February 5, 2009

Freakonomics dan Biaya Kampanye Caleg

Saya baru saja membaca Freakonomics, karya Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner. Sesuai judulnya, buku ini memang menarik, menampilkan keganjilan-keganjilan yang tampaknya biasa tapi menimbulkan kegoncangan tersendiri bagi pembacanya.

Levitt, seorang ekonom, penerima John Bates Clark Medal tahun 2003. John Bates Clark Medal diberikan kepada ekonom berusia di bawah 40 tahun, yang memberikan sumbangan signifikan dalam pemikiran dan pengetahuan (ilmu) ekonomi.

Beberapa penerima John Bates Clark Medal adalah:
Paul A. Samuelson (1947), menerima hadiah Nobel Ekonomi 1970
Milton Friedman (1951), (1976)
Joseph E. Stiglitz (1979), (2001)
A. Michael Spence (1981), (2001)
Paul R. Krugman (1991), (2008)
Lawrence H. Summers (1993).

Sedangkan Dubner seorang jurnalis New York Times.

Judul bukunya yang lebih lengkap Freakonomics: A Rogue Economist Explores the Hidden Side of Everything. Dalam bahasa Indonesia, diterbitkan Gramedia Pustaka Utama dengan Freakonomics: Ekonom "Nyeleneh" Membongkar Sisi Tersembunyi dalam Segala Hal.

Walaupun buku ini membahas beberapa hal sisi yang tesembunyi itu, saya tergelitik dengan perhatian dan pengamatannya. Saya ambil satu contoh pengamatannya yang sungguh menarik, yang mungkin bagi kebanyakan orang jarang terpikirkan.

Saya ambil pengamatan tentang kampanye dan biaya yang dikeluarkan oleh caleg.

Di kota tempat saya tinggal sekarang, terlalu banyak gambar calon legislatif (caleg) di pinggir jalan. Kadang saya tertawa dan gembira melihat situasi ini. Bagaimana semangatnya para caleg memperkenalkan dirinya kepada masyarakat. Saya punya dugaan, bahwa setiap caleg yang memasang gambar bahkan baliho besar di persimpangan jalan merasa yakin dia akan lolos menjadi caleg. Tapi mungkin saja dugaan saya itu keliru.

Adakah kemungkinan bahwa para caleg itu tidak yakin untuk lolos menjadi anggota legislatif? Saya kira mungkin saja caleg itu tidak yakin dia akan lolos. Mungkin saja, minimal dia pernah (terdaftar) menjadi caleg.

Lalu bagaimana dengan yang memasang spanduk dan baliho yang bertebaran di pinggir jalan bahkan ada yang sangat besar dan mengundang mata untuk melihatnya? Mungkin juga caleg itu tidak yakin tidak lolos, tapi berusaha lolos dengan melakukan usaha maksimal. Mungkin saja tujuannya adalah kalau tidak lolos, jadi dikenal oleh masyarakat, kalau tidak pemilu kali ini, ya kali berikutnya. Walaupun istilah 'dikenal' pun masih harus dipertajam lagi.

Bagaimana pula dengan uang yang sudah dikeluarkan untuk sosialisasi atau kampanye ini? Pertanyaan inilah sala salah satu ide yang saya kutip dari buku Freakonomics:

"Salah satu aksioma mengenai politik, satu hal yang dianggap benar adalah: uang membeli suara. ... Kebanyakan orang akan setuju bahwa uang memengaruhi pemilihan dan terlalu banyak uang yang dikeluarkan untuk kampanye politik.
Memang benar bahwa data pilkada menunjukkan kandidat yang banyak mengeluarkan uang dalam kampanye biasanya menang. Namun apakah uang menjadi penyebab kemenangan?
Tampaknya logis untuk berpikir demikian, sama halnya logis untuk memahami bahwa ekonomi yang 'meledak' tahun 1990-an membantu mengurangi tingkat kriminalitas.
Namun hanya karena dua hal saling berkolerasi tidak berarti bahwa yang satu menyebabkan yang lainnya."

No comments: