May 28, 2009

Juara Eropa di Kota Abadi

Catatan Sepakbola, Final Liga Champions, Barcelona 2 - 0 Manchester United, di Olimpico Roma
----


Diawali dengan suara merdu penyanyi bersuara tenor Italia, Andrea Bocelli, terjadilah kick off final liga Champions Eropa antara juara liga Spanyol Barcelona (Barca) dan juara liga Inggris, Manchester United (MU) di kota abadi, Roma.

Pertandingan berlangsung di stadion kebanggaan penduduk Roma, Olimpico, basis dua klub besar A. S. Roma dan S. S. Lazio. Seperti biasa, para pemain yakin bahwa timnyalah yang menjadi juara. Kadang-kadang bukan hanya pemain - fans, pendukung, bahkan penggemar juga yakin bahwa tim kesukaannyalah yang keluar sebagai pemenang.

Di awal pertandingan kedua tim kelihatan ingin menyerang dengan tujuan lebih dulu membuat gol agar bisa mengendalikan permainan. Di sisi lain, terlihat juga para pemain terlalu aman, dengan alasan yang sama tapi kebalikannya, agar jangan lebih dulu kebobolan.

Dari awal-awal babak penyisihan liga Champions, MU beberapa kali mengubah strategi bertanding, tergantung siapa yang menjadi lawannya. Tapi lebih sering menggunakan taktik 'agak' bertahan, tapi dengan serangan balik yang sangat cepat, jitu, dan mematikan.

Sebaliknya, dari awal, bukan hanya di liga Champions tapi juga di liga domestik Spanyol, Barcelona selalu menggunakan taktik yang sama, menyerang dengan pola yang nyaris hampir sama, karena terbukti mereka sangat menyerang dan produktif menciptakan gol.

Sering disebut pertandingan itu adalah final yang sesungguhnya. Maksudnya pertandingan yang sangat diharapkan terjadi di final. Dua kekuatan besar dari dua tim dan dari dua liga yang besar. Juga sering disebut akan menciptakan sejarah. Padahal, siapa pun yang bertanding di final, apa pun hasilnya, tetap akan menciptakan sejarah.

Apa pun hasilnya tetaplah peristiwa sejarah. Mungkin orang menganggap sejarah hanya peristiwa besar atau rekor-rekor yang tercipta. Apakah itu gelar treble winners bagi Barca, ataukah bagi Josep Guardiola yang baru memimpin Barca dengan usia yang sangat muda 38 tahun, ataukah bagi MU untuk bisa menciptakan gelar Champions dua kali berturut-turut, karena sudah sangat lama sebuah tim menciptakan itu. Tim terakhir yang membuat dua tahun berturut-turut adalah A. C. Milan tahun 89 dan 90 yang sering disebut sebagai The Dream Team. Juventus nyaris menciptakannya tahun 97 ketika sudah juara tahun 96.

Permainan

Ketika Samuel Eto'o pemain asal Afrika - Kamerun menciptakan gol, mulailah pertandingan yang sesungguhnya. Karena tim yang ketinggalan harus berusaha secepatnya menyamakannya. Kalau tidak, maka bola, waktu, dan permainan akan dikendalikan oleh tim yang sementara unggul, Barca.

Bukan seperti pertandingan bola basket yang dibatasi waktu menguasai bola dan harus menembak ke keranjang, sepakbola justeru menggunakan strategi 'bermain-main' dengan waktu. Apakah dengan memperlambat tempo, atau juga bisa membuang-buang bola keluar, bahkan ke mana saja, yang penting waktu semakin habis. Walaupun kadang-kadang waktu yang terbuang diperhitungkan, tapi sudah biasa, bahwa dalam sepakbola, waktu yang terbuang dan waktu berjalan terus, dan tidak sia-sia.

Kita kembali ke pertandingan. Secara umum, walaupun MU membahayakan beberapa kali gawang Barca, terutama lewat aksi dan tendangan yang sangat brilian dari Cristiano Ronaldo, tapi secara umum permainan MU tidak terlalu berkembang, terutama di lapangan tengah.
Barcelona, dengan kekuatan gelandang yang sangat mobile dan sangat impresif oleh kawanan Xavi Hernández, Andrés Iniesta, dan Sergio Busquets. Hebatnya, ketiganya adalah warga negara Spanyol dan hasil didikan pelatihan Barcelona junior.

