December 27, 2008

Makna Cinta - Gabriel García Márquez

Selama liburan di penghujung akhir tahun 2008, saya melihat ada film baru mumcul. Tentu baru di Indonesia kita ini, sebenarnya ini film tahun 2007. Judulnya adalah "Love in the Time of Cholera".

Saya langsung tertarik dengan film ini. Saya tertarik bukan karena judul film yang mengandung kata 'Love' atau 'Cholera'. Film itu didasarkan pada novel dengan judul yang sama. Tertariknya juga bukan karena judul novel dan film yang sama itu. Tepatnya lebih tertarik karena penulis novelnya, Gabriel García Márquez. Gabriel García Márquez adalah jurnalis sekaligus novelis Kolumbia, yang memperoleh Nobel Kesusasteraan tahun 1982.

Ketika terbaca namanya yang menjadi inspirasi film itu, saya teringat akan novelnya yang lain yang luar biasa juga. Novelnya yang terkenal itu adalah "One Hundred Years of Solitude" (1967), Seratus Tahun Kesunyian. Saya pun ingin menontonnya.

Kita kembali ke "Love in the Time of Cholera". Film ini diperankan oleh Javier Bardem sebagai Florentino Ariza; Gievanna Mezzogiorno sebagai Fermina Daza; dan Benjamin Bratt sebagai dr. Juvenal Urbino.

Walaupun tentang cinta adalah masalah klasik, tapi sepanjang film, tampil keadaan nyata manusia dengan perasaan, pengalaman, persepsi, pemaknaan, dan perjalanan hidup. Hidup yang senyatanya. Realisme yang bersifat magis.

Florentino, pengantar telegraf, jatuh cinta dengan Fermina yang anggun dan ayu. Melihat kesungguhan Florentino, Fermina pun mencintainya. Fermina dengan penguatan dari yang mendampinginya di rumahnya, akhirnya juga bersedia akan menikah dengan Florentino.

Dari sinilah mulai cerita yang akan menimbulkan penderitaan bagi Florentino. Karena sudah saling mencintai, dan seakan-akan, tidak terpisahkan lagi, orangtua Fermina tidak setuju akan keintiman anaknya dengan Florentino. Akhirnya, Fermina nantinya menikah dengan dr. Juvenal.

Ketika, sudah sampai kepada perasaan cinta ini, Florentino sering menangisi kisah cinta dan hidupnya. Ketika menangis di tempat tidur, ibunya menghibur sekaligus memberikan pengertian kepada Florentino,
"Nikmatilah cinta selagi masih muda, tapi bertahanlah dalam penderitaannya!"

Bahkan ketika Fermina sudah menikah dengan dr. Juvenal, untuk menjauhkan Florentino dari surat-menyurat yang mungkin ditulisnya dan akan dikirim kepada Fermina, ibunya mengirimnya merantau ke daerah terpencil yang tidak terjangkau surat atau telegraf sejauh tiga minggu perjalanan untuk mencapainya.

Tapi Florentino kembali ke rumahnya. Rasa cintanya yang murni kepada Fermina membuatnya pulang lagi ke rumahnya.

Ketika semakin lama dalam penderitaannya, terucap pesan, dari ibunya,
"Jangan kau sia-siakan hidupmu. Kau harus belajar melupakannya. Kau harus melupakannya."

Florentino tidak menikah. Florentino rela menunggu sampai 51 tahun. Setelah 51 tahun, sesudah dr. Juvenal meninggal, akhirnya Florentino dan Fermina, bertemu dan bersama lagi.

Sangat menarik pembicaraan mereka di usia yang sudah uzur. Fermina berkata,
"Kita hanya sama dalam kenangan, kita benar-benar berbeda. Perasaan cinta yang dulu hanya khayalan."
"Tapi bagi saya, tidak," kata Florentino.

Inilah pesan Gabriel García Márquez dalam pembicaraan dua insan yang saling mencintai ini:

Fermina:
"Tapi jika aku melihat ke belakang, aku rasa ada lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Terlalu banyak debat kusir. Terlalu banyak amarah."

