December 22, 2010

Membaca: Kita Menjadi Bagaimana daripada Mendapatkan Apa

"Orang yang tidak pernah mengubah pendiriannya adalah seperti air yang tergenang dan menghasilkan pikiran yang busuk."
~ William Blake (1757-1827); seniman dan penyair Inggris

* * *

Barangkali, hampir semua kita ingin bersikap terbuka. Tapi apakah memang benar-benar kita ingin bersikap terbuka? Marilah kira pikirkan dan renungkan dengan sedikit lebih jujur.  

Satu cara untuk memeriksa tingkat keterbukaan kita adalah dengan merenungkan keyakinan kita. Keyakinan dalam hal apa pun, keyakinan terhadap apa pun. Untuk apa? Agar keyakinan kita bisa kita lihat dari perspektif lain, atau misalnya agar keyakinan kita lebih jernih lagi, jika ada yang perlu dijernihkan. Tapi bukankah persepsi selalu harus kita jernihkan dan sucikan?

Memeriksa atau merenungkan atau memikirkan keyakinan kita itu bisa juga dengan cara membaca. Berarti, cara agar kita bersikap terbuka adalah bisa dengan membaca. (Selalu jika kita mengatakan membaca, ya bisa membaca alam, membaca tanda zaman, tapi terutama membaca buku).

Bagaimana membaca bisa membuat seseorang bersikap terbuka? Jelas. Membaca sesuatu topik atau subjek jelas agar kita mendapatkan sesuatu dari bahasan mengenai topik atau subjek itu. Ini berarti kita mendapatkan sesuatu. Kita bisa mendapatkan fakta-fakta, cerita, kisah, pengetahuan, pemahaman, imajinasi atau apa saya yang menambahkan sesuatu dalam diri kita. Bersikap terbuka lebih kepada 'bagaimana kita' daripada 'mendapatkan apa' dari subjek atau topik itu.

Tapi selain mendapatkan sesuatu, membaca menciptakan sesuatu yang lebih hebat lagi, yakni kita menjadi seperti apa, kita menjadi bagaimana. Kalau kita mendapatkan fakta-fakta atau informasi atau pengetahuan atau pemahaman baru atau yang lebih mutakhir, tapi kita sendiri tidak berubah dan tidah berbuah dari hal yang kita dapatkan, hasilnya masih timpang.

Saya masih ingat dengan pertanyaan beberapa sahabat kepada saya, yang intinya kira-kira begini, "Kita membaca karya-karya filsafat, untuk apa?" Ini pertanyaan menarik dan menggugah. Pertanyaan ini mengandaikan dan menunjuk kepada sesuatu apa yang kita dapatkan dari bacaan. Dalam membaca (bahkan mungkin dalam kehidupan manusia secara umum) jauh lebih penting kita menjadi bagaimana daripada mendapatkan apa.

Dalam konteks yang lain, tapi masih berhubungan, Erich Fromm (1900 – 1980), seorang psikolog dan filsuf Jerman sudah mengusulkan gagasan itu menjadi To Have atau To Be yang mengakibatkan perbedaan besar menjadi antara having dan being. Satu hal yang diusulkan Fromm dengan gagasan itu adalah dengan mengumpulkan materi, uang, harta, benda apa pun; maka kita akan mendapatkan dan memperbanyak apa yang kita kumpulkan. Tapi itu tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan menjadi bagaimana kita dengan hal yang telah kita kumpulkan itu.

Membaca karya-karya yang bernada atau bernuansa atau bermuatan filosofis, kita tentu mendapatkan sesuatu atau banyak hal yang sangat bermanfaat dalam pengetahuan, pemahaman, dan yang sejenis. Tapi membaca karya-karya filosofis jauh lebih indah dan menawan lagi tatkala kita menciptakan kita lebih kepada 'berpikir bagaimana' daripada 'memikirkan atau mendapatkan apa'.

:-)


"Sebagian buku hanya untuk dijilat, sebagian lagi untuk ditelan, tetapi sedikit sekali yang benar-benar dikunyah dan dicerna."
~ Francis Bacon (1561-1626); esais dan filsuf Inggris

Waktu Luang: ke Mana Perginya?

Sering sahabat bertanya kepadaku tentang waktu, tepatnya penggunaan waktu. Tapi, sebenarnya, bisakah waktu digunakan? Apakah waktu seperti benda lain yang bisa kita kendalikan misalnya seperti cangkul, pulpen, buku, uang, laptop, hingga benda-benda itu bisa kita ambil, raih, atau kita buang sesuka kita?

Itu tentang waktu. Tapi waktu begitu lama. Kita pikirkan saja waktu yang cukup singkat, tapi sebenarnya bisa juga tergolong lama: waktu luangTapi apakah waktu luang itu?

Kalau kita cukup gemar melihat kamus atau atau melihat pengertian sesuatu yang yang sudah begitu umum, hingga jarang diperhatikan atau direnungkan, maka akan terlihat hal-hal yang mungkin di mana kita mendapatkan makna aslinya, atau makna baru, atau makna yang sesungguhnya.

