Pernah suatu kali saya menjawabnya dengan nada bercanda, "Matikan saja televisinya, dan coba berhenti sejenak mendengarkan dan membaca berita."
Yang mau disampaikan adalah tentang apa yang harus kita baca agar berita-berita dan informasi yang beragam itu tidak membingungkan. Tapi bagaimana kita bisa menjelaskan itu? Kita harus meneliti dan mengamati lebih lengkap segala sumber berita yang ada. Walaupun begitu, kita bisa mengerti maksudnya.
Pertanyaan itu dipicu oleh suatu kejadian tapi diberitakan oleh banyak media dengan berbagai macam versi. Apakah fakta berbeda bagi setiap orang? Pengertian tergantung bagaimana dia menyikapi dan memaknainya. Bagaimana persepsinya tentang kejadian itu.
Berita
Berita yang muncul di televisi dan koran-koran, bukanlah fakta yang sebenarnya yang disampaikan. Kebanyakan adalah pendapat-pendapat, opini, asumsi, dan logika-logika. Yang aneh, terlalu banyak pendapat dan asumsi yang tidak masuk akal lagi. Lalu apa itu berita?
Ketika rekaman di Mahkamah Konstitusi diputar, lalu gemparlah suasana, hal yang mirip yang selama ini diduga ternyata ada rekamannya. Lalu pejabat-pejabat mungkin bertanya seolah-olah menyangkal dan tidak mengakui, "Periksa dulu, aslikah rekaman itu?"
Keaslian penting, tapi pertanyaan yang paling fundamental adalah bukan itu, tapi, "Benarkah percakapan dalam rekaman itu, terjadi?" Titik berangkatnya bisa dari sana.
Kita kutip beberapa 'berita' dari buku How the News Makes Us Dumb, karya C. John Sommerville, tentang pembodohan di tengah masyarakat informasi.
Times (London), 17 Desember 1988: "Reaksi Yahudi Amerika penghinaan pada perubahan kebijakan."
Guardian (London), hari yang sama: "Kurangnya protes politik yang keras dari Yahudi menyebabkan keheranan di Washington."
Atau,
Washington Post, 26 Oktober 1988: "Keuntungan Washington Post mencapai 23 persen dalan triwulan ketiga."
New York Times, pada hari yang sama: "Penurunan keuntungan pada Washington Post."
Kita mungkin geli membacanya karena mungkin ada unsur-unsur kompetisi dan pesanan. Lalu bagaimana dengan ini?
New York Times, 24 Maret 1989: "Dalam industri mobil, Amerika membuat kemajuan."
Harian yang sama, hari yang sama: "Penjualan kendaraan Amerika lambat."
Walaupun 'berita' di atas lucu masih tergolong normal. Lalu bagaimana dengan pendapat yang tidak logis? Bahkan sampai muncul juga istilah yang tergolong jarang di media lompatan logika?
Tentu untuk dapat memaknai rekaman dan segala yang terjadi yang terekam, tidak bisa hanya mengandalkan informasi dan pengetahuan yang terekam. Jauh lebih banyak dan kompleks daripada itu. Walaupun mungkin tidak detail tahu tentang segalanya, tapi setidaknya yang penting untuk dicermati, jika si A menelepon si B, kita langsung berpikir siapa A, siapa B, apa urusannya, dan apa isi pembicaraannya, apa kewenangannya, dan masih banyak lagi yang sangat relevan.
Kembali menurut C. John Sommerville, tentang berita dan membaca sesuatu yang substansial,
"Jadi bagaimana Anda pribadi dapat belajar menetap dalam dunia Anda dan bukan mengamatinya? Marilah kita berhenti berpikir tentang apa yang harus kita lakukan. Itulah cara berpikir berita yang berbicara kepada kita dengan menggunakan suara publik khayalan, dan yakin bahwa kita semua bersedia ikut bersama mereka. Terimalah kenyataan bahwa kita berbeda-beda dan bahwa Anda harus mencari komunitas dan budaya yang membuat Anda merasa di rumah sendiri.
Sama seperti kita membutuhkan hubungan dengan orang lain, pikiran kita pun perlu diberi makanan. Berita bukanlah jawabannya. Tetapi kalau pikiran Anda diisi dengan makanan-makanan yang tidak bermanfaat, maka ada kekosongan yang perlu diisi. Anda perlu melakukan diet berita, mencoba menguranginya secara bertahap dan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih substansial hingga Anda terbiasa dengan pola makan yang baru. Nikmati seluruh hidangan, jangan hanya mengecap sebagian. Bahkan buku biografi para selebriti akan bermanfaat bila dibaca secara utuh bukan sepenggal-sepenggal dalam bentuk gosip di media.
. . .
