Ketika ada acara sharing, bincang-bincang, dialog, bahkan diskusi yang saya ikuti, ada saja yang mengatakan, "Ah, itu kan teori!"
Ucapan itu biasanya muncul ketika seseorang menyampaikan sesuatu dengan kata-kata dari mimbar, oleh seorang narasumber, bahkan cerita-cerita biasa oleh seseorang yang menyampaikan 'teori'. Nada ucapannya adalah semacam tidak percaya dengan teori, atau bisa dikatakan teori itu hanya teori saja, tidak berarti apa-apa.
Kadang-kadang, ungkapan-ungkapan itu juga diarahkan kepada pengkhotbah, psikolog, peneliti, ilmuwan, seorang ahli, pembicara motivasional, seorang scholar, bahkan konsultan.
Saat-saat lain sering juga saya dengar ungkapan begini, "Teori ya teori, yang penting praktik."
Saya tergelitik dengan pandangan-pandangan orang-orang yang menganggap kurang penting atau bahkan menganggap rendah sebuah teori.
Lalu saya ingat ketika menempuh perkuliahan di Bandung. Ada mata kuliah, tanpa praktik atau praktikum, namanya Teori Medan Elektromagnetik. Dari semua mata kuliah yang ada termasuk mata kuliah pilihan (bebas) justru mata kuliah inilah yang paling sulit dan rumit. Ya menurut saya inilah yang paling sulit dan rumit.
Untuk memadai mengambil mata kuliah ini, harus memadai pengetahuan matematika, khususnya kalkulus dan fisika. Mata kuliah lain yang cukup sulit yang bahkan ada praktikumnya seperti: Rangkaian Elektrik, Elektronika, Teknik Digital, Sistem Komunikasi, dan Transmisi Radio tidak sesulit mata kuliah ini.
Dan coba bayangkan, dari semua mata kuliah, yang paling sulit dan rumit, cuma 'Teori'!
Saya sering membayangkan, bahwa orang-orang yang menganggap enteng teori adalah orang-orang yang mengecilkan pengertian dan pemahaman. Ada lagi yang menjadi titik yang sangat penting, bahwa orang-orang yang tidak menghargai teori atau pengertian atau pemahaman adalah orang-orang yang membatasi dirinya. Orang-orang yang mengerdilkan makna pengetahuan.
Kita tahu bagaimana situasi kalau kita membatasi diri kita. Ibarat katak dalam tempurung, hanya seluas tempurung itulah luas dunia, bahkan luas alam semesta. Seorang penulis, Louise Hay menyatakan,
"If you accept a limiting belief, then it will become a truth for you."
Saya hanya sering membayangkan tentang teori seperti ini. Ada dua orang anak muda bernama Agus dan Bagus, baru tiba di New York City (NYC). Mereka berdua boleh disebut pertama sekali menginjakkan kaki di kota ini, dan sebelumnya tidak ada perhatian khusus tentang kota ini.
Kemudian mereka punya tugas atau misi mengunjungi beberapa tempat di NYC untuk beberapa urusan juga. Satu orang (Bagus) diberi peta NYC dan satu lagi (Agus) tidak diberi peta. Lalu mereka disuruh dan pergi menunaikan tugasnya.
Lalu kita tahu akibatnya bukan? Bisa diduga, Bagus, yang memiliki peta akan lebih mudah mengerjakan tugasnya, bahkan mungkin lebih cepat dan lebih baik. Jika petanya lebih lengkap, lebih baik lagi. Seperti peta itulah teori.
Walaupun orang yang menguasai peta NYC, tidak berarti pasti menguasai NYC. Karena peta New York City bukanlah New York City.
--
Jadi, mulai sekarang, masih berani mengatakan, "Ah, cuma teori!" ?
:-)
"Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible.” ~ St. Francis of Assisi
July 28, 2009
Apakah Rakyat Penting?
Lagi, beberapa hari ini, cukup banyak teman-teman yang mengajak diskusi tentang pemilihan presiden dan wakil presiden (wapres).
Saya biasanya hanya mendengar saja, pendapat-pendapat, dan opini mereka tentang pasangan capres dan cawapres. Ada juga beberapa pertanyaan penting dari mereka mereka sampaikan. Saya sebenarnya tidak pernah percaya dengan apa yang dijanjikan oleh para capres dan cawapres itu. Karena saya tidak percaya dengan janji-janji, jadi tidak ada yang perlu dibahas tentang itu.