Xavi Hernández

Khusus Xavi, kalau diperhatikan, pemain inilah yang paling impresif dari semua pemain. Mungkin yang mengimbanginya adalah Ronaldo di tim MU. Xavi paling banyak melakukan passing bola. Apa artinya ini?

Jika Xavi paling banyak melakukan passing bola berarti dia juga paling banyak mendapat bola. Bisa menerima dari temannya atau juga dia bisa merebut bola dari kaki lawan atau memotong passing lawan. Xavi selalu menjadi algojo tendangan bebas. Xavi juga menjadi spesialis mengambill tendangan pojok. Berarti Xavi-lah pemain yang paling dominan, dari segi penguasaan bola dan penguasaan lapangan.

Xavi nyaris membuat gol, ketika tendangan bebasnya membentuk tiang gawang. Bahkan gol kedua yang diciptakan Lionel Messi adalah adalah hasil umpan yang sangat di luar perhitungan pemain belakang MU, yang merupakan assist yang sangat terukur. Walaupun UEFA menetapkan Messi sebagai Man of the Match pertandingan final, tapi Xavi-lah yang paling berpengaruh dan menentukan karakter dan kestabilan Barcelona.

Barcelona

Secara khusus kita harus memperhatikan cara bermain Barcelona. Mereka memainkan bola dengan passing yang sangat akurat dan jarak pendek. Dan ketika mereka sudah unggul, maka ketika pemain saling besinggungan, maka sering terjadi provokasi untuk memancing emosi, menghamburkan waktu, dan juga untuk 'mempengaruhi' wasit.

Dengan hasil ini Barcelona meraih gelar tiga Juara Liga, Juara Copa, dan Juara Champions.

Pertandingan Menarik

Walaupun Barcelona menang, kita harus tetap mengagumi permainan MU, bukan hanya saat final, tapi termasuk sebelum final. Mereka juga memainkan permainan yang efektif dan sangat atraktif sebelumnya.

Untuk kedua tim, kita merasa bersyukur masih disuguhi pertandingan yang tergolong final yang indah. Para pemain: Ronaldo, Nemanja Vidić, Patrice Evra, Gerard Piqué, Carles Puyol, Xavi Hernández, Sergio Busquets, Lionel Messi, Andrés Iniesta memainkan permainan yang sangat menarik dan penuh gerakan.

Ketika pertandingan tinggal beberapa menit lagi, para pendukung Barca sudah mengibar-ngibarkan bendera, juga serbuk berwarna-warni di tribun penonton. Bahkan ada juga mengacungkan gambar piala dan tiruan piala.

Peluit wasit asal Swiss, Massimo Busacca tanda berakhir. Selesai dengan tenang. Manager MU dan seluruh pemain menerima medali. Kemudian dilanjutkan dengan manager dan seluruh pemain Barca. Dalam sepakbola kaptenlah yang terakhir dikalungkan medali dan kapten juga yang menerima piala kemenangan, dan itu diberikan kepada Carles Puyol, kapten sekaligus bek kanan Barca. Medali dan piala diserahkan oleh presiden UEFA, Michel Platini, legenda Juventus dan legenda Prancis.

---
Terima kasih, permainan sepakbola yang indah dan menghibur! Bagaimana menurut Anda?

Apakah Kita Perlu Percaya dengan Janji (Orang) Partai?

Hari-hari menjelang pemilihan presiden ini, banyak orang yang menanyakan sesuatu kepada saya. Tentu tentang calon presiden dan wakil presiden. Sebelumnya juga, hari-hari menjelang pemilu legislatif, banyak juga yang ingin diskusi atau setidaknya bertukar pikiran berbagai hal tentang pemilu itu.

Pertanyaan dari beberapa sahabat dan kenalan itu, sifatnya bukan hanya pertanyaan basa-basi, "Siapa yang kita pilih nanti?" Tapi pertanyaan yang perlu didiskusikan, didialogkan, bahkan mungkin 'di-sharingkan'. Bahkan ada beberapa calon anggota legislatif yang ingin ngobrol-ngobrol.

