October 27, 2009

Cerita Cherokee

"Aku sendirilah surga sekaligus neraka."
~ Omar Khayyam (1048 - 1123 SM), penyair dan filsuf Persia


Beberapa minggu belakangan ini, selalu ada ajakan untuk (sedikit) berbuat yang baik. Kalaulah tidak mampu melakukan aksi yang baik, ya setidaknya memikirkan atau merenungkan sesuatu yang baik.


Untuk menjadi baik, dipastikan itu sangat sulit, tapi dengan pikiran dan tindakan yang terus-menerus diusahakan dengan penuh kesadaran, maka sepertinya kehidupan ini juga akan semakin baik, tentu lagi, dengan semakin banyak orang yang melakukannya. Diperlukan perjuangan yang terus-menerus.


Masih relevan, teringat akan sebuah cerita dari salah satu suku Indian, Cherokee. Saya ingat, ketika anak-anak, bahwa orang-orang Cherokee memiliki tipikal sungguh-sungguh dengan selalu menanamkan moto dalam batinnya tentang semangat, tentang spirit. Selain itu, ada sesuatu yang berhubungan dengan nilai, yakni tradisi dan keyakinan. Orang Cherokee diketahui sangat mengajarkan keyakinan diri dan kekuatan tradisi, kekuatan (prinsip) sendiri. Keyakinan untuk mempertahankan dan memperjuangkan negerinya dan bangsanya.


Will Rogers seorang humoris yang bukan seorang Cherokee membuat satu ungkapan, "I am a Cherokee and it's the proudest little possession I ever hope to have."


Wilma Mankiller, yang lahir 1945, wanita pertama yang menjadi Kepala Suku Cherokee, mengatakan sesuatu yang menginspirasi banyak orang, “One of the things my parents taught me, and I'll always be grateful as a gift, is to not ever let anybody else define me; that for me to define myself . . . and I think that helped me a lot in assuming a leadership position.”.


Mankiller juga mengatakan“Individually and collectively, Cherokee people possess an extraordinary ability to face down adversity and continue moving forward.”. Walaupun nama tidak perlu harus memiliki arti, tapi bagi Indian Cherokee, nama itu sangat menentukan. Kita perhatikan nama belakang Wilma, Mankiller.
:-)


Ini cerita dari suku Cherokee mengenai tetua suku yang sedang mengajarkan kehidupan kepada cucu lelakinya.

"Sebuah pertempuran terjadi di dalam diriku," kata tetua kepada cucunya. "Itu adalah pertempuran yang kejam antara dua ekor serigala."


Tetua menyambung, "Yang satu jahat - ia adalah kemarahan, iri hati, sakit hati, penyesalan, keserakahan, kesombongan, selalu merasa bersalah, mudah tersinggung, merasa rendah diri, kebohongan, harga diri yang salah, merasa hebat, dan egois.


Yang lain baik - ia adalah kebahagiaan, damai, cinta, harapan, ketenteraman, kerendahan hati, kebaikan, kebajikan, empati, kemurahan hati, perhatian, dan kepercayaan.


Pertempuran yang sama juga terjadi dalam dirimu dan di dalam diri setiap orang lain juga."


Sang cucu memikirkan hal itu selama beberapa saat dan kemudian bertanya kepada kakeknya,

"Serigala mana yang akan menang?"


Tetua suku Cherokee hanya menjawab,

"Yang kauberi makan."


Sedikit Cukup, Banyak Kurang


Sedikit cukup, banyak pun kurang. Itu salah satu ungkapan dalam tradisi Batak. Mungkin juga ada pengertian yang sama dalam kultur lain, tapi dengan pengungkapan yang berbeda.

Ungkapan itu sering muncul dalam sebuah keluarga, jika ada yang harus dibagi atau dikonsumsi bersama. Jangan dibayangkan, yang dimaksud keluarga itu hanya dua orangtua dan dua atau tiga orang anak.

Itu ungkapan yang sering terdengar dalam sebuah keluarga besar, katakanlah dengan lima sampai dengan tiga belas orang anak. Mungkin juga misalnya ada lagi tambahan anak keluarga lain yang tinggalnya lebih ke pedalaman lagi, tapi karena misalnya sekolah dasar atau sekolah menengah, maka bertambahlah 'titipan' anak dalam sebuah keluarga.