Tulisan ini juga bukan untuk menjawab para sahabat itu. Tulisan ini adalah semacam permenungan dan pemikiran dalam diri saya sendiri.
Apakah Rakyat Penting?
Ketika di televisi dan koran-koran diberitakan para capres yang pergi ke suatu tempat, apakah itu pasar, teminal, pangkalan ojek, juga penjual makanan-makanan, ditampilkan para capres itu ramah, bersahabat, menyapa orang-orang di sana. Para capres ingin menunjukkan mereka dekat dengan rakyat, mereka peduli dengan rakyat.
Lalu muncul pertanyaan penting. Mengapa ketika mau pemilihan presiden dan capres saja mereka menunjukkan bahwa mereka dekat dengan rakyat? Jadi kita bisa menduga apa yang penting bagi capres bukan? Rakyat atau yang lain?
Jadi saat-saat sekarang hanyalah musim mengingat rakyat. Setelah pemilu, mungkin rakyat dilupakan, 'tidak dianggap', bahkan dikhianati.
Siapa Wakil Rakyat?
Harus kita sadari bersama, bahwa renungan ini bukan kebencian kepada para wakil rakyat. Bukan juga suudzon. Justeru karena wakil rakyat ini penting, bahkan salah satu yang paling menentukan dalam hidup bersama dalam negara yang namanya Indonesia, maka kita harus aware, concern, dan serius tentang ini. Karena pengertian lain wakil rakyat adalah kita sendiri yang terwakilkan.
Wakil rakyat yang kita maksud bukan hanya DPRD, DPR, DPD, tapi juga bupati, gubernur, presiden, dan para wakilnya. Pokoknya, semua yang dipilih rakyat lewat pemilu adalah wakil rakyat, walaupun secara tanggung jawab, lebih khusus parlemen.
Rakyat Indonesia adalah siapa saja yang menjadi warga Indonesia. DPRD, DPR, dan presiden juga rakyat. Tetapi ketika mereka sudah menjadi 'wakil rakyat', maka sudah sepantasnya mereka tidak boleh hanya mewakili suaranya sendiri atau kepentingannya sendiri, atau kepentingan fraksinya sendiri, atau kepentingan komisinya sendiri, atau kepentingan partainya sendiri, atau kepentingan golongannya sendiri.
Tentang Partai
Sekali lagi, kita harus memperjelas posisi kita tentang dan dalam partai ini. Dalam sistem kita sekarang ini, lewat partailah seseorang menjadi wakil rakyat, kecuali DPD. Jadi partai merupakan jalan, bukan tujuan. Tujuannya adalah seperti biasa digembar-gemborkan oleh para politisi terutama saat kampanye.
Kita sudah melihat, setelah pemilu legislatif, suara-suara rakyat, seolah-olah bisa 'dipermainkan' oleh partai. Bagaimana misalnya seorang pendukung PDIP tapi tidak mau mendukung Gerindra? Padahal setelah pemilu legislatif, kedua partai itu malah bekerja sama dan 'bersatu'? Begitu juga dengan misalnya pendukung Golkar, tapi menolak Hanura?
Jadi, kita tidak perlu 'menggilai' atau 'maniak' dengan partai tertentu. Bolehlah kita simpatisan atau fans atau pendukung partai tertentu, karena jargon-jargon atau hal-hal lain yang menarik bagi kita. Tapi sudah bisa dilihat, sekarang partai A melakukan X, kemudian hari atau suatu saat bisa berkhianat dengan perjuangan atau tujuan-tujuan mulianya. Jadi kita harus mengingat yang utamanya: rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Bukan partai.
Jika partai itu sedikit saja atau mulai menyimpang dari tujuan: demi kemakmuran, kemaslahatan, ketenangan, kemajuan, kedamaian SELURUH rakyat Indonesia -- jangan ragu, tinggalkan saja partai itu!
Usulan Tentang Wakil Rakyat
Sekarang kita lihat misalnya untuk presiden dan wakil presiden, yang diuji adalah kesehatannya. Ada yang perlu lagi, yakni 'uji kewarasan'. Ini sangat penting. Lagi, harus diuji, seperti 'apa' dia selama misalnya selama 10 tahun terakhir. Apa yang dilakukan, apa yang diperjuangkan, apa yang dipikirkan selama 10 tahun terakhir ini.
Jadi dengan cara yang masih minim ini saja kita barangkali bisa menemukan para negarawan.