Saya sendiri tidak tahu persis, mengapa mereka menanyakan berbagai hal kepada saya. Ketika saya tanya, "Mengapa saya yang ditanyai tentang itu, saya kan bukan politisi, atau anggota tim sukses, atau tim kampanye atau seorang yang 'menggilai' partai politik?"

Tapi para sahabat dan beberapa 'orang parpol' itu mengatakan ingin ngobrol saja, tanpa memberitahukan alasan yang jelas. Ada juga beberapa yang membaca blog saya, http://fransnadeak.blogspot.com yang namanya 'Mencari Makna', dan teman-teman itu ingin mendiskusikan banyak hal.

Tapi barangkali bolehlah saya tuliskan di sini bahwa pemahaman dan pendirian saya tentang pemilu dan para caleg mungkin tidak biasa bagi mereka. Dan pembicaraan-pembicaraan di kedai kopi, di kafe, di ruang pertemuan, bahkan di mana saja ketika bertemu dengan para sahabat yang beragam itu, itulah yang saya tuliskan ini. Dan tulisan ini tidak menggunakan teori-teori sosial atau ilmu politik secara khusus, hanya menggunakan pengamatan-pengamatan sederhana. Karena jika yang sederhana ini kita maknai dengan baik, maka akan dihasilkan lebih daripada yang sederhana saja.

Pertama

Saya tidak pernah terpengaruh oleh apa yang dijanjikan oleh seorang atau segerombolan caleg atau capres/cawapres. Semua orang bisa berjanji. Tapi apakah dia melaksanakan janjinya?

'Cara melihat' yang paling sederhana adalah -- selama ini -- dia sudah melakukan dan memperjuangkan apa, dan sekarang, dia sedang melakukan dan memperjuangkan apa?

Jika itu tidak sinkron dengan apa yang dijanjikannya, berarti dia tidak serius dengan apa yang dijanjikannya.

Misalnya saja, jika sepasang capres dan cawapres, ingin memperjuangkan ekonomi kerakyatan atau apalah istilah sejenis untuk itu, tapi itu 'akan dilakukannya' setelah dia terpilih, maka kembali ke 'cara melihat' tadi.

Jika tidak sinkron, maka yang diinginkannya bukan ekonomi kerakyatan tapi jabatan presiden dan wakil presiden.

Kedua

Saya tidak meyakini partai tertentu yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari permasalahan yang bermacam-macam atau istilah yang lebih biasa disebut masalah multidimensi. Memang dalam sistem politik modern, yang juga digunakan di Indonesia, keterpilihan adalah lewat partai, kecuali untuk DPD. Memang sebetulnya partai politik adalah salah satu jalan atau bisa dikatakan pilar untuk menjalankan demokrasi. Atau dalam pengertian sempit, partai yang bagus, sedikitnya juga akan menghasilkan sistem yang sedikit lebih bagus. Memang kriteria agar disebut bagus bermacam-macam, tapi saya kira, kita bisa mengerti.

Artinya saya tidak akan mau 'maniak' dan memuja-muja partai tertentu. Sudah terbukti di berbagai negara di belahan dunia ini, terjadi semacam permainan unggang-ungkit seperti kata seorang ahli matematika, filsuf besar, dan penerima Hadiah Nobel Literatur asal Inggris, Bertrand Russell. Misalnya Amerika sekitar delapan tahun sebelum Barack Obama terpilih, Amerika mengharapkan Republik yang paling mantap memajukan negara mereka, ternyata? Tidak sesuai yang diharapkan. Maka kemudian beralih ke Demokrat. Apakah sesuai harapan? Mereka masih menunggu. Kalau Demokrat tidak memuaskan mereka nanti, maka dengan segera mereka berpaling ke Republik lagi. Aneh bukan?

