August 31, 2009

Kisah di Biara


Setiap menjelang dan saat suatu masa yang sering dianggap atau diperlakukan suci - bulan, minggu, atau hari - saya selalu mengingat peristiwa atau cerita atau orang yang suci atau kudus.


Dan setiap muncul masa itu, umpamanya Bulan Ramadhan, saya juga mengingat banyak orang yang berniat dan melakukan sesuatu yang baik, yang mulia, yang agung; berdoa, mencoba mencapai suasana tenang dan hening; berusaha memfitrahkan dirinya.


Keheningan, suasana doa, suasana sembahyangan, saya teringat akan kehidupan dan suasana di biara.


Saya beberapa kali tinggal di biara dalam waktu yang tidak lama. Tinggal untuk mencoba hidup dalam suasana yang lain dari yang biasa.


Setiap teringat biara, teringat suasana hening dan tenang. Teringat karena spiritualitas yang unik para biarawan yang memang sederhana dan syahdu.


Walaupun di kota cukup banyak biara, tapi tetap lebih menarik biara yang cukup jauh dari kota. Biara itu banyak berada di lokasi yang berhawa cukup dingin. Barangkali di samping agar suasana tenang, juga agar tidak memerlukan alat-alat elektronik pendingin ruangan.


Setiap berkunjung ke biara, saya perhatikan ruangan dan penempatan kursi-kursi. Ruangan tidak seperti biara tua di Eropa yang berlorong dan tinggi. Biara sudah cukup banyak yang seperti rumah biasa. Saya perhatikan juga pesawat televisi tidak ada yang berada di ruang tamu. Pesawat televisi tidak ada yang berada di ruang kerja, ruang studi, atau ruang tidur. Pesawat televisi hanya berada di tempat yang bisa semua berkumpul dan memang khusus untuk menonton televisi.


Di dinding kadang-kadang ada jadwal tetap, untuk menunjukkan pemanfaatan waktu setiap hari. Sepertinya jadwal itu hanya perlu untuk tamu atau penghuni yang baru, karena penghuni tetap sudah mengetahui semua jadwal tetap itu.


Yang menarik, jam tertentu setiap hari selalu ada waktu khusus sekitar satu sampai dengan dua jam, Silensium.


Silensium


Silensium berasal dari kata Latin - silēns, dan bahasa Inggris - silent. Jam-jam silensium adalah waktu yang digunakan setiap orang untuk melakukan pemeriksaan diri, barangkali berdoa, termenung, meditasi, duduk tenang, berdiam diri atau barangkali berangan-angan, atau mungkin saja mendengarkan suara alam, mendengarkan alam, mendengarkan suara hati sendiri, atau mendengarkan apa saja. Mendengarkan. Dan bukan suatu kebetulan jika huruf-huruf dalam kata silent sama persis dengan kata listen.


Cukup banyak pengalaman dan kisah di dan dari biara. Salah satunya adalah tentang masa-masa suci, suasana suci, dan orang-orang suci atau kudus.


Salah satu yang selalu saya ingat adalah kisah ini, berjudul 'Bisa Siapa Saja' **:



Bisa Siapa Saja

Pada suatu malam seorang
asing yang misterius muncul di depan pintu sebuah biara yang sudah usang -
sebuah biara yang dihuni setengah lusin biarawan tua yang saat itu sudah
kehausan secara spiritual. Ketika para biarawan itu menyambut kedatangan sang
tamu, mereka memperhatikan sebuah pancaran yang tidak biasanya pada orang itu.
Tanpa berkata sepatah kata pun, mereka mengantarkan dia ke ruangannya.

Pada pagi hari berikutnya, para biarawan duduk bersama-sama dengan tamu
mereka pada waktu sarapan pagi, mereka begitu ingin mendengarkan kata-kata
bijaknya. "Semalam saya bermimpi," katanya. "Diberitahukan kepada saya bahwa
salah satu dari kalian adalah orang kudus."

Para biarawan itu tercengang dan dalam keadaan bingung mereka saling
berpandangan satu sama lain.

"Siapakah orang itu?" tanya salah seorang dari antara mereka.
"Itu
adalah suatu hal yang tidak bisa saya beritahukan kepada Anda," jawab orang
asing itu. "Anda sendirilah yang harus mengungkapkan hal itu." Lalu sama
misteriusnya ketika dia datang, orang itu pun berangkat pergi.

Selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan selanjutnya, para biarawan
itu saling menjajaki satu sama lainnya dan masing-masing saling menatap mata
rekannya lebih dalam. Mereka memperlakukan satu sama lainnya seolah-olah salah
satu di antara mereka itu adalah orang kudus.

Lalu, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi. Untuk pertama kalinya
setelah selama bertahun-tahun, rasa senang dan apresiasi mulai mengisi
ruangan-ruangan di biara itu. Sebuah perasaan akan penantian yang kuat menjadi
semangat dari doa-doa yang dipanjatkan oleh para biarawan, kegiatan bersantap,
dan juga dalam percakapan-percakapan mereka.

Akibatnya, orang-orang yang mengunjungi biara itu merasa lebih bahagia
dan jumlah pengunjung dan ingin bergabung pun semakin bertambah. Hanya dalam
jangka waktu beberapa tahun, biara itu hidup kembali dan ordo tersebut
dilanjutkan oleh para biarawan baru yang mulai mengalami pencerahan jiwa.

Akhirnya, semua biarawan tua itu meninggal dunia tanpa pernah tahu
siapa di antara mereka yang menjadi orang kudus.

Tidak masalah - mereka semua telah menjadi orang kudus
.

:-)


* Buat para sahabatku yang baik hati, "Selamat menunaikan ibadah puasa!"

** Cerita diambil dari buku Wisdom of the Heart, karya Alan Cohen

Satu Buku - Kita telah Terjebak


Selama beberapa hari ini, saya terpikir dengan sebuah pertanyaan yang menarik. Pertanyaan itu bagi berbagai orang bisa semacam tebak-tebakan, lelucon, atau hal yang sangat serius dan penting.

Pertanyaannya sangat sederhana, tapi kalau direnungkan lebih jauh, bisa bermakna dalam, "Kalau Anda terdampar di pulau terpencil dan hanya bisa memiliki satu buku, buku apa yang Anda pilih?"

Seperti awal tadi, bisa saja jawabannya bernada tebak-tebakan, lelucon, atau serius. Tapi cobalah apa saja, yang penting jawaban yang sebenarnya.

Teringat lagi, beberapa waktu lalu, saya mendampingi empat puluh delapan orang kaum muda dalam suatu acara. Ketika itu yang menjadi bahasan dan sharing adalah tentang hidup atau kehidupan.

Kertas kecil dibagi kepada keempat puluh delapan orang sebagai tempat menulis jawaban pertanyaan tadi.

Sangat menarik. Semua jawaban bernada kitab suci. Ada yang menjawab Al-Qur'an; ada yang menjawab Al-Qur'an dan Hadist, ada yang menjawab Alkitab, ada yang menjawab Injil. Yang pasti semua menjawab mengarah kepada kitab suci.

Sebelumnya, apa jawaban Anda?

Saya sendiri tidak tahu jawaban Anda. Mungkin sama dengan kaum muda tadi, mungkin yang lain.

Kalau kita renungkan jawaban-jawaban tadi memang sepertinya jawaban agung. Tapi kalau kita renungkan lebih dalam, jawaban itu bisa menjadi permenungan yang lebih menarik.

Sepertinya jawaban itu, bisa semacam pelarian atau sejenisnya. Langsung mengarah ke akhirat atau yang mirip seperti itu. Atau juga menanti-nanti pertolongan yang belum jelas yang akan datang.

Dengan jawaban dalam kasus seperti itu, kita sepertinya terjebak di 'pulau diri saya'.

Pertanyaan itu pernah diajukan kepada G. K. Chesterton (29 May 1874 – 14 June 1936). Chesterton adalah penulis terkenal Inggris abad ke-20. Chesterton menulis berbagai hal mulai dari jurnalisme, essay, filsafat, syair, biografi, fantasi, dan fiksi detektif.

