Saya beberapa kali tinggal di biara. Arti 'tinggal' bukan hanya singgah seperti melihat-lihat, bertamu, atau berkunjung. Tinggal berarti turut serta dalam kehidupan yang ada dalam biara itu. Bisa dikatakan, menjadi anggota dalam 'hidup membiara'. Saya hadir dan mengikuti segala ajaran, ritual, bahkan kebiasaan sehari-hari, misalnya makan bersama, ngobrol, beramah-tamah atau bercengkerama sesama penghuni.
Walaupun hanya beberapa malam, tinggal di biara, kita mendapatkan pelajaran yang banyak dan baik bagi jiwa.
Untuk membentuk disiplin berdasarkan kesadaran diri, salah satu tempat yang baik untuk mencoba dan belajar adalah tinggal di biara. Mungkin tidak harus menjadi biarawan, tapi tinggal di biara dan mencermatinya dengan baik sangat membantu.
Saya masih ingat tinggal beberapa hari (malam) di sebuah Biara Kapusin. Sambil keliling-keliling memperhatikan segala sesuatu yang ada di sebuah ruangan. Ruangan itu adalah tempat duduk bersama. Di sana, di bagian depan, sebuah pesawat televisi yang sederhana, tapi masih terang, dan sangat memadai untuk ditonton.
Seperti tamu yang baru tiba di ruangan itu, saya memperhatikan juga tulisan-tulisan di dinding. Ada gambar santo, ada sebuah gambar orang bergandengan tangan membentuk lingkaran. Sepertinya mereka menari dengan menggoyangkan kaki. Terlihat di gambar, wajah anak-anak berbagai usia, berbagai ras, tapi semua senyum dan tertawa ceria.
Senyumnya bukan senyum pesanan seperti di front office sebuah perusahaan. Tertawanya juga bukan tertawa suruhan seperti wanita resepsionis di hotel. Kita bisa tahu senyum dan tawa itu hanya dari gambar.
Ada juga tulisan yang dibingkai dan disampuli kaca jadwal acara setiap hari. Sebetulnya bagi semua biarawan dan penghuni tetap biara, sudah tahu jadwal tetap. Tapi bagi saya, orang baru, jadwal itu sangat penting, agar tahu kegiatan yang berhubungan dengan waktu. Tertulis di sana, jam 21.00 - ......... Silensium.
Saya menerjemahkan Silensium yang dimulai jam 9 malam itu bukan hanya berhenti menonton televisi bagi yang menonton, tapi juga berhenti bercakap-cakap, berhenti ngobrol, dan mulai membawa diri kepada kondisi tenang dan hening.
Suasana tenang, terutama hening inilah yang sepertinya makin hilang dari diri kita. Hilang bukan karena situasi di luar diri kita atau rumah kita yang memang berisik dan ribut, tapi hilang dari jiwa kita.
Mungkin saja tempat kita tinggal adalah wilayah yang sangat sibuk dengan suara raungan sepeda motor atau mobil. Juga suara pabrik, bahkan suara teriakan seseorang memanggil ojek atau petasan. Bahkan jika di sebuah ruangan yang nyaman pun, suara AC pun bisa menghilangkan suasana hening.
Tapi suasana itu masih kondisi di luar diri kita. Keheningan pun bisa hilang karena kecamuk yang meliuk-liuk dalam pikiran kita. Keheningan pun bisa menjauh karean rasa amarah, kebencian, bahkan ketidaktenangan karena sesuatu penyebab yang tidak terlalu jelas.
Silent = Listen
Saya perhatikan huruf yang ada pada kata Silent persis sama pada kata Listen. Sepertinya kita harus mulai menumbuhkan suasana silensium (be silent) agar kita bisa mendengarkan (to listen to).
Frans. Nadeak
---
No comments:
Post a Comment