Maka cobalah kita lihat kamus. Waktu luang atau free time sering diasosiasikan dengan: leisure, leisure time, spare time, atau time off. Yang cukup menarik, waktu luang didefinisikan sebagai time available for hobbies and other activities that you enjoy.

Jika waktu luang adalah waktu yang tersedia untuk melakukan hobi dan aktivitas yang menyenangkan, atau menggembirakan atau membahagiakan misalnya, maka bisa dimengerti waktu yang lain (yang bukan waktu luang) dilakukan bukan unutk hal seperti itu. 

Kalau begitu, waktu luang berarti sangat penting. Jika waktu luang begitu atau sangat penting, mengapa kita tidak mencari waktu luang atau memperbanyak atau tepatnya menambah waktu yang digunakan sebagai waktu luang?

Bagaimana dengan waktu-waktu yang digunakan bukan untuk hobi atau yang tidak tergolong menyenangkan? Baiklah, itu barangkali digunakan untuk aktivitas, pekerjaan, bahkan kegiatan yang menjadi tujuan hidup seseorang. Akan sangat menarik jika semua kegiatan itu menyenangkan. Sangat menarik jika semua kegiatan itu menjadi semacam hobi, sehingga waktu baginya hampir semua waktu luang atau mungkin tidak ada waktu luang lagi baginya. Tapi bagaimana jika kegiatan itu tidak menyenangkan bagi orang itu?

Dan ada ungkapan jika seseoarng melakukan pekerjaan yang benar-benar dia senangi, maka dia tidak perlu lagi bekerja.

Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan bukan sebagai yang menyenangkan atau hobi? Tentu mungkin kegiatan itu menyangkut nafkah, atau bahkan menyangkut kehidupan seseorang. Tapi sekali lagi, bagaimana jika kegiatan itu benar-benar tidak dia senangi?

Saya mendapatkan yang menarik beberapa hari lalu tentang melakukan yang tidak disenangi. Konon, satu hal yang positif dari seseorang adalah melakukan hal-hal yang tidak melulu karena disenangi. Banyak hal di dunia ini, karena juga berbagai alasan harus mengerjakan hal-hal yang tidak disenangi. Dan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang kurang atau tidak disenangi itu, bisa dikatakan sebagai hal yang sangat penting dan bisa disebut juga sebagai hal yang membuat seseorang menjadi matang dan bertanggung jawab.

Apakah kita memang bisa hidup di dunia ini dengan mengerjakan semua hal yang kita senangi? Paling mungkin, pekerjaan atau hal yang tidak disenangi dibuat menjadi menyenangkan.

Dan sangat mungkin, sebenarnya seseorang melakukan sesuatu yang begitu mulia  bukan berdasarkan kesenangan tapi berdasarkan tujuan. 'Senang atau tidak senang, lakukan!' Ini mungkin bisa menjadi bahasan atau gagasan yang sangat menarik dan menantang.

Kembali, bahwa waktu luang adalah waktu yang begitu penting. Bagaimana dengan paradoks sibuk yang lazim terjadi di zaman sekarang bagi banyak orang?

Semua orang menginginkan waktu luang, tapi semua orang ingin sibuk juga.Semua orang sibuk, hingga mendambakan waktu luang. Tapi apa yang terjadi ketika waktu luang ada? Dia mencari kesibukan. Dia sibuk kembali.
:)


Ketika waktu luang ada, apa yang kita lakukan atau apa yang ingin kita lakukan?

December 9, 2010

Membaca Itu Mengasyikkan

Apakah kita gemar membaca? Jika belum, saya kira, kita sedang mengalami kerugian. Membaca adalah aktivitas yang sangat mengasyikkan kalau tidak mencengangkan.
:)

Kalau kita belum bisa menikmati membaca, berarti kita mengalami sesuatu yang aneh. Mengapa aneh? Karena membaca sebenarnya bukan hanya menjadi kesenangan atau hobi tapi lebih daripada itu adalah membaca adalah kewajiban atau keharusan. Menjadi aneh karena kita tidak pernah melakukan apa yang wajib atau harus kita lakukan. Siapa yang bilang begitu? Guru.

Siapa guru itu? Iya, guru yang mengajari kita mengenal simbol huruf, huruf, kata, dan seterusnya membaca. Dan bisa saja guru itu adalah orangtua atau nenek atau tetangga atau siapa saja yang mengajar kita membaca.

Setiap siswa atau siapa pun yang ingin pembelajaran, maka membacaadalah hal pertama dan utama yang harus dipelajari. Masih ingat menjadi siswa Sekolah Dasar (SD) atau Taman Kanak-kanak (TK) ketika kita belajar membaca? Mengapa kita harus diajari membaca? Mengapa kita harus membaca?

Kembali pertanyaan yang sering saya ajukan kepada siapa pun, "Mengapa setelah seseorang bisa membaca, lalu dia berhenti membaca?"

Membaca sebenarnya harus mutlak di zaman sekarang ini. Kecuali bidang-bidang yang mengandalkan fisik misalnya, maka membaca adalah sesuatu yang mutlak. Bahkan mengoperasikan sesuatu alat pun dibuat lewat tulisan, agar orang (bisa) membacanya.

Seperti sebelumnya, membaca lebih daripada hobi, tapi kewajiban. Bahkan kalau seseorang beragama, maka membaca semakin wajib. Apabila seseorang tidak beragama atau tidak mengakui Tuhan, maka membaca juga sama wajibnya bahkan lebih.
:-)

Baiklah. Kita anggap sebagai hobi lebih dahulu. Membaca lebih daripada aktivitas lain sangat menarik. Menarik karena membaca bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Berbeda seperti memancing atau main catur atau makin kartu atau mengoperasikan telepon genggam; membaca bisa dilakukan di mana saja. Bahkan di dalam pesawat, mengoperasikan telepon genggam atau alat elektronik lainnya dilarang. Tapi membaca tidak dilarang. Maka membaca memiliki keuntungan dan kelebihan tersendiri dibandingkan aktivitas lain yang bisa dijadikan sebagai hobi.

Lalu, mengapa masih diam saja? Beli buku yang belum pernah dibaca, atau boleh juga yang sudah pernah dibaca. Bacalah!


Membaca harus lebih daripada hobi. Teman saya berkata, "Mana ada sekarang orang yang cerdas tanpa membaca?"
:-)

December 3, 2010

Hati dan Kasih Ibu

Beberapa minggu lalu, ibu mengunjungi keluarga kami. Tentu, yang namanya ibu (bukan hanya kunjungannya saja akan sangat menyentuh dan membuat hati gembira), 'Ibu' itu sendiri sudah mengingatkan kita kepada hal yang sulit kita ungkapkan.

Sering saya membayangkan dan berpikir bahwa ungkapan atau ucapan terima kasih kepada ibu sendiri, seperti tidak bernilai dibandingkan cintanya kepada anak-anaknya. Memang berterima kasih sangatlah mulia, tapi berterima kasih kepada orangtua terlebih ibu, mirip seperti ungkapan karena tidak ada lagi ungkapan yang lebih tinggi daripada terima kasih -- paling ucapan syukur dan atau doa. Tapi itu pun semua masih tidak bisa melampaui kasih bunda kepada anak-anaknya.

Bunda kita, apalagi kalau beliau semakin berumur, maka kekuatan fisiknya pun sudah semakin melemah. Maka ketika seorang bunda yang sudah berumur menyapa, mengunjungi kita di tempat yang jauh, maka terasa semakin mengharukan.

Semakin tidak terucapkan karena ternyata kasihnya pun tidak berubah walaupun anak-anaknya sudah dewasa semua.

Sering terpikir betapa hebat kekuatan dan ketabahan seorang ibu. Maka saya sering berpikir juga, bahwa seorang ibu langkahnya sangatlah mengarah ke surga.

Ketika seorang ibu sudah semakin menua, maka dia pun sangat merindukan bahkan semakin merindukan anak-anaknya. Ketika dia berada di kampung halaman atau di tempat di tinggal (walaupun bukan kampung), maka dia selalu mengingat dan mendoakan anak-anaknya, di mana pun berada.

Menarik juga, ketika orangtua, teristimewa ibu, berada di tempat tinggalnya, yang diingatnya selalu adalah anak-anaknya, dan ketika dia berada bersama anak-anaknya di tempat yang jauh (ketika berkunjung itu), maka hatinya selalu terpaut dengan tempat dia tinggal dengan segala aktivitasnya (apakah itu tanaman kopi, bawang, padi, atau ternak peliharaan lainnya) atau bahkan hanya barang-barang yang selalu dia sentuh dan gunakan, misalnya periuknya.

Dan ketika kembali sudah menyentuh periuknya, di hatinya selalu anak-anaknya.

Ibu!

November 30, 2010

Membaca: Milikilah Buku-buku

"Bagaimana agar saya menjadi pembaca?"
~ pertanyaan seorang sahabat

* * *
"Bagaimana agar saya gemar membaca?" Itulah inti dari pertanyaan beberapa orang sahabat. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa sahabat berbagi pengalaman, berbagi cerita, dan mungkin sedikit bertanya tentang membaca, ya membaca buku. Jadi bukan hanya sekadar membaca koran, atau majalah atau tabloid.

Dari perbincangan yang indah dan diselingi dengan hangatnya kopi, dan beberapa terlihat dan herhirup kepulan asap rokok; terdapat sesuatu yang indah, yakni kerinduan membaca.

Banyak cara atau tips atau taktik atau strategi atau apa pun yang sejenis agar seseorang membaca. Dan untuk menjadi pembaca, sangat beragam  cara pendekatan dan datangnya keinginan atau kerinduan itu.

Satu cara adalah: Beli dan milikilah buku-buku. Apakah gagasan ini keliru atau berlebihan? Saya kira tidak. Mengapa harus memiliki buku-buku?