Chesterton terkenal dengan orang yang terbiasa bergembira, dengan tulisan-tulisan yang sering bernada humor.

Ketika kepadanya diajukan pertanyaan tadi, dengan cepat Chesterton menjawab dia memerlukan satu buku saja, yakni “Thomas’ Guide to Practical Shipbuilding."

:-)

August 14, 2009

Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun


''Kemerdekaan menuntut kewaspadaan dan kesetiaan selamanya.''
~ Abraham Lincoln

Siapa yang tidak mengetahui setidaknya sedikit saja tentang Abraham Lincoln? Dari cerita tentang Lincoln-lah saya mendengar istilah 'Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun'.

Tentu saya cukup sering mendengar yang seperti itu dari khotbah-khotbah di tempat-tempat ibadah, di radio, bahkan di televisi. Tapi apakah yang berkhotbah melakukan seperti yang dikatakannya? Semoga!

Tapi khusus tentang 'Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun', setahu yang saya baca, Abraham Lincoln melakukannya. Karena itulah mungkin Lincoln menjadi orang besar.

Saya tidak menghitung berapa buku yang menceritakan perjuangan hidup Abraham Lincoln ini. Ada di buku yang berisi motivasi, manajerial, ketekunan, kepemimpinan, adversity, perjuangan, ketidakbencian, dan hal-hal yang baik dan mulia lainnya.

Konon, Abraham Lincoln mengalami perjuangan hidup yang keras dan berat seperti ini:Tahun 1832 Lincoln kehilangan pekerjaan dan digulingkan dalam perebutan kursi legislatif negara bagian Illinois.
Tahun 1833, ia gagal dalam bisnisnya.
Tahun 1834, ia terpilih untuk duduk badan legislati negara bagian.
Tahun 1935, sang kekasih hatinya meninggal dunia.
Tahun 1838, ia gagal menjadi Juru Bicara Gedung Putih.
Tahun 1843, ia gagal lagi menjadi nominasi untuk duduk di Kongres.
Tahun 1846, ia terpilih untuk duduk di Kongres.
Tahun 1846, ia kehilangan kesempatan untuk dicalonkan kembali.
Tahun 1849, ia ditolak menjadi pegawai pengawas tanah pemerintah.
Tahun 1854, ia gagal untuk duduk di senat.
Tahun 1856, ia gagal untuk nominasi jabatan wakil presiden.
Tahun 1858, ia kembali gagal untuk duduk di senat.
Tahun 1860, ia terpilih menjadi presiden Amerika Serikat.

Tapi apakah kejadian itu benar atau tidak, bagi saya bukan itu yang utama dari Abraham Lincoln. Memang perjuangannya luar biasa. Sudah pasti semua orang tidak menjadi presiden. Saya lebih tertarik dengan karakter dan nilainya.

Mengapa dan bagaimana Lincoln sampai bisa seperti itu? Ini lebih menarik. Mengapa dan bagaimana Lincoln menjadi pribadi yang tidak menanamkan kebencian sedikit pun dalam hatinya kepada siapa pun? Bagaimana Lincoln mendapatkan kebijaksanaan dan mempraktikkannya? Bagaimana Lincoln menjadi manusia yang bijaksana?

Ruang Kerja Presiden

Konon, di ruang kerja presiden Amerika Serikat, bahwa gambar yang ada adalah gambar Abraham Lincoln. Lincoln adalah presiden Amerika Serkat yang ke-16. Menjabat presiden 4 Maret 1861-sampai hari terbunuh, 14 April 1865.

Tentang gambar di ruang kerja pemimpin tertinggi sebuah bangsa atau negara, juga menarik perhatian. Bagaimana dengan Indonesia dan bangsa-bangsa lain? Wajah siapakah yang terpampang di bagian atas ruang kerja seorang pemimpin tertinggi? Sepertinya gambar pemimpin itu sendiri.

Tapi ada baiknya juga bahwa gambar resmi di ruang kerja seorang presiden adalah gambar orang lain. Saya pernah baca, tapi tidak tahu persis, seorang presiden Amerika Serikat yang masih aktif saat itu berkata begini, "Jika saya menghadapai persoalan berat atau masalah yang sangat pelik, saya akan melihat gambar Abraham Lincoln dan merenung, 'Jika Lincoln, menghadapi yang seperti ini, apa yang akan diputuskan dan dilakukannya?'"