Florentino:
"Mungkin sudah saatnya kita bertanya kepada diri kita sendiri, dengan hasrat kita untuk hidup,
apa yang harus dilakukan pada cinta yang telah jauh tertinggal tanpa pemilik."

Sambung Fermina:
"Luar biasa! Bagaimana seorang bisa bahagia selama bertahun-tahun di antara begitu banyak masalah, terrlalu banyak gangguan. Dan tidak begitu mengerti apakah itu cinta atau tidak."

Florentino:
"Izinkan aku menghapus kesalahan masa lalu. Usia tidak berpengaruh kecuali dalam dunia fisik. Esensi dari seorang manusia tidak terpengaruh oleh waktu. Kehidupan dalam diri kita bisa dikatakan abadi, sehingga jiwa kita tetap muda dan bergairah, seperti saat kita masih muda dan baru merekah."

Lanjut Fermina:
"Bayangkan cinta sebagai sebuah anugerah. Bukan sesuatu yang menyakitkan. Sebagai awal dan akhir. Sebagai akhir itu sendiri."

***
Fransiskus Nadeak
***

December 24, 2008

Belajar Membangun Diri

Terlalu banyak orang yang menganggap belajar itu sampai tahap sekolah atau kuliah. Terlalu banyak yang mengganggap belajar selesai ketika sudah tamat kuliah. Ada lagi yang mengganggap ketika lulus, seperti jenjang pendidikan di Indonesia, misalnya setelah selesai Strata-1 (S1) maka berhenti belajar. Kalau mau belajar lagi, maka harus pada jenjang Strata-2 (S2).

Mengapa banyak orang yang mengganggap bahwa 'belajar'seperti itu? Karena banyak orang menganggap belajar itu terjadi bukan pada seluruh hidup. Karena banyak orang menanggap belajar itu diskret, tidak kontinu.

Belajar adalah suatu proses seumur hidup, tanpa mengenal waktu. Belajar bukan karena ada kurikulum baru. Belajar bukan karena ada sekolah dasar, menengah, umum atau kejuruan, dan perguruan tinggi. Belajar adalah proses membuka diri kita agar menjadi diri yang lebih baru.

Dengan belajar, maka berarti kita tidak berhenti membangun diri kita sendiri. Kelihatannya pernyataan ini sangat sederhana. Tapi coba kita perhatikan implikasinya. Jika kita belajar terus, apa artinya? Berarti, dengan belajar terus kita berusaha membuka diri untuk pelajaran baru. Dengen belajar terus, bisa diartikan bahwa kita menganggap bahwa pengetahuan kita sebesar atau secanggih apa pun, itu tetap tidak sempurna.

Dengan belajar terus, berarti kita siap mendapat pengajaran, kita siap menjadi orang yang diajar. Bukan hanya seperti di kelas, dengan belajar terus, lewat media apa pun, berarti kita selalu bersedia melihat diri kita kembali. Kita bersedia melihat diri kita, dalam segala hal setidaknya pemahaman, penilaian, pertimbangan, sikap, perasaan, kepercayaan kita.

Dengan belajar seumur hidup maka, penilaian, pertimbangan, sikap, perasaan, kepercayaan, dan persepsi kita kepada segala hal pun akan semakin baik dan matang.

Begitulah. Sikap pembelajar akan menciptakan segala hal dari diri kita menjadi lebih baru.

Fransiskus Nadeak

****

December 23, 2008

Majulah dengan Yakin!

Kemarin sehabis latihan koor, terbersitlah pikiran tentang keyakinan diri ini. Saya buatlah judul tulisan singkat ini dengan, "Majulah dengan Yakin!"

Pemikiran ini berawal dari pertanyaan, "Baju apa yang saya pakai supaya saya pantas?" Pertanyaan itu disampaikan oleh beberapa orang teman ketika akan menampilkan diri dalam koor yang sudah dilatih berkali-kali berhari-hari.

Tentang pakaian ini, saya teringat dengan seorang sahabat yang selalu gelisah ketika memilih mau memakai baju apa pada acara tertentu. Ketika kami saling bercerita, dia menyampaikan bahwa bukan hanya pada hari tertentu yang ada acara saja dia was-was dengan pakaiannya. Sudah menjadi kegelisahan sehari-hari, bahkan kadang-kadang membuat dirinya tidak percaya diri, sehingga tubuhnya terlalu sering keringat dingin.

