November 4, 2008

Bahasa yang Menjemukan

"Television has a real problem.
They have no page two. "
- Art Buchwald

Dibandingkan dengan membaca, hanya beberapa peristiwa tertentu yang lebih menarik jika ditonton lewat televisi. Sebagai contoh adalah menonton pertandingan sepakbola atau misalnya tragedi kehancuran World Trade Center di New York City karena diledakkan. Walaupun sebenarnya bagi orang yang sangat kuat mendeskripsikan bisa menyamai keseruan permainan sepakbola atau kengerian detik demi detik kehancuran World Trade Center.

Lebih daripada itu, hampir selalu lebih baik mengetahui sesuatu lewat tulisan teks daripada tontonan televisi. Kita ambil sebagai contoh, berita. Berita yang ditampilkan di televisi tidak lebih baik jika ditampilkan lewat tontonan. Keterbatasan pemberitaan lewat televisi salah satunya adalah pada tampilan gambar yang dibuat setidaknya harus sesuai dengan suara yang ditampilkan. Dan sebetulnya, suara yang menyampaikan berita di televisi juga sebetulnya menggunakan teks sebagai bentuk aslinya. Jadi jika ada berita yang didapat, tapi tidak punya gambar yang akan ditampilkan, akan menjadi tidak mantap untuk ditampilkan. Justeru karena televisi adalah media visual, maka setiap ada sesuatu yang akan disampaikan (berita) tapi tanpa gambar, maka berita itu kemungkinan besar urung ditampilkan.

Pernah menonton seorang perempuan (artis - apa arti sebenarnya 'artis'?) yang tertangkap karena dituduh memakai narkoba? Hampir semua televisi swasta membuat beritanya di infotainment. Bukan hanya gambarnya yang hampir sama, bahkan cerita, ulasan, dan semua bahasa yang digunakan hampir sama, bahasa yang seragam. Di stasiun televisi mana pun kita mau menyaksikan berita tentang gadis itu, kita akan melihat bahwa tidak ada bedanya. Bahkan sepertinya berita itu berulang-ulang walaupun kita menontonnya beberapa hari yang lalu. Tambahan, bukan hanya bahasanya yang seragam, beritanya pun hampir sama, tanpa perkembangan, tanpa kreasi, tanpa imajinasi.

Geoffrey O'Brien, direktur eksekutif perpustakaan Amerika, menyatakan dalam New Work Review of Books, "Siapa saja yang berlangganan televisi kabel sudah mengalami pergantian yang cepat dari satu saluran ke saluran yang lain dan mendengar nada serta modulasi yang serupa di setiap saluran, kosakata yang mirip, pesan yang sama yaitu: penyederhanaan suatu bahasa menjadi sebuah kode yang dengan sedikit semboyan dan slogan... Merupakan dialek pamungkas dan pergantian yang terjadi terus menerus, selalu bermaksud menjual dan terlebih lagi untuk mengisi waktu."

Geoffrey O'Brien menganggap ini sebagai 'penyeragaman bahasa', dan menyatakan bahwa program-program tayangan televisi kekurangan bahasa yang figuratif, retorika yang rumit, kefasihan berbicara, permainan kata-kata atau bahasa kiasan.

*Fransiskus Nadeak*, seorang pemikir.

2 comments:

Anonymous said...

Terima kasih, mencerahkan.
saya akan mencoba mengurangi diri menonton tivi.

Frans. Nadeak said...

Tentang bahasa ini sangat menggairahkan. Televisi memang menampilkan sesuatu. Tapi agak jarang kita mendengar, "Agar cerdas, sering-seringlah menonton tv."
Betul memang TV adalah semacam hiburan, tapi bagi orang yang sudah terjangkit penyakit televisi, tanpa televisi membuatnya sakit. Padahal karena TV itulah yang membuatnya sakit.