May 28, 2009

Apakah Kita Perlu Percaya dengan Janji (Orang) Partai?

Hari-hari menjelang pemilihan presiden ini, banyak orang yang menanyakan sesuatu kepada saya. Tentu tentang calon presiden dan wakil presiden. Sebelumnya juga, hari-hari menjelang pemilu legislatif, banyak juga yang ingin diskusi atau setidaknya bertukar pikiran berbagai hal tentang pemilu itu.

Pertanyaan dari beberapa sahabat dan kenalan itu, sifatnya bukan hanya pertanyaan basa-basi, "Siapa yang kita pilih nanti?" Tapi pertanyaan yang perlu didiskusikan, didialogkan, bahkan mungkin 'di-sharingkan'. Bahkan ada beberapa calon anggota legislatif yang ingin ngobrol-ngobrol.

Saya sendiri tidak tahu persis, mengapa mereka menanyakan berbagai hal kepada saya. Ketika saya tanya, "Mengapa saya yang ditanyai tentang itu, saya kan bukan politisi, atau anggota tim sukses, atau tim kampanye atau seorang yang 'menggilai' partai politik?"

Tapi para sahabat dan beberapa 'orang parpol' itu mengatakan ingin ngobrol saja, tanpa memberitahukan alasan yang jelas. Ada juga beberapa yang membaca blog saya, http://fransnadeak.blogspot.com yang namanya 'Mencari Makna', dan teman-teman itu ingin mendiskusikan banyak hal.

Tapi barangkali bolehlah saya tuliskan di sini bahwa pemahaman dan pendirian saya tentang pemilu dan para caleg mungkin tidak biasa bagi mereka. Dan pembicaraan-pembicaraan di kedai kopi, di kafe, di ruang pertemuan, bahkan di mana saja ketika bertemu dengan para sahabat yang beragam itu, itulah yang saya tuliskan ini. Dan tulisan ini tidak menggunakan teori-teori sosial atau ilmu politik secara khusus, hanya menggunakan pengamatan-pengamatan sederhana. Karena jika yang sederhana ini kita maknai dengan baik, maka akan dihasilkan lebih daripada yang sederhana saja.

Pertama

Saya tidak pernah terpengaruh oleh apa yang dijanjikan oleh seorang atau segerombolan caleg atau capres/cawapres. Semua orang bisa berjanji. Tapi apakah dia melaksanakan janjinya?

'Cara melihat' yang paling sederhana adalah -- selama ini -- dia sudah melakukan dan memperjuangkan apa, dan sekarang, dia sedang melakukan dan memperjuangkan apa?

Jika itu tidak sinkron dengan apa yang dijanjikannya, berarti dia tidak serius dengan apa yang dijanjikannya.

Misalnya saja, jika sepasang capres dan cawapres, ingin memperjuangkan ekonomi kerakyatan atau apalah istilah sejenis untuk itu, tapi itu 'akan dilakukannya' setelah dia terpilih, maka kembali ke 'cara melihat' tadi.

Jika tidak sinkron, maka yang diinginkannya bukan ekonomi kerakyatan tapi jabatan presiden dan wakil presiden.

Kedua

Saya tidak meyakini partai tertentu yang bisa menyelamatkan bangsa ini dari permasalahan yang bermacam-macam atau istilah yang lebih biasa disebut masalah multidimensi. Memang dalam sistem politik modern, yang juga digunakan di Indonesia, keterpilihan adalah lewat partai, kecuali untuk DPD. Memang sebetulnya partai politik adalah salah satu jalan atau bisa dikatakan pilar untuk menjalankan demokrasi. Atau dalam pengertian sempit, partai yang bagus, sedikitnya juga akan menghasilkan sistem yang sedikit lebih bagus. Memang kriteria agar disebut bagus bermacam-macam, tapi saya kira, kita bisa mengerti.

Artinya saya tidak akan mau 'maniak' dan memuja-muja partai tertentu. Sudah terbukti di berbagai negara di belahan dunia ini, terjadi semacam permainan unggang-ungkit seperti kata seorang ahli matematika, filsuf besar, dan penerima Hadiah Nobel Literatur asal Inggris, Bertrand Russell. Misalnya Amerika sekitar delapan tahun sebelum Barack Obama terpilih, Amerika mengharapkan Republik yang paling mantap memajukan negara mereka, ternyata? Tidak sesuai yang diharapkan. Maka kemudian beralih ke Demokrat. Apakah sesuai harapan? Mereka masih menunggu. Kalau Demokrat tidak memuaskan mereka nanti, maka dengan segera mereka berpaling ke Republik lagi. Aneh bukan?

Bertrand Russell berkata,

"Salah satu keunikan dalam lingkungan dunia yang berbahasa Inggris ialah minat dan kepercayaan yang luar biasa pada partai-partai politik. Suatu persentase yang sangat besar dari penduduk dunia yang berbahasa Inggris sungguh-sungguh percaya bahwa segenap kesulitan yang dihadapinya akan bisa ditiadakan jika partai politik tertentu memegang kekuasaan. Itu merupakan suatu alasan bagi melontarnya pendulum. Orang memilih suatu partai dan nasibnya sama saja. Lantas ia menyimpulkan bahwa partai lainnya yang akan mewujudkan cita-cita tertinggi umat manusia. Ketika ia mulai putus asa dengan segenap partai-partai, ia pun sudah tua dan mendekati ajal. Lantas anak-anaknya mewarisi kepercayaannya semasa muda, dan pemainan unggang-ungkit ini berjalan terus."


Pemikiran filsuf itu memang lucu dan dan dalam kenyataannya agak ironis. Lucu karena kebenarannya. Dan yang terjadi seperti itu bukan hanya di lingkungan yang berbahasa Inggris saja, sudah hampir di semua negara. Ironis karena selalu saja terjadi.

Kutipan itu adalah ceramah Bertrand Russell sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa London School of Economics and Political Science , 10 Oktober 1923. Diambil dari "The Need for Political Scepticisme," Sceptical Essays.

Lalu, mengapa saya menuliskan dengan cukup lengkap tentang ungkapan itu?

Karena selain itu, masih banyak tulisan Russell yang luar biasa, yang menjernihkan cara pandang kita terhadap sesuatu. Judul essay itu dalam bahasa Indonesia adalah 'Perlunya Skeptisisme Politik', dari buku 'Pergolakan Pemikiran', yang sangat baik diterjemahkan oleh Mochtar Pabottinggi, dikatapengantari oleh St. Takdir Alisjahbana, dan diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.

Sekali lagi, mengapa saya menuliskan lebih lengkap lagi tentang buku 'Pergolakan Pemikiran' itu?

Karena jika ada waktu, agar yang membaca tulisan ini, juga membaca karya Bertrand Russell lebih banyak atau lebih lengkap lagi. Karena untuk memajukan bangsa kita ini, bukan hanya tugas DPR, atau presiden atau para politisi. Tapi tugas kita. Tugas kita. Dan salah satu cara mengejawantahkan tugas itu adalah dengan saling mencerdaskan.

Buku itulah salah satu yang mencerdaskan seorang manusia.



(Demikian dulu, masih banyak yang bisa dituliskan...)

No comments: