Selama liburan di penghujung akhir tahun 2008, saya melihat ada film baru mumcul. Tentu baru di Indonesia kita ini, sebenarnya ini film tahun 2007. Judulnya adalah "Love in the Time of Cholera".
Saya langsung tertarik dengan film ini. Saya tertarik bukan karena judul film yang mengandung kata 'Love' atau 'Cholera'. Film itu didasarkan pada novel dengan judul yang sama. Tertariknya juga bukan karena judul novel dan film yang sama itu. Tepatnya lebih tertarik karena penulis novelnya, Gabriel García Márquez. Gabriel García Márquez adalah jurnalis sekaligus novelis Kolumbia, yang memperoleh Nobel Kesusasteraan tahun 1982.
Ketika terbaca namanya yang menjadi inspirasi film itu, saya teringat akan novelnya yang lain yang luar biasa juga. Novelnya yang terkenal itu adalah "One Hundred Years of Solitude" (1967), Seratus Tahun Kesunyian. Saya pun ingin menontonnya.
Kita kembali ke "Love in the Time of Cholera". Film ini diperankan oleh Javier Bardem sebagai Florentino Ariza; Gievanna Mezzogiorno sebagai Fermina Daza; dan Benjamin Bratt sebagai dr. Juvenal Urbino.
Walaupun tentang cinta adalah masalah klasik, tapi sepanjang film, tampil keadaan nyata manusia dengan perasaan, pengalaman, persepsi, pemaknaan, dan perjalanan hidup. Hidup yang senyatanya. Realisme yang bersifat magis.
Florentino, pengantar telegraf, jatuh cinta dengan Fermina yang anggun dan ayu. Melihat kesungguhan Florentino, Fermina pun mencintainya. Fermina dengan penguatan dari yang mendampinginya di rumahnya, akhirnya juga bersedia akan menikah dengan Florentino.
Dari sinilah mulai cerita yang akan menimbulkan penderitaan bagi Florentino. Karena sudah saling mencintai, dan seakan-akan, tidak terpisahkan lagi, orangtua Fermina tidak setuju akan keintiman anaknya dengan Florentino. Akhirnya, Fermina nantinya menikah dengan dr. Juvenal.
Ketika, sudah sampai kepada perasaan cinta ini, Florentino sering menangisi kisah cinta dan hidupnya. Ketika menangis di tempat tidur, ibunya menghibur sekaligus memberikan pengertian kepada Florentino,
"Nikmatilah cinta selagi masih muda, tapi bertahanlah dalam penderitaannya!"
Bahkan ketika Fermina sudah menikah dengan dr. Juvenal, untuk menjauhkan Florentino dari surat-menyurat yang mungkin ditulisnya dan akan dikirim kepada Fermina, ibunya mengirimnya merantau ke daerah terpencil yang tidak terjangkau surat atau telegraf sejauh tiga minggu perjalanan untuk mencapainya.
Tapi Florentino kembali ke rumahnya. Rasa cintanya yang murni kepada Fermina membuatnya pulang lagi ke rumahnya.
Ketika semakin lama dalam penderitaannya, terucap pesan, dari ibunya,
"Jangan kau sia-siakan hidupmu. Kau harus belajar melupakannya. Kau harus melupakannya."
Florentino tidak menikah. Florentino rela menunggu sampai 51 tahun. Setelah 51 tahun, sesudah dr. Juvenal meninggal, akhirnya Florentino dan Fermina, bertemu dan bersama lagi.
Sangat menarik pembicaraan mereka di usia yang sudah uzur. Fermina berkata,
"Kita hanya sama dalam kenangan, kita benar-benar berbeda. Perasaan cinta yang dulu hanya khayalan."
"Tapi bagi saya, tidak," kata Florentino.
Inilah pesan Gabriel García Márquez dalam pembicaraan dua insan yang saling mencintai ini:
Fermina:
"Tapi jika aku melihat ke belakang, aku rasa ada lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Terlalu banyak debat kusir. Terlalu banyak amarah."
Florentino:
"Mungkin sudah saatnya kita bertanya kepada diri kita sendiri, dengan hasrat kita untuk hidup,
apa yang harus dilakukan pada cinta yang telah jauh tertinggal tanpa pemilik."
Sambung Fermina:
"Luar biasa! Bagaimana seorang bisa bahagia selama bertahun-tahun di antara begitu banyak masalah, terrlalu banyak gangguan. Dan tidak begitu mengerti apakah itu cinta atau tidak."
Florentino:
"Izinkan aku menghapus kesalahan masa lalu. Usia tidak berpengaruh kecuali dalam dunia fisik. Esensi dari seorang manusia tidak terpengaruh oleh waktu. Kehidupan dalam diri kita bisa dikatakan abadi, sehingga jiwa kita tetap muda dan bergairah, seperti saat kita masih muda dan baru merekah."
Lanjut Fermina:
"Bayangkan cinta sebagai sebuah anugerah. Bukan sesuatu yang menyakitkan. Sebagai awal dan akhir. Sebagai akhir itu sendiri."
***
Fransiskus Nadeak
***
2 comments:
kisah cinta yg menarik,.. ceritanya pun menrik sekali...
kisah cinta yg menarik....kesetiaan dan ketulusan dlam mencintai
Post a Comment