January 29, 2009

Mengenang Bapa Renatus Rajaham Nadeak

29 Januari 2009

Esok, genap setahun Engkau,
meninggalkan kami

Saya masih bisa ingat
ketika kita malam-malam sama-sama ke Tanjungan
mengawasi kolam ikan
mungkin ada perubahan tiba-tiba
air Danau Toba yang bisa mendadak meninggi
ombak yang mungkin deras dentumannya

pernah suatu malam,
kita bersama lagi ke Tanjungan,
terang bulan,
terlihat ribuan lele,
tidak seperti biasa, tidak terhitung
di bawah papan penyeberangan yang sudah lapuk
membuat kaget dan terhenyak
dari mana lele sebanyak ini, tiba-tiba?

Saya masih bisa ingat
ketika setiap hari Rabu
mengurusi umat
hendak baptisan, pernikahan
Engkau berangkat naik sepeda besar
pulang dengan menggiringnya dengan tangan
melepas ikatan sebuah kado dari boncengan
roti marie

Saya masih bisa ingat
kita membaca majalah Hidup dan Menjemaat
bersama-sama

Saya masih bisa ingat
ketika saya masih anak-anak
membaca buku besar bergambar
berisi peristiwa dalam Kitab Suci
tokoh-tokoh, nabi-nabi, orang saleh, santo-santa

Saya masih bisa ingat
Engkau,
mengajar di sekolah
menyanyi dengan suara lantang dan khas
memulai belajar dengan lagu dan doa

Saya masih bisa ingat
setiap pulang dari perjalanan
berdoa mengucap syukur

Saya masih bisa ingat
ketika saya lebih kecil lagi
Engkau mengambil nasi
menggenggamnya membentuk kepalan
nasi menjadi hangat
mewangi genggaman tanganmu
harum lengan dan jemarimu, terasa
menyuapiku

Saya masih ingat,
terlalu sering ayam kita tergilas mobil
tanpa pernah ada kata kesal
jika ayam masih segar
kita santap jadi lauk
dengan gembira

Saya bisa ingat
ketika ujian triwulan atau semester,
saya ingat lagi, setiap ujian
sebelum berangkat ke sekolah,
kami makan telur ayam kampung bulat
terasa kepercayaan diri, semangat, spirit
mengangkat jiwa

Teringat kembali
kita berempat, membawa sipanganon
mau mengunjungi Bapa Tua sakit di Bonandolok
naik boat, mulai malam dari Sitanggang Bau
hujan deras, gelap gulita
boat kehabisan minyak
terombang-ambing
dalam remang kegelapan
ombak sudah di atas boat
bagai menenggelamkan semua
penumpang wanita berteriak macam-macam
teriak memanggil-manggil sebuah nama
nama seorang perempuan 'penjaga' Danau Toba
Engkau mengajak kami berdoa
tidak lama
boat terhenti di suatu daratan
di suatu pulau
dalam gulita tidak tahu berada di daratan mana
dingin, menunggu pagi
terdampar di Pulau Tulas
dalam dingin dan lapar
kita jadinya menyantap sipanganon
sebuah kebijaksanaan tentang menjaga kehidupan

Saya akan selalu terkenang
ketika baru tabrakan di Pematang Siantar,
ketika kakak, ingin tidak memberi tahu
agar hatimu tenang
tapi
saat itu di Saribu Dolok
saya dengan lengan terkekang
menahan gerakan agar tidak terasa sakit:
Ro do Hamu
manopot ahu
mamboan sipanganon
mambahen
las ni roha
pos ni roha
mangarumatondii
mambahen tangiang
manangianghon
memboan angka na uli
manuanhon angka na denggan
na gabe mangaramoti ahu
na so tarasom
Pasu-pasu na sian Tuhanta i
pasu-pasu na sian Hamuna
Natua-tua niba

Engkau selalu menyucikan orang-orang
memperbaiki segala sesuatu
menyembunyikan kekurangan
menyimpan segala sesuatu yang buruk
dari orang lain,
dari masa lalu,
untuk dihiasi dengan maaf
Engkau menguduskan jiwa-jiwa

Kala saya ingat
kehidupanmu waktu kecil
menanggung penderitaan
sejoli orangtua yang meninggal dengan amat cepat
sebagai anak pertama
mengemban tanggung jawab
anak muda yang menjadi orangtua
menjadi ayah, menjadi ibu
bagi tiga orang adik
menjadi orangtua tiga orang anak
tugas perutusan keluarga
tidak terputus
tidak tanggung-tanggung
semasa hidup
sampai akhir hayatmu

