December 28, 2009

Bertemu Seorang Gadis Pembaca

Sore ini, sambil menikmati minuman hangat, saya menemukan sesuatu di warung. Sebuah buku "Mimpi-mimpi Lintang - Maryamah Karpov".

Saya lihat buku itu asli. Terletak di atas meja. Sepertinya dibuat di sana agar mudah dijangkau oleh pembacanya. Saya minta izin ke ibu di warung untuk memegangnya. Di dalamnya ada semacam kartu pemisah halaman, sampai di sanalah seseorang sudah membacanya.

Ternyata buku itu adalah milik seorang gadis siswi sekolah menengah pertama (SMP), Suci Ardina namanya. Nama itu ada di halaman paling awal.

Saya berbincang-bincang dengan ibu itu, bahwa buku itu dibeli dan dibaca putrinya. Seorang siswi SMP menyimpan dan mengalokasikan uang jajannya untuk membeli buku untuk dibacanya.

Suatu ketakjuban bagi saya. Karena sudah cukup lama saya menemukan seorang siswi seusianya yang membaca, membeli, memiliki buku novel sendiri, dan novel yang tergolong tebal.

Acara Natal yang Saya Lihat

Beberapa hari dalam bulan November dan Desember ini, saya melihat acara atau perayaan Natal yang beragam.

Tentu saya pilih kata 'melihat' karena memang ada kegiatan itu yang saya diundang, ada juga yang ikut terlibat, ada juga ikut merumuskan beberapa acaranya, ada juga yang memang ikut melihat bukan karena ada tambahan menyanyi, atau menari atau hiburan lain.

Jadi jika acaranya hanya sebagai penggembira atau penikmat, maka itulah saat yang baik untuk mengamati, untuk menggembirakan.

Kadang saya terpikir, bahwa banyak acara itu, sudah tinggal atau hanya acara atau perayaan saja, dengan kehilangan esensinya.

Pernah suatu kali acara dibuat meriah tapi sudah kehilangan makna Natal itu sendiri. Acaranya hampir selalu menyanyi dengan beberapa orang menyanyi di panggung dan satu orang pemimpinnya. Menyanyinya sangat keras, dan volume dari sound system sudah sangat membuat telinga sakit.

Lalu terlalu sering nyanyian itu diiringi atau diakhiri dengan teriakan yang tidak terlalu jelas maksud dan tujuannya.

December 23, 2009

Hakim Bao

Beberapa hari ini, saya sering merenungkan arti bijaksana. Mungkin saja orang-orang menyebutnya sebagai arif, atau hikmat. Permenungan ini dipicu oleh sharing bersama dari saya sendiri dan juga dari teman-teman.

Adil dan Bijaksana?

Filsuf yang sering disebut salah satu manusia yang paling memiliki integritas yang pernah hidup di bumi ini, Socrates, berkata "The only true wisdom is in knowing you know nothing." Kita mungkin dapat mengerti setidaknya berusaha mengerti bahwa pernyataan Socrates adalah wujud kerendahhatian dan wujud penerimaan apa saja yang bisa memperdalam pengetahuannya.

Bayangkan seperti Socrates, bisa berkata bahwa kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa dia tidak mengatahui apa-apa. Bisa kita mengerti juga, keterbukaannya kepada apa saja, yang membuat dirinya semakin bijaksana.

Saya teringat beberapa tahun lalu. Ada acara film seri di televisi, namanya Judge Bao. Saya teringat karena tertarik dengan kasus-kasus yang ada di film itu. Walaupun kebanyakan saya sudah lupa, tapi saya dapat mengerti bahwa walaupun tentang hukum, tapi ada yang lain selalu muncul di sana, suatu yang lebih hebat dan penting: Keadilan dan Kebijaksanaan.

Suatu kali, seorang anak kita sebut saja namanya Jak Cun, terdakwa di pengadilan. Dia mencuri ayam. Saya lupa berapa ekor yang dia curi. Kita anggap saja mencuri satu ekor. Menurut hukum, dia harus dikurung tiga bulan. Dia terbukti mencuri ayam satu ekor, melalui penyelidikan dan pengakuan saksi-saksi yang jujur. Benar-benar terbukti tanpa cacat. Hukum positif menyatakan orang yang terbukti mencuri seekor ayam, harus dijatuhi hukuman tiga bulan kurungan.

Tapi apa yang terjadi, Hakim Bao dengan berani membebaskan Jak Cun. Semua yang ada di pengadilan, terperangah dan heran. Keluarga yang kecurian ayam, bersungut-sungut. Tapi karena terkenal bijaksana, orang-orang mulai tenang. Keputusan Hakim Bao, didasarkan kepada, bahwa Jak Cun dibebaskan karena alasan tertentu, motif tertentu, dan bukan untuk kepentingannya sendiri, sehingga dia mencuri. Itulah kebijaksanaan.

Kebijaksanaan melampaui fakta-fakta.
Kebijaksanaan melampaui aturan.
Melampaui hukum.
Melampaui pengetahuan sementara.
Bahkan, melampaui kebenaran (hukum).


Tapi kebijaksanaan selalu bertautan dengan pengetahuan, pengertian, akal budi, dan hati. Sekarang ini akan sangat sulit, mungkin mustahil menjadi bijak tanpa pengetahuan. Umpama dalam kebijaksanaan tadi, Hakim Bao sudah mengetahui lebih daripada hukum dan dan seluk-beluknya, bahkan kebenaran. Hakim Bao sudah mengetahui lebih luas dengan perspektif yang luas juga.

* * *

Hukum dibuat untuk (rasa) keadilan.
Tapi terlalu banyak orang-orang yang 'katanya' hanya menegakkan hukum,
lalu lupa untuk apa hukum itu dibuat, untuk keadilan.

Maka, terjadilah, hukum ditegakkan untuk merobohkan dan menghancurkan keadilan.

Keanehan-keanehan Sepakbola

Sepakbola merupakan olahraga yang nikmat, tapi dalam kenikmatan itu, banyak juga hal-hal aneh di dalamnya. Walaupun menonton permainan atau pertandingan sepakbola sungguh asyik, tetap lebih asyik jika pernah mengalami permainan atau pertandingan itu secara konkret atau bermain secara langsung. Dengan bahasa yang sederhana, pernah bermain sepakbola.

Dengan pernah bermain sepakbola di lapangan yang sebenarnya, dan bermain yang sebenarnya (maksudnya bukan hanya pertandingan pemanasan, main-main, atau pertandingan persahabatan). Maka akan semakin terasa hal-hal yang kita maksudkan sebagai keanehan-keanehan. Mungkin tepatnya bukan sebagai keanehan, tapi kita anggap saja sebagai keanehan.
:-)


Inilah beberapa, dan mungkin masih banyak yang lain.

Namanya Sendiri

Sepakbola sebenarnya istilah yang tidak terlalu tepat dalam bahasa Indonesia. Yang paling tepat untuk itu adalah bola sepak, atau dirangkai saja menjadi bolasepak. Karena lebih sesuai, dan misalnya juga jika dibandingkan dengan bola voli, atau bola keranjang, atau bola sodok.

Lama Permainan

Walaupun disebut-sebut dan ditulis di mana-mana lama permainan sepakbola resmi adalah 2 X 45' - dua kali empat puluh lima menit; tapi hampir tidak pernah permainan sepakbola hanya 90 menit. Babak pertama saja, misalnya sudah 47 menit, dan ketika babak kedua dimulai, hitungannya bukan mulai dari menit ke-48, tapi tetap mulai setelah menit ke-45, atau awal menit ke-46.

Pun ketika babak kedua akan berakhir, maka hampir tidak pernah selama 45 menit, tetap lebih daripada 45 menit. Hampir selalu ada waktu tambahan. Waktu tambahan bisa karena, pelanggaran, cedera pemain, bahkan pergantian pemain.

Offside

Pertama istilah offside ini sendiri, belum ada bahasa Indonesianya. Kemudian, walaupun ada aturan dan tata tertib untuk ini, tetap saja selalu tidak terlalu jelas untuk bola yang dikirim melambung.

Kapten dan Pelatih

Di luar lapangan, untuk sebuah tim, yang paling menentukan adalah pelatih atau kadang-kadang digunakan istilah manager. Sepertinya lebih tepat sebagai manager, atau pemimpin tim. Karena pelatih adalah hal lain.

Tapi di dalam lapangan, yang paling menentukan adalah kapten tim. Kaptenlah yang bisa 'berbicara' dengan hakim garis atau wasit.

Handsball

Dalam permainan sepakbola, hanya ketika lemparan ke dalam yang menggunakan tangan secara aktif. Secara aktif berarti memang benar-benar menggunakan tangan sebagai media permainan, dan tidak boleh menggunakan bagian tubuh lain.

Tapi ada kalanya para pemain menggunakan tangan untuk tujuan lain, yakni menarik baju lawan, menghalangi pergerakan lawan, bahkan juga misalnya menghentikan bola, ketika wasit membunyikan peluit untuk berhentik karena banyak hal.

Tapi yang paling menimbulkan kontroversi adalah seseorang menggunakan tangan untuk memainkan bola apakah memindahkan bola sedikit. Tapi yang paling kontroversial adalah menggunakan tangan menggerakkan atau mengalihkan bola ke arah gawang dan menjadi gol.

Hal seperti itu pernah dilakukan Diego Maradona dan Thierry Henry. Yang menarik, Maradona dan Henry tidak dihukum karena aksinya itu. Kamera, rekaman sudah menunjukkan kenyataan yang sebenarnya, dan orangnya pun sudah mengakui. Padahal berdasarkan rekaman, hukuman bagi hal lain misalnya pelanggaran bisa diperberat, atau kartu merah dihapuskan.

Banyaknya Gol yang Terjadi

Dalam permainan bola basket, semakin banyak poin, apalagi kalau kedua tim menciptakan poin semakin banyak, maka pertandingan semakin seru.

Dalam permainan atau pertandingan sepakbola, memang tujuannya adalah menciptakan gol ke gawang lawan, atau setidaknya bagi tim A misalnya, lebih banyak memasukkan gol daripada kemasukan gol. Tujuannya memenangi permainan atau pertandingan dengan menciptakan gol.

Tapi dalam sepakbola, semakin banyak gol yang terjadi, kemungkinan besar, bahwa pertandingan itu tidak bermutu. Hampir bisa dipastikan jika banyak sekali gol yang terjadi, maka boleh disebut pertandingan itu tidak menarik lagi.

Kita bayangkan skor pertandingan sepakbola 15 - 15. Apa artinya? Mungkin itu bukan lagi pertandingan sepakbola, tapi sudah menjadi bola voli.
:-)

Gol Bunuh Diri

Dalam istilah Inggris, digunakan istilah own goal, dan di sini digunakan gol bunuh diri. Ini biasanya gol yang terjadi oleh pemain ke gawang sendiri, kerana ketimpa bola, atau kena ke badan lalu arah bola berubah, dan kiper tidak bisa lagi mengantisipasi. Intinya gol ke gawang sendiri karena tidak sengaja. (Kecuali pernah dilakukan pemain tim nasional Indonesia, agar timnya kalah.)

Sepertinya istilah gol bunuh diri terlalu kejam.
:-)

Pergantian Pemain


Pergantian pemain dalam satu tim maksimal 3 orang, kecuali untuk kasus kiper yang dikartumerahkan. Memang sepertinya menjadi 4 pemain tapi satu pemain yang bukan kiper - yang tidak berhubungan dengan kejadian - harus (rela) dikeluarkan.

Tapi yang paling ironis dan tragis dari pertandingan sepakbola adalah jika misalnya satu tim telah melakukan pergantian 3 pemain, lalu kemudian, satu orang pemain cedera atau dicederai lawan, dan harus meninggalkan lapangan, maka pemain itu tidak boleh diganti. Ini benar-benar ketidakadilan dan kerugian pada tim itu. Pemain yang harus keluar misalnya karena dicederai, dan tidak bisa digantikan.
Ini benar-benar harus memerlukan keseriusan.

Yang Hebat tidak Selalu menjadi Pemenang

Dalam sepakbola, tim yang menarik, yang jago, yang hebat, tidak selalu menang. Tim yang keren, pemain-pemain supermahal, tidak memastikan hasil dalam sepakbola. Walaupun tim yang mempertontonkan permainan yang indah dan atraktif dinanti-nanti dan dipuja-puja, tapi sesaat wasit membunyikan peluit selesai pertandingan, dan tim itu tidak menang, maka dengan secepatnya siapa pun akan mencemooh tim itu.

Sungguh aneh bukan?

November 30, 2009

Call Me by My True Names ~ [Thich Nhat Hanh]

Beberapa tahun lalu, saya mengetahui nama Thich Nhat Hanh pertama sekali. Nama itu unik dan menarik karena komposisi huruf-hurufnya.

Saya mengetahuinya ketika membaca nama itu tertulis di sebuah buku karya Jay B. McDaniel, Roots and Wings, buku tentang dialog pencarian spiritual & religiositas yang sangat beragam dan kemanusiaan kita dalam kosmos ini. Buku yang menawarkan alternatif pendekatan kontemporer tentang konsumerisme dan fundamentalisme juga.