Bertrand Russell berkata,

"Salah satu keunikan dalam lingkungan dunia yang berbahasa Inggris ialah minat dan kepercayaan yang luar biasa pada partai-partai politik. Suatu persentase yang sangat besar dari penduduk dunia yang berbahasa Inggris sungguh-sungguh percaya bahwa segenap kesulitan yang dihadapinya akan bisa ditiadakan jika partai politik tertentu memegang kekuasaan. Itu merupakan suatu alasan bagi melontarnya pendulum. Orang memilih suatu partai dan nasibnya sama saja. Lantas ia menyimpulkan bahwa partai lainnya yang akan mewujudkan cita-cita tertinggi umat manusia. Ketika ia mulai putus asa dengan segenap partai-partai, ia pun sudah tua dan mendekati ajal. Lantas anak-anaknya mewarisi kepercayaannya semasa muda, dan pemainan unggang-ungkit ini berjalan terus."


Pemikiran filsuf itu memang lucu dan dan dalam kenyataannya agak ironis. Lucu karena kebenarannya. Dan yang terjadi seperti itu bukan hanya di lingkungan yang berbahasa Inggris saja, sudah hampir di semua negara. Ironis karena selalu saja terjadi.

Kutipan itu adalah ceramah Bertrand Russell sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa London School of Economics and Political Science , 10 Oktober 1923. Diambil dari "The Need for Political Scepticisme," Sceptical Essays.

Lalu, mengapa saya menuliskan dengan cukup lengkap tentang ungkapan itu?

Karena selain itu, masih banyak tulisan Russell yang luar biasa, yang menjernihkan cara pandang kita terhadap sesuatu. Judul essay itu dalam bahasa Indonesia adalah 'Perlunya Skeptisisme Politik', dari buku 'Pergolakan Pemikiran', yang sangat baik diterjemahkan oleh Mochtar Pabottinggi, dikatapengantari oleh St. Takdir Alisjahbana, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.

Sekali lagi, mengapa saya menuliskan lebih lengkap lagi tentang buku 'Pergolakan Pemikiran' itu?

Karena jika ada waktu, agar yang membaca tulisan ini, juga membaca karya Bertrand Russell lebih banyak atau lebih lengkap lagi. Karena untuk memajukan bangsa kita ini, bukan hanya tugas DPR, atau presiden atau para politisi. Tapi tugas kita. Tugas kita. Dan salah satu cara mengejawantahkan tugas itu adalah dengan saling mencerdaskan.

Buku itulah salah satu yang mencerdaskan seorang manusia.



(Demikian dulu, masih banyak yang bisa dituliskan...)

May 19, 2009

Kita telah Turun tanpa Berjuang

Saya teringat akan ide itu ketika Sabtu lalu saya mengalami suatu acara yang biasa saja sebetulnya, tapi benar-benar sampai kepada ide itu.

Ide itu saya baca dulu dari sebuah buku karya John Powell, dan John Powell sendiri meminjamnya dari Eric Mascall. Eric Mascall adalah seorang teolog Anglikan.

Nama Eric Mascall, dalam tulisan-tulisannya biasanya hanya dengan E.L. Mascall.

Saya hanya ingat, bahwa ide itu dari Eric Mascall. Dan saya ingat John Powell meminjam iistilah Mascall itu berhubungan dengan sekularisasi. Dan saya sendiri belum pernah membaca karya E.L. Mascall itu dan seperti apa dan bagaimana ide itu dituliskannya.

Sabtu lalu (16 Mei 2009), saya menghadiri undangan Syukuran Memasuki Rumah Baru oleh seorang sahabat. Sahabat ini mengundang cukup banyak orang. Lokasi rumahnya saja sangat sulit agar sampai di sana, karena perumahannya masih baru, jalan ke sana juga tidak terlalu besar dan tidak terlalu mulus, dan secara umum, belum banyak orang yang tahu lokasi itu, dan jika mau ke lokasi, tentu arah dan jalan ke sana pun, orang akan kesulitan untuk mencapainya.

Acara dimulai. Di samping kanan kepala keluarga muda ini, duduk seorang lelaki berumur, berambut putih, dan bertindak sebagai ayah yang dituakan oleh tuan rumah. Tentu orangtua ini bukan orangtua kandung tuan rumah. Orang yang dituakan ini juga saya kenal dengan baik.

Tibalah pada acara ucapan terima kasih. Sahabat, tuan rumah, keluarga muda tadi berdiri, turut juga orangtua tadi.