Kala saya ingat lagi
cerita hidup beliamu, perjuangan hebat
hidup pahit getir
Cerita tanpa keluhan
Cerita dengan rasa 'benget'
Cerita dengan rasa 'humor'
Cerita dengan nuansa 'hikmat'

Selalu saya ingat,
doamu bagiku

Selalu saya ingat,
ungkapan dan pikiran yang baik
hati yang mendoakan
terhadap semua orang
iya, semua orang

Saya masih bisa ingat
tulisan tangan
di banyak bukumu
di dinding kamar
peristiwa lengkap dengan penanggalannya
kapan ATS si (salah seorang anakmu)
kapan menanam cengkeh
kapan menanam jeruk
menjadi grafiti


Saya masih ingat,
ketika pertama sekali berkarya di Kabanjahe,
pulang ke rumah tiba malam
Pesanmu, "Pulanglah setiap bulan!"
Ketika berkarya di Sidikalang,
"Pulanglah setidaknya sekali sebulan!"

Saya pun pulang ke rumah
empat minggu paling lama
saya selalu kembali ke rumah
melihat hudon dohot balanga
yang sudah hitam
barang-barang lama
sudah ditutupi debu
selalu mengundang rindu

Saya masih ingat
ketika tiba di rumah, malam
di dapur tersedi nasi berbentuk bubur
teringat olehmu pembawaanku,
yang tidak gemar makanan lunak
dengan ingatan cepat
dengan tindakan cekatan
Engkau memasak nasi lagi,
khusus buatku

Masa tuamu,
kita bisa bercerita sepanjang hari
berbagi kisah dan pengalaman
kisah beternak ikan mas
berkerambah
kisah pernah mencoba bercocok tanam
cengkeh, jeruk manis, vanila, petai cina

Kisah berjalan kaki dari Pangururan ke Tiga Lingga
mencoba jalan hidup lebih baik
terbayang dalam benakku,
berapa lama hari melalui perjalanan
apa yang harus disantap menyambung hidup
dan saat itu,
Engkau bukan lagi lajang
mengayomi adik-adik dan anak-anakmu

Saya selalu ingat
Kisah dan harapanmu
Kisah dan imanmu
Kisah dan Aksi kasihmu

Saya masih bisa ingat
Minggu sore sampai malam sebulan sekali,
terakhir dua kali sebulan Credit Union (CU)
menjinjing tas berisi uang simpan pinjam
membantu manusia Tanjung Bunga
karena CU inilah
Engkau jadi tidak bisa mengunjungi kami, para anakmu
terlalu lama
harus kembali lagi, CU
terberkatilah jiwa-jiwa
terberkatilah...


Dari ceritamu
dari kisah para orangtua
dari para suri tauladan
disiplin tepat waktu acara adat dan budaya
teristimewa Gereja
disiplin mengajar anak-anak
mendampingi orang-orang
membimbing keluarga-keluarga
menuntun banyak manusia
Lagi,
selalu saya ingat
doamu bagiku

Orang-orang tua menyapamu
"Guru!"
mungkin lebih daripada orangtua,
begitu banyak orang,
Engkau memang seorang Guru
Guru bagiku,
Bapa bagiku

---
teriring doa...
---
dalam doaku,
kukutip syair
A Forgiving Father
by Raymond A. Foss

A parable of brothers
a story of our father
a love maintained, given
even when we act like he is dead to us
holding hope, open arms,
for the one who was lost
so precious in the finding
the returning home,
repenting, calling him father
once more,
with open arms
He is ready
waiting for each and every one
each precious in his sight
a loved child
to hold
---

Saya Kagum dengan Penyair

Saya teringat dengan sebuah syair Robert Frost, The Road Not Taken. Selalu, jika mengingat syair, terbayang akan ketidakmampuan saya 'melihat' apa yang dapat 'dilihat' oleh para penyair. Terbayang juga akan sebuah buku yang berisi syair yang ditulis Subagio Sastrowardoyo, 'Dan Kematian Makin Akrab'. Itulah judul bukunya, yang diambil dari salah satu syair atau sajaknya.

Robert Frost, penyair yang selalu menggugah inspirasiku, terutama The Road Not Taken itu. Saya selalu berimajinasi dan berpikir misalnya, bagaimana Frost bisa menuliskan syair seperti itu? Mengapa dia menuliskan itu?