Ungkapan itu paling nyata dalam hal makanan. Jika satu keluarga misalnya dengan delapan orang anak ditambah satu anak 'titipan' ditambah dengan dua orangtua, maka yang makan sebanyak sebelas orang. Jika pola makan tidak teratur - siapa yang lebih dahulu pulang, dia yang lebih dahulu makan - maka kemungkinan ada masalah kepada orang yang paling belakangan pulang ke rumah, mungkin bagiannya misalnya lauk yang paling tidak bagus lagi, paling sedikit, atau mungkin kehabisan.

Bayangkan yang makan sebelas orang, maka harus ada strategi mengatur pola dan cara makan keluarga agar tertib.

Tapi selain tentang pola makan yang tertib ini ada hal yang penting lagi yang sebenarnya berhubungan langsung dengan pola makan tadi, yakni banyaknya makanan yang tersedia.

Satu strategi agar masalah makan ini berlangsung baik adalah dengan makan bersama.

Makan Bersama

Saya teringat tentang ungkapan ini karena terkenang salah satu orang yang sangat rendah hati, bijaksana, yakni R. P. Radboud Waterreus, O. F. M. Cap., seorang Belanda yang menjadi warga negara Indonesia, seorang yang mencintai Indonesia lebih daripada kebanyakan orang Indonesia. Saya teringat karena nasihatnya kepada keluarga-keluarga besar di desa agar anggota keluarga diusahakan sesering mungkin makan bersama.

R. P. Radboud Waterreus, O. F. M. Cap., disapa, dipanggil, dan dimuliakan oleh siapa pun yang mengetahuinya dan mengenalnya dengan Ompung. Ompung dengan pengertian lebih daripada sekadar kakek. Karena yang sudah kakek pun (seumur dengan Ompung itu) tetap menyebut dan memanggilnya dengan, "Ompung!".

Ketika saya masih kecil, saya sering memikirkan mengapa Ompung itu memesankan itu. Setelah mengalami dan mencoba mempelajari sesuatunya, ada hal penting selain makanan, yakni agar timbul kebersamaan, toleransi, dan kesatuan keluarga.

Bagaimana ini mungkin?

Dahulu, dalam satu keluarga, makan bukan dari piring masing-masing, tapi dari sebuah piring besar atau semacam talam. Dalam satu wadah inilah tempat makanan bagi semua anggota keluarga, makan dari satu tempat dan tentu pasti makan bersama-sama.

Teringat kondisi jika sebuah keluarga besar maka pada saat bersamaan akan ada anggota keluarga yang menjadi murid sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA atau SMU sekarang), atau masih ada barangkali yang masih belum sekolah. Saat itu di sana tidak ada play group dan taman kanak-kanak.

Untuk menerapkan niat baik 'makan bersama' tadi, kecuali untuk anak yang masih sangat kecil, lemah, atau mudah terserang penyakit, maka untuk keinginan makan bersama untuk siang, akan terjadi hal-hal yang unik. Bayangkan anak yang masih siswa SD misalnya kelas enam, akan lebih dahulu tiba di rumah, tapi tidak boleh makan lebih dahulu. Dia harus menunggu kakaknya yang akan datang berikutnya yang siswa SMP dan selanjutnya yang siswa SMA.

Jika seorang anak sudah menginjak remaja, bagaimana dia bersikap ketika makan akan terlihat 'keadaannya' saat itu. Jika dia misalnya tidak selera atau bahkan kesulitan menelan nasinya ke perutnya, berarti ada 'masalah'. Ini satu lagi yang sangat penting dalam melihat kondisi anggota keluarga. Saat-saat seperti inilah yang menciptakan suatu kebersamaan, toleransi, dan kesatuan.

Ketika seseorang sudah sangat lapar (anak yang masih siswa SD), maka dia harus menanti kepulangan kakak-kakaknya. Dan satu yang menarik lagi, dia akan menunggu dengan senang hati - supaya bisa makan.
:-)

Ketika anak-anak dalam keluarga ini, sudah dewasa dan berpencar dan sudah membentuk keluarga baru, selalu ada niat dan keinginan menanti pertemuan ini, -- bukan karena makan lagi -- tapi karena kerinduan sebagai sebuah keluarga, sebagai saudara.