Sahabat atau tuan rumah berkata,"Terima kasih atas kedatangannya dan segala doa dan jerih payahnya bisa hadir di sini atas undangan kami. Bahkan ada yang sampai 45 menit berputar-putar hanya untuk sampai di lokasi. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan Bapak, Ibu, Saudara, Teman-teman semua."

Sampai di sini kelihatan normal saja. Tidak ada sesuatu yang janggal.

Tapi setelah sahabat tadi selesai mengucapkan terima kasih, orang yang dituakan tadi menyampaikan sesuatu yang menarik,
"Kepada Anakku! (maksudnya sahabat yang melakukan syukuran - tuan rumah). Perkataanmu itu tidak cukup dan tidak bisa diandalkan."

Semua orang terkejut dan terpana.

Disambungnya lagi, "Mengapa tugas-tugasmu harus diserahkan kepada Tuhan? Mengapa utang-utangmu harus Tuhan yang membayarnya? Semua kebaikan mereka itu harus kamu balas. Kamu harus melakukan seperti apa yang mereka lakukan kepadamu. Tidak boleh hanya Tuhan yang melakukannya. Tuhan melakukannya lewat perbuatan amal dan kebaikanmu."

Sampai di sini, saya pun tertegun.

Benar-benar suatu nasihat dan ungkapan yang sangat bijaksana bahkan dalam hal tertentu sangat teologis dan lebih menarik lagi - berani (di depan undangan seluruhnya).

Dari perkataan 'orang bijaksana' itulah terbersit ide dari Eric Mascall tadi.

Kalau diperdalam, memang sepertinya kita terlalu banyak lari dari tanggung jawab. Terlalu sering kita bersembunyi. Terlalu sering juga yang selayaknya dan seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab kita, kita mau mencoba menyerahkannya kepada Tuhan, seolah-olah itulah wujud dari iman.

Mirip dengan itu juga tentang wujud dari lari dari tanggung jawab itu. Ketika kita melakukan kejahatan atau yang sejenis, maka kita menyalahkan godaan, bahkan terlalu sering meletakkannya dan menyalahkan setan atau iblis.

Kita barangkali harus bertanya, siapa yang memilih? Siapa yang memiliki kehendak bebas? Siapa yang berbuat? Siapa yang bertanggung jawab?

Mengapa kita terlalu sering, seolah-olah wujud beriman, menyerahkan yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab, kita serahkan kepada Tuhan? Sebaliknya ketika kita tidak mampu melakukan yang seharusnya, kita melempar tanggung jawab, dan mengambinghitamkan setan atau iblis?

Barangkali terlalu sering kita telah turun tanpa berjuang.

Saat-saat Terakhir Itu

Catatan Sepakbola

Karena saya lama bermain sepakbola betulan (maksudnya bukan hanya olahraga demi hiburan belaka) maka saya bisa merasakan ketegangan dan kebingungan menit-menit terakhir pertandingan sepakbola.

Menit-menit terakhir begitu membingungkan dan menegangkan malah kadang membuat frustrasi pemain, terjadi jika skor pertandingan itulah yang menentukan hasil berikutnya: gagal atau melaju.

Tulisan ini terinpirasi setelah menonton pertandingan semifinal kedua liga champions antara Chelsea v. Barcelona.

Dengan sistem 'gol tandang' maka hasil 0 - 0 bahkan misalnya unggul sementara 1 - 0, sebelum peluit wasit menghentikan pertandingan berakhir, maka para pemain Chelsea akan mengalami keletihan karena diserbu terus, dan akan kehilangan konsentrasi.

Gol tandang bisa berarti 1 gol sama nilainya dengan 2 gol. Gol tandang berarti gol yang diciptakan ketika lawan yang menjadi tuan rumah.

Pertandingan Chelsea v. Barcelona merupakan suguhan yang menarik, atraktif, dan menegangkan sepanjang pertandingan. Ketika menit-menit awal, Michael Essien (Prancis) membuat gol yang sangat indah dengan tendangan first time, saat itulah sepertinya para pemain Chelsea sudah merasa di atas angin.