Saya akan teringat dengan Thich Nhat Hanh ketika terjadi perang (mungkin tepatnya bukan perang) seperti di Afganistan, Irak, atau kekerasan yang terjadi seperti bom di Jakarta atau setiap terjadi bencana yang memilukan seperti yang baru saja terjadi menimpa kita di Sumatra Barat.

Thich Nhat Hanh dilahirkan di Vietnam Tengah tahun 1926. Tahun 1942 pada usia 16 tahun, Nhat Hanh memasuki kehidupan kebiksuan sebagai calon biksu. Ketika perang berkobar di negerinya, Nhat Hanh bersama-sama biksu seperguruan meninggalkan ketenangan wihara dan secara aktif membantu korban perang serta menyuarakan perdamaian.

Tahun 1966, Nhat Hanh diundang ke Amerika Serikat 'untuk mengisahkan kepada kami (masyarakat Amerika)' tentang aspirasi dan penderitaan tak tersuarakan rakyat Vietnam. Nhat Hanh bertemu dengan banyak orang Amerika dari berbagai lapisan masyarakat. Bertemu dengan berbagai tokoh secara personal terutama penggiat perdamaian dunia di sana, misalnya Robert McNamara, menteri pertahanan; Thomas Merton, dan Martin Luther King, Jr.

October 27, 2009

Cerita Cherokee

"Aku sendirilah surga sekaligus neraka."
~ Omar Khayyam (1048 - 1123 SM), penyair dan filsuf Persia


Beberapa minggu belakangan ini, selalu ada ajakan untuk (sedikit) berbuat yang baik. Kalaulah tidak mampu melakukan aksi yang baik, ya setidaknya memikirkan atau merenungkan sesuatu yang baik.


Untuk menjadi baik, dipastikan itu sangat sulit, tapi dengan pikiran dan tindakan yang terus-menerus diusahakan dengan penuh kesadaran, maka sepertinya kehidupan ini juga akan semakin baik, tentu lagi, dengan semakin banyak orang yang melakukannya. Diperlukan perjuangan yang terus-menerus.


Masih relevan, teringat akan sebuah cerita dari salah satu suku Indian, Cherokee. Saya ingat, ketika anak-anak, bahwa orang-orang Cherokee memiliki tipikal sungguh-sungguh dengan selalu menanamkan moto dalam batinnya tentang semangat, tentang spirit. Selain itu, ada sesuatu yang berhubungan dengan nilai, yakni tradisi dan keyakinan. Orang Cherokee diketahui sangat mengajarkan keyakinan diri dan kekuatan tradisi, kekuatan (prinsip) sendiri. Keyakinan untuk mempertahankan dan memperjuangkan negerinya dan bangsanya.


Will Rogers seorang humoris yang bukan seorang Cherokee membuat satu ungkapan, "I am a Cherokee and it's the proudest little possession I ever hope to have."


Wilma Mankiller, yang lahir 1945, wanita pertama yang menjadi Kepala Suku Cherokee, mengatakan sesuatu yang menginspirasi banyak orang, “One of the things my parents taught me, and I'll always be grateful as a gift, is to not ever let anybody else define me; that for me to define myself . . . and I think that helped me a lot in assuming a leadership position.”.


Mankiller juga mengatakan“Individually and collectively, Cherokee people possess an extraordinary ability to face down adversity and continue moving forward.”. Walaupun nama tidak perlu harus memiliki arti, tapi bagi Indian Cherokee, nama itu sangat menentukan. Kita perhatikan nama belakang Wilma, Mankiller.
:-)


Ini cerita dari suku Cherokee mengenai tetua suku yang sedang mengajarkan kehidupan kepada cucu lelakinya.

"Sebuah pertempuran terjadi di dalam diriku," kata tetua kepada cucunya. "Itu adalah pertempuran yang kejam antara dua ekor serigala."


Tetua menyambung, "Yang satu jahat - ia adalah kemarahan, iri hati, sakit hati, penyesalan, keserakahan, kesombongan, selalu merasa bersalah, mudah tersinggung, merasa rendah diri, kebohongan, harga diri yang salah, merasa hebat, dan egois.


Yang lain baik - ia adalah kebahagiaan, damai, cinta, harapan, ketenteraman, kerendahan hati, kebaikan, kebajikan, empati, kemurahan hati, perhatian, dan kepercayaan.


Pertempuran yang sama juga terjadi dalam dirimu dan di dalam diri setiap orang lain juga."


Sang cucu memikirkan hal itu selama beberapa saat dan kemudian bertanya kepada kakeknya,

"Serigala mana yang akan menang?"


Tetua suku Cherokee hanya menjawab,

"Yang kauberi makan."


Sedikit Cukup, Banyak Kurang


Sedikit cukup, banyak pun kurang. Itu salah satu ungkapan dalam tradisi Batak. Mungkin juga ada pengertian yang sama dalam kultur lain, tapi dengan pengungkapan yang berbeda.

Ungkapan itu sering muncul dalam sebuah keluarga, jika ada yang harus dibagi atau dikonsumsi bersama. Jangan dibayangkan, yang dimaksud keluarga itu hanya dua orangtua dan dua atau tiga orang anak.

Itu ungkapan yang sering terdengar dalam sebuah keluarga besar, katakanlah dengan lima sampai dengan tiga belas orang anak. Mungkin juga misalnya ada lagi tambahan anak keluarga lain yang tinggalnya lebih ke pedalaman lagi, tapi karena misalnya sekolah dasar atau sekolah menengah, maka bertambahlah 'titipan' anak dalam sebuah keluarga.

Ungkapan itu paling nyata dalam hal makanan. Jika satu keluarga misalnya dengan delapan orang anak ditambah satu anak 'titipan' ditambah dengan dua orangtua, maka yang makan sebanyak sebelas orang. Jika pola makan tidak teratur - siapa yang lebih dahulu pulang, dia yang lebih dahulu makan - maka kemungkinan ada masalah kepada orang yang paling belakangan pulang ke rumah, mungkin bagiannya misalnya lauk yang paling tidak bagus lagi, paling sedikit, atau mungkin kehabisan.

Bayangkan yang makan sebelas orang, maka harus ada strategi mengatur pola dan cara makan keluarga agar tertib.

Tapi selain tentang pola makan yang tertib ini ada hal yang penting lagi yang sebenarnya berhubungan langsung dengan pola makan tadi, yakni banyaknya makanan yang tersedia.

Satu strategi agar masalah makan ini berlangsung baik adalah dengan makan bersama.

Makan Bersama

Saya teringat tentang ungkapan ini karena terkenang salah satu orang yang sangat rendah hati, bijaksana, yakni R. P. Radboud Waterreus, O. F. M. Cap., seorang Belanda yang menjadi warga negara Indonesia, seorang yang mencintai Indonesia lebih daripada kebanyakan orang Indonesia. Saya teringat karena nasihatnya kepada keluarga-keluarga besar di desa agar anggota keluarga diusahakan sesering mungkin makan bersama.

R. P. Radboud Waterreus, O. F. M. Cap., disapa, dipanggil, dan dimuliakan oleh siapa pun yang mengetahuinya dan mengenalnya dengan Ompung. Ompung dengan pengertian lebih daripada sekadar kakek. Karena yang sudah kakek pun (seumur dengan Ompung itu) tetap menyebut dan memanggilnya dengan, "Ompung!".

Ketika saya masih kecil, saya sering memikirkan mengapa Ompung itu memesankan itu. Setelah mengalami dan mencoba mempelajari sesuatunya, ada hal penting selain makanan, yakni agar timbul kebersamaan, toleransi, dan kesatuan keluarga.

Bagaimana ini mungkin?

Dahulu, dalam satu keluarga, makan bukan dari piring masing-masing, tapi dari sebuah piring besar atau semacam talam. Dalam satu wadah inilah tempat makanan bagi semua anggota keluarga, makan dari satu tempat dan tentu pasti makan bersama-sama.

Teringat kondisi jika sebuah keluarga besar maka pada saat bersamaan akan ada anggota keluarga yang menjadi murid sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA atau SMU sekarang), atau masih ada barangkali yang masih belum sekolah. Saat itu di sana tidak ada play group dan taman kanak-kanak.

Untuk menerapkan niat baik 'makan bersama' tadi, kecuali untuk anak yang masih sangat kecil, lemah, atau mudah terserang penyakit, maka untuk keinginan makan bersama untuk siang, akan terjadi hal-hal yang unik. Bayangkan anak yang masih siswa SD misalnya kelas enam, akan lebih dahulu tiba di rumah, tapi tidak boleh makan lebih dahulu. Dia harus menunggu kakaknya yang akan datang berikutnya yang siswa SMP dan selanjutnya yang siswa SMA.

Jika seorang anak sudah menginjak remaja, bagaimana dia bersikap ketika makan akan terlihat 'keadaannya' saat itu. Jika dia misalnya tidak selera atau bahkan kesulitan menelan nasinya ke perutnya, berarti ada 'masalah'. Ini satu lagi yang sangat penting dalam melihat kondisi anggota keluarga. Saat-saat seperti inilah yang menciptakan suatu kebersamaan, toleransi, dan kesatuan.

Ketika seseorang sudah sangat lapar (anak yang masih siswa SD), maka dia harus menanti kepulangan kakak-kakaknya. Dan satu yang menarik lagi, dia akan menunggu dengan senang hati - supaya bisa makan.
:-)

Ketika anak-anak dalam keluarga ini, sudah dewasa dan berpencar dan sudah membentuk keluarga baru, selalu ada niat dan keinginan menanti pertemuan ini, -- bukan karena makan lagi -- tapi karena kerinduan sebagai sebuah keluarga, sebagai saudara.

September 17, 2009

Siapa Saja yang Terlibat?


"Orang pada dasarnya, ingin dihargai atas kerja keras mereka."

~ David C. Novak, pemimpin Yum Brands


Selama dua hari ini, di waktu senggang, saya pergunakan untuk membaca buku-buku. Ternyata, isi buku-buku menarik. Salah satu yang menarik adalah kutipan di atas, dari David C. Novak itu.


Memang ungkapan itu, sepertinya biasa-biasa saja. Itu menjadi berarti karena saya beberapa hari sebelum membaca ungkapan itu, menonton konser musik dan paduan suara.


Saya bisa merasakan alunan suara penyanyi dan alat-alat musik pengiring. Saya bisa merasakan semua bunyi yang berasal dari alat musik yang bermacam-macam membentuk sebuah harmoni. Saya bisa merasakan sedikit gerakan para penyanyi ketika lagunya bernuansa gembira. Saya masih bisa merasakan suara alat musik yang dimulai sangat pelan dengan nada yang sangat rendah sampai menjadi nada yang sangat tinggi melengking tapi bening dan jernih -- biola. Suara drum, perkusi, gitar dan juga hentakan kaki. Suasana harmoni.


Kalau mengingat konser musik seperti ini teringat juga akan para penyanyi tenor atau sopran. Teringat lagi para penyanyi solo atau kelompok musik, mulai dari Joan Baez, Elton John, Sarah Brightman, Katherine Jenkins, Russell Watson, juga Collective Soul, Queen bahkan sampai Carrie Underwood, seorang pemenang American Idol.


Sering kali, ketika secara khusus mendengarkan penyanyi atau pemusik favorit, saya mengambil sampul albumnya dan mencoba melihat gambar-gambar yang ada. Sering juga sengaja untuk melihat adakah ditampilkan lirik lagu pada album itu.


Pengamatan kecil-kecilan, sering pada album lagu Barat, dituliskan semua orang yang terlibat. Bukan hanya seperti ucapan terima kasih pada sebuah buku pada Kata Pengantar, sering pada album-album itu ditampilkan siapa saja yang memberikan sumbangan pada lagu atau album itu.
Misalnya, jika ada beberapa lagu pada satu album, dan salah satu lagu diiringi beberapa pemain biola, maka pada bagian akhir lirik, atau bagian belakang kertas albumnya, tertulis semua nama-nama pemain musik yang ikur serta dan semua pemain biola itu.


Ini cukup menarik. Karena saya lihat di beberapa album lagu berbahasa Indonesia dan daerah, tidak banyak yang membuat seperti ini.


Tradisi atau kebiasaan yang sederhana tapi sangat bernilai. Saya membayangkan, mungkin ada pemain musik atau penyanyi pengiring atau penyanyi latar, sudah menampilkan kemampuan terbaik, barangkali latihan yang penuh upaya dan kerja keras.


Dengan tindakan sederhana -- ucapan terima kasih -- seperti menuliskan nama siapa saja yang terlibat dalam satu lagu atau album, merupakan sebuah apresiasi dan penghormatan yang tinggi bagi orang-orang yang terlibat.


Karena, sekali lagi seperti kata David C. Novak tadi, "Orang pada dasarnya, ingin dihargai atas kerja keras mereka."


Karena orang, sarana, dan peran yang berbedalah maka tercipta simfoni dan harmoni yang indah.