Pengalaman Hidup Lincoln yang Sangat Penting

Walaupun banyak kriteria dan sangat sulit untuk untuk menentukan seseorang menjadi presiden - the greatest president - tapi dari berbagai survai dan jajak pendapat, bahwa secara umum, Abraham Lincoln-lah yang menjadi presiden terbesar Amerika Serikat. Memang saat seseorang menajdi presiden, hal-hal yang terjadi yang sangat penting: krisis, pergolakan, peperangan, konflik, perang saudara, masalah ras dan perbudakan -- tapi sepertinya tetap Abraham Lincoln disebut-sebut sebagai presiden yang paling bijaksana.

Lalu bagaimana Lincoln menjadi seperti itu? Bagaimana Lincoln mempunyai prinsip 'Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun'? Bagaimana Lincoln menjadi bijaksana?

Saya mendapat cerita, dari The Starting Point of Happiness - A Practical and Intuitive Guide to Discovering Love, Wisdom, and Faith karya Ryuho Okawa, tentang pengalaman hidup Lincoln yang sangat penting, lebih khusus tentang motonya ''Tanpa Kebencian terhadap Siapa Pun':


Akan sangat sulit sekali menemukan orang yang menjalankan moto seperti itu.
Bahkan, sangat langka hingga kemungkinan untuk menemukan orang seperti itu
kurang dari satu dibanding satu juta. Memiliki niat untuk tidak menyakiti orang
lain kedengaran begitu mudah, namun hampir tak ada seorang pun mampu
mempraktikkannya. Lincoln adalah satu perkecualian yang jarang ada.

Tetapi, temperamen Lincoln yang sebenarnya jauh dari sifat yang tenang
seperti disiratkan oleh moto yang menjadi pegangan hidupnya bertahun-tahun
kemudian. Sebagai seorang pemuda, ia mudah marah dan sering berkelahi.

Menurut biografinya, pada awal kariernya sebagai pengacara, ia
mengkritik dan menentang banyak orang di depan umum.

Pada suatu hari setelah ia melancarkan serangan kepada seseorang,
Lincoln ditantang untuk melakukan duel.

Di tepi sebuah sungai, berdiri saling memunggungi dengan musuhnya, ia
mulai menghitung langkahnya sambil menenteng senjata di tangannya, namun
tiba-tiba seorang penengah melibatkan diri dan menghentikan duel itu.

Ia terselamatkan.

Dari kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu, Lincoln mendapat
pelajaran keras yaitu ada konsekuensi yang sangat serius atas kritikan yang
sangat tajam kepada orang lain.
Akibat dari kejadian itu, pandangannya
tentang hidup ini, berbalik seratus delapan puluh derajat.

Ia menyadari mengkritik dan mengutuk orang lain memang mudah, namun
menjalani hidup tanpa memiliki pikiran yang bisa melukai orang lain sungguh
sangat sulit.
Tapi ia memilih jalan yang sulit.

Cerita yang menjadi pengalaman Lincoln itu sangat menentukan hidupnya dari segala sisi.

---

Walaupun begitu, yang diketahui umum, wajah Abraham Lincoln tidaklah tampan, dia pernah mendapat olok-olokan banyak pihak, akan tetapi dia tidak pernah menganggapnya tabu. Dia sering membuat situasi dengan nuansa humor. Suatu kali, Abraham Lincoln berdebat dengan lawan politiknya. Lawannya mengatakan bahwa apa yang dikerjakan Lincoln berbeda dengan apa yang dikatakannya, dia adalah orang bermuka dua.

Abraham Lincoln mengomentarinya, ”Baru saja saya dikatakan memiliki dua rupa, cobalah dipikir, kalau saja saya memiliki wajah lain, buat apa saya masih memakai wajah ini untuk menjumpai kalian?”
:-)
---


"Perbedaan antara orang biasa dan orang besar adalah kemampuan mereka untuk memilih jalan yang sulit."
~ Ryuho Okawa