Chelsea akan mengendalikan permainan, dalam pengertian bisa mengendalikan bola akan digiring ke mana mereka mau. Asumsinya, jika kondisi unggul ini tetap berlanjut sampai akhir pertandingan, maka Chelsea-lah yang lolos.

Tapi akan selalu terjadi dalam sepakbola, para pemain juga akan cepat lupa kondisi yang sebenarnya. Dan kondisi yang paling membingungkan terjadi pada menit-menit akhir pertandingan.

UEFA melaporkan pertandingan itu tidak berlangsung 90 menit, tapi 48 menit ditambah 53 menit, jadi total waktu pertandingan adalah 101 menit. Pertambahan waktu babak kedua adalah 8 menit. Ini benar-benar waktu yang cukup lama bagi pemain menjadi saat yang membingungkan, keletihan, kehilangan konsentrasi, frustrasi bahkan mungkin stres.

Ironi Sepakbola

Sampai habis waktu normal, 90 menit, bahkan sebetulnya tambah waktu 3 menit bonus babak pertama, Chelsea bermain dengan wajah gembira walaupun kadang-kadang tertekan. Dengan waktu yang lama ini pula, maka Barcelona-lah yang mengalami kepanikan ketika tertinggal 1 gol.

Ironi terjadi ketika Barcelona membuat gol yang 'ajaib' pada pertambahan 3 menit babak kedua oleh Adres Iniesta. Itu ironi pertama. Yang membuat pertandingan itu menjadi benar-benar ironi, adalah karean Barcelona tinggal 10 pemain mulai menit ke-66 setelah Eric Abidal dikeluarkan wasit. Barcelona menjadi gegap gempita, dan sebaliknya Chelsea menjadi panik, dan mungkin mulai putus asa, setelah gol yang menyamakan kedudukan menjadi 1 -1.

Didier Drogba

Setelah pertandingan berakhir, Drogba melakukan protes yang sangat menekan wasit. Memang pertandingan itu selalu ada kelemahan di sisi wasit. Wasit mungkin tidak bisa melihat dengan jelas. Tapi dalam pertandingan tadi pagi, lebih banyak wasit tidak melakukan keputusan yang berani. Karena wasit melihat kondisi hands ball lebih daripada satu kali. Tapi sepertinya tidak ada nuansa wasit memihak kepada satu tim, atau berniat membela satu tim.

Walaupun sebenarnya ada satu peluang hampir pasti gol, ketika Drogba sudah berhasil mengecoh pemain belakang Barcelona dan tinggal berhadapan dengan kiper Barcelona. Jadi kalau kita berdiskusi dengan para pemain Chelsea, sepertinya yang paling besar penyesalannya adalah Drogba ini, dan mungkin itulah yang menjadikan dia mendapat kartu kuning, karena protes keras terhadap wasit, walaupun pertandingan sudah berakhir.

Kita harus berterima kasih kepada para pemain yang menampilkan dan menyuguhkan permainan sepakbola tetap hidup. Yang membuat permainan sepakbola tetap menjadi hiburan, menggembirakan, dan mungkin sedikit menegangkan.

Sekali lagi kita harus berterima kasih kepada para penampil dan penyuguh itu, terutama kepada Xavi Hernandez, Michael Essien, Andres Iniesta, Frank Lampard, Lionel Messi, Florent Malouda, Gerard Pique, Yaya Toure, dan Jose Bosingwa.

Orang Terakhir: Penanggung Kesalahan?

Catatan Sepakbola

Saya teringat dengan istilah 'orang terakhir' ini setelah menonton semifinal Liga Champions 2009, Arsenal v. Manchester United (MU) tadi pagi. Mungkin ada membahas sepakbola tapi lebih kepada tanggung jawab seseorang dalam sebuah tim. Bisa disebut juga sebagai leadership individu dalam sebuah tim.

Permainan sepakbola mirip seperti kehidupan bersama atau kehidupan organisasi atau kehidupan sebuah unit kerja. Walaupun sebuah unit, tetap dihuni oleh beberapa atau banyak orang.