Seorang Pengkhotbah dan Seorang Supir Taksi


Kemarin, sambil menunggu waktu berbuka puasa, saya berbincang-bincang dengan beberapa sahabat. Banyak sahabat yang menunggu berbuka puasa juga. Muncullah ide tentang bagaimana mencoba melakukan sesuatu yang berarti. Tapi apa? Saya sendiri kurang tahu persis.


Sambil mencari apa yang berarti itu, kami berbagi cerita. Sampai juga ke hal-hal yang selalu menarik untuk direnungkan. Yakni, kita sering terjebak, karena kita melakukan sesuatu yang menurut kita baik, lalu kita beranggapan bahwa kita lebih baik daripada orang lain.


Sampai juga perbincangan misalnya tentang istilah 'menghormati orang berpuasa'. Mengapa orang-orang lain harus menghormati saya berpuasa? Sewajarnyalah orang lain berlaku wajar, dan sangat pantas juga saya berlaku wajar pula. Tidak perlu saya meminta yang aneh-aneh dari orang lain, karena saya berpuasa.


Lalu saya teringat akan sebuah cerita yang indah, saya cari, dan saya kutip.
Saya mendapatkan cerita ini *** Doa yang Penuh Kesungguhan


Doa yang Penuh Kesungguhan


Seorang pengkhotbah dan seorang supir taksi tiba di pintu gerbang surga pada saat yang bersamaan.


Setelah menanyai keduanya, malaikat penjaga surga pun membukakan pintu gerbang dan mempersilakan si supir taksi lebih dahulu. Kemudian ia minta si pengkhotbah untuk duduk dan menunggu pertimbangan selanjutnya.


Sang pengkhotbah menjadi sangat marah. "Bagaimana bisa kamu mempersilakan orang itu masuk ke surga lebih dahulu daripada saya?" keluhnya. "Saya berkhotbah setiap minggu selama lebih daripada 50 tahun. Yang dilakukan orang tadi hanya menyupir taksi di sekeliling kota."
"Itu benar," jawab sang malaikat, "ketika Anda berkhotbah orang-orang tidur. Tetapi, ketika supir ini menyetir orang-orang memanjatkan doa."


:-)


*** Cerita dikutip dari Wisdom of the Heart, karya Alan Cohen

August 31, 2009

Kisah di Biara


Setiap menjelang dan saat suatu masa yang sering dianggap atau diperlakukan suci - bulan, minggu, atau hari - saya selalu mengingat peristiwa atau cerita atau orang yang suci atau kudus.


Dan setiap muncul masa itu, umpamanya Bulan Ramadhan, saya juga mengingat banyak orang yang berniat dan melakukan sesuatu yang baik, yang mulia, yang agung; berdoa, mencoba mencapai suasana tenang dan hening; berusaha memfitrahkan dirinya.


Keheningan, suasana doa, suasana sembahyangan, saya teringat akan kehidupan dan suasana di biara.


Saya beberapa kali tinggal di biara dalam waktu yang tidak lama. Tinggal untuk mencoba hidup dalam suasana yang lain dari yang biasa.


Setiap teringat biara, teringat suasana hening dan tenang. Teringat karena spiritualitas yang unik para biarawan yang memang sederhana dan syahdu.


Walaupun di kota cukup banyak biara, tapi tetap lebih menarik biara yang cukup jauh dari kota. Biara itu banyak berada di lokasi yang berhawa cukup dingin. Barangkali di samping agar suasana tenang, juga agar tidak memerlukan alat-alat elektronik pendingin ruangan.


Setiap berkunjung ke biara, saya perhatikan ruangan dan penempatan kursi-kursi. Ruangan tidak seperti biara tua di Eropa yang berlorong dan tinggi. Biara sudah cukup banyak yang seperti rumah biasa. Saya perhatikan juga pesawat televisi tidak ada yang berada di ruang tamu. Pesawat televisi tidak ada yang berada di ruang kerja, ruang studi, atau ruang tidur. Pesawat televisi hanya berada di tempat yang bisa semua berkumpul dan memang khusus untuk menonton televisi.


Di dinding kadang-kadang ada jadwal tetap, untuk menunjukkan pemanfaatan waktu setiap hari. Sepertinya jadwal itu hanya perlu untuk tamu atau penghuni yang baru, karena penghuni tetap sudah mengetahui semua jadwal tetap itu.


Yang menarik, jam tertentu setiap hari selalu ada waktu khusus sekitar satu sampai dengan dua jam, Silensium.


Silensium


Silensium berasal dari kata Latin - silēns, dan bahasa Inggris - silent. Jam-jam silensium adalah waktu yang digunakan setiap orang untuk melakukan pemeriksaan diri, barangkali berdoa, termenung, meditasi, duduk tenang, berdiam diri atau barangkali berangan-angan, atau mungkin saja mendengarkan suara alam, mendengarkan alam, mendengarkan suara hati sendiri, atau mendengarkan apa saja. Mendengarkan. Dan bukan suatu kebetulan jika huruf-huruf dalam kata silent sama persis dengan kata listen.


Cukup banyak pengalaman dan kisah di dan dari biara. Salah satunya adalah tentang masa-masa suci, suasana suci, dan orang-orang suci atau kudus.


Salah satu yang selalu saya ingat adalah kisah ini, berjudul 'Bisa Siapa Saja' **:



Bisa Siapa Saja

Pada suatu malam seorang
asing yang misterius muncul di depan pintu sebuah biara yang sudah usang -
sebuah biara yang dihuni setengah lusin biarawan tua yang saat itu sudah
kehausan secara spiritual. Ketika para biarawan itu menyambut kedatangan sang
tamu, mereka memperhatikan sebuah pancaran yang tidak biasanya pada orang itu.
Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka mengantarkan dia ke ruangannya.

Pada pagi hari berikutnya, para biarawan duduk bersama-sama dengan tamu
mereka pada waktu sarapan pagi, mereka begitu ingin mendengarkan kata-kata
bijaknya. "Semalam saya bermimpi," katanya. "Diberitahukan kepada saya bahwa
salah satu dari kalian adalah orang kudus."

Para biarawan itu tercengang dan dalam keadaan bingung mereka saling
berpandangan satu sama lain.

"Siapakah orang itu?" tanya salah seorang dari antara mereka.
"Itu
adalah suatu hal yang tidak bisa saya beritahukan kepada Anda," jawab orang
asing itu. "Anda sendirilah yang harus mengungkapkan hal itu." Lalu sama
misteriusnya ketika dia datang, orang itu pun berangkat pergi.

Selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan selanjutnya, para biarawan
itu saling menjajaki satu sama lainnya dan masing-masing saling menatap mata
rekannya lebih dalam. Mereka memperlakukan satu sama lainnya seolah-olah salah
satu di antara mereka itu adalah orang kudus.

Lalu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi. Untuk pertama kalinya
setelah selama bertahun-tahun, rasa senang dan apresiasi mulai mengisi
ruangan-ruangan di biara itu. Sebuah perasaan akan penantian yang kuat menjadi
semangat dari doa-doa yang dipanjatkan oleh para biarawan, kegiatan bersantap,
dan juga dalam percakapan-percakapan mereka.

Akibatnya, orang-orang yang mengunjungi biara itu merasa lebih bahagia
dan jumlah pengunjung dan ingin bergabung pun semakin bertambah. Hanya dalam
jangka waktu beberapa tahun, biara itu hidup kembali dan ordo tersebut
dilanjutkan oleh para biarawan baru yang mulai mengalami pencerahan jiwa.

Akhirnya, semua biarawan tua itu meninggal dunia tanpa pernah tahu
siapa di antara mereka yang menjadi orang kudus.

Tidak masalah - mereka semua telah menjadi orang kudus
.

:-)


* Buat para sahabatku yang baik hati, "Selamat menunaikan ibadah puasa!"

** Cerita diambil dari buku Wisdom of the Heart, karya Alan Cohen

Satu Buku - Kita telah Terjebak


Selama beberapa hari ini, saya terpikir dengan sebuah pertanyaan yang menarik. Pertanyaan itu bagi berbagai orang bisa semacam tebak-tebakan, lelucon, atau hal yang sangat serius dan penting.

Pertanyaannya sangat sederhana, tapi kalau direnungkan lebih jauh, bisa bermakna dalam, "Kalau Anda terdampar di pulau terpencil dan hanya bisa memiliki satu buku, buku apa yang Anda pilih?"

Seperti awal tadi, bisa saja jawabannya bernada tebak-tebakan, lelucon, atau serius. Tapi cobalah apa saja, yang penting jawaban yang sebenarnya.

Teringat lagi, beberapa waktu lalu, saya mendampingi empat puluh delapan orang kaum muda dalam suatu acara. Ketika itu yang menjadi bahasan dan sharing adalah tentang hidup atau kehidupan.

Kertas kecil dibagi kepada keempat puluh delapan orang sebagai tempat menulis jawaban pertanyaan tadi.

Sangat menarik. Semua jawaban bernada kitab suci. Ada yang menjawab Al-Qur'an; ada yang menjawab Al-Qur'an dan Hadist, ada yang menjawab Alkitab, ada yang menjawab Injil. Yang pasti semua menjawab mengarah kepada kitab suci.

Sebelumnya, apa jawaban Anda?

Saya sendiri tidak tahu jawaban Anda. Mungkin sama dengan kaum muda tadi, mungkin yang lain.

Kalau kita renungkan jawaban-jawaban tadi memang sepertinya jawaban agung. Tapi kalau kita renungkan lebih dalam, jawaban itu bisa menjadi permenungan yang lebih menarik.

Sepertinya jawaban itu, bisa semacam pelarian atau sejenisnya. Langsung mengarah ke akhirat atau yang mirip seperti itu. Atau juga menanti-nanti pertolongan yang belum jelas yang akan datang.

Dengan jawaban dalam kasus seperti itu, kita sepertinya terjebak di 'pulau diri saya'.

Pertanyaan itu pernah diajukan kepada G. K. Chesterton (29 May 1874 – 14 June 1936). Chesterton adalah penulis terkenal Inggris abad ke-20. Chesterton menulis berbagai hal mulai dari jurnalisme, essay, filsafat, syair, biografi, fantasi, dan fiksi detektif.

Chesterton terkenal dengan orang yang terbiasa bergembira, dengan tulisan-tulisan yang sering bernada humor.

Ketika kepadanya diajukan pertanyaan tadi, dengan cepat Chesterton menjawab dia memerlukan satu buku saja, yakni “Thomas’ Guide to Practical Shipbuilding."

:-)

August 14, 2009

Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun


''Kemerdekaan menuntut kewaspadaan dan kesetiaan selamanya.''
~ Abraham Lincoln

Siapa yang tidak mengetahui setidaknya sedikit saja tentang Abraham Lincoln? Dari cerita tentang Lincoln-lah saya mendengar istilah 'Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun'.

Tentu saya cukup sering mendengar yang seperti itu dari khotbah-khotbah di tempat-tempat ibadah, di radio, bahkan di televisi. Tapi apakah yang berkhotbah melakukan seperti yang dikatakannya? Semoga!

Tapi khusus tentang 'Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun', setahu yang saya baca, Abraham Lincoln melakukannya. Karena itulah mungkin Lincoln menjadi orang besar.

Saya tidak menghitung berapa buku yang menceritakan perjuangan hidup Abraham Lincoln ini. Ada di buku yang berisi motivasi, manajerial, ketekunan, kepemimpinan, adversity, perjuangan, ketidakbencian, dan hal-hal yang baik dan mulia lainnya.

Konon, Abraham Lincoln mengalami perjuangan hidup yang keras dan berat seperti ini:Tahun 1832 Lincoln kehilangan pekerjaan dan digulingkan dalam perebutan kursi legislatif negara bagian Illinois.
Tahun 1833, ia gagal dalam bisnisnya.
Tahun 1834, ia terpilih untuk duduk badan legislati negara bagian.
Tahun 1935, sang kekasih hatinya meninggal dunia.
Tahun 1838, ia gagal menjadi Juru Bicara Gedung Putih.
Tahun 1843, ia gagal lagi menjadi nominasi untuk duduk di Kongres.
Tahun 1846, ia terpilih untuk duduk di Kongres.
Tahun 1846, ia kehilangan kesempatan untuk dicalonkan kembali.
Tahun 1849, ia ditolak menjadi pegawai pengawas tanah pemerintah.
Tahun 1854, ia gagal untuk duduk di senat.
Tahun 1856, ia gagal untuk nominasi jabatan wakil presiden.
Tahun 1858, ia kembali gagal untuk duduk di senat.
Tahun 1860, ia terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.

Tapi apakah kejadian itu benar atau tidak, bagi saya bukan itu yang utama dari Abraham Lincoln. Memang perjuangannya luar biasa. Sudah pasti semua orang tidak menjadi presiden. Saya lebih tertarik dengan karakter dan nilainya.

Mengapa dan bagaimana Lincoln sampai bisa seperti itu? Ini lebih menarik. Mengapa dan bagaimana Lincoln menjadi pribadi yang tidak menanamkan kebencian sedikit pun dalam hatinya kepada siapa pun? Bagaimana Lincoln mendapatkan kebijaksanaan dan mempraktikkannya? Bagaimana Lincoln menjadi manusia yang bijaksana?

