya, seperti membuat tulisan pembaca yang akan ditampilkan di sebuah harian, semacam keluhan atau klaim, dia bisa menuliskan perasaan dan runut. Ketika dia selesai menuliskan 'uneg-uneg'-nya, bukan hanya tulisannya yang kelar, amarahnya pun redam, dan dirinya pun bisa tersenyum. Dia bisa menertawai dirinya sendiri. Dia membaca tulisannya dan menggumam, "Wah, kok hebat sekali suratku ini?"

Membuat jurnal juga akan membuat diri kita aware dengan waktu. Dengan tulisan, kita seperti bisa melihat diri kita kemarin. Kalau ada tulisan kita setahun lalu, kita bisa melihat diri kita setahun lalu. Setahun lalu, bagaimana kita menulis, bagaimana perasaan kita terhadap sesuatu. Kalau kita menuliskan sesuatu dua tahun lalu, sekarang kita baca lagi, kita bisa melihat pengertian dan pemahaman kita dua tahun lalu terhadap sesuatu seperti dalam tulisan itu.

Yang lebih hebat, pernah saya membaca ide dari seseorang (saya belum tahu nama penemunya, maafkanlah saya), berkata, "Kita belum benar-benar mengerti, sebelum kita bisa menuliskannya."

*Fransiskus Nadeak*, seorang pemikir

November 4, 2008

Bahasa yang Menjemukan

"Television has a real problem.
They have no page two. "
- Art Buchwald

Dibandingkan dengan membaca, hanya beberapa peristiwa tertentu yang lebih menarik jika ditonton lewat televisi. Sebagai contoh adalah menonton pertandingan sepakbola atau misalnya tragedi kehancuran World Trade Center di New York City karena diledakkan. Walaupun sebenarnya bagi orang yang sangat kuat mendeskripsikan bisa menyamai keseruan permainan sepakbola atau kengerian detik demi detik kehancuran World Trade Center.

Lebih daripada itu, hampir selalu lebih baik mengetahui sesuatu lewat tulisan teks daripada tontonan televisi. Kita ambil sebagai contoh, berita. Berita yang ditampilkan di televisi tidak lebih baik jika ditampilkan lewat tontonan. Keterbatasan pemberitaan lewat televisi salah satunya adalah pada tampilan gambar yang dibuat setidaknya harus sesuai dengan suara yang ditampilkan. Dan sebetulnya, suara yang menyampaikan berita di televisi juga sebetulnya menggunakan teks sebagai bentuk aslinya. Jadi jika ada berita yang didapat, tapi tidak punya gambar yang akan ditampilkan, akan menjadi tidak mantap untuk ditampilkan. Justeru karena televisi adalah media visual, maka setiap ada sesuatu yang akan disampaikan (berita) tapi tanpa gambar, maka berita itu kemungkinan besar urung ditampilkan.

Pernah menonton seorang perempuan (artis - apa arti sebenarnya 'artis'?) yang tertangkap karena dituduh memakai narkoba? Hampir semua televisi swasta membuat beritanya di infotainment. Bukan hanya gambarnya yang hampir sama, bahkan cerita, ulasan, dan semua bahasa yang digunakan hampir sama, bahasa yang seragam. Di stasiun televisi mana pun kita mau menyaksikan berita tentang gadis itu, kita akan melihat bahwa tidak ada bedanya. Bahkan sepertinya berita itu berulang-ulang walaupun kita menontonnya beberapa hari yang lalu. Tambahan, bukan hanya bahasanya yang seragam, beritanya pun hampir sama, tanpa perkembangan, tanpa kreasi, tanpa imajinasi.

Geoffrey O'Brien, direktur eksekutif perpustakaan Amerika, menyatakan dalam New Work Review of Books, "Siapa saja yang berlangganan televisi kabel sudah mengalami pergantian yang cepat dari satu saluran ke saluran yang lain dan mendengar nada serta modulasi yang serupa di setiap saluran, kosakata yang mirip, pesan yang sama yaitu: penyederhanaan suatu bahasa menjadi sebuah kode yang dengan sedikit semboyan dan slogan... Merupakan dialek pamungkas dan pergantian yang terjadi terus menerus, selalu bermaksud menjual dan terlebih lagi untuk mengisi waktu."

Geoffrey O'Brien menganggap ini sebagai 'penyeragaman bahasa', dan menyatakan bahwa program-program tayangan televisi kekurangan bahasa yang figuratif, retorika yang rumit, kefasihan berbicara, permainan kata-kata atau bahasa kiasan.

*Fransiskus Nadeak*, seorang pemikir.