Pertanyaan sejenis masih banyak melintas dalam bayangan dan pikiranku.

Khusus The Road Not Taken, ada bayangan saya seperti ini. Misalnya kita dalam kehidupan ini, lebih spesifik misalnya mau melakukan sebuah perjalanan.

Maka saya mencari-cari informasi, tanya sana sini, mungkin browsing di internet, atau mencoba mengikuti perjalanan orang lain yang kata orang lain itu sangat menarik.

Muncul pertanyaan dalam hati. Jika saya ambil misalnya rute perjalanan yang diambil orang itu, berarti saya hanya mengikuti apa yang sudah dilakukan orang lain. Memang walaupun mengikuti rute itu, tetap saja sebetulnya pengalaman saya berbeda dengan pengalaman orang lain yang mengikuti rute yang sama.

Dalam syair, Frost melihat-lihat dulu, juga sepertinya juga menimbang-nimbang arah perjalanannya. Dia melihat jalan sana, "Oh, begitu!" Dia melihat jalan yang lain, "Oh, mungkin seperti itu!"

Maka dia menuliskan,
"Kujalani jalan yang tidak diambil orang lain,
dan kutahu,
itulah bedanya."

January 19, 2009

Turn off Your TV!

Dengan segala hormat, kita harus ingat bahwa televisi tetap bermanfaat. Tulisan ini juga bukan untuk siapa-siapa, kecuali kita penonton televisi.

Saya mendapat cukup pengertian dari beberapa penulis dan pemikir tentang menonton televisi. Awalnya, pengertian yang saya dapat dari mereka bukan membahas khusus tentang menonton televisi. Pengertian yang saya dapatkan itu adalah bahwa, jika berhadapan dengan televisi, kita terlalu sering 'tidak sadar' akan tindak-tanduk kita.

Bayangkanlah, kita bangun pagi-pagi. Terus apa yang kita lakukan?

Coba serius, apa yang kita lakukan?

Mungkin ada yang segera sholat Subuh, ada yang berdoa, ada yang menyanyi kecil atau bersiul-siul, ada yang merenung, ada yang meditasi, ada yang berefleksi, dan banyak jenis aktivitas pagi-pagi.

Tapi setelah itu, apa yang kita lakukan?

Cobalah lebih serius lagi.

Kebanyakan kita akan menghidupkan televisi dan menonton. Bahkan sepertinya cukup banyak orang bangun pagi, lalu menonton televisi?

Apa sebetulnya yang hebat dari televisi, sehingga ia bisa mengendalikan kita?

Dan saya menduga, kita terlalu banyak menghidupkan televisi, tanpa tahu sebelumnya kita mau menonton acara apa.

Lalu, jadilah kita seperti orang bodoh, yang menonton televisi, tapi kita sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang kita tonton.

Jadi, sebelum kita tahu apa yang mau kita tonton dan untuk apa kita menonton televisi, lihat dan ingatlah judul tulisan ini!

---

Perhatikan Posisi Kursi di Rumah Anda!

Apakah Anda tinggal di sebuah rumah sekarang ini? Kalau pun tidak, tetaplah perhatikan posisi kursi yang ada! Mungkin Anda tinggal di apartemen, kondominium, kamar hotel, kos-kosan, menumpang atau pun tidak punya tempat tinggal menetap, coba perhatikan posisi kursi yang ada, menghadap ke mana?

Baiklah, walaupun misalnya tidak ada kursi, coba perhatikan posisi Anda biasanya duduk di tempat yang Anda tinggali sekarang ini.

Lalu, apa yang harus diperhatikan dari posisi kursi atau tempat duduk itu?

Itulah pertanyaannya.

Dulu, dalam sebuah rumah, keluarga yang tinggal orangtua, anak-anak, dan mungkin ada anggota keluarga lain. Karena akrab mereka sering duduk mengobrol bersama. Jadi posisi kursi atau posisi duduk membentuk lingkaran.

Sekarang, posisi kursi atau posisi orang yang duduk di kursi itu bukan lagi melingkar, tapi menghadap ke satu titik: pesawat televisi.

---

January 12, 2009

Apakah Nama Perlu Arti?

Kemarin sore, saya mendengarkan teman-teman berbagi cerita. Banyak topik pembicaraan yang muncul. Seperti biasa, teman-teman bercerita pengalaman, setelah beberapa tahun tidak pernah bertegur sapa, tidak pernah bertemu.

