Saya teringat akan ide itu ketika Sabtu lalu saya mengalami suatu acara yang biasa saja sebetulnya, tapi benar-benar sampai kepada ide itu.
Ide itu saya baca dulu dari sebuah buku karya John Powell, dan John Powell sendiri meminjamnya dari Eric Mascall. Eric Mascall adalah seorang teolog Anglikan.
Nama Eric Mascall, dalam tulisan-tulisannya biasanya hanya dengan E.L. Mascall.
Saya hanya ingat, bahwa ide itu dari Eric Mascall. Dan saya ingat John Powell meminjam iistilah Mascall itu berhubungan dengan sekularisasi. Dan saya sendiri belum pernah membaca karya E.L. Mascall itu dan seperti apa dan bagaimana ide itu dituliskannya.
Sabtu lalu (16 Mei 2009), saya menghadiri undangan Syukuran Memasuki Rumah Baru oleh seorang sahabat. Sahabat ini mengundang cukup banyak orang. Lokasi rumahnya saja sangat sulit agar sampai di sana, karena perumahannya masih baru, jalan ke sana juga tidak terlalu besar dan tidak terlalu mulus, dan secara umum, belum banyak orang yang tahu lokasi itu, dan jika mau ke lokasi, tentu arah dan jalan ke sana pun, orang akan kesulitan untuk mencapainya.
Acara dimulai. Di samping kanan kepala keluarga muda ini, duduk seorang lelaki berumur, berambut putih, dan bertindak sebagai ayah yang dituakan oleh tuan rumah. Tentu orangtua ini bukan orangtua kandung tuan rumah. Orang yang dituakan ini juga saya kenal dengan baik.
Tibalah pada acara ucapan terima kasih. Sahabat, tuan rumah, keluarga muda tadi berdiri, turut juga orangtua tadi.
Sahabat atau tuan rumah berkata,"Terima kasih atas kedatangannya dan segala doa dan jerih payahnya bisa hadir di sini atas undangan kami. Bahkan ada yang sampai 45 menit berputar-putar hanya untuk sampai di lokasi. Hanya Tuhan yang bisa membalas kebaikan Bapak, Ibu, Saudara, Teman-teman semua."
Sampai di sini kelihatan normal saja. Tidak ada sesuatu yang janggal.
Tapi setelah sahabat tadi selesai mengucapkan terima kasih, orang yang dituakan tadi menyampaikan sesuatu yang menarik,
"Kepada Anakku! (maksudnya sahabat yang melakukan syukuran - tuan rumah). Perkataanmu itu tidak cukup dan tidak bisa diandalkan."
Semua orang terkejut dan terpana.
Disambungnya lagi, "Mengapa tugas-tugasmu harus diserahkan kepada Tuhan? Mengapa utang-utangmu harus Tuhan yang membayarnya? Semua kebaikan mereka itu harus kamu balas. Kamu harus melakukan seperti apa yang mereka lakukan kepadamu. Tidak boleh hanya Tuhan yang melakukannya. Tuhan melakukannya lewat perbuatan amal dan kebaikanmu."
Sampai di sini, saya pun tertegun.
Benar-benar suatu nasihat dan ungkapan yang sangat bijaksana bahkan dalam hal tertentu sangat teologis dan lebih menarik lagi - berani (di depan undangan seluruhnya).
Dari perkataan 'orang bijaksana' itulah terbersit ide dari Eric Mascall tadi.
Kalau diperdalam, memang sepertinya kita terlalu banyak lari dari tanggung jawab. Terlalu sering kita bersembunyi. Terlalu sering juga yang selayaknya dan seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab kita, kita mau mencoba menyerahkannya kepada Tuhan, seolah-olah itulah wujud dari iman.
Mirip dengan itu juga tentang wujud dari lari dari tanggung jawab itu. Ketika kita melakukan kejahatan atau yang sejenis, maka kita menyalahkan godaan, bahkan terlalu sering meletakkannya dan menyalahkan setan atau iblis.
Kita barangkali harus bertanya, siapa yang memilih? Siapa yang memiliki kehendak bebas? Siapa yang berbuat? Siapa yang bertanggung jawab?
Mengapa kita terlalu sering, seolah-olah wujud beriman, menyerahkan yang seharusnya menjadi tugas dan tanggung jawab, kita serahkan kepada Tuhan? Sebaliknya ketika kita tidak mampu melakukan yang seharusnya, kita melempar tanggung jawab, dan mengambinghitamkan setan atau iblis?
Barangkali terlalu sering kita telah turun tanpa berjuang.
3 comments:
Bagus. Memang kita harus berjuang dan menumpahkan keringat. Jangan kita buat Tuhan berutang.
Terima kasih!
....extraordinary...!! Itu untuk ucapan Orang tua tadi...dan sangat mendorong untuk menjadikannya sebagai pakem buat hidup ini....
Post a Comment