Ruang Kerja Presiden

Konon, di ruang kerja presiden Amerika Serikat, bahwa gambar yang ada adalah gambar Abraham Lincoln. Lincoln adalah presiden Amerika Serkat yang ke-16. Menjabat presiden 4 Maret 1861-sampai hari terbunuh, 14 April 1865.

Tentang gambar di ruang kerja pemimpin tertinggi sebuah bangsa atau negara, juga menarik perhatian. Bagaimana dengan Indonesia dan bangsa-bangsa lain? Wajah siapakah yang terpampang di bagian atas ruang kerja seorang pemimpin tertinggi? Sepertinya gambar pemimpin itu sendiri.

Tapi ada baiknya juga bahwa gambar resmi di ruang kerja seorang presiden adalah gambar orang lain. Saya pernah baca, tapi tidak tahu persis, seorang presiden Amerika Serikat yang masih aktif saat itu berkata begini, "Jika saya menghadapai persoalan berat atau masalah yang sangat pelik, saya akan melihat gambar Abraham Lincoln dan merenung, 'Jika Lincoln, menghadapi yang seperti ini, apa yang akan diputuskan dan dilakukannya?'"

Pengalaman Hidup Lincoln yang Sangat Penting

Walaupun banyak kriteria dan sangat sulit untuk untuk menentukan seseorang menjadi presiden - the greatest president - tapi dari berbagai survai dan jajak pendapat, bahwa secara umum, Abraham Lincoln-lah yang menjadi presiden terbesar Amerika Serikat. Memang saat seseorang menajdi presiden, hal-hal yang terjadi yang sangat penting: krisis, pergolakan, peperangan, konflik, perang saudara, masalah ras dan perbudakan -- tapi sepertinya tetap Abraham Lincoln disebut-sebut sebagai presiden yang paling bijaksana.

Lalu bagaimana Lincoln menjadi seperti itu? Bagaimana Lincoln mempunyai prinsip 'Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun'? Bagaimana Lincoln menjadi bijaksana?

Saya mendapat cerita, dari The Starting Point of Happiness - A Practical and Intuitive Guide to Discovering Love, Wisdom, and Faith karya Ryuho Okawa, tentang pengalaman hidup Lincoln yang sangat penting, lebih khusus tentang motonya ''Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun':


Akan sangat sulit sekali menemukan orang yang menjalankan moto seperti itu.
Bahkan, sangat langka hingga kemungkinan untuk menemukan orang seperti itu
kurang dari satu dibanding satu juta. Memiliki niat untuk tidak menyakiti orang
lain kedengaran begitu mudah, namun hampir tak ada seorang pun mampu
mempraktikkannya. Lincoln adalah satu perkecualian yang jarang ada.

Tetapi, temperamen Lincoln yang sebenarnya jauh dari sifat yang tenang
seperti disiratkan oleh moto yang menjadi pegangan hidupnya bertahun-tahun
kemudian. Sebagai seorang pemuda, ia mudah marah dan sering berkelahi.

Menurut biografinya, pada awal kariernya sebagai pengacara, ia
mengkritik dan menentang banyak orang di depan umum.

Pada suatu hari setelah ia melancarkan serangan kepada seseorang,
Lincoln ditantang untuk melakukan duel.

Di tepi sebuah sungai, berdiri saling memunggungi dengan musuhnya, ia
mulai menghitung langkahnya sambil menenteng senjata di tangannya, namun
tiba-tiba seorang penengah melibatkan diri dan menghentikan duel itu.

Ia terselamatkan.

Dari kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu, Lincoln mendapat
pelajaran keras yaitu ada konsekuensi yang sangat serius atas kritikan yang
sangat tajam kepada orang lain.
Akibat dari kejadian itu, pandangannya
tentang hidup ini, berbalik seratus delapan puluh derajat.

Ia menyadari mengkritik dan mengutuk orang lain memang mudah, namun
menjalani hidup tanpa memiliki pikiran yang bisa melukai orang lain sungguh
sangat sulit.
Tapi ia memilih jalan yang sulit.

Cerita yang menjadi pengalaman Lincoln itu sangat menentukan hidupnya dari segala sisi.

---

Walaupun begitu, yang diketahui umum, wajah Abraham Lincoln tidaklah tampan, dia pernah mendapat olok-olokan banyak pihak, akan tetapi dia tidak pernah menganggapnya tabu. Dia sering membuat situasi dengan nuansa humor. Suatu kali, Abraham Lincoln berdebat dengan lawan politiknya. Lawannya mengatakan bahwa apa yang dikerjakan Lincoln berbeda dengan apa yang dikatakannya, dia adalah orang bermuka dua.

Abraham Lincoln mengomentarinya, ”Baru saja saya dikatakan memiliki dua rupa, cobalah dipikir, kalau saja saya memiliki wajah lain, buat apa saya masih memakai wajah ini untuk menjumpai kalian?”
:-)
---


"Perbedaan antara orang biasa dan orang besar adalah kemampuan mereka untuk memilih jalan yang sulit."
~ Ryuho Okawa

July 28, 2009

Ah, Teori!

Ketika ada acara sharing, bincang-bincang, dialog, bahkan diskusi yang saya ikuti, ada saja yang mengatakan, "Ah, itu kan teori!"

Ucapan itu biasanya muncul ketika seseorang menyampaikan sesuatu dengan kata-kata dari mimbar, oleh seorang narasumber, bahkan cerita-cerita biasa oleh seseorang yang menyampaikan 'teori'. Nada ucapannya adalah semacam tidak percaya dengan teori, atau bisa dikatakan teori itu hanya teori saja, tidak berarti apa-apa.

Kadang-kadang, ungkapan-ungkapan itu juga diarahkan kepada pengkhotbah, psikolog, peneliti, ilmuwan, seorang ahli, pembicara motivasional, seorang scholar, bahkan konsultan.

Saat-saat lain sering juga saya dengar ungkapan begini, "Teori ya teori, yang penting praktik."
Saya tergelitik dengan pandangan-pandangan orang-orang yang menganggap kurang penting atau bahkan menganggap rendah sebuah teori.

Lalu saya ingat ketika menempuh perkuliahan di Bandung. Ada mata kuliah, tanpa praktik atau praktikum, namanya Teori Medan Elektromagnetik. Dari semua mata kuliah yang ada termasuk mata kuliah pilihan (bebas) justru mata kuliah inilah yang paling sulit dan rumit. Ya menurut saya inilah yang paling sulit dan rumit.

Untuk memadai mengambil mata kuliah ini, harus memadai pengetahuan matematika, khususnya kalkulus dan fisika. Mata kuliah lain yang cukup sulit yang bahkan ada praktikumnya seperti: Rangkaian Elektrik, Elektronika, Teknik Digital, Sistem Komunikasi, dan Transmisi Radio tidak sesulit mata kuliah ini.

Dan coba bayangkan, dari semua mata kuliah, yang paling sulit dan rumit, cuma 'Teori'!
Saya sering membayangkan, bahwa orang-orang yang menganggap enteng teori adalah orang-orang yang mengecilkan pengertian dan pemahaman. Ada lagi yang menjadi titik yang sangat penting, bahwa orang-orang yang tidak menghargai teori atau pengertian atau pemahaman adalah orang-orang yang membatasi dirinya. Orang-orang yang mengerdilkan makna pengetahuan.

Kita tahu bagaimana situasi kalau kita membatasi diri kita. Ibarat katak dalam tempurung, hanya seluas tempurung itulah luas dunia, bahkan luas alam semesta. Seorang penulis, Louise Hay menyatakan,
"If you accept a limiting belief, then it will become a truth for you."

Saya hanya sering membayangkan tentang teori seperti ini. Ada dua orang anak muda bernama Agus dan Bagus, baru tiba di New York City (NYC). Mereka berdua boleh disebut pertama sekali menginjakkan kaki di kota ini, dan sebelumnya tidak ada perhatian khusus tentang kota ini.

Kemudian mereka punya tugas atau misi mengunjungi beberapa tempat di NYC untuk beberapa urusan juga. Satu orang (Bagus) diberi peta NYC dan satu lagi (Agus) tidak diberi peta. Lalu mereka disuruh dan pergi menunaikan tugasnya.

Lalu kita tahu akibatnya bukan? Bisa diduga, Bagus, yang memiliki peta akan lebih mudah mengerjakan tugasnya, bahkan mungkin lebih cepat dan lebih baik. Jika petanya lebih lengkap, lebih baik lagi. Seperti peta itulah teori.

Walaupun orang yang menguasai peta NYC, tidak berarti pasti menguasai NYC. Karena peta New York City bukanlah New York City.

--

Jadi, mulai sekarang, masih berani mengatakan, "Ah, cuma teori!" ?
:-)

Apakah Rakyat Penting?

Lagi, beberapa hari ini, cukup banyak teman-teman yang mengajak diskusi tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (wapres).

Saya biasanya hanya mendengar saja, pendapat-pendapat, dan opini mereka tentang pasangan capres dan cawapres. Ada juga beberapa pertanyaan penting dari mereka mereka sampaikan. Saya sebenarnya tidak pernah percaya dengan apa yang dijanjikan oleh para capres dan cawapres itu. Karena saya tidak percaya dengan janji-janji, jadi tidak ada yang perlu dibahas tentang itu.

Tulisan ini juga bukan untuk menjawab para sahabat itu. Tulisan ini adalah semacam permenungan dan pemikiran dalam diri saya sendiri.

Apakah Rakyat Penting?

Ketika di televisi dan koran-koran diberitakan para capres yang pergi ke suatu tempat, apakah itu pasar, teminal, pangkalan ojek, juga penjual makanan-makanan, ditampilkan para capres itu ramah, bersahabat, menyapa orang-orang di sana. Para capres ingin menunjukkan mereka dekat dengan rakyat, mereka peduli dengan rakyat.

Lalu muncul pertanyaan penting. Mengapa ketika mau pemilihan presiden dan capres saja mereka menunjukkan bahwa mereka dekat dengan rakyat? Jadi kita bisa menduga apa yang penting bagi capres bukan? Rakyat atau yang lain?

Jadi saat-saat sekarang hanyalah musim mengingat rakyat. Setelah pemilu, mungkin rakyat dilupakan, 'tidak dianggap', bahkan dikhianati.

Siapa Wakil Rakyat?

Harus kita sadari bersama, bahwa renungan ini bukan kebencian kepada para wakil rakyat. Bukan juga suudzon. Justeru karena wakil rakyat ini penting, bahkan salah satu yang paling menentukan dalam hidup bersama dalam negara yang namanya Indonesia, maka kita harus aware, concern, dan serius tentang ini. Karena pengertian lain wakil rakyat adalah kita sendiri yang terwakilkan.

Wakil rakyat yang kita maksud bukan hanya DPRD, DPR, DPD, tapi juga bupati, gubernur, presiden, dan para wakilnya. Pokoknya, semua yang dipilih rakyat lewat pemilu adalah wakil rakyat, walaupun secara tanggung jawab, lebih khusus parlemen.

Rakyat Indonesia adalah siapa saja yang menjadi warga Indonesia. DPRD, DPR, dan presiden juga rakyat. Tetapi ketika mereka sudah menjadi 'wakil rakyat', maka sudah sepantasnya mereka tidak boleh hanya mewakili suaranya sendiri atau kepentingannya sendiri, atau kepentingan fraksinya sendiri, atau kepentingan komisinya sendiri, atau kepentingan partainya sendiri, atau kepentingan golongannya sendiri.

Tentang Partai

Sekali lagi, kita harus memperjelas posisi kita tentang dan dalam partai ini. Dalam sistem kita sekarang ini, lewat partailah seseorang menjadi wakil rakyat, kecuali DPD. Jadi partai merupakan jalan, bukan tujuan. Tujuannya adalah seperti biasa digembar-gemborkan oleh para politisi terutama saat kampanye.

Kita sudah melihat, setelah pemilu legislatif, suara-suara rakyat, seolah-olah bisa 'dipermainkan' oleh partai. Bagaimana misalnya seorang pendukung PDIP tapi tidak mau mendukung Gerindra? Padahal setelah pemilu legislatif, kedua partai itu malah bekerja sama dan 'bersatu'? Begitu juga dengan misalnya pendukung Golkar, tapi menolak Hanura?

Jadi, kita tidak perlu 'menggilai' atau 'maniak' dengan partai tertentu. Bolehlah kita simpatisan atau fans atau pendukung partai tertentu, karena jargon-jargon atau hal-hal lain yang menarik bagi kita. Tapi sudah bisa dilihat, sekarang partai A melakukan X, kemudian hari atau suatu saat bisa berkhianat dengan perjuangan atau tujuan-tujuan mulianya. Jadi kita harus mengingat yang utamanya: rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Bukan partai.

Jika partai itu sedikit saja atau mulai menyimpang dari tujuan: demi kemakmuran, kemaslahatan, ketenangan, kemajuan, kedamaian SELURUH rakyat Indonesia -- jangan ragu, tinggalkan saja partai itu!