Ada yang menarik, ketika pembicaraan sampai kepada topik nama yang bagus. Tentu bagaimana sebuah nama yang bagus, tergantung selera masing-masing. Kita juga tidak tahu persis, mengapa sebuah nama disebut bagus. Mungkin karena, susunan hurufnya, mungkin karena nama itu yang jarang, mungkin juga karena nama itu sulit diucapkan, mungkin juga karena nama itu sulit menghapalnya, mungkin juga karena pengertian kata yang menjadi nama itu mengandung cita-cita atau hal lain. Mungkin juga karena nama itu mempunyai pola tertentu, mungkin juga karena mengandung unsur-unsur keinginan pemberi nama, misalnya agar anaknya saleh, dibuatlah namanya Saleh. Bisa juga mengikuti nama orang mulia, nabi, atau orang kudus seperti Yunus, Salomo, atau Thomas.

Tapi apa yang membuat nama itu bagus? Apa yang membuat nama seseorang harum? Apa yang membuat nama seseorang agung, mulia, terkenal?

Sepertinya nama sebenarnya tidak perlu punya arti. Misalnya, awan. Awan tidak perlu arti apa pun. Kata itu hanya menyatakan awan (saja).

Tapi apa yang membuat nama itu harum? Tentu bukan hanya karena nama itu sendiri. Misalnya Abraham Lincoln. Apakah Abraham Lincoln sebuah nama yang bagus? Mungkin bagi sebagian orang nama itu bagus. Mungkin bagi sebagian orang lain lagi tidak bagus. Tapi kembali ke awal tadi, itu hanya masalah selera.

Tapi seandainya misalnya ada serombongan orang berpendapat bahwa nama Abraham Lincoln terkenal, pastilah bukan karena nama itu sendiri, pasti karena Abraham Lincoln sendiri. Karena misalnya ada yang lain bernama sama, Abraham Lincoln, kita akan memilah lagi, Abraham Lincoln yang mana?

Bisa dikatakan Abraham Lincoln adalah nama yang terkenal, bukan karena nama itu sendiri tapi karena hal lain di luar nama itu. Memang bisa saja nama seseorang populer karena nama itu sendiri misalnya karena nama itu terlalu singkat atau terlalu panjang atau ada sesuatu yang menarik. Tapi itu hanya akan tinggal nama.

Coba kita lihat nama keluarga Bush. Apakah nama Bush terkenal? Lalu, coba kita cari apa arti sebenarnya kata 'bush'? Nama menjadi harum justeru karena penyandang nama itu sendiri. Atau bisa dikatakan penyandang nama itulah yang harum.

Seseorang menjadi terkenal, bernilai, bersejarah, tidak terlupakan bahkan abadi karena orang itu sendiri, bukan karena namanya. Karena siapa pun namanya, bahkan mungkin jika ia berganti nama, orang itu sendiri tetap terkenal, bernilai, bersejarah, tidak terlupakan dan abadi.

---
Agar nama kita 'berarti' bagi orang, bagi kehidupan, marilah kita buat diri kita berarti dan bernilai bagi manusia dan kehidupan ini.

Frans. Nadeak

January 9, 2009

Kapan Kita Bisa Tenang?

Ada sahabat yang mau sharing dengan saya tentang 'Silensium', tulisan sebelumnya. Saya merasa tertarik dengan situasi kita sekarang ini. Jika Anda tinggal di desa yang tidak ada hiruk pikuk, kebisingan, keributan, atau suara-suara yang menggelegar, bersyukurlah.

Bagaimana kita dengan yang tinggal di kota, atau setidaknya di sekitar kota, atau di luar kota? Tetaplah bersyukur!

Tapi saya teringat akan tulisan Rabi Harold S. Kushner, pengarang buku yang sangat fenomenal When Bad Things Happen to Good People. Dan tulisan ini tidak khusus membahas bukunya yang menurut saya kategori wajib dibaca.

"Bacalah, bacalah, dan bacalah!"

Kalau kita memiliki mobil, maka ketika di dalam mobil, dengan refleks, tangan sudah menekan sesuatu, mungkin AC, mungkin tape, mungkin CD player, atau radio. Yang paling menarik adalah menghidupkan TV. Iya, dalam mobil, kita menghidupkan TV. Apa yang penting sekali sehingga ketika menyetir pun kita harus menonton televisi?