Mengapa dalam hal baju saja, seseorang bisa tidak percaya akan dirinya dalam hal berpakaian? Kemungkinan besar adalah karena hidupnya, setidaknya dalam hal berpakaian ditentukan oleh penilaian orang lain. Jadi bisa diartikan, dia berpakaian pantas atau tidak, tidak menggunakan penilaian sendiri, tapi penilaian orang lain (yang kemungkinan besar juga tidak valid.) Siapa yang menentukan kita harus memakai baju tertentu?

Ketika kami makin sering bercerita banyak hal, mulailah dia ada kesadaran akan penilaian bagi dirinya sendiri.

Sepatutnya, memang ada mode dan model pakaian tertentu. Kita juga tahu pada acara tertentu ada pakaian model umum tertentu. Bekerja di ladang, ada pakaian ke ladang. Kalau mau renang, ada pakaian renang. Ketika panjat tebing, ada pakaian untuk panjat tebing. Ketika bekerja, ada pakaian bekerja. Ah,... tapi pakaian bekerja pun tidak ada ketentuannya, tergantung pekerjaannya. Ah.... lagi, orang bekerja tanpa baju pun, oke-oke saja.

Jadi, suatu pola pun tidak harus dan tidak mutlak dilaksanakan dalam hal berpakaian. Ketika seseorang ke ladang, dengan pakaian yang pesta, tidak ada salahnya bukan? Kita juga tidak tahu, mengapa dia pergi ke ladang. Mungkin jalan-jalan. Atau mungkin saja dia ingin ke ladang dengan pakaian pesta. Atau jangan-jangan dia, sengaja mengelabui pikiran kita. "-:) Lagi pula, siapa yang menentukan pakaian tertentu menjadi 'pakaian pesta?'

Kembali ke pakaian koor tadi, seperti apa pakaian yang baik untuk koor, ya gunakanlah pakaian yang pantas. Yang bagaimana yang pantas? Seyogianya kita masing-masing tahu. Ada satu lagi yang paling penting, janganlah harmoni dan irama menyanyi dalam paduan suara atau koor berkurang hanya karena hal-hal yang tidak terlalu penting sekali. Janganlah busana mengurangi suara.

So, berjalanlah dengan yakin, bahwa tidak ada yang khusus memperhatikan diri kita harus hidup seperti apa di dunia ini. Apa buktinya? Coba ingat, diri kita sendiri. Sebulan lalu, hari Rabu, minggu kedua, kita sendiri menggunakan baju kita yang mana? Kecuali kita memiliki seragam yang harus digunakan hari Rabu, kemungkinan besar menggunakan baju yang mana, kita sendiri sudah lupa bukan?

Frans. Nadeak

***

Apa Itu Kebijaksanaan?

Beberapa hari ini, saya sering merenungkan arti bijaksana. Mungkin orang-orang menyebutnya, arif, atau hikmat. Permenungan ini dipicu oleh sharing bersama dari saya sendiri dan juga dari teman-teman.

Apa Arti Bijaksana?

Filsuf yang sering disebut salah satu manusia yang paling memiliki integritas yang pernah hidup di bumi ini, Socrates, berkata "The only true wisdom is in knowing you know nothing." Kita mungkin dapat mengerti setidaknya berusaha mengerti bahwa pernyataan Socrates adalah wujud kerendahhatian dan wujud penerimaan apa saja yang bisa memperdalam pengetahuannya. Bayangkan seperti Socrates, bisa berkata bahwa kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa dia tidak mengatahui apa-apa. Bisa kita mengerti juga, keterbukaannya kepada apa saja, yang membuat dirinya semakin bijaksana.

Saya teringat waktu awal kuliah. Ada acara film seri di RCTI, namanya Judge Bao. Saya teringat karena tertarik dengan kasus-kasus yang ada di film itu. Walaupun kebanyakan saya sudah lupa, tapi saya dapat mengerti bahwa walapun tentang hukum, tapi ada yang lain selalu muncul di sana, suatu yang lebih hebat: kebijaksanaan.