Pertandingan Arsenal v. MU sangat menarik dan atraktif. Dan harus disebutkan lebih dahulu, bahwa saya bukan fans Arsenal dan bukan fans MU. Saya penggemar dan penikmat sepakbola. Mengapa harus disebutkan? Karena kalau saya fans sebuah tim, katakanlah MU, maka saya kemungkinan besar tidak memperhatikan secara keseluruhan permainan. Biasanya seorang fans begitu senang ketika tim kegemarannya lagi menyerang dan apalagi kalau (nyaris) menciptakan gol. Tapi ketika, tim kesayangannya diserbu, maka jantungnya pun mungkin berdetak tidak karuan.

Jadi saya bisa menikmati permainan itu tanpa memihak dalam hati sekali pun. Pertandingan dikuasai Arsenal sampai terjadi gol yang pertama. Dan dari gol inilah, saya teringat 'orang terakhir', sesuai judul tulisan ini.

Ketika MU mengadakan serangan balik, di mana sebelumnya Arsenal begitu menguasai bola dan permainan, maka saat-saat seperti inilah yang paling menentukan nasib sebuah tim. Artinya, pada saat serangan balik yang cepat, yang paling menentukan adalah orang terakhir yang meng-handle segala sesuatu sebelum terjadi gol. Tentu orang terakhir adalah kiper, tapi biasanya tidak kepada kiper istilah itu, tapi kepada pemain yang menjaga orang yang menciptakan gol. Orang terakhir itu adalah Kieran Gibbs.

Kieran Gibbs terpeleset ketika menjaga gerakan Park Ji-Sung, dan 'sialnya' (tentu bagi Arsenal), Park berhasil membuat gol. Masih pada awal pertandingan, menit ke-8. Gol cepat.

Muncul pertanyaan, apakah 'kesalahan' itu pantas dijatuhkan kepada Kieran Gibbs? Dia baru berusia 19 tahun (lahir 26 September 1989).

Dan kasus terjadinya gol Arsenal juga karena 'orang terakhir', Darren Fletcher yang mengawal Cesc Fabregas, yang menjatuhkannya karena Fabregas hampir membuat gol. Fletcher dihukum kartu merah dan tidak diperbolehkan lagi terlibat dalam permainan. Memang karena MU unggul, sepertinya yang dilakukan Fletcher biasa-biasa saja. Padahal peristiwa itu juga sebenarnya sangat membahayakan MU sekiranya tidak unggul. Kartu merah dan hukuman penalti dan berakibat hal justru ingin dihindari Fletcher sampai melakukan pelanggaran, -- gol.

Tapi begitulah sepakbola. Gibbs akan diingat sebagai pencipta kegagalan. Tapi sekiranya Gibbs berhasil menghalau bola dan tidak terjadi gol, dia dianggap biasa-biasa saja, dan mungkin adegan itu akan cepat dilupakan.

Bisa disebut pada saat kejadian seperti ini, posisi Gibbs menjadi penentu laju Arsenal ke final, Gibbs-lah yang menjadi pemimpin Arsenal.

Kalau kita perhatikan sebuah tim sepakbola atau tim apa pun, kadang-kadang terpikir, bahwa kelemahan seseorang sering kita jatuhkan kepada orang itu saja. Kita lupa bahwa kita adalah sebuah tim. Dan sudah pasti, sebuah tim memiliki anggota yang tidak sama kekuatannya. Anggota tim juga pasti tidak sama tanggung jawab dan wewenangnya.

Bagaimana kita memahami 'orang terakhir' ini?

Dalam sebuah pertandingan yang sangat penting, bahwa seseorang mengambil tanggung jawab tidak bisa hanya berdasarkan kemampuan teknis saja. Dalam sepakbola, dalam pertandingan krusial, yang sangat menentukan adalah tingkat kepercayaan diri, karakter, determinasi, dan mental seseorang jauh lebih menentukan daripada kemampuan teknis belaka. Memang kalau kondisi pertandingan atau keadaan normal-normal saja, maka orang-orang yang ditugasi mengambil tanggung jawab sepertinya kelihatan berhasil melaluinya. Tapi dalam kondisi normal, kondisi itu tidak kelihatan dan tidak teruji. Ujian yang real terjadi saat yang paling kritis, seperti kasus Gibbs itu. Dan untuk tim seperti Arsenal agak janggal misalnya dia dipilih menjadi pemain starter oleh manager Arsene Wenger hanya karena kesukaan. Karena akan bertentangan dengan semangat olahraga, sport, yakni sportivitas.