Apakah TV begitu kuat pengaruhnya, sampai kita pun lupa untuk apa sebenarnya kita menonton TV? Padahal di jalanan pun sudah tidak terbayangkan suara mobil lain, bunyi klakson, teriakan manusia dari angkutan kota memanggil-manggil calon penumpang.

Rabi Kushner pernah berkata, ketika kita di rumah, kita dengan secepatnya menghidupkan televisi. Mengapa? Karena kita sebenarnya ingin mendengar suara manusia. Tapi, kita tidak mau mendengar manusia yang tidak bisa kita kendalikan.

Kita hanya mau mendengar sesuatu yang kita bisa atur. Dan itu ada di televisi. Tentu yang bisa kita atur pun hanya kanal atau siaran televisi mana yang mau kita dengar. Dan paradoksnya, justeru televisi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia, karena televisi hanya satu arah. Jadilah manusianya hanya sebagai penonton.

Kita selalu 'gelisah' dengan rumah yang tidak diserobot oleh suara televisi. Kita hidup seperti robot, yang jarang menanyakan untuk apa sebenarnya kita menonton TV itu. Bisa dikatakan, kita ingin tenang, tapi kita tidak mau tenang. Jadi, kapan kita bisa tenang?

Frans. Nadeak

---

Silensium

Saya beberapa kali tinggal di biara. Arti 'tinggal' bukan hanya singgah seperti melihat-lihat, bertamu, atau berkunjung. Tinggal berarti turut serta dalam kehidupan yang ada dalam biara itu. Bisa dikatakan, menjadi anggota dalam 'hidup membiara'. Saya hadir dan mengikuti segala ajaran, ritual, bahkan kebiasaan sehari-hari, misalnya makan bersama, ngobrol, beramah-tamah atau bercengkerama sesama penghuni.

Walaupun hanya beberapa malam, tinggal di biara, kita mendapatkan pelajaran yang banyak dan baik bagi jiwa.

Untuk membentuk disiplin berdasarkan kesadaran diri, salah satu tempat yang baik untuk mencoba dan belajar adalah tinggal di biara. Mungkin tidak harus menjadi biarawan, tapi tinggal di biara dan mencermatinya dengan baik sangat membantu.

Saya masih ingat tinggal beberapa hari (malam) di sebuah Biara Kapusin. Sambil keliling-keliling memperhatikan segala sesuatu yang ada di sebuah ruangan. Ruangan itu adalah tempat duduk bersama. Di sana, di bagian depan, sebuah pesawat televisi yang sederhana, tapi masih terang, dan sangat memadai untuk ditonton.

Seperti tamu yang baru tiba di ruangan itu, saya memperhatikan juga tulisan-tulisan di dinding. Ada gambar santo, ada sebuah gambar orang bergandengan tangan membentuk lingkaran. Sepertinya mereka menari dengan menggoyangkan kaki. Terlihat di gambar, wajah anak-anak berbagai usia, berbagai ras, tapi semua senyum dan tertawa ceria.

Senyumnya bukan senyum pesanan seperti di front office sebuah perusahaan. Tertawanya juga bukan tertawa suruhan seperti wanita resepsionis di hotel. Kita bisa tahu senyum dan tawa itu hanya dari gambar.

Ada juga tulisan yang dibingkai dan disampuli kaca jadwal acara setiap hari. Sebetulnya bagi semua biarawan dan penghuni tetap biara, sudah tahu jadwal tetap. Tapi bagi saya, orang baru, jadwal itu sangat penting, agar tahu kegiatan yang berhubungan dengan waktu. Tertulis di sana, jam 21.00 - ......... Silensium.

Saya menerjemahkan Silensium yang dimulai jam 9 malam itu bukan hanya berhenti menonton televisi bagi yang menonton, tapi juga berhenti bercakap-cakap, berhenti ngobrol, dan mulai membawa diri kepada kondisi tenang dan hening.

Suasana tenang, terutama hening inilah yang sepertinya makin hilang dari diri kita. Hilang bukan karena situasi di luar diri kita atau rumah kita yang memang berisik dan ribut, tapi hilang dari jiwa kita.

Mungkin saja tempat kita tinggal adalah wilayah yang sangat sibuk dengan suara raungan sepeda motor atau mobil. Juga suara pabrik, bahkan suara teriakan seseorang memanggil ojek atau petasan. Bahkan jika di sebuah ruangan yang nyaman pun, suara AC pun bisa menghilangkan suasana hening.