Mungkin ada yang memiliki pendapat, tidaklah terlalu perlu memiliki buku-buku, yang penting membaca buku. Wah, benar. Tapi bagaimana dan di mana membaca buku itu? Di perpustakaan? Berapa kali atau berapa lama seseorang di perpustakaan. Kalau mahasiswa atau mahasiswi mungkin sering bisa mengakses buku dan berada di perpustakaan lebih sering dan lebih lama.

Bagaimana kalau kita tidak berada di perpustakaan? Dan sebenarnya di mana waktu kita paling lama sehari-hari? Kemudian buku-buku di perpustakaan, tidaklah elok dan etis untuk digarisbawahi, distabilo, dicoret-coret, atau ditulisi apa pun. Karena buku itu adalah milik perpustakaan, dan bukan milik sendiri. Dan aktivitas menulisi, mencoret-coret, menggambari, atau membuat catatan atau pun yang lain adalah hal yang begitu menarik dan menggairahkan.

Maka dengan aktivitas menggarisbawahi, menspidoli, menulisi, atau menandai, maka sangat nyaman dan tepat jika buku itu adalah buku milik sendiri.

Kemudian, buku milik sendiri akan sangat mudah kita akses jika kita ingin membaca kembali atau untuk mengambil ungkapan atau inspirasi setelah dibaca suatu kali.

Membeli dan memiliki buku itu juga merupakan penghargaan bagi penulis buku itu. Saya secara pribadi sering menganggap sebuah buku begitu murah jika buku itu menginspirasi atau menimbulkan pemikiran, permenungan, atau apa pun yang membuat buku itu selalu teringat.

Kalau perlu jika buku itu menginspirasi, sangatlah baik juga jika buku itu dibeli jangan hanya satu tapi beberapa. Untuk apa membeli beberapa buku yang sama? Iya, buat saja sebagai kado bagi orang-orang terkasih, atau siapa pun orang yang kita duga juga akan terinspirasi dengan buku itu.

Jadi dengan membeli dan memiliki buku-buku juga bisa menciptakan diri kita sebagai pembaca, tapi tentu harus membaca. Membeli buku dan memiliki buku tanpa membacanya agak disayangkan, tapi tetap bermanfaat, karena tinggal membaca saja, karena bukunya sudah tersedia.
:)

Dengan memiliki buku, kita bisa membaca setiap saat. Kalau berpergian, tinggal membawa buku itu, dan membacanya.

Mungkin ada yang berpendapat atau bertanya, "Buku apa yang akan saya miliki?" Wah itu adalah diskusi yang menarik. Mungkin di kali berikutnya.

* * *

Jadi, sudah membeli dan memiliki berapa buku dalam bulan ini?



Tidak cukup hanya membaca buku, Anda harus memiliki buku.
:-)

Membaca: Mencari

Beberapa hari ini saya  diajak berbagi cerita dan pengalaman oleh beberapa sahabat tentang membaca. Saya merasa bersyukur karena mendapatkan pengalaman dan pengetahuan yang menarik dari para sahabat itu. Beberapa bertanya tentang mengapa membaca begitu penting.

Tapi untuk itu, kita tidak perlu lagi membahasnya, mengapa membaca begitu penting. Semua orang dididik di zaman modern ini (juga di zaman dulu) selalu ada pelajaran membaca, bahkan sangat umum dan mutlak selain hal moral, budi pekerti, tidak mungkin tanpa membaca.

Jadi mengapa membaca begitu penting, tidak lagi terbantahkan.

Yang menjadi pertanyaan bagi saya sekarang adalah mengapa setelah orang-orang bisa membaca, kemudian tidak membaca lagi?

:-)

Sambil merenungkan pertanyaan itu saya mengingat cerita hebat ini:



Kepada seorang pengunjung,
yang menggambarkan dirinya sebagai pencari kebenaran, Sang Guru berkata,

"Apabila Kebenaran yang engkau cari, 
maka ada satu hal,
yang harus kaumiliki melebihi segala."


"Ya, itu aku tahu.
Semangat  tak kunjung padam mau mencarinya."


"Bukan!
Kesediaan tak habis-habisnya mau mengakui
mungkin ada kesalahan."


(Anthony de Mello, S. J.)

Melihat Cahaya

Seorang rabbi bertanya kepada murid-muridnya, "Kapankah, di waktu fajar orang dapat memisahkan terang dari gelap?"

Seorang muridnya menjawab, "Ketika saya bisa memisahkan seekor kambing dari keledai."

"Tidak," jawab rabbi itu.

Yang lain berkata, "Ketika saya bisa membedakan sebatang pohon palma dari pohon ara."

"Bukan," kata rabbi itu pula.

"Nah, jika begitu apa jawabannya?" Murid-muridnya mendesak.


Kata rabbi itu, "Ketika kamu memandang  wajah setiap orang laki-laki dan setiap orang perempuan, sebagai saudaramu laki-laki dan perempuan, barulah saat itu kamu melihat cahayaDi luar itu adalah kegelapan."

(Cerita Mistik Yahudi)

October 26, 2010

Kembali ke Kotak

Saya ingin menulis hari ini. Setelah menuliskan Notes yang terakhir di Facebook, beberapa sahabat bertanya mengapa saya tidak menulis lagi. Ada yang meminta agar menuliskan sesuatu, apa saja topiknya, tidak masalah.