Suatu kali, seorang anak kita sebut saja namanya Jak Cun, terdakwa di pengadilan. Dia mencuri ayam. Saya lupa berapa ekor yang dia curi. Kita anggap saja mencuri satu ekor. Menurut hukum, dia harus dikurung tiga bulan. Dia terbukti mencuri ayam satu ekor, melalui penyelidikan dan pengakuan saksi-saksi yang jujur. Benar-benar terbukti tanpa cacat. Hukum positif menyatakan orang yang terbukti mencuri seekor ayam, dia dijatuhi hukuman tiga bulan kurungan.

Tapi apa yang terjadi, Judge Bao dengan berani membebaskan Jak Cun. Semua yang ada di pengadilan, heran dan keluarga yang kecurian ayam, bersungut-sungut. Tapi karena terkenal bijaksana, orang-orang mulai tenang. Keputusan Judge Bao, didasarkan kepada, bahwa Jak Cun dibebaskan karena alasan tertentu, motif tertentu, dan bukan untuk kepentingannya sendiri, sehingga dia mencuri.

Itulah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui aturan. Melampaui hukum. Melampaui pengetahuan. Melampaui kebenaran (hukum).

Tapi kebijaksanaan selalu bertautan dengan pengetahuan, pengertian, akal budi, dan hati. Sekarang ini akan sangat sulit, mungkin mustahil menjadi bijak tanpa pengetahuan. Umpama dalam kebijaksanaan tadi, Judge Bao sudah mengetahui lebih daripada hukum dan dan seluk-beluknya, bahkan kebenaran. Judge Bao sudah mengetahui lebih luas dengan perspektif yang luas juga.

***

Diberi Kehidupan Dua Kali

Di kota saya tinggal sekarang, saya mendapat permenungan dan pencerahan yang luar biasa dari seorang yang pernah tidak sadarkan diri selama satu bulan karena tabrakan. Dia benar-benar pulih ingatannya sekitar 9 bulan. Walaupun menurut pengakuannya, masih banyak hal-hal yang dia tidak bisa ingat lagi, karena tabrakan itu sampai sekarang.

Saya sering terinspirasi dari cerita yang menjadi pengalaman hidupnya. Saya sudah minta izin untuk menyampaikan namanya di tulisan ini. Dia sendiri setuju. Tapi untuk kebijaksanaan saat ini, namanya tidak saya buatkan sekarang.

Ceritanya, dia naik sepeda motor, lalu tabrakan dan dia tidak sadarkan diri. Kepalanya seperti pecah. Dan kalau saya lihat bekas jahitan di kepalanya, saya tidak heran, bahwa kejadiannya memang mungkin mengerikan. (Semua biaya sampai sembuh ditanggung oleh perusahaannya bekerja saat itu, walaupun dia tidak bekerja di sana setelah 3 bulan peristiwa tabrakan.)

Selama sebulan di rumah sakit dia benar-benar tidak sadar. Setelah sebulan berikutnya, dia bisa keluar dari rumah sakit, tapi lupa segalanya, semua yang ada di memorinya hilang. Jadi sebulan setelah keluar dari rumah sakit, perlahan-lahan muncul ingatan-ingatannya.

Ketika tiba di rumahnya di kampungnya di Sumatera Utara, dia berkata dalam bahasa Batak kepada ibunya, "Nunga di dia Bapa? Nunga di dia Bapa?" -- "Di mana ayah? Di mana ayah?"

Selama pulang dan tinggal di rumah orangtuanya, dia harus didampingi karena tubuhnya masih goyang dan tidak stabil.

Ketika dia menanyakan di mana ayahnya tadi, ibunya langsung mengerti. Ibunya diam menahan tangis. Kemudian sahabat ini, dibimbing ke belakang rumahnya sekitar 60 meter. Semua orang keluarga yang ikut mendampingi menangis menahan suara kepiluan melihat kejadian ini.