Tapi suasana itu masih kondisi di luar diri kita. Keheningan pun bisa hilang karena kecamuk yang meliuk-liuk dalam pikiran kita. Keheningan pun bisa menjauh karean rasa amarah, kebencian, bahkan ketidaktenangan karena sesuatu penyebab yang tidak terlalu jelas.

Silent = Listen

Saya perhatikan huruf yang ada pada kata Silent persis sama pada kata Listen. Sepertinya kita harus mulai menumbuhkan suasana silensium (be silent) agar kita bisa mendengarkan (to listen to).

Frans. Nadeak

---

Caleg yang Aneh

Tulisan ini bukan tulisan politik. Ini hanya menyuratkan sesuatu yang bagi saya menarik. Siang ini, saya membaca sebuah koran daerah. Karena sekarang adalah masa sosialisasi atau mungkin perkenalan ke masyarakat, maka terlalu banyak iklan dengan gambar-gambar orang, yang di sampingnya atau di atasnya, juga ada di bawah gambar terdapat nomor-nomor. Ada nomor partai, juga ada nomor urut.

Orang yang ada di gambar itu, bukan gambar yang menciptakan berita, atau gambar orang yang sudah meninggal (turut berduka cita), tapi gambar para calon legislatif (caleg).

Apa yang menarik itu?

Pertama, sungguh menarik karena yang ada di iklan dengan gambar-gambar itu, kebanyakan tidak saya kenal. Malah, hampir semua tidak saya kenal. Kalaupun ada yang saya kenal, itu juga bukan karena sesuatu yang calon itu pernah perbuat. Apakah yang mereka sudah pernah perbuat, setidaknya bagi calon pemilihnya, masyarakat?

Ada yang saya kenal, justeru karena dia pengusaha. Tapi dia menjadi pengusaha untuk siapa? Apa yang bermanfaat kecuali bagi dirinya. Baiklah, mungkin bermanfaat bagi orang yang bekerja untuk dia. Tapi apakah itu cukup?

Yang kedua, sungguh menarik karena ada tertulis, setelah (nanti) terpilih, dia akan melakukan ini dan itu. Tentu setelah dia terpilih. Ini sungguh menarik, karena 'akan' melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat. Mengapa untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat saja, kok harus menjadi anggota legislatif?

Yang ketiga, mungkin karena kondisi negara kita yang belum mantap betul untuk melakukan demokrasi, ada tendensi, bahwa para caleg itu berjuang bukan untuk rakyat, tapi untuk dirinya sendiri.

Yang keempat, ini yang paling menarik dan lucu. Ada wawancara untuk caleg kotamadya. Pertanyaannya adalah, "Apa motivasi Anda menjadi calon legislatif?"

Caleg itu menjawab, "Agar tahu cara kerja DPRD." Jawaban ini sungguh buram. Kalau hanya untuk tahu cara kerja anggota DPRD, tidak perlu menjadi anggota DPRD. Tinggal dipelajari bukan?

Tapi dari jawaban itu, sebenarnya ada hal yang lebih serius. Caleg itu menganggap bahwa anggota legislatif itu adalah semacam coba-coba, tanpa persiapan, tanpa pengetahuan, tanpa perjuangan, dan tidak tahu sebenarnya fungsi, tugas, dan tanggung jawab seorang anggota legislatif. Yang penting adalah dia menjadi anggota DPRD.

Wah, sungguh janggal....

---

January 8, 2009

Jangan Kungkung Pikiran Kita!

Hari ini saya baru sedikit membaca buku kecil bermanfaat besar karya Dr. Wayne Dyer. Setelah membaca buku itu, walaupun baru masih bagian awal, saya seperti diingatkan akan kebiasaan dan pikiran yang banyak menghantui kita. Saya sengaja memakai kata 'menghantui', karena sifat kebiasaan dan pikiran kita memang banyak yang menjadi buram, terpenjara, tertutup karena banyak hal.

Pikiran tertutup itu bisa saja dari ketakutan-ketakutan orang di sekeliling kita yang akhirnya menjadi ketakutan kita. Juga bisa karena takhyul yang banyak kita dengar, dan akhirnya kita percaya kepadanya. Bisa juga karena karena cerita-cerita yang kita dapatkan dari berbagai sumber. Juga dari mitos-mitos yang beredar di masyarakat.

Sebetulnya, masih banyak juga pikiran kita terkungkung karena suntikan orangtua, keluarga, teman-teman. Juga banyak terjadi, pikiran kita terkungkung karena pendapat dari orang-orang yang dipuja-puja karena alasan yang jarang atau tidak pernah diselidiki. Kita meyakini pernyataan orang itu hanya karena kita memujanya.