Tentu permintaan itu sebagai ajakan atau bisa juga sebagai penyemangat untuk menulis sesuatu. Tapi saya ingin menulis hari ini bukan karena permintaan para sahabat itu. Saya ingin menulis karena ingin menulis saja. Tapi apa yang akan saya tulis? Itu menjadi pertanyaan bagiku sekarang.

Ketika keinginan menulis ada, saya sering malah bukan menulis tapi membaca. Membaca (buku) begitu mengasyikkan sampai kadang terpikir untuk menuliskan tentang bagaimana asyiknya membaca. Kadang-kadang terpikir juga ingin menuliskan sesuatu karena pertanyaan teman-teman tentang mengapa saya menggemari membaca.

Maka, beberapa hari lalu, ketika ada keinginan untuk menulis, saya tidak menulis malah membaca buku. Bukunya sungguh menarik judulnya, When the Game Is Over, It All Goes Back in the Box, karya John Ortberg. Maka sebaiknya saya menuliskan sesuatu saja yang berhubungan dengan buku yang menarik ini.

Saya hampir tidak bisa berhenti membacanya. Isinya berisi banyak humor cerdas. Tentu itu bukan buku humor tapi buku yang berisi yang sangat dalam -- tentang waktu, tentang kehidupan manusia.
  
Sering disebut bahwa hidup semacam permainan. Tapi bagaimana kita menyikapi ungkapan atau pandangan seperti itu? Kemudian saya teringat akan ungkapan Indonesia, yang saya sendiri kurang tahu berasal dari daerah mana tapi kita buat dalam bentuk pertanyaan, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan apa?" Biasanya dijawab, "Manusia mati meninggalkan nama." Mungkin ada benarnya, tapi yang paling benar adalah, "Manusia mati meninggalkan segala-galanya!"

Jadi isi buku itu adalah tentang manusia, tentang kehidupan manusia, dan kehidupan setelah kehidupan (kematian) manusia. Maka teringat juga dengan ungkapan kuno Italia yang mirip, "Pion dan raja sama saja, semua akan kembali ke kotak."

Mungkin kita tertawa membaca ungkapan-ungkapan itu. Memang ungkapan yang membuat kita tertawa sering karena kebenaran yang ada di dalamnya, atau kebenaran yang muncul, hanya saja sebelumnya, kita tidak sadari. Dan disebutkan bahwa humor sangatlah penting untuk manusia yang hidup. Bahkan seorang tokoh reformasi, Martin Luther pernah berkata, "Jika di surga tidak diizinkan tertawa, saya tidak mau ke sana."

Memang hidup bukan hanya mengenai tertawa. Tapi alangkah meruginya manusia jika dia tidak bisa tertawa dan bersukacita. Dan memaknai sukacita dalam hidup, itulah satu hal yang disampaikan dalam buku Ortberg ini.

Dari seluruh isi buku itu, saya sangat terkesan oleh tulisan yang dikutip Ortberg dari buku Lewis B. SmedesHow Can It Be All Right When Everything Is All Wrong? Benar-benar menginspirasi.

"Saya membeli sebuah agenda yang masih sangat baru kemarin, jenis agenda yang saya pakai setiap tahunnya -- dijilid spiral, sampulnya terbuat dari kulit imitasi berwarna hitam, dan setiap halamannya terdapat kotak-kotak kosong. Di dalam setiap kotak terdapat angka yang menunjukkan tanggal hari itu. Setiap kotak berfungsi untuk membingkai satu episode hidup saya. Sebelum saya melakukan apa yang tertulis dalam agenda itu, saya akan mengisi kotak-kotaknya dengan kelas-kelas yang saya ajar, orang-orang yang menjadi teman makan siang saya, rapat-rapat komita yang tidak pernah habis, dan semua ini hanyalah hal-hal yang tidak boleh saya lupakan. Saya juga mengisi kotak-kotak itu dengan hal-hal yang tidak saya catat sebagai hal yang perlu diingat: ribuan cangkir kopi, beberapa percintaan, beberapa doa, dan, saya harap, isyarat meminta tolong kepada tetangga. Apa pun yang saya kerjakan harus muat dalam kotak-kotak itu. Saya menjalani satu kotak setiap hari. Empat garis yang membentuk kotak itu adalah dinding-dinding waktu yang mengatur hidup saya. Setiap kotak mempunyai pintu yang tak kasatmata menuju kotak selanjutnya. Tampaknya ketukan yang pelan saja akan membuka pintu itu dan sebuah magnet akan menarik saya ke kotak satunya. Di sana saya akan, sekali lagi, mengisi penjara waktu yang mengurung saya -- mengisinya dengan kesibukan saya seperti yang saya lakukan pada kotak sebelumnya. Sementara saya semakin tua, kotak itu terlihat semakin menyempit. Satu hari nanti saya akan memasuki sebuah kotak yang tak berpintu. Tidak akan ada lagi pintu yang terbuka secara misterius. Tidak akan ada lagi langkah menuju kotak di sebelah. Salah satu dari kotak-kotak itu akan menjadi terminal. Saya tidak tahu kotak yang mana itu."