Yang menjadi hal penting adalah untuk bisa melihat ini sangat diperlukan rakyat yang semakin terdidik, cerdas, rasional, dan kritis.
Dan inilah yang kita impikan. Saya mencobanya, sedikit saja dengan menuliskan ini.
Saya biasanya hanya mendengar saja, pendapat-pendapat, dan opini mereka tentang pasangan capres dan cawapres. Ada juga beberapa pertanyaan penting dari mereka mereka sampaikan. Saya sebenarnya tidak pernah percaya dengan apa yang dijanjikan oleh para capres dan cawapres itu. Karena saya tidak percaya dengan janji-janji, jadi tidak ada yang perlu dibahas tentang itu.
Tulisan ini juga bukan untuk menjawab para sahabat itu. Tulisan ini adalah semacam permenungan dan pemikiran dalam diri saya sendiri.
Apakah Rakyat Penting?
Ketika di televisi dan koran-koran diberitakan para capres yang pergi ke suatu tempat, apakah itu pasar, teminal, pangkalan ojek, juga penjual makanan-makanan, ditampilkan para capres itu ramah, bersahabat, menyapa orang-orang di sana. Para capres ingin menunjukkan mereka dekat dengan rakyat, mereka peduli dengan rakyat.
Lalu muncul pertanyaan penting. Mengapa ketika mau pemilihan presiden dan capres saja mereka menunjukkan bahwa mereka dekat dengan rakyat? Jadi kita bisa menduga apa yang penting bagi capres bukan? Rakyat atau yang lain?
Jadi saat-saat sekarang hanyalah musim mengingat rakyat. Setelah pemilu, mungkin rakyat dilupakan, 'tidak dianggap', bahkan dikhianati.
Siapa Wakil Rakyat?
Harus kita sadari bersama, bahwa renungan ini bukan kebencian kepada para wakil rakyat. Bukan juga suudzon. Justeru karena wakil rakyat ini penting, bahkan salah satu yang paling menentukan dalam hidup bersama dalam negara yang namanya Indonesia, maka kita harus aware, concern, dan serius tentang ini. Karena pengertian lain wakil rakyat adalah kita sendiri yang terwakilkan.
Wakil rakyat yang kita maksud bukan hanya DPRD, DPR, DPD, tapi juga bupati, gubernur, presiden, dan para wakilnya. Pokoknya, semua yang dipilih rakyat lewat pemilu adalah wakil rakyat, walaupun secara tanggung jawab, lebih khusus parlemen.
Rakyat Indonesia adalah siapa saja yang menjadi warga Indonesia. DPRD, DPR, dan presiden juga rakyat. Tetapi ketika mereka sudah menjadi 'wakil rakyat', maka sudah sepantasnya mereka tidak boleh hanya mewakili suaranya sendiri atau kepentingannya sendiri, atau kepentingan fraksinya sendiri, atau kepentingan komisinya sendiri, atau kepentingan partainya sendiri, atau kepentingan golongannya sendiri.
Tentang Partai
Sekali lagi, kita harus memperjelas posisi kita tentang dan dalam partai ini. Dalam sistem kita sekarang ini, lewat partailah seseorang menjadi wakil rakyat, kecuali DPD. Jadi partai merupakan jalan, bukan tujuan. Tujuannya adalah seperti biasa digembar-gemborkan oleh para politisi terutama saat kampanye.
Kita sudah melihat, setelah pemilu legislatif, suara-suara rakyat, seolah-olah bisa 'dipermainkan' oleh partai. Bagaimana misalnya seorang pendukung PDIP tapi tidak mau mendukung Gerindra? Padahal setelah pemilu legislatif, kedua partai itu malah bekerja sama dan 'bersatu'? Begitu juga dengan misalnya pendukung Golkar, tapi menolak Hanura?
Jadi, kita tidak perlu 'menggilai' atau 'maniak' dengan partai tertentu. Bolehlah kita simpatisan atau fans atau pendukung partai tertentu, karena jargon-jargon atau hal-hal lain yang menarik bagi kita. Tapi sudah bisa dilihat, sekarang partai A melakukan X, kemudian hari atau suatu saat bisa berkhianat dengan perjuangan atau tujuan-tujuan mulianya. Jadi kita harus mengingat yang utamanya: rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Bukan partai.
Jika partai itu sedikit saja atau mulai menyimpang dari tujuan: demi kemakmuran, kemaslahatan, ketenangan, kemajuan, kedamaian SELURUH rakyat Indonesia -- jangan ragu, tinggalkan saja partai itu!