Usulan Tentang Wakil Rakyat

Sekarang kita lihat misalnya untuk presiden dan wakil presiden, yang diuji adalah kesehatannya. Ada yang perlu lagi, yakni 'uji kewarasan'. Ini sangat penting. Lagi, harus diuji, seperti 'apa' dia selama misalnya selama 10 tahun terakhir. Apa yang dilakukan, apa yang diperjuangkan, apa yang dipikirkan selama 10 tahun terakhir ini.

Jadi dengan cara yang masih minim ini saja kita barangkali bisa menemukan para negarawan.

Yang menjadi hal penting adalah untuk bisa melihat ini sangat diperlukan rakyat yang semakin terdidik, cerdas, rasional, dan kritis.

Dan inilah yang kita impikan. Saya mencobanya, sedikit saja dengan menuliskan ini.

Coba Periksa Ketepatan Kata-kata Kita

Beberapa kata dalam bahasa Indonesia, yang keliru, tapi karena terbiasa digunakan, maka dianggap sebagai kata yang benar. Ada kata imbuhan, ada kata dasar, dan ada kata serapan. Tapi yang namanya kata, seharusnya benar atau tepat penggunaannya.

Mungkin juga kata-kata itu keduanya benar atau dianggap benar, tapi seharusnya tetap ada yang lebih tepat.

Sekarang tanpa melihat kamus (atau untuk memastikan mari kita lihat kamus), kata-kata yang mungkin sering kita gunakan dalam pembicaraan, pikiran atau tulisan, coba kita periksa yang mana kata-kata ini yang lebih tepat?

Kita tampilkan beberapa pasangan kata saja menurut abjad:
1. pemimpin dan pimpinan, yang artinya leader dalam bahasa Inggris
2. praktek dan praktik
3. apotek dan apotik
4. mengubah dan merubah, yang artinya to change dalam bahasa Inggris
5. resiko dan risiko
6. sekadarnya dan sekedarnya
7. faham dan paham
8. berfikir dan berpikir
9.
10.

Mungkin ada pernyataan dalam hati kita, "Tidak masalah kata itu benar atau tidak, yang penting bisa dimengerti." Pernyataan seperti ini, bisa saja semacam keacuhan dalam berbahasa, ketidakpedulian akan ketepatan, bahkan kemalasan dalam berpikir.

Hal penting:
Jika suatu kata yang keliru itu kita anggap sebagai yang benar, maka kata apa kita gunakan untuk menyatakan yang sebenarnya?

Kita berbahasa dengan menggunakan kata-kata. Jika kata-kata kita tidak tepat, kemungkinan berbahasa kita juga tidak tepat, akhirnya bisa saja berpikir kita pun tidak tepat. Karena kita berpikir menggunakan bahasa.

June 16, 2009

Harmoni dan Mendengar Suara Orang Lain

Saya ingin menulis sedikit hari ini, tentang harmoni.

Istilah 'harmoni' bisa digunakan untuk berbagai hal dalam kehidupan. Harmoni dibentuk oleh perbedaan dan keberagaman. Tapi jelas bukan untuk individu murni. Harmoni misalnya dibentuk lebih daripada satu individu tetapi fokusnya bukan individu, tapi apa yang dibentuk individu-individu itu secara bersama. Dan tidak ada harmoni kalau tidak ada perbedaan. Boleh disebut bahwa harmoni itu adalah perbedaan atau keberagaman yang menyatu atau terpadu.

Saya teringat harmoni ini, karena beberapa hari lalu kelompok paduan suara yang saya ikut di dalamnya melantunkan beberapa lagu. Jadi, harmoni dalam tulisan ini lebih banyak dalam konteks paduan suara atau musik, yang sebetulnya juga secara prinsip sama dalam konteks lain.

Harmoni, atau harmony dalam kamus Inggris - Indonesia terbitan Gramedia menyatakan artinya:

~ keselarasan
~ keserasian
~ kecocokan
~ kesesuaian
~ kerukunan

Saya ikut paduan suara selain gemar menyanyi, juga karena hal-hal lain. Hal-hal lain itu adalah kebersamaannya, keakrabannnya, juga canda-canda sebelum, selama, dan setelah latihan. Bahkan mungkin yang tidak terlupakan adalah hal-hal yang terjadi di luar nyanyi-menyanyi. Dengan seringnya berkumpul, kita yang bergabung dalam paduan suara, dari bermacam-macam budaya, akan terbentuk keakraban. Bisa dikatakan kelompok paduan suara itu menjadi satu komunitas.

Menyanyi dalam suatu paduan suara berbeda dengan menyanyi solo. Karena paduan suara harus memadukan suara kita dengan suara orang lain. Walaupun misalnya dalam paduan suara seseorang bisa bernyanyi dengan baik sebagai individu, tapi ini masih belum cukup. Ada satu hal yang sangat penting dalam menyanyi dalam paduan suara, yakni ketika sedang bernyanyi, kita harus bisa mendengar suara orang lain juga. Jika biasanya paduan suara dibentuk oleh empat macam jenis suara: sopran, alto, tenor, dan bass - maka ketika sedang menyanyi, jika misalnya suara kita tenor, maka kita harus bisa mendengar suara ketiga lainnya. Dan lebih lagi, masing-masing suara itu biasanya lebih daripada satu orang, maka kita harus bisa merasakan dan mendengarkan lebih banyak lagi.

Harmoni dengan sendirinya akan semakin menghilangkan monopoli dan kemenonjolan.

Apa artinya? Ini berarti di samping bisa merasakan pitch nada lagu, kita juga memperhatikan suara orang lain. Dengan begini kita bisa mendengar kelembutan, tempo, alunan, dan irama nyanyian. Dengan melibatkan ini semua terbentuklah sebuah harmoni.

Dan kita tahu bukan? Harmoni itu indah, mendamaikan, dan sangat artistik...

:-)

May 28, 2009

Juara Eropa di Kota Abadi

Catatan Sepakbola, Final Liga Champions, Barcelona 2 - 0 Manchester United, di Olimpico Roma
----


Diawali dengan suara merdu penyanyi bersuara tenor Italia, Andrea Bocelli, terjadilah kick off final liga Champions Eropa antara juara liga Spanyol Barcelona (Barca) dan juara liga Inggris, Manchester United (MU) di kota abadi, Roma.

Pertandingan berlangsung di stadion kebanggaan penduduk Roma, Olimpico, basis dua klub besar A. S. Roma dan S. S. Lazio. Seperti biasa, para pemain yakin bahwa timnyalah yang menjadi juara. Kadang-kadang bukan hanya pemain - fans, pendukung, bahkan penggemar juga yakin bahwa tim kesukaannyalah yang keluar sebagai pemenang.

Di awal pertandingan kedua tim kelihatan ingin menyerang dengan tujuan lebih dulu membuat gol agar bisa mengendalikan permainan. Di sisi lain, terlihat juga para pemain terlalu aman, dengan alasan yang sama tapi kebalikannya, agar jangan lebih dulu kebobolan.

Dari awal-awal babak penyisihan liga Champions, MU beberapa kali mengubah strategi bertanding, tergantung siapa yang menjadi lawannya. Tapi lebih sering menggunakan taktik 'agak' bertahan, tapi dengan serangan balik yang sangat cepat, jitu, dan mematikan.

Sebaliknya, dari awal, bukan hanya di liga Champions tapi juga di liga domestik Spanyol, Barcelona selalu menggunakan taktik yang sama, menyerang dengan pola yang nyaris hampir sama, karena terbukti mereka sangat menyerang dan produktif menciptakan gol.

Sering disebut pertandingan itu adalah final yang sesungguhnya. Maksudnya pertandingan yang sangat diharapkan terjadi di final. Dua kekuatan besar dari dua tim dan dari dua liga yang besar. Juga sering disebut akan menciptakan sejarah. Padahal, siapa pun yang bertanding di final, apa pun hasilnya, tetap akan menciptakan sejarah.

Apa pun hasilnya tetaplah peristiwa sejarah. Mungkin orang menganggap sejarah hanya peristiwa besar atau rekor-rekor yang tercipta. Apakah itu gelar treble winners bagi Barca, ataukah bagi Josep Guardiola yang baru memimpin Barca dengan usia yang sangat muda 38 tahun, ataukah bagi MU untuk bisa menciptakan gelar Champions dua kali berturut-turut, karena sudah sangat lama sebuah tim menciptakan itu. Tim terakhir yang membuat dua tahun berturut-turut adalah A. C. Milan tahun 89 dan 90 yang sering disebut sebagai The Dream Team. Juventus nyaris menciptakannya tahun 97 ketika sudah juara tahun 96.

Permainan

Ketika Samuel Eto'o pemain asal Afrika - Kamerun menciptakan gol, mulailah pertandingan yang sesungguhnya. Karena tim yang ketinggalan harus berusaha secepatnya menyamakannya. Kalau tidak, maka bola, waktu, dan permainan akan dikendalikan oleh tim yang sementara unggul, Barca.

Bukan seperti pertandingan bola basket yang dibatasi waktu menguasai bola dan harus menembak ke keranjang, sepakbola justeru menggunakan strategi 'bermain-main' dengan waktu. Apakah dengan memperlambat tempo, atau juga bisa membuang-buang bola keluar, bahkan ke mana saja, yang penting waktu semakin habis. Walaupun kadang-kadang waktu yang terbuang diperhitungkan, tapi sudah biasa, bahwa dalam sepakbola, waktu yang terbuang dan waktu berjalan terus, dan tidak sia-sia.

Kita kembali ke pertandingan. Secara umum, walaupun MU membahayakan beberapa kali gawang Barca, terutama lewat aksi dan tendangan yang sangat brilian dari Cristiano Ronaldo, tapi secara umum permainan MU tidak terlalu berkembang, terutama di lapangan tengah.
Barcelona, dengan kekuatan gelandang yang sangat mobile dan sangat impresif oleh kawanan Xavi Hernández, Andrés Iniesta, dan Sergio Busquets. Hebatnya, ketiganya adalah warga negara Spanyol dan hasil didikan pelatihan Barcelona junior.

Xavi Hernández

Khusus Xavi, kalau diperhatikan, pemain inilah yang paling impresif dari semua pemain. Mungkin yang mengimbanginya adalah Ronaldo di tim MU. Xavi paling banyak melakukan passing bola. Apa artinya ini?

Jika Xavi paling banyak melakukan passing bola berarti dia juga paling banyak mendapat bola. Bisa menerima dari temannya atau juga dia bisa merebut bola dari kaki lawan atau memotong passing lawan. Xavi selalu menjadi algojo tendangan bebas. Xavi juga menjadi spesialis mengambill tendangan pojok. Berarti Xavi-lah pemain yang paling dominan, dari segi penguasaan bola dan penguasaan lapangan.

Xavi nyaris membuat gol, ketika tendangan bebasnya membentuk tiang gawang. Bahkan gol kedua yang diciptakan Lionel Messi adalah adalah hasil umpan yang sangat di luar perhitungan pemain belakang MU, yang merupakan assist yang sangat terukur. Walaupun UEFA menetapkan Messi sebagai Man of the Match pertandingan final, tapi Xavi-lah yang paling berpengaruh dan menentukan karakter dan kestabilan Barcelona.

Barcelona

Secara khusus kita harus memperhatikan cara bermain Barcelona. Mereka memainkan bola dengan passing yang sangat akurat dan jarak pendek. Dan ketika mereka sudah unggul, maka ketika pemain saling besinggungan, maka sering terjadi provokasi untuk memancing emosi, menghamburkan waktu, dan juga untuk 'mempengaruhi' wasit.

Dengan hasil ini Barcelona meraih gelar tiga Juara Liga, Juara Copa, dan Juara Champions.

Pertandingan Menarik

Walaupun Barcelona menang, kita harus tetap mengagumi permainan MU, bukan hanya saat final, tapi termasuk sebelum final. Mereka juga memainkan permainan yang efektif dan sangat atraktif sebelumnya.

Untuk kedua tim, kita merasa bersyukur masih disuguhi pertandingan yang tergolong final yang indah. Para pemain: Ronaldo, Nemanja Vidić, Patrice Evra, Gerard Piqué, Carles Puyol, Xavi Hernández, Sergio Busquets, Lionel Messi, Andrés Iniesta memainkan permainan yang sangat menarik dan penuh gerakan.

Ketika pertandingan tinggal beberapa menit lagi, para pendukung Barca sudah mengibar-ngibarkan bendera, juga serbuk berwarna-warni di tribun penonton. Bahkan ada juga mengacungkan gambar piala dan tiruan piala.

Peluit wasit asal Swiss, Massimo Busacca tanda berakhir. Selesai dengan tenang. Manager MU dan seluruh pemain menerima medali. Kemudian dilanjutkan dengan manager dan seluruh pemain Barca. Dalam sepakbola kaptenlah yang terakhir dikalungkan medali dan kapten juga yang menerima piala kemenangan, dan itu diberikan kepada Carles Puyol, kapten sekaligus bek kanan Barca. Medali dan piala diserahkan oleh presiden UEFA, Michel Platini, legenda Juventus dan legenda Prancis.