Dia dibawa ke suatu tempat, makam ayahnya, karena ayahnya sudah meninggal sekitar sepuluh tahun sebelumnya.

Bulan-bulan berikutnya, dia dapat mendengar dan mengerti ucapan-ucapan orang, "Mungkin lebih baik dia itu mati saja. Kalaupun dia hidup, dia sudah pasti gila."

Inti dan permenungan darinya adalah seperti katanya, "Setelah kejadian itu, saya akan melakukan yang sebaik-baiknya, semampu saya. Karena saya diberi nyawa dua kali oleh Allah."

Bagaimana dengan kita, yang tidak (atau belum) diberi-Nya nyawa dua kali? Kita hidup hanya sekali.

Salah satu permenungan yang paling 'gila' tentang apa yang akan kita lakukan, akan menjadi seperti apa kita, kita hidup bagaimana, apa sebenarnya yang akan saya capai, untuk apa saya hidup, dan segala pertanyaan filosofis tentang makna pekerjaan, makna diri kita, makna hidup kita, tujuan hidup kita, sangat 'menggiurkan' dan 'menggetarkan' jika bertautan dengan waktu dan hidup.

Dua karunia-Nya yang jarang kita ingat. Sering kita tidak sadari sepenuhnya.

Fransiskus Nadeak

***

December 10, 2008

Menjadi Diri Sendiri

Saya sering mengingat ucapan dari seseorang kepada orang lain yang intinya menggugah kepercayaan diri. Ketika orangtua memberangkatkan anaknya merantau, sering juga titipannya berupa nasihat dan petuah-petuah lain.

Orangtua menasihatkan sesuatu kepada anaknya yang mau berangkat, tentu biasanya ke tempat yang secara geografis jauh, tapi yang lebih utama adalah karena di tempat baru yang hendak dituju, sangat berbeda kultur.

Ada ungkapan, "Jadilah dirimu sendiri!". Tapi saya sering merenungkan ungkapan yang hebat ini. Menjadi diri sendiri, ya, menjadi diri sendiri.

Permenungan saya adalah kira-kira seperti beberapa hal berikut. Apa artinya menjadi diri sendiri? Atau, diri sendiri yang bagaimana? Mungkin lebih detail, apa yang harus diketahui dan dipahami oleh seseorang agar dia bisa menjadi dirinya sendiri?

Dalam permenungan saya, agar seseorang bisa menjadi diri sendiri, setidaknya dia harus memahami diri sendiri. Pemahaman seseorang akan dirinya mencakup, perasaan, persepsi, kepercayaan, dan nilai akan dirinya sendiri.

Satu hal yang penting. Jika kita selalu membawa diri kita agar sesuai dengan harapan orang lain, dengan sendirinya kita akan semakin jauh dari diri sendiri. Jika kita hidup hanya untuk menyenangkan orang lain, berarti kita juga tidak akan menjauh dari diri sendiri.

Belum lagi ketidakpuasan kepada diri sendiri. Jika kita tidak bisa menerima penampilan kita, mungkin gaya rambut, warna kulit, bentuk tubuh, berat badan, bahkan posisi susunan gigi kita, akan sangat sulit menjadi diri kita sendiri. Kita akan membawakan diri kita sebagai orang yang gaya rambutnya seperti model, kulit yang halus seperti iklan kosmetik, bentuk tubuh seperti model di catwalk, karena kita belum bisa menerima yang ada pada kita.

François de La Rochefoucauld pernah berkata, "A man who finds no satisfaction in himself, will seek for it in vain elsewhere." Bagaimana mungkin menjadi diri sendiri, jalau hidup membawakan diri orang lain?

Menjadi diri sendiri, mengandaikan dalam segala hal memiliki penilaian sendiri. Dia memiliki nilai-nilai yang sangat kuat. Dengan nilai yang kuat ini, dia juga perlu mengetahui nilai atau pengetahuan lain. Dengan referensi yang beragam dan luas, maka memperluas kemampuan dan cakrawala untuk menilai, memutuskan dan membuat aksi dan tindakan sendiri.

Dalam kondisi yang seperti inilah seseorang bisa menuju dan menjadi dirinya sendiri.