Tidak jarang juga kita berpikiran tertutup karena sesuatu yang kita dapatkan dari sekolah. Sekolah melalui guru, sering juga menciptakan pikiran kita tidak terbuka karena paham atau ajaran yang sebetulnya juga tidak valid. Misalnya, kata guru, "Sudah, jangan mempertanyakan kata guru, yakini saja, karena guru selalu benar!"

Saya punya teman yang yakin betul, bahwa hari-hari tertentu tidak boleh melakukan sesuatu. Bahkan sesuatu itu pun hal yang baik.

Bagi saya pikiran seperti ini bukan hanya membatasi diri tapi sudah mengerangkeng pikirannya, dan akibatnya mengerangkeng tindakannya.

---

January 6, 2009

Resolusi Tahun Baru

Setiap akhir tahun, banyak orang menunggu-nunggu tahun baru. Banyak juga yang mencoba membuat janji-janji dalam dirinya. Janji-janji untuk memperbaiki diri, untuk memperbaharui diri.

Apa Arti Resolusi?

Agar tidak membingungkan, langsung saja kita tuliskan apa arti resolusi. Pada pergantian tahun ke tahun yang baru, sering digunakan istilah untuk perbaikan dan pembaruan diri tadi dengan resolusi. Resolusi berarti ketetapan hati, atau kebulatan tekad untuk setia melaksanakan apa yang sudah disepakati seseorang dengan dirinya sendiri.

Apa Saja Resolusi yang Paling Umum?

Saya membaca di sebuah tabloid, bahwa bagi kebanyakan orang, ada beberapa hal yang biasanya menjadi ketetapan hati di tahun baru, yang paling biasa adalah:
- Menurukan berat badan
- Berhenti merokok
- Menaati anggaran
- Menabung lebih disiplin atau menghasilkan uang lebih banyak
- Menemukan pekerjaan yang lebih baik
- Lebih tertib dan teratur
- Lebih rajin berolahraga
- Lebih sabar dengan orang lain
- Makan yang lebih baik
- Menjadi orang yang lebih baik

Lalu, apa makna tahun baru?

Saya jadi teringat akan ungkapan yang lucu tapi jitu:
"Banyak orang menanti tahun baru hanya untuk memulai kebiasaan-kebiasaan lama."

Ha....ha.... kita mungkin seperti tertusuk duri.

Lalu?

Mungkin sangat baik jika kita selalu merenungkan kutipan dari G. K. Chesterton ini:
"Tujuan tahun baru bukan agar kita punya tahun yang baru. Tujuan tahun baru adalah: kita harus memiliki jiwa baru."

---

January 5, 2009

Malam Tahun Baru

Ada kebiasaan keluarga kami, paling tidak, setiap malam tahun baru (setelah jam 00.00 tanggal 1 Januari) setiap tahun berkumpul bersama. Berkumpul artinya tidak sekadar seluruh anggota keluarga hadir untuk melepas rasa rindu.

Diupayakan semua orang yang ada di rumah harus ikut duduk membentuk lingkaran. Mulai dari anak-anak balita, pokoknya semua orang yang sudah bisa 'ngomong' dan menyampaikan sesuatu. Bukan hanya anak-anak, yang dewasa juga mungkin ada kesulitan harus bangun pagi-pagi, sadar, menyampaikan sesuatu. Semua orang harus menahan kantuk.

Berkumpul artinya jauh daripada saling melihat wajah, saling melirik yang di sebelahnya. Berkumpul untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

Apa yang biasanya disampaikan?

Ada minimal 3 hal yang sepatutnya disampaikan seseorang.

Pertama, ucapan syukur dan terima kasih kepada Yang Mahakuasa, atas segala berkat dan rahmat-Nya. Segala anugerah selama setahun yang lalu.

Kedua, mohon bimbingan dari Yang Mahakuasa untuk menjalani tahun yang baru ini. Sekaligus mohon doa, nasihat, bimbingan dari kakak atau saudara yang lebih tua, mungkin juga saudara yang lebih muda, atau siapa saja yang hadir di rumah. Teristimewa permintaan ini kepada orangtua.

Ketiga, adalah permohonan maaf atas segala kekeliruan, kekurangan, kesalahan, bahkan dosa, yang telah diperbuat.