---
Terima kasih, permainan sepakbola yang indah dan menghibur! Bagaimana menurut Anda?

Apakah Kita Perlu Percaya dengan Janji (Orang) Partai?

Hari-hari menjelang pemilihan presiden ini, banyak orang yang menanyakan sesuatu kepada saya. Tentu tentang calon presiden dan wakil presiden. Sebelumnya juga, hari-hari menjelang pemilu legislatif, banyak juga yang ingin diskusi atau setidaknya bertukar pikiran berbagai hal tentang pemilu itu.

Pertanyaan dari beberapa sahabat dan kenalan itu, sifatnya bukan hanya pertanyaan basa-basi, "Siapa yang kita pilih nanti?" Tapi pertanyaan yang perlu didiskusikan, didialogkan, bahkan mungkin 'di-sharingkan'. Bahkan ada beberapa calon anggota legislatif yang ingin ngobrol-ngobrol.

Saya sendiri tidak tahu persis, mengapa mereka menanyakan berbagai hal kepada saya. Ketika saya tanya, "Mengapa saya yang ditanyai tentang itu, saya kan bukan politisi, atau anggota tim sukses, atau tim kampanye atau seorang yang 'menggilai' partai politik?"

Tapi para sahabat dan beberapa 'orang parpol' itu mengatakan ingin ngobrol saja, tanpa memberitahukan alasan yang jelas. Ada juga beberapa yang membaca blog saya, http://fransnadeak.blogspot.com yang namanya 'Mencari Makna', dan teman-teman itu ingin mendiskusikan banyak hal.

Tapi barangkali bolehlah saya tuliskan di sini bahwa pemahaman dan pendirian saya tentang pemilu dan para caleg mungkin tidak biasa bagi mereka. Dan pembicaraan-pembicaraan di kedai kopi, di kafe, di ruang pertemuan, bahkan di mana saja ketika bertemu dengan para sahabat yang beragam itu, itulah yang saya tuliskan ini. Dan tulisan ini tidak menggunakan teori-teori sosial atau ilmu politik secara khusus, hanya menggunakan pengamatan-pengamatan sederhana. Karena jika yang sederhana ini kita maknai dengan baik, maka akan dihasilkan lebih daripada yang sederhana saja.

Pertama

Saya tidak pernah terpengaruh oleh apa yang dijanjikan oleh seorang atau segerombolan caleg atau capres/cawapres. Semua orang bisa berjanji. Tapi apakah dia melaksanakan janjinya?

'Cara melihat' yang paling sederhana adalah -- selama ini -- dia sudah melakukan dan memperjuangkan apa, dan sekarang, dia sedang melakukan dan memperjuangkan apa?

Jika itu tidak sinkron dengan apa yang dijanjikannya, berarti dia tidak serius dengan apa yang dijanjikannya.

Misalnya saja, jika sepasang capres dan cawapres, ingin memperjuangkan ekonomi kerakyatan atau apalah istilah sejenis untuk itu, tapi itu 'akan dilakukannya' setelah dia terpilih, maka kembali ke 'cara melihat' tadi.

Jika tidak sinkron, maka yang diinginkannya bukan ekonomi kerakyatan tapi jabatan presiden dan wakil presiden.

Kedua

Saya tidak meyakini partai tertentu yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari permasalahan yang bermacam-macam atau istilah yang lebih biasa disebut masalah multidimensi. Memang dalam sistem politik modern, yang juga digunakan di Indonesia, keterpilihan adalah lewat partai, kecuali untuk DPD. Memang sebetulnya partai politik adalah salah satu jalan atau bisa dikatakan pilar untuk menjalankan demokrasi. Atau dalam pengertian sempit, partai yang bagus, sedikitnya juga akan menghasilkan sistem yang sedikit lebih bagus. Memang kriteria agar disebut bagus bermacam-macam, tapi saya kira, kita bisa mengerti.

Artinya saya tidak akan mau 'maniak' dan memuja-muja partai tertentu. Sudah terbukti di berbagai negara di belahan dunia ini, terjadi semacam permainan unggang-ungkit seperti kata seorang ahli matematika, filsuf besar, dan penerima Hadiah Nobel Literatur asal Inggris, Bertrand Russell. Misalnya Amerika sekitar delapan tahun sebelum Barack Obama terpilih, Amerika mengharapkan Republik yang paling mantap memajukan negara mereka, ternyata? Tidak sesuai yang diharapkan. Maka kemudian beralih ke Demokrat. Apakah sesuai harapan? Mereka masih menunggu. Kalau Demokrat tidak memuaskan mereka nanti, maka dengan segera mereka berpaling ke Republik lagi. Aneh bukan?

Bertrand Russell berkata,

"Salah satu keunikan dalam lingkungan dunia yang berbahasa Inggris ialah minat dan kepercayaan yang luar biasa pada partai-partai politik. Suatu persentase yang sangat besar dari penduduk dunia yang berbahasa Inggris sungguh-sungguh percaya bahwa segenap kesulitan yang dihadapinya akan bisa ditiadakan jika partai politik tertentu memegang kekuasaan. Itu merupakan suatu alasan bagi melontarnya pendulum. Orang memilih suatu partai dan nasibnya sama saja. Lantas ia menyimpulkan bahwa partai lainnya yang akan mewujudkan cita-cita tertinggi umat manusia. Ketika ia mulai putus asa dengan segenap partai-partai, ia pun sudah tua dan mendekati ajal. Lantas anak-anaknya mewarisi kepercayaannya semasa muda, dan pemainan unggang-ungkit ini berjalan terus."


Pemikiran filsuf itu memang lucu dan dan dalam kenyataannya agak ironis. Lucu karena kebenarannya. Dan yang terjadi seperti itu bukan hanya di lingkungan yang berbahasa Inggris saja, sudah hampir di semua negara. Ironis karena selalu saja terjadi.

Kutipan itu adalah ceramah Bertrand Russell sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa London School of Economics and Political Science , 10 Oktober 1923. Diambil dari "The Need for Political Scepticisme," Sceptical Essays.

Lalu, mengapa saya menuliskan dengan cukup lengkap tentang ungkapan itu?

Karena selain itu, masih banyak tulisan Russell yang luar biasa, yang menjernihkan cara pandang kita terhadap sesuatu. Judul essay itu dalam bahasa Indonesia adalah 'Perlunya Skeptisisme Politik', dari buku 'Pergolakan Pemikiran', yang sangat baik diterjemahkan oleh Mochtar Pabottinggi, dikatapengantari oleh St. Takdir Alisjahbana, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.

Sekali lagi, mengapa saya menuliskan lebih lengkap lagi tentang buku 'Pergolakan Pemikiran' itu?

Karena jika ada waktu, agar yang membaca tulisan ini, juga membaca karya Bertrand Russell lebih banyak atau lebih lengkap lagi. Karena untuk memajukan bangsa kita ini, bukan hanya tugas DPR, atau presiden atau para politisi. Tapi tugas kita. Tugas kita. Dan salah satu cara mengejawantahkan tugas itu adalah dengan saling mencerdaskan.

Buku itulah salah satu yang mencerdaskan seorang manusia.



(Demikian dulu, masih banyak yang bisa dituliskan...)

May 19, 2009

Kita telah Turun tanpa Berjuang

Saya teringat akan ide itu ketika Sabtu lalu saya mengalami suatu acara yang biasa saja sebetulnya, tapi benar-benar sampai kepada ide itu.

Ide itu saya baca dulu dari sebuah buku karya John Powell, dan John Powell sendiri meminjamnya dari Eric Mascall. Eric Mascall adalah seorang teolog Anglikan.

Nama Eric Mascall, dalam tulisan-tulisannya biasanya hanya dengan E.L. Mascall.

Saya hanya ingat, bahwa ide itu dari Eric Mascall. Dan saya ingat John Powell meminjam iistilah Mascall itu berhubungan dengan sekularisasi. Dan saya sendiri belum pernah membaca karya E.L. Mascall itu dan seperti apa dan bagaimana ide itu dituliskannya.

Sabtu lalu (16 Mei 2009), saya menghadiri undangan Syukuran Memasuki Rumah Baru oleh seorang sahabat. Sahabat ini mengundang cukup banyak orang. Lokasi rumahnya saja sangat sulit agar sampai di sana, karena perumahannya masih baru, jalan ke sana juga tidak terlalu besar dan tidak terlalu mulus, dan secara umum, belum banyak orang yang tahu lokasi itu, dan jika mau ke lokasi, tentu arah dan jalan ke sana pun, orang akan kesulitan untuk mencapainya.

Acara dimulai. Di samping kanan kepala keluarga muda ini, duduk seorang lelaki berumur, berambut putih, dan bertindak sebagai ayah yang dituakan oleh tuan rumah. Tentu orangtua ini bukan orangtua kandung tuan rumah. Orang yang dituakan ini juga saya kenal dengan baik.

Tibalah pada acara ucapan terima kasih. Sahabat, tuan rumah, keluarga muda tadi berdiri, turut juga orangtua tadi.

Sahabat atau tuan rumah berkata,"Terima kasih atas kedatangannya dan segala doa dan jerih payahnya bisa hadir di sini atas undangan kami. Bahkan ada yang sampai 45 menit berputar-putar hanya untuk sampai di lokasi. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan Bapak, Ibu, Saudara, Teman-teman semua."

Sampai di sini kelihatan normal saja. Tidak ada sesuatu yang janggal.

Tapi setelah sahabat tadi selesai mengucapkan terima kasih, orang yang dituakan tadi menyampaikan sesuatu yang menarik,
"Kepada Anakku! (maksudnya sahabat yang melakukan syukuran - tuan rumah). Perkataanmu itu tidak cukup dan tidak bisa diandalkan."

Semua orang terkejut dan terpana.

Disambungnya lagi, "Mengapa tugas-tugasmu harus diserahkan kepada Tuhan? Mengapa utang-utangmu harus Tuhan yang membayarnya? Semua kebaikan mereka itu harus kamu balas. Kamu harus melakukan seperti apa yang mereka lakukan kepadamu. Tidak boleh hanya Tuhan yang melakukannya. Tuhan melakukannya lewat perbuatan amal dan kebaikanmu."

Sampai di sini, saya pun tertegun.

Benar-benar suatu nasihat dan ungkapan yang sangat bijaksana bahkan dalam hal tertentu sangat teologis dan lebih menarik lagi - berani (di depan undangan seluruhnya).

Dari perkataan 'orang bijaksana' itulah terbersit ide dari Eric Mascall tadi.

Kalau diperdalam, memang sepertinya kita terlalu banyak lari dari tanggung jawab. Terlalu sering kita bersembunyi. Terlalu sering juga yang selayaknya dan seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab kita, kita mau mencoba menyerahkannya kepada Tuhan, seolah-olah itulah wujud dari iman.

Mirip dengan itu juga tentang wujud dari lari dari tanggung jawab itu. Ketika kita melakukan kejahatan atau yang sejenis, maka kita menyalahkan godaan, bahkan terlalu sering meletakkannya dan menyalahkan setan atau iblis.

Kita barangkali harus bertanya, siapa yang memilih? Siapa yang memiliki kehendak bebas? Siapa yang berbuat? Siapa yang bertanggung jawab?

Mengapa kita terlalu sering, seolah-olah wujud beriman, menyerahkan yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab, kita serahkan kepada Tuhan? Sebaliknya ketika kita tidak mampu melakukan yang seharusnya, kita melempar tanggung jawab, dan mengambinghitamkan setan atau iblis?

Barangkali terlalu sering kita telah turun tanpa berjuang.

Saat-saat Terakhir Itu

Catatan Sepakbola

Karena saya lama bermain sepakbola betulan (maksudnya bukan hanya olahraga demi hiburan belaka) maka saya bisa merasakan ketegangan dan kebingungan menit-menit terakhir pertandingan sepakbola.

Menit-menit terakhir begitu membingungkan dan menegangkan malah kadang membuat frustrasi pemain, terjadi jika skor pertandingan itulah yang menentukan hasil berikutnya: gagal atau melaju.

Tulisan ini terinpirasi setelah menonton pertandingan semifinal kedua liga champions antara Chelsea v. Barcelona.

Dengan sistem 'gol tandang' maka hasil 0 - 0 bahkan misalnya unggul sementara 1 - 0, sebelum peluit wasit menghentikan pertandingan berakhir, maka para pemain Chelsea akan mengalami keletihan karena diserbu terus, dan akan kehilangan konsentrasi.

Gol tandang bisa berarti 1 gol sama nilainya dengan 2 gol. Gol tandang berarti gol yang diciptakan ketika lawan yang menjadi tuan rumah.

Pertandingan Chelsea v. Barcelona merupakan suguhan yang menarik, atraktif, dan menegangkan sepanjang pertandingan. Ketika menit-menit awal, Michael Essien (Prancis) membuat gol yang sangat indah dengan tendangan first time, saat itulah sepertinya para pemain Chelsea sudah merasa di atas angin.

Chelsea akan mengendalikan permainan, dalam pengertian bisa mengendalikan bola akan digiring ke mana mereka mau. Asumsinya, jika kondisi unggul ini tetap berlanjut sampai akhir pertandingan, maka Chelsea-lah yang lolos.