Usulan Tentang Wakil Rakyat
Sekarang kita lihat misalnya untuk presiden dan wakil presiden, yang diuji adalah kesehatannya. Ada yang perlu lagi, yakni 'uji kewarasan'. Ini sangat penting. Lagi, harus diuji, seperti 'apa' dia selama misalnya selama 10 tahun terakhir. Apa yang dilakukan, apa yang diperjuangkan, apa yang dipikirkan selama 10 tahun terakhir ini.
Jadi dengan cara yang masih minim ini saja kita barangkali bisa menemukan para negarawan.
Yang menjadi hal penting adalah untuk bisa melihat ini sangat diperlukan rakyat yang semakin terdidik, cerdas, rasional, dan kritis.
Dan inilah yang kita impikan. Saya mencobanya, sedikit saja dengan menuliskan ini.
Coba Periksa Ketepatan Kata-kata Kita
Beberapa kata dalam bahasa Indonesia, yang keliru, tapi karena terbiasa digunakan, maka dianggap sebagai kata yang benar. Ada kata imbuhan, ada kata dasar, dan ada kata serapan. Tapi yang namanya kata, seharusnya benar atau tepat penggunaannya.
Mungkin juga kata-kata itu keduanya benar atau dianggap benar, tapi seharusnya tetap ada yang lebih tepat.
Sekarang tanpa melihat kamus (atau untuk memastikan mari kita lihat kamus), kata-kata yang mungkin sering kita gunakan dalam pembicaraan, pikiran atau tulisan, coba kita periksa yang mana kata-kata ini yang lebih tepat?
Kita tampilkan beberapa pasangan kata saja menurut abjad:
1. pemimpin dan pimpinan, yang artinya leader dalam bahasa Inggris
2. praktek dan praktik
3. apotek dan apotik
4. mengubah dan merubah, yang artinya to change dalam bahasa Inggris
5. resiko dan risiko
6. sekadarnya dan sekedarnya
7. faham dan paham
8. berfikir dan berpikir
9.
10.
Mungkin ada pernyataan dalam hati kita, "Tidak masalah kata itu benar atau tidak, yang penting bisa dimengerti." Pernyataan seperti ini, bisa saja semacam keacuhan dalam berbahasa, ketidakpedulian akan ketepatan, bahkan kemalasan dalam berpikir.
Hal penting:
Jika suatu kata yang keliru itu kita anggap sebagai yang benar, maka kata apa kita gunakan untuk menyatakan yang sebenarnya?
Kita berbahasa dengan menggunakan kata-kata. Jika kata-kata kita tidak tepat, kemungkinan berbahasa kita juga tidak tepat, akhirnya bisa saja berpikir kita pun tidak tepat. Karena kita berpikir menggunakan bahasa.
Mungkin juga kata-kata itu keduanya benar atau dianggap benar, tapi seharusnya tetap ada yang lebih tepat.
Sekarang tanpa melihat kamus (atau untuk memastikan mari kita lihat kamus), kata-kata yang mungkin sering kita gunakan dalam pembicaraan, pikiran atau tulisan, coba kita periksa yang mana kata-kata ini yang lebih tepat?
Kita tampilkan beberapa pasangan kata saja menurut abjad:
1. pemimpin dan pimpinan, yang artinya leader dalam bahasa Inggris
2. praktek dan praktik
3. apotek dan apotik
4. mengubah dan merubah, yang artinya to change dalam bahasa Inggris
5. resiko dan risiko
6. sekadarnya dan sekedarnya
7. faham dan paham
8. berfikir dan berpikir
9.
10.
Mungkin ada pernyataan dalam hati kita, "Tidak masalah kata itu benar atau tidak, yang penting bisa dimengerti." Pernyataan seperti ini, bisa saja semacam keacuhan dalam berbahasa, ketidakpedulian akan ketepatan, bahkan kemalasan dalam berpikir.
Hal penting:
Jika suatu kata yang keliru itu kita anggap sebagai yang benar, maka kata apa kita gunakan untuk menyatakan yang sebenarnya?
Kita berbahasa dengan menggunakan kata-kata. Jika kata-kata kita tidak tepat, kemungkinan berbahasa kita juga tidak tepat, akhirnya bisa saja berpikir kita pun tidak tepat. Karena kita berpikir menggunakan bahasa.
Subscribe to:
Posts (Atom)