* * *

"Setiap orang harus membawa dua lembar kertas dan memperhatikan keduanya setiap hari. Pada salah satu kertas tertulis: 'Kamu seperti debu dan abu.' Dan pada kertas yang satunya tertulis: 'Karena bagimulah alam semesta diciptakan.'"
~ perkataan Rabi

October 16, 2010

Kepala Sekolah yang Mengenal Semua Muridnya

Beberapa hari lalu, saya membuat tulisan tentang Kristalisasi Pengalaman. Saat itu ada pengalaman menarik dengan guru matematika yang sekaligus guru biologi.

Peristiwa yang sangat langka, karena memang saya belum pernah mengalami sebelumnya, hari pertama menjadi siswa SMP, setelah perkenalan, langsung ulangan. Jadual saat itu adalah pelajaran matematika, tapi ulangannya adalah soal biologi. Pengalaman yang sangat berkesan dan tidak terlupakan dari SMP.

Tapi pengalaman berkesan tidak berhenti di sana. Karena di SMA juga banyak pengalaman yang lebih berkesan lagi. Pengalaman berkesan di SMA adalah tentang meminjam buku di perpustakaan dan tentang kepada sekolah.

Pernah mengenal seorang kepala sekolah yang mengenal semua siswanya? Tentu siswanya tidak sedikit. Dialah Bruder G. J. W. Peters. Bruder kelahiran Belanda yang menjadi warga negara Indonesia, yang ingin mendidik manusia Indonesia. Dia mengenal semua siswanya. Setiap bulan kepala sekolah ini ke kelas membagi nilai bulanan. Setiap siswa sudah membuat urutan mata pelajaran di kertas atau buku masing-masing,  sebelum mencatat nilainya ke buku besar daftar nilai semua siswa yang dibawa Bruder. Saat itulah dia berinteraksi dengan setiap siswa. Setelah beberapa bulan, maka Bruder ini sering tidak lagi memanggil nama seseorang, tapi memanggil nama kampung atau asalnya.

Kemudian saya mengingat dan mengenang lagi bruder ini karena tulisan sebelumnya tentang kristalisasi pengalaman dan tentang '17 Agustusan'.

Semua orang yang mengenalnya mengetahai bahwa Bruder ini seorang yang disiplin. Beliau menjadi kepala sekolah selama tujuh belas tahun. Bruder ini juga sekaligus pelatih sepakbola. Satu pengalaman menarik adalah ketika menjadi pemain sepakbola di bawah bimbingannya. Bagi siswa baru yang mengambil ekstrakurikuler sepakbola, maka sudah cukup tahu bahwa Bruder ini sangat disiplin, tapi tidak terlalu tahu bagaimana caranya Bruder ini merealisasikannya.

Saat itu, semua pemain sepakbola ada di lapangan termasuk yang tidak bermain. Di pinggir lapangan tidak ada tempat berteduh yang terlindung dari hujan. Setelah bermain setengah jam, tiba-tiba hujan turun deras. Sangat deras. Maka sebagian pemain mencari tempat berteduh, terutama yang tidak bermain saat itu. Ada juga yang sedang bermain, lari dan keluar dari lapangan untuk berteduh.

Karena hujan deras, Bruder yang sudah berumur dan selalu memegang pluit ini tidak bisa memanggil semua pemain. Dia hanya mengatakan, jangan berhenti, jangan mencari perlindungan berteduh, dan terus bermain.

Ketika hujan sudah reda, dan memang waktu latihan sepakbola sudah cukup waktunya. Semua pemain dikumpulkannya lagi. Dan terjadilah yang menarik dan mengagetkan. Semua pemain termasuk yang tidak sedang bermain, yang mencari perlindungan untuk berteduh, dipecat. Tidak boleh lagi ikut ekstrakurikuler sepakbola lagi.

Saya mengenangnya pada bulan Agustus ini karena juga mengingat kebijakannya yang tidak umum di kota itu. Bruder ini memperbolehkan siswa pria memanjangkan rambut. Dan memang siswa-siswa yang gemar memanjangkan rambut seperti surgalah sekolah ini. Dia juga memberi ruang untuk segala seni yang mampu dilakukan oleh para siswa/i. Tapi di sisi lain, rambut yang panjang tidak boleh alasan untuk menjadi tidak disiplin.

Maka setiap tanggal 17 Agustusan, seperti biasa, di lapangan kota, diadakan Upacara Detik-detik Proklamasi. Ternyata anggapan umum, orang terutama siswa yang ikut upacara tidak boleh yang berambut gondrong. Tapi Bruder ini tidak peduli dengan itu, dia selalu mengirim orang yang berambut gondrong untuk upacara. Ternyata siswa-siswa yang berambut gondrong ini membuat 'malu' beberarpa orang di kota, terutama yang 'berwenang'. Tapi siapakah yang berwenang dalam hal upacara Detik-detik Proklamasi? Siapakah warga negara Indonesia? Sejak kapan seorang yang berambut gondrong tidak boleh mengikuti upacara kemerdekaan? Siapa yang lebih merdeka yang berambut gondrong atau yang tidak boleh berambut gondrong?
:-)

Dan bruder ini tidak pernah patuh untuk tidak menggondrongkan siswa prianya, sampai akhir kepala sekolahnya bahkan sampai akhir hidupnya.