Selalu saja hal-hal menarik yang muncul setiap malam tahun baru ini. Ada anggota keluarga yang awalnya sudah menghapal, atau setidaknya sudah berusaha mengingat-ingat hal-hal yang akan dikatakannya saat tiba gilirannya untuk berbicara. Tapi, ketika dia memulai pembicaraannya, terasa gugup dan lupa segala hal yang sudah dipersiapkannya sebelumnya.

Ada lagi, karena mungkin jarang berbicara serius, maka untuk memulai pembicaraan, dia mencoba melirik seseorang. Mungkin meminta dukungan. Tapi, saudara yang diliriknya, malah mungkin senyum atau tertawa kecil. Sehingga dia pun, ikut tersenyum dan tidak mampu memulai pembicaraan, hanya berusaha menahan rasa lucu. Yang lebih lucu lagi, acara tidak bisa berlanjut tanpa dia. Maka yang lain akan menunggu lama sambil menahan lucu.

Hal Keempat, Memaafkan

Ada satu hal lagi yang hampir selalu terlupakan. Dan ini adalah hal yang sangat penting, sekaligus hal yang paling sulit. Hampir semua anggota keluarga tidak lupa untuk memohon maaf, agar semua kesalahan dihapuskan dari dalam hati.

Semua mungkin mengungkapkan permintaan maaf. Tapi siapa yang memaafkan? Siapa yang bersedia dengan tulus hati untuk mengampuni.

Meminta maaf memang mulia, tapi mengampuni jauh lebih mulia, lebih agung, mendamaikan, menyembuhkan dan ilahiah.

Selamat Tahun Baru!

Fransiskus Nadeak
****

Mereka Juga Anak-anak Kita!

4 Januari 2009.

"Children smile 400 times a day on average...
.... adults 15 times.
Children laugh 150 times a day...
... adults 6 times per day.
Children play between 4-6 hours a day ...
... adults only 20 minutes a day.
What's happened?"
- Robert Holden

Pagi ini saya melihat banyak anak-anak dengan segala kepolosan, dengan segala keceriaan, dengan gelak tawa yang sangat khas.

Anak-anak selalu inpirasi ketenangan. Suara anak-anak juga sangat menenangkan. Bahkan konon, untuk memudahkan tidur, dengarlah paduan suara anak-anak.

Itulah kehebatan anak-anak. Tapi jiwa anak-anak semakin hilang dari diri kita. Mungkin juga kita lupa bahwa kita pernah menjadi anak-anak dahulu.

Sambil merenung, saya teringat perjalanan pagi dari Kabanjahe menuju Pematang Siantar.

Saat itu, kami bertiga berangkat ke Pematang Siantar dari Kabanjahe. Acara di Pematang Siantar adalah agenda pertemuan jam 9 pagi. Jadi daripada bermalam di Pematang Siantar jika berangkat sehari sebelumnya, maka kami berangkat hari itu juga, pagi-pagi.

Saat itu perjalanan dari Kabanjahe sampai Merek, tergolong cepat laju kendaraan, karena kondisi jalan relatif mulus. Mulai dari Merek ke persimpangan daerah wisata Sipiso-piso, mulailah jalan tidak mulus lagi.

Mungkin karena terbawa laju kendaraan sebelumnya, kendaraan kami yang disupiri oleh seorang teman, juga masih terasa tidak berkurang kecepatannya.

Beberapa kali, klakson dibunyikan dengan keras. Karena kondisi jalan-jalan juga tertutup semak, bahkan rumput yang sudah tumbuh tinggi.

Sering anak-anak, menyeberang tiba-tiba, karena tepi jalan sudah penuh dengan tumbuhan-tumbuhan yang sepertinya sudah lama tidak digunting atau ditebang. Sejujurnya, anak-anak tidak menyeberang tiba-tiba, hanya karena kondisi jalan yang seperti itu, anak-anak tidak tampak dari jauh, walaupun berdiri di pinggir jalan.

Ketika beberapa kali menyerempet anak-anak. Saya merasa was-was akan bahaya yang akan muncul. Tampak, ada anak-anak yang tidak berpakaian sekolah.

Rupanya, teman seperjalanan yang satu lagi merasakan hal yang sama. Perasaan bahaya bagi jiwa anak-anak.

Dia berkata kepada supir, "Pak, mohon lebih lambat dan pelan, mereka juga anak-anak kita!"

Saat itu, teman supir lalu seperti tersadarkan, "Iya, betul. Saya hampir lupa. Mereka memang anak-anak kita juga."

Frans. Nadeak