Sesungguhnya, ketika Anda tenggelam dalam sebuah buku, Anda akan terkejut dengan kedangkalan informasi tentang dunia yang disampaikan berita. Mengawali terapi ini, Anda tidak perlu langsung melepaskan surat kabar harian Anda, karena ada begitu banyak topik selain berita di sana."
Budaya Membaca
Bagaimana menyikapi begitu banyaknya berita sangat membutuhkan cara berpikir kritis. Dan ini sangat relevan dengan budaya baca yang lebih hebat lagi, bagi sebanyak-banyaknya insan di negeri ini. Semakin banyak semakin baik, semakin cepat semakin cerdas. Seperti kata Yudi Latif, bahwa pikiran dan keberaksaraan adalah pertanda kemajuan.
Bagaimana budaya baca insan bangsa kita? Sudah banyak yang mencoba mengumpulkan data dan menganalisisnya. Budaya baca, budaya tulis, sangat relevan dengan kemajuan manusia, kemajuan suatu bangsa, suatu peradaban.
Dalam Menyemai Karakter Bangsa - Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan, Yudi Latif menuliskan sesuatu yang reflektif,
"Penaklukan daya pikir dan daya literasi oleh pragmatisme dan banalisme membuat mindset kebangsaan kehilangan daya refleksivitasnya. Tanpa kemampuan refleksi diri, suatu bangsa kehilangan wahana pembelajaran untuk menakar, memperbaiki, dan memperbaharui dirinya sendiri.
Tanpa kapasitas pembelajaran, bangsa Indonesia (secara keseluruhan) bergerak seperti zombie. Pertumbuhan penampilan fisiknya tak diimbangi dengan pertumbuhan rohaninya. Tampilan luar dari kemajuan peradaban modern segera kita tiru, tanpa penguasaan sistem penalarannya. Sebagai pengekor yang baik dari perkembangan fashion dunia, kita sering merasa dan bergaya seperti negara maju. Padahal secara substansif, tak ubahnya seperti Peterpan yang mengalami fiksasi ke fase "kanak-kanak" (jahiliyah). Bahkan bisa lebih buruk lagi. Dalam kasus strategi kebudayaan, kita cenderung mempertahankan yang buruk dan membuang yang baik.
Dalam situasi demikian, gerakan kebudayaan yang mengeluhkan apa yang disebut Taufiq Ismail sebagai generasi nol buku, yang berpotensi mengalami kelumpuhan daya tulis, daya baca, dan daya pikir, secara tepat menyasar pusat syaraf kelumpuhan kebudayaan Indonesia."
Referensi:
1. How the News Makes Us Dumb - C. John Sommerville
2. Menyemai Karakter Bangsa - Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan - Yudi Latif
5 comments:
Ketika saya kuliah dulu, saya belajar bahwa setiap media mempunyai "budaya"nya sendiri-sendiri. Dimana "budaya" tersebut tercermin dalam penulisan berita yang disajikan kepada pembacanya.
Pembaca tentu saja harus memilih "komunitas"nya yang sesuai dengan "budaya" si pembaca.
Saya setuju dengan pendapat Mas Frans, mengisi pikiran tidaklah lewat berita, tetapi lewat membaca buku.
Berita adalah tambahan informasi yang memperkaya kehidupan.
Bagi saya, tantangan terbesar adalah menumbuhkan budaya membaca, yang entah kenapa sulit sekali ditumbuhkan.
Benar sekali Bu.
Tulisan itu adalah untuk memicu siapa saja agar membaca, membaca dan membaca. Memang membaca koran atau tabloid atau majalah pasti sangat bermanfaat, tapi alangkah lebih jitu dengan membaca buku.
Komentar tentang budaya membaca itu seperti kata Bu Tere sudah ramai juga di Facebook, karena hampir bersamaan saya tampilkan sebagai Notes di Facebook.
Terima kasih, komentar yang menginspirasi untuk membaca (buku).
Frans. Nadeak
Terus terang saya tidak suka dengan berita, dalam arti kata membaca koran atau dengar di media elektronik tentang berita in detail. Cukup saya tau ada gempa, ada bangkrutnya bang dsb.
Membaca pun tidak bisa sembarangan, karena mesti mengenal siapa pengarang, dari aliran mana dsb. Intinya saya lebih suka membaca yg konstruktif, menginspirasi dan yg positif. Dari sisi linguistic (krn mungkin interest saya emang di situ), kita bisa taulah, dari gaya bahasa dsb.
Makasih Bung Frans buat sharingnya.
Thankyou, membaca dan budaya berpikir kritis,kreatif dan analitis harus lah di tekan kan. Jangan menjadi''manusia robot''
informasi yang sangat berharga, membuka satu jalur lagi dalam kehidupan saya. Terima kasih bung Frans.
Post a Comment