Tapi akan selalu terjadi dalam sepakbola, para pemain juga akan cepat lupa kondisi yang sebenarnya. Dan kondisi yang paling membingungkan terjadi pada menit-menit akhir pertandingan.

UEFA melaporkan pertandingan itu tidak berlangsung 90 menit, tapi 48 menit ditambah 53 menit, jadi total waktu pertandingan adalah 101 menit. Pertambahan waktu babak kedua adalah 8 menit. Ini benar-benar waktu yang cukup lama bagi pemain menjadi saat yang membingungkan, keletihan, kehilangan konsentrasi, frustrasi bahkan mungkin stres.

Ironi Sepakbola

Sampai habis waktu normal, 90 menit, bahkan sebetulnya tambah waktu 3 menit bonus babak pertama, Chelsea bermain dengan wajah gembira walaupun kadang-kadang tertekan. Dengan waktu yang lama ini pula, maka Barcelona-lah yang mengalami kepanikan ketika tertinggal 1 gol.

Ironi terjadi ketika Barcelona membuat gol yang 'ajaib' pada pertambahan 3 menit babak kedua oleh Adres Iniesta. Itu ironi pertama. Yang membuat pertandingan itu menjadi benar-benar ironi, adalah karean Barcelona tinggal 10 pemain mulai menit ke-66 setelah Eric Abidal dikeluarkan wasit. Barcelona menjadi gegap gempita, dan sebaliknya Chelsea menjadi panik, dan mungkin mulai putus asa, setelah gol yang menyamakan kedudukan menjadi 1 -1.

Didier Drogba

Setelah pertandingan berakhir, Drogba melakukan protes yang sangat menekan wasit. Memang pertandingan itu selalu ada kelemahan di sisi wasit. Wasit mungkin tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi dalam pertandingan tadi pagi, lebih banyak wasit tidak melakukan keputusan yang berani. Karena wasit melihat kondisi hands ball lebih daripada satu kali. Tapi sepertinya tidak ada nuansa wasit memihak kepada satu tim, atau berniat membela satu tim.

Walaupun sebenarnya ada satu peluang hampir pasti gol, ketika Drogba sudah berhasil mengecoh pemain belakang Barcelona dan tinggal berhadapan dengan kiper Barcelona. Jadi kalau kita berdiskusi dengan para pemain Chelsea, sepertinya yang paling besar penyesalannya adalah Drogba ini, dan mungkin itulah yang menjadikan dia mendapat kartu kuning, karena protes keras terhadap wasit, walaupun pertandingan sudah berakhir.

Kita harus berterima kasih kepada para pemain yang menampilkan dan menyuguhkan permainan sepakbola tetap hidup. Yang membuat permainan sepakbola tetap menjadi hiburan, menggembirakan, dan mungkin sedikit menegangkan.

Sekali lagi kita harus berterima kasih kepada para penampil dan penyuguh itu, terutama kepada Xavi Hernandez, Michael Essien, Andres Iniesta, Frank Lampard, Lionel Messi, Florent Malouda, Gerard Pique, Yaya Toure, dan Jose Bosingwa.

Orang Terakhir: Penanggung Kesalahan?

Catatan Sepakbola

Saya teringat dengan istilah 'orang terakhir' ini setelah menonton semifinal Liga Champions 2009, Arsenal v. Manchester United (MU) tadi pagi. Mungkin ada membahas sepakbola tapi lebih kepada tanggung jawab seseorang dalam sebuah tim. Bisa disebut juga sebagai leadership individu dalam sebuah tim.

Permainan sepakbola mirip seperti kehidupan bersama atau kehidupan organisasi atau kehidupan sebuah unit kerja. Walaupun sebuah unit, tetap dihuni oleh beberapa atau banyak orang.

Pertandingan Arsenal v. MU sangat menarik dan atraktif. Dan harus disebutkan lebih dahulu, bahwa saya bukan fans Arsenal dan bukan fans MU. Saya penggemar dan penikmat sepakbola. Mengapa harus disebutkan? Karena kalau saya fans sebuah tim, katakanlah MU, maka saya kemungkinan besar tidak memperhatikan secara keseluruhan permainan. Biasanya seorang fans begitu senang ketika tim kegemarannya lagi menyerang dan apalagi kalau (nyaris) menciptakan gol. Tapi ketika, tim kesayangannya diserbu, maka jantungnya pun mungkin berdetak tidak karuan.

Jadi saya bisa menikmati permainan itu tanpa memihak dalam hati sekali pun. Pertandingan dikuasai Arsenal sampai terjadi gol yang pertama. Dan dari gol inilah, saya teringat 'orang terakhir', sesuai judul tulisan ini.

Ketika MU mengadakan serangan balik, di mana sebelumnya Arsenal begitu menguasai bola dan permainan, maka saat-saat seperti inilah yang paling menentukan nasib sebuah tim. Artinya, pada saat serangan balik yang cepat, yang paling menentukan adalah orang terakhir yang meng-handle segala sesuatu sebelum terjadi gol. Tentu orang terakhir adalah kiper, tapi biasanya tidak kepada kiper istilah itu, tapi kepada pemain yang menjaga orang yang menciptakan gol. Orang terakhir itu adalah Kieran Gibbs.

Kieran Gibbs terpeleset ketika menjaga gerakan Park Ji-Sung, dan 'sialnya' (tentu bagi Arsenal), Park berhasil membuat gol. Masih pada awal pertandingan, menit ke-8. Gol cepat.

Muncul pertanyaan, apakah 'kesalahan' itu pantas dijatuhkan kepada Kieran Gibbs? Dia baru berusia 19 tahun (lahir 26 September 1989).

Dan kasus terjadinya gol Arsenal juga karena 'orang terakhir', Darren Fletcher yang mengawal Cesc Fabregas, yang menjatuhkannya karena Fabregas hampir membuat gol. Fletcher dihukum kartu merah dan tidak diperbolehkan lagi terlibat dalam permainan. Memang karena MU unggul, sepertinya yang dilakukan Fletcher biasa-biasa saja. Padahal peristiwa itu juga sebenarnya sangat membahayakan MU sekiranya tidak unggul. Kartu merah dan hukuman penalti dan berakibat hal justru ingin dihindari Fletcher sampai melakukan pelanggaran, -- gol.

Tapi begitulah sepakbola. Gibbs akan diingat sebagai pencipta kegagalan. Tapi sekiranya Gibbs berhasil menghalau bola dan tidak terjadi gol, dia dianggap biasa-biasa saja, dan mungkin adegan itu akan cepat dilupakan.

Bisa disebut pada saat kejadian seperti ini, posisi Gibbs menjadi penentu laju Arsenal ke final, Gibbs-lah yang menjadi pemimpin Arsenal.

Kalau kita perhatikan sebuah tim sepakbola atau tim apa pun, kadang-kadang terpikir, bahwa kelemahan seseorang sering kita jatuhkan kepada orang itu saja. Kita lupa bahwa kita adalah sebuah tim. Dan sudah pasti, sebuah tim memiliki anggota yang tidak sama kekuatannya. Anggota tim juga pasti tidak sama tanggung jawab dan wewenangnya.

Bagaimana kita memahami 'orang terakhir' ini?

Dalam sebuah pertandingan yang sangat penting, bahwa seseorang mengambil tanggung jawab tidak bisa hanya berdasarkan kemampuan teknis saja. Dalam sepakbola, dalam pertandingan krusial, yang sangat menentukan adalah tingkat kepercayaan diri, karakter, determinasi, dan mental seseorang jauh lebih menentukan daripada kemampuan teknis belaka. Memang kalau kondisi pertandingan atau keadaan normal-normal saja, maka orang-orang yang ditugasi mengambil tanggung jawab sepertinya kelihatan berhasil melaluinya. Tapi dalam kondisi normal, kondisi itu tidak kelihatan dan tidak teruji. Ujian yang real terjadi saat yang paling kritis, seperti kasus Gibbs itu. Dan untuk tim seperti Arsenal agak janggal misalnya dia dipilih menjadi pemain starter oleh manager Arsene Wenger hanya karena kesukaan. Karena akan bertentangan dengan semangat olahraga, sport, yakni sportivitas.

Dan kesalahan atau kegagalan tidak pantas dijatuhkan kepada Darren Fletcher atau Kieran Gibbs. Kesalahan atau kegagalan tidak layak dijatuhkan kepada pemain terakhir, orang terakhir. Hasilnya adalah hasil dari sebuah tim secara keseluruhan, pemain, manager, tim support, dan siapa pun yang berkontribusi dan memiliki andil tanggung jawab. Demikian juga dengan keberhasilan. Apa pun hasilnya, itulah kemampuan dan kekuatan tim. Itulah tim itu sendiri.

May 2, 2009

Berapa Sebetulnya Anak yang Kita Inginkan?

"Being a full-time mother is one of the highest salaried jobs... since the payment is pure love."
~ Mildred B. Vermont

Dahulu para leluhur kita yakin bahwa anak adalah pemberian dan anugerah Allah dan mungkin juga jumlah anak yang hadir dan terlahir.

Bagaimana kalau orang zaman sekarang? Barangkali bahwa anak masih diyakini sebagai pemberian Allah, tapi apakah demikian dengan jumlah anak? Kita perlu jujur merenungkan ini.

Saya sering merenungkan tentang anak yang diyakini sebagai pemberian Allah ini.

Saya berbagi cerita dengan beberapa keluarga yang membuat keluarga itu menjadi sangat sedih karena kelakuan anak-anak mereka yang sangat menjengkelkan, yang membuat malu, dan benar-benar menyulitkan dan mengacaukan relasi dan kehidupan keluarga.

Keluarga sahabat juga membagi pengalamannya dengan saya. Beberapa keluarga yang sangat merindukan kehadiran bayi dalam keluarga mereka. Mereka sangat mendambakan kehadiran orang yang barangkali menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan mereka. Pasangan suami-istri yang sudah bertahun-tahun menikah, berusaha sekuat tenaga, berdoa sekhusyuk mungkin memohon kehadiran anak yang dinanti-nanti.

Saya pernah mendapat cerita dari seorang pembimbing umat,"Apa menurutmu yang paling menggembirakan orangtua kita?"Jawabannya adalah kehadiran kita, atau tepatnya, kita.

Lalu,"Apa menurutmu yang paling membuat orangtua kita sedih bahkan menderita?Jawabannya sama. Kita.

Ini bukan semacam kecelakaan atau tragedi. Ini justru berhubungan dengan kegembiraan itu sendiri. Karena semakin besar kegembiraan dan kebahagiaan hidup, biasanya semakin besar usaha yang diperlukan, semakin besar tantangan yang dihadapi, bahkan semakin besar 'penderitaan' yang dialami.

Di era yang katanya modern ini, kita yang konon juga orang modern, jika ditanya,
"Berapa anak yang Anda inginkan?" Apa jawaban kita? Barangkali kita akan menjawab, "Dua." Atau paling banyak tiga, karena mungkin kita bekerja pada perusahaan yang membiayai kesehatan dan lainnnya hanya sebanyak tiga orang.

Apakah anak sudah lebih dominan kita anggap sebagai dan beban dan 'merepotkan' daripada sebagai anugerah dan rahmat?

Permenungan Menarik dan Menggetarkan

Saya sering tersenyum dan kadang-kadang begitu menggetarkan, jika sampai pada permenungan tentang jumlah anak yang 'hanya' dua orang ini.

Jika dulu, kedua orangtua saya berpendapat seperti manusia zaman sekarang, bahwa mereka sepakat jumlah anak mereka hanya dua atau tiga, dan rencana mereka betul-betul mereka laksanakan, ada hal yang menarik bagi diri saya sendiri dan mungkin bagi orang lain.

Iya, sesuatu yang sangat penting dan menakjubkan untuk saya. Karena jika kedua orangtua saya sepakat dan melaksanakan rencana mereka -- memiliki hanya dua orang anak -- maka saya sangat sulit mengetahui eksistensi saya di bumi dan dunia ini.

Mengapa? Karena Anda tahu, bukan? Saya anak ke-8 dari 9 bersaudara.

April 23, 2009

Gelap dan Terang dan Cerita Mistik Yahudi

Entahlah karena apa, terlalu sering kalau mengingat Kartini, lalu yang kita ingat berikutnya adalah kebaya. Apa sebetulnya perjuangan Kartini? Siapa sebenarnya ibu kita ini? Perlu kita pelajari lebih baik lagi dengan sungguh-sungguh.

Saya mengetahui Kartini dari perjuangannya, itu pun samar-samar. Surat-suratnya 'Habis Gelap Terbitlah Terang' pun belum pernah saya baca dengan serius.

Tapi saya tertarik melihat para gadis atau ibu-ibu kita mengenang Kartini dengan memakai kebaya, bahkan ada yang lomba memakai kebaya. Kalau saya ingat semangat perjuangannya, saya kira, kalau bisa, bahkan mungkin Kartini pun akan menentang memakai kebaya. Mengapa? Karena dengan memakai kebaya, maka pergerakannya akan terbatas, tidak bisa bergerak dengan leluasa dan bebas.