Tapi kejadian yang paling menakutkan adalah yang sering terjadi hampir merenggut nyawanya. Kepala sekolah ini selalu mengendarai sepeda motor vespa. Sebenarnya vespa ini berwarna biru muda, tapi karena dipakai terus-menerus tanpa henti, maka jadilah warnanya bukan lagi biru, tapi warna aus. Apa itu warna aus? Ya, tidak berwarna lagi. Tapi menjadi semakin menakutkan karena lampu samping yang seharusnya warna kuning atau jingga, juga tidak lagi berwarna.

Karena kalau datang memasuki gerbang sekolah, maka Bruder ini harus menyalib ke kanan, karena sekolah berada di sebelah kanan. Sering terjadi hampir kecelakaan karena bruder ini langsung menyalib ke kanan. Para supir angkutan dan mobil di belakangnya kaget karena tidak melihat lampu samping kanan Bruder ini aktif. Ternyata, memang warna penutup lampu sampingnya memang sudah aus juga. Kejadian rem mendadak ini sangat sering terjadi, dan para siswa akan sangat cepat berhamburan ke gerbabg sekolah, jika mendengar suara rem mendadak ini.
:-)

Tapi secara pribadi yang paling berkesan kepada saya adalah Catatannya yang mengizinkan saya meminjam buku tidak hanya dua (seperti aturan) tapi boleh sampai sepuluh buku sekaligus.
:-)

Terima kasih, Bruder G. J. W. Peters!
Terima kasih, Guru dan Pelatihku!

October 9, 2010

Kristalisasi Pengalaman

"Seorang anak yang hanya dididik di sekolah, bukanlah anak yang terdidik."
~ George Santayana (1863 – 1952); filsuf dan sastrawan Amerika kelahiran Spanyol

* * *

Tadi pagi, seorang sahabat mengajak saya untuk bertukar pikiran. Sahabat ini ternyata membaca-baca Notes yang saya tulis. Menarik, walaupun membacanya dan pengakuannya ada yang dibacanya berkali-kali, dia belum pernah berkomentar. Alasannya tidak berkomentar adalah karena takut salah.

Tapi tadi pagi, diberanikannya dirinya tidak hanya berkomentar tapi langsung menuliskan sesuatu dalam hatinya yang sudah tidak tahan lagi dipendamnya, yakni menuliskan sesuatu, yakni mengenai pendidikan.

Ternyata sahabat ini sangat concern dengan pendidikan, terutama pendidikan anak. Saya senang sekali membaca ungkapannya, dan lebih senang lagi, karena ada tambahan catatan di bawah tulisannya: "Ini adalah tulisan terpanjang yang saya buat setelah lulus dari universitas." Dia tidak tahan harus menuliskannya kepada saya, karena saya pernah menuliskan bahwa saya pernah menghadiri suatu acara alumni universitas, dan ketika saya buat pertanyaan kecil-kecilan mengenai membaca buku, nyata bahwa tak satu pun alumni perguruan tinggi ini yang membaca satu buku dengan tuntas setelah tidak ke kampus lagi. Lalu menurut pengakuan sahabat tadi, dia semakin tidak tahan karena saya pernah menuliskan bahwa sekolah formal adalah sekolah yang paling minimal.

Dan beberapa hari lalu ketika saya menuliskan Notes tentang anak-anak yang unik dan ajaib, ada juga yang tergolong tidak peduli dengan pendidikan. Sepertinya baginya pendidikan adalah sesuatu yang sudah buruk. Tapi tentulah tidak demikian kenyataannya. Semua kita adalah pendidik. Jika bukan kepada anak didik (jika kita misalnya guru), ya kepada tetangga, kepada anak tetangga, kepada keponakan, atau kepada siapa saja. Kalau pun dianggap pemikiran seseorang tidak kompeten, tapi jelaslah orang berpikir tentang pendidikan saja sudah sesuatu yang baik dan hebat. Karena pendidikan adalah hal yang paling fundamental bagi seseorang, bahkan bagi sebuah bangsa.

Pemikiran atau awareness seseorang tentang pendidikan juga sudah sesuatu yang membangkitkan semangat bagi dirinya tentang perlu dan mutlaknya pendidikan. Jika pun itu belum terealisasi kepada orang lain, setidaknya kepada diri sendiri.