Dan kesalahan atau kegagalan tidak pantas dijatuhkan kepada Darren Fletcher atau Kieran Gibbs. Kesalahan atau kegagalan tidak layak dijatuhkan kepada pemain terakhir, orang terakhir. Hasilnya adalah hasil dari sebuah tim secara keseluruhan, pemain, manager, tim support, dan siapa pun yang berkontribusi dan memiliki andil tanggung jawab. Demikian juga dengan keberhasilan. Apa pun hasilnya, itulah kemampuan dan kekuatan tim. Itulah tim itu sendiri.

May 2, 2009

Berapa Sebetulnya Anak yang Kita Inginkan?

"Being a full-time mother is one of the highest salaried jobs... since the payment is pure love."
~ Mildred B. Vermont

Dahulu para leluhur kita yakin bahwa anak adalah pemberian dan anugerah Allah dan mungkin juga jumlah anak yang hadir dan terlahir.

Bagaimana kalau orang zaman sekarang? Barangkali bahwa anak masih diyakini sebagai pemberian Allah, tapi apakah demikian dengan jumlah anak? Kita perlu jujur merenungkan ini.

Saya sering merenungkan tentang anak yang diyakini sebagai pemberian Allah ini.

Saya berbagi cerita dengan beberapa keluarga yang membuat keluarga itu menjadi sangat sedih karena kelakuan anak-anak mereka yang sangat menjengkelkan, yang membuat malu, dan benar-benar menyulitkan dan mengacaukan relasi dan kehidupan keluarga.

Keluarga sahabat juga membagi pengalamannya dengan saya. Beberapa keluarga yang sangat merindukan kehadiran bayi dalam keluarga mereka. Mereka sangat mendambakan kehadiran orang yang barangkali menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan mereka. Pasangan suami-istri yang sudah bertahun-tahun menikah, berusaha sekuat tenaga, berdoa sekhusyuk mungkin memohon kehadiran anak yang dinanti-nanti.

Saya pernah mendapat cerita dari seorang pembimbing umat,"Apa menurutmu yang paling menggembirakan orangtua kita?"Jawabannya adalah kehadiran kita, atau tepatnya, kita.

Lalu,"Apa menurutmu yang paling membuat orangtua kita sedih bahkan menderita?Jawabannya sama. Kita.

Ini bukan semacam kecelakaan atau tragedi. Ini justru berhubungan dengan kegembiraan itu sendiri. Karena semakin besar kegembiraan dan kebahagiaan hidup, biasanya semakin besar usaha yang diperlukan, semakin besar tantangan yang dihadapi, bahkan semakin besar 'penderitaan' yang dialami.

Di era yang katanya modern ini, kita yang konon juga orang modern, jika ditanya,
"Berapa anak yang Anda inginkan?" Apa jawaban kita? Barangkali kita akan menjawab, "Dua." Atau paling banyak tiga, karena mungkin kita bekerja pada perusahaan yang membiayai kesehatan dan lainnnya hanya sebanyak tiga orang.

Apakah anak sudah lebih dominan kita anggap sebagai dan beban dan 'merepotkan' daripada sebagai anugerah dan rahmat?

Permenungan Menarik dan Menggetarkan

Saya sering tersenyum dan kadang-kadang begitu menggetarkan, jika sampai pada permenungan tentang jumlah anak yang 'hanya' dua orang ini.

Jika dulu, kedua orangtua saya berpendapat seperti manusia zaman sekarang, bahwa mereka sepakat jumlah anak mereka hanya dua atau tiga, dan rencana mereka betul-betul mereka laksanakan, ada hal yang menarik bagi diri saya sendiri dan mungkin bagi orang lain.

Iya, sesuatu yang sangat penting dan menakjubkan untuk saya. Karena jika kedua orangtua saya sepakat dan melaksanakan rencana mereka -- memiliki hanya dua orang anak -- maka saya sangat sulit mengetahui eksistensi saya di bumi dan dunia ini.

Mengapa? Karena Anda tahu, bukan? Saya anak ke-8 dari 9 bersaudara.