Kembali ke Terang dan Gelap. Ini adalah simbol atau metafora. Karena simbol dan metafora ini cukup menarik, kita perlu dapat membedakan mana yang gelap dan mana terang. Untuk membedakan gelap dan terang ini, saya teringat akan cerita mistik Yahudi:

Seorang rabbi bertanya kepada murid-muridnya,
"Kapankah, di waktu fajar orang dapat memisahkan terang dari gelap?"
Seorang muridnya menjawab,"Ketika saya bisa memisahkan seekor kambing dari keledai."
"Tidak," jawab rabbi itu.
Yang lain berkata, "Ketika saya bisa membedakan sebatang pohon palma dari pohon ara."
"Bukan," kata rabbi itu pula.
"Nah, jika begitu apa jawabnya?" Murid-muridnya mendesaknya.
Kata rabbi itu,"Barulah ketika kamu memandang wajah setiap lelaki dan wajah setiap perempuan, dan kamu melihatnya sebagai saudaramu laki-laki dan saudaramu perempuan. Barulah saat itu kamu melihat Cahaya. Di luar itu, adalah kegelapan."

April 21, 2009

Into the Wild

Inilah film yang terakhir saya tonton. Film yang berisi petualangan yang mencoba melakukan pencarian dan mungkin penemuan. Disutradarai Sean Penn dan tokoh kunci dibintangi Emile Hirsch (Christopher McCandles). Diilhami dari buku Jon Krakauer dengan judul yang sama. Tapi sejujurnya, saya belum membaca bukunya, baru menonton filmnya. Dan dari film inilah saya ingin menuliskan sesuatu, karena kisah yang sangat memilukan untuk sebuah keluarga.

Sebuah keluarga yang mapan, tapi sepertinya ada masalah. Sebuah keluarga dengan dua orang anak, Christopher dan adiknya Carine McCandles. Chris anak yang cerdas yang sangat gemar membaca yang bisa dengan cepat menemukan ungkapan atau kutipan untuk suatu hal, dari buku-buku yang sudah dibacanya.

Iya, keluarga yang ada masalah. Chris dan Carine, keduanya adalah 'anak haram', tapi orangtuanya tidak mengakuinya. Chris dan adiknya sering dimarahi karena suatu hal, dan digambarkan bahwa menurut penilaian kedua anaknya, kedua orangtuanya adalah orang-orang yang bertindak menggunakan penilaian-penilaian orang lain.

Suatu saat masa menjelang dewasanya, Chris akan dibelikan mobil baru. Chris menolak, dan tetap menggunakan mobil yang ada, karena masih kondisi baik. Chris berkata tidak membutuhkan benda-benda itu.

Chris sudah merencanakan petualangan, semacam 'pelarian' dari rumah, melakukan pencarian makna hidupnya. Dia membaca syair Lord Byron,

There is a pleasure in the pathless woods,
There is a rapture on the lonely shore,
There is society, where none intrudes,
By the deep sea, and music in its roar:
I love not man the less, but Nature more,
From these our interviews, in which I steal
From all I may be, or have been before,
To mingle with the Universe, and feel
What I can ne'er express, yet cannot all conceal.

Dia bercita-cita 'menaklukkan' Alaska. Dan dia pun pergi meninggalkan 'dunia yang kacau', dunia modern.

Banyak peristiwa diceritakan oleh Carine, dan di layar sering muncul tulisan-tulisan yang menyangkut hidup Chris. Peristiwa, cerita, pengalaman ditampilkan dengan pemandangan hutan, kadang kejadian di kota, dan juga kenangan-kenangan lama sewaktu Chris dan Carine masih kecil di rumah mereka.

Dalam semangat Chris, terpampang, "Tak bisa dipungkiri menjadi bebas sangat menggembirakan kita."

Chris tinggal di magic bus, yang menjadi rumahnya di hutan. Di rumah hutannya inilah dia menuliskan semua kisah petualangannya. Dia beberapa kali kembali ke kota untuk mencari bekal secukupnya, lalu kembali lagi ke rumahnya.

Dalam proses pencarian dan penemuan dirinya ini, dia pun mengubah namanya menjadi Alexander Supertramp. Untuk benar-benar menghilangkan jejaknya dari peredaran.

Penghilangan jejaknya dan pengejaran tujuan hidupnya inilah, terjadi saat-saat kedua orangtuanya disadarkan kembali tentang nilai sebuah keluarga. Tapi apa daya? Ibunya mencari-carinya terus.

Ketika dia perlu makanan, dia sudah mengangkat senjata untuk menembak rusa. Sesaat dia lihat rusa itu berjalan oleng, dia sudah hampir menembaknya, dia perhatikan lagi, ibu rusa diikuti anaknya yang jalan sempoyongan. Dia pun urung menembaknya.

Dalam mencapai cita-citanya, Chris menghadapi tantangan fisik yang tidak tertahankan. Terjadi juga tantangan yang sebenarnya bagi laki-laki, wanita. Saat dia bertemu sepasang hippi, di sana juga ada seorang wanita cantik, yang gemar menyanyi, Tracy. Ketika Tracy sudah beberapa kali jalan bersama dengan Chris, suatu saat Tracy sudah dengan siap dan terang-terangan mengajak Tracy untuk berhubungan yang paling intim. Chris dengan tenang dan sabar menolaknya. Chris sambil merengkuh dengan bersahabat berkata kepada Tracy, "Jika kau ingin sesuatu dalam hidupmu, raih dan gapailah!"

Kisah yang sangat menarik terjadi ketika Chris bersahabat dengan seorang pensiunan militer yang pernah bertugas di Okinawa, Ron Franz. Mereka bersahabat terbuka, dan sepertinya karena mengalami penyendirian dan pencarian yang sama, mereka sangat akrab.

Ron Franz bercerita, bahwa dia dulu punya keluarga, seorang isteri dan seorang anak. Ketika dia bertugas, seorang pengemudi mabuk menabrak mereka berdua dan meninggal saat itu. Franz melanjutkan ceritanya, "Chris, kalau saya ditanya kegiatan apa sekarang yang paling saya tidak sukai, itulah menenggak wiski. Tapi kau tahu bukan? Setelah kejadian itu, saya pun meminum wiski sampai mabuk."

Suatu saat dia tersadar, batinnya berkata, bahwa peristiwa itu tidak boleh membuatnya jatuh lagi, dan dia pun berhenti minum, saat itu, langsung.

Persahabatan 'orang tua' dan 'anak' inilah yang menjadi bagian Getting of Wisdom film. Ketika Chris dan Ron Franz berhenti di tengah jalan setelah berkendara lama, Ron bertanya kepada Chris yang sedang mendaki dengan cepat,
"Alaska? Nak, kau lari dari apa?'
"Aku bisa ajukan pertanyaan yang sama kepadamu, kecuali aku sudah tahu jawabannya." jawab Chris.
"Kau sudah tahu, ya?"
"Ya, Pak Franz. Kau harus kembali ke dunia luar. Keluar dari rumahmu yang sepi, dari sanggar kerja kecilmu. Kembalilah ke jalanmu. Sungguh! Kau akan hidup lama, Ron. Kau harus membuat perubahan radikal dalam gaya hidupmu. Inti jiwa manusia datang dari pengalaman-pengalaman baru."

Sesaat mereka masing-masing tersadar. Dan bernapas tenang, menghirup angin di puncuk bukit, yang sebelumnya Ron tidak mau dan tidak mampu mendakinya, tapi karena spirit yang ditularkan Chris, Ron bisa mencapai puncak bukit. Di sanalah mereka bercerita. Bahkan Ron berniat mengadopsi Chris. Tapi Chris mengatakan, akan memikirkan tentang itu setelah kembali dari misinya, Alaska.

Chris melanjutkan,"Tapi kau salah jika kau pikir kebahagiaan hidup pada prinsipnya datang dari hubungan manusia. Tuhan menempatkannya di sekitar kita. Dalam apa pun yang bisa kita alami. Orang hanya harus mengubah cara mereka melihat hal-hal itu."

Ron, sambil menunduk sadar berkata, "Ya, aku akan renungkan itu.!" Dengan tenang Ron melanjutkan, "Tapi aku ingin memberitahu sesuatu. Dari kepingan informasi yang kukumpulkan, dari kisah yang kau ceritakan tentang hidupmu, kau punya masalah dengan keluargamu. Tapi ada sesuatu yang lebih luhur yang bisa kita hargai. Bila kau memaafkan, kau menyayangi. Dan jika kau menyayangi, Cahaya Tuhan bersinar pada dirimu."

Bagian akhir, Chris kembali lagi ke rumah hutannya. Dia sudah kehabisan bekal, dan tanpa tenaga. Badannya sudah sangat kurus. Dalam kepiluan akan tenaga yang tersisa dia masih sempat menutup ritsleting celananya, dan mengambil posisi terlentang dalam magic bus-nya.

Sebelum menghembuskan napas terakhir dia masih sempat membaca Doctor Zhivago, terungkap, " Menyebut setiap benda dengan nama yang tepat." Chris menuliskan kata-kata terakhir yang mirip tulisan nisan, tentu diakhiri dengan nama yang asli, bukan Alexander Supertramp,

I have had a happy life and
thank the Lord
Good bye and may God
bless all!

Christopher Johnson McCandles

April 6, 2009

Anak-anak Asia Belajar Menghitung Lebih Cepat daripada Anak-anak Amerika

Dua hari lalu, saya teringat kembali waktu awal-awal belajar bahasa Inggris, khususnya tentang angka atau penomoran. Teringat akan lebih banyak angka yang harus dihapal. Penamaan atau penyebutan angka dalam bahasa Inggris tidak seperti bahasa Indonesia. Mungkin ada kesulitan seperti dalam bahasa Indonesia, tapi lebih banyak lagi dalam bahasa Inggris khusunya pada huruf yang tidak mengkuti pola tertentu.

Ide ini terbersit lagi setelah membaca karya Malcolm Gladwell, "Outliers: The Story of Success".

Penamaan atau penyebutan angka dalam bahasa Inggris, mempunyai kesulitan tersendiri. Kesulitan itu muncul pada angka-angka belasan: 11, 12, 13, 14, s.d. 19. Dan ini tidak sedikit, karena akan terjadi untuk bilangan yang lebih besar lagi, yang angkanya berakhir dengan belasan itu.

Seperti kata Gladwell, dalam Bahasa Inggris, mereka mengatakan: 'fourteen', 'sixteen', 'eighteen', dan 'nineteen', jadi mungkin juga orang menduga kalau ada: 'oneteen', 'twoteen', 'threeteen', dan 'fiveteen'. Tetapi ternyata tidak begitu. Mereka menggunakan bentuk yang berbeda: 'eleven', 'twelve', 'thirteen', dan 'fifteen'. Mereka pun mempunyai nomor seperti 'forty'.

Mirip seperti Bahasa Indonesia, untuk angka belasan mereka menggunakannya secara terbalik: 'fourteen', 'seventeen', 'eighteen'.

Kesulitan akan semakin banyak terjadi untuk pemeringkatan, misalnya saja: 21th (twenty-first), 32nd (thirty-second) dan banyak lagi.

Menurut Gladwell, sistem penomoran dalam bahasa Inggris sangat unik. Tidak seperti halnya di Cina, Jepang, dan Korea. Mereka memiliki sistem perhitungan yang logis. Sebelas adalah sepuluh-satu. Dua belas adalah sepuluh-dua.

Sistem ini sama dengan bahasa Batak. 11 dibaca atau diucapkan sampulu-sada, 12 sampulu dua, 17 sampulu pitu.

Menurut Gladwell lagi, anak Cina berusia empat tahun bisa menghitung rata-rata sampai empat puluh. Anak-anak Amerika pada usia yang sama hanya bisa menghitung sampai lima belas dan kebanyakan tidak bisa menghitung empat puluh sampai menginjak usia lima tahun.

Dengan kata lain, pada usia lima tahun anak-anak Amerika sudah ketinggalan 'satu tahun' dibandingkan rekan-rekannya di Asia dalam keahlian matematika dasar.

Ketika saya coba menghitung penjumlahan misalnya dalam bahasa Indonesia: dua puluh empat ditambah lima belas, maka saya harus melakukan konversi dulu ke bentuk angka menjadi (24 + 15) baru dijumlahkan satuan dengan satuan dan puluhan dengan puluhan. Sama persis dengan bahasa Inggris, masih memerlukan konversi ke angka.

Padahal dalam bahasa Batak misalnya, tidak perlu melakukan konversi karena sudah bisa langsung dijumlahkan melalui pengucapannya saja: dua-pulu-opat ditamba sampulu-lima berarti tolu-pulu-sia ---> tiga-puluh-sembilan.

Maka kata Gladwell, perbedaan itu berarti anak-anak Asia belajar untuk menghitung lebih cepat dibandingkan anak-anak Amerika. (Mungkin sementara yang Gladwell maksud Asia adalah Korea, Cina, dan Jepang. Tapi perlu ada penelitian untuk anak Indonesia, khususnya karena angka belasan tadi).