Padahal pagi-pagi tadi, saya membaca hal-hal tentang pendidikan juga. Jadi seperti sinkronisitas dengan tulisan sahabat ini. Saya mendapatkan yang menarik tadi pagi tentang, kristalisasi pengalaman. Kristalisasi pengalaman adalah hal yang dialami seseorang (dulu) yang membuat perubahan besar, setidaknya yang menciptakan atau membuat ingatan yang tidak lekang oleh waktu, bahkan kadang-kadang yang memunculkan bakat, kesenangan, talenta, dan apa pun yang membuat hidup seseorang lebih hidup, lebih bermakna. Bahkan dari beberapa kristalisasi pengalaman itu, termasuk juga mengubah peradaban manusia di bumi ini lewat tokoh-tokoh yang mendunia yang akibanya pun tentu mendunia.

Setelah membaca beberapa pengalaman yang terkristal dari beberapa orang, saya pun teringat beberapa pengalaman yang tidak terlupakan sampai sekarang. Beberapa kristalisasi pengalaman itu adalah dari seniman, ilmuwan, penyair, dan filsuf.

Albert Einstein, fisikawan besar, ketika masih anak-anak, menjadi tidak bisa diam karena instrumen sains yang didapatkannya, yakni kompas dan buku geometri. Einstein sangat takjub dengan kompas, dan bertanya terus-menerus dan menyelidikinya, "Mengapa kompas bisa selalu menunjuk ke arah yang sama?"

Yehudi Menuhin, seorang pemain biola dan konduktor hebat, mendapatkan pengalaman anak-anaknya ketika menonton orkestra simfoni di San Francisco. Dia terkenang terus dengan pengalamannya menonton orkestra itu.

Johann Wolfgang von Goethe, jenius Jerman, pemikir dan penulis berpengaruh dan yang menguasai beberapa bahasa itu sangat terkesan dengan ajakan neneknya. Goethe yang memiliki karya besar di bidang puisi, drama, teologi, filsafat dan sains, ketika anak-anak diajak neneknya menyaksikan teater boneka, sebelum sang nenek meninggal.

Noam Chomsky, seorang pakar linguistik (profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT)), ilmuwan kognitif dan aktivis politik, memiliki pengalaman yang tidak terlupakan ketika suatu kali menemukan kertas hasil koreksi ayahnya tentang tata bahasa Yahudi.

Jorge Luis Borges, sastrawan Argentina, terinspirasi dari suatu ruangan di rumahnya, tepatnya perpustakaan ayahnya. SampaiLuis Borges membuat ungkapan humor, bahwa dia tidak pernah bermain di luar perpustakaan itu.

Itulah beberapa tokoh yang mengalami sesuatu yang menjadi kristalisasi pengalaman bagi dirinya, bahkan itulah yang menjadi flowyang terjadi terus-menerus kepada mereka. Flow, adalah istilah yang diciptakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, psikolog dan profesor psikologi tentang suatu aktivitas di mana seseorang terkonsentrasi penuh dan benar-benar menikmatnya sampai benar-benar lupa dengan hal lain.

Tulisan sahabat tadi sangat berhubungan dengan buku yang saya baca yang berisi flow dan kristalisasi pengalaman dari beberapa orang tadi. Karena menurut sahabat tadi, bahwa di negeri ini pendidikan tidak menciptakan ruang untuk menghasilkan atau menciptakan momen-momen atau situasi yang mungkin menjadi pengalaman yang mengubah seseorang menemukan bakat, talenta atau potensinya.

Lalu, secara pribadi, seraya membaca kristalisasi pengalaman beberapa orang tadi, saya mengingat beberapa pengalaman menarik ketika masih siswa SMP. Saat itu hari pertama menjadi siswa SMP. Karena hari pertama, tentu para siswa belum memiliki jadual mata pelajaran. Masuklah guru ke dalam kelas, seorang Bapak. Setelah perkenalan, Bapak Guru mengatakan jadwal sekarang adalah matematika. Tapi karena menurut perkataannya, dia juga guru biologi, maka dia boleh menyampaikan matematika atau biologi.

Tiba-tiba Bapak Guru ini berkata, "Ambil secarik kertas. Tuliskan nama di bagian atas. Kita ulangan. Sudah siap? Soalnya hanya satu. Ingat, soal tidak perlu dicatat. Ingat saja. Soalnya adalah 'Sebutkan ciri-ciri makhluk hidup!'"

Pengalaman itu sampai sekarang saya ingat. Gurunya adalah Bapak M. Naibaho yang membuat dan menghidangkan matematika begitu indah. Pengalaman itu tidak terlupakan karena, pada hari pertama menjadi siswa SMP, setelah perkenalan, langsung ujian. Jadual adalah mata pelajaran matematika, tapi ujiannya adalah mata pelajaran biologi.

Lalu bagi para Sahabat, apa yang menjadi satu yang tergolong Kristalisasi Pengalaman itu?
:-)

Bolehlah dibagi!

* * *

"Bacaan adalah khayalanku. Aku di sini tanpa ikatan. Tidak ada perasaan yang merintangi aku, yang menutupi aku dari wacana yang manis dan ramah dari teman-temanku: buku-buku. Mereka berbicara padaku tanpa perasaan malu dan canggung."
~ Helen Keller (1880 – 1968)

Ngomong-omong, ada yang belum mengetahui Helen Keller?