"Bacaan hanya melengkapi akal budi kita dengan bahan-bahan untuk pengetahuan. Justru berpikirlah yang membuat apa yang kita baca menjadi milik kita."
~ John Locke (1632 - 1704), filsuf Inggris
* * *
Salah satu yang menarik untuk diamati atau diperbincangkan adalah orang-orang yang mencoba dan berusaha untuk menghafal seluruh kalimat, dalam sebuah buku misalnya. Barangkali buku yang sering dicoba untuk dihafal seluruh ayat-ayat atau teks tanpa kurang sesuatu adalah sebuah kitab suci.
Tentu menghafal sebuah isi buku ada manfaatnya. Kalau kita menghafal seluruh ayat-ayat kitab suci adalah bermanfaat, tapi seberapa bermanfaatkah itu jika kita tidak memahaminya?
Lagi pula, apakah menghafal itu pada zaman sekarang sesuatu yang harus perlu dilakukan oleh manusia terutama misalnya menyangkut teks yang sangat besar? Bukankah sudah ada komputer yang tanpa berpikir pun, bisa langsung 'menghafalnya'? Atau jika terhubung ke internet, bukankah sudah ada perpustakaan Google yang menyediakan 'hafalan' itu?
* * *
Beberapa sahabat bertanya tentang hafalan. Pertanyaannya kira-kira seperti ini, "Bagaimana caranya kita menghafal sesuatu dengan cepat dari majalah atau buku yang kita baca?"
Lalu saya berpikir sebentar. Selama ini, saya misalnya, tidak pernah menghafal sesuatu secara khusus. Saya seperti mengetahui saja bahwa ide tertentu ada di buku tertentu atau ada di hal tertentu. Walaupun saya tidak menghafal persis bahkan seluruh urutan kata-katanya.
Saya hanya mencoba menghafal sesuatu yang cukup panjang adalah ketika masih siswa sekolah dasar (SD) yakni Janji Siswa, dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Juga beberapa lagu daerah, umpamanya lirik lagu, Apuse yang berasal dari Irian, atau Papua kini. Dan setelah menghafal itu pun, saya bertanya mengapa saya harus menghafalnya? :-)
Sepertinya kalau kita mempelajari suatu hal, dan memahami artinya, maka sudah lebih daripada cukup. Dan apa yang kita pahami itu sudah seperti menghafal saja, walaupun tentu tidak menghafal dalam pengertian mengingat semua huruf demi huruf, kata demi kata, atau kalimat demi kalimat secara utuh dan sempurna. Tapi yang paling penting kita memahaminya, dan kalau mau mengutip atau menyalin misalnya tinggal melihat teks itu secara langsunng di buku, atau di layar lewat komputer dan perpustakaan Google tadi.
* * *
Saya teringat akan seorang sahabat wanita yang awalnya tidak peduli dengan penyakit kanker. Keyakinannya, dia tidak akan mengidap penyakit kanker, dan dia pun berkata tidak akan perlu dan tidak bisa mengetahui tentang penyakit itu.
Jadi dia pun berkata, dia tidak akan pernah mengerti dan tidak peduli tentang penyakit itu. Tapi apa yang terjadi? Suatu saat, ketika seorang temannya terdeteksi mengidap kanker serviks, maka dia pun kaget. Temannya itu pun membujuknya untuk diperiksa juga. Ternyata, dia pun juga terdeteksi kanker serviks.
Kemudian apa yang terjadi? Sangat menarik. Dia terkejut, dan dalam 'sekejap' dia bisa dengan cepat mengerti tentang segala seluk beluk kanker serviks. Dalam satu beberapa hari dia mengumpulkan semua data, fakta-fakta, informasi, dan semua pengetahuan yang bisa didapatnya tentang kanker serviks itu.
Bahkan dalam beberapa minggu, dia sudah mengetahui banyak hal terutama kanker yang secara khusus terkait dengan tubuh wanita.
* * *
Jill Price, Manusia Pengingat Segalanya
Sedikit berbeda dengan tindakan atau kemampuan menghafal, beberapa bulan yang lalu, saya terkesima menonton seorang ibu, Jill Price, yang bisa mengingat seluruh hal yang pernah dialaminya. Jill Price saya lihat saat acara The Oprah Winfrey Show. Jill Price berkata, dia bisa mengingat seluruh peristiwa yang diketahuninya, sejak berusia 14 tahun. Jika kita beri sebuah tanggal tertentu, maka Jill bisa menyampaikan banyak hal yang terjadi hari itu.
Saat itu Oprah bertanya kepada Jill secara acak, "Kapan John Lennon terbunuh?" Jill dalam hitungan detik menyampaikan tanggal 8 Desember 1980, tepat dengan harinya, Senin dan saat dia kelas 10. Jill dapat memberitahu apa saja yang terjadi saat itu secara detail dan semua hal-hal kecil yang terjadi. Jill mengaku dia menyadari memorinya berbeda dengan yang lain sejak berusia 12 tahun.
Jill mengatakan sejak berumur 15 tahun, dia membuat jurnal harian. Tulisan ini bukan untuk mengingat apa saja. Setelah dia menuliska sesuatu dia tidak melihatnya lagi. Itu dibuatnya hanya untuk memastikan bahwa apa yang diingatnya adalah benar terjadi.
Yang menarik, semua hal yang terjadi, yang diingatnya adalah semacam mengganggu dan membuat seperti penyakit baginya.
Bahkan ingatannya yang fenomenal itu tidak membantunya di sekolah. Dia berkata kejadian-kejadian itu tidak dia hafal, tapi seperti tahu saja. Pengakuannya, dia kesulitan menghafal dan mengingat dengan baik lirik sebuah sajak atau puisi, semasa sekolah.
Dr. Oz, narasumber saat acara itu mengatakan bahwa dia mengingat sesuatu tidak seperti orang belajar. Pada umumnya orang belajar lewat pengulangan dan konsentrasi, Jill memiliki memori emosional. Jill mengingat saja.
* * *
Bagaimana kegiatan menghafal dan memahami ini jika dikaitkan dengan pembelajaran dan pendidikan? Kembali ke pertanyaan awal, apa yang kita dapat kalau kita menghafal tapi tidak memahami apa yang kita hafal? Bagaimana kalau kita ingat dengan pernyataan John Locke di awal, "Bacaan hanya melengkapi akal budi kita dengan bahan-bahan untuk pengetahuan. Justru berpikirlah yang membuat apa yang kita baca menjadi milik kita."
Bagaimana kita memahami segala sesuatu, misalnya teks, fakta-fakta, atau informasi? Bagaimana akal sehat kita menyikapi dan memaknai itu semua? Agar itu kita mengerti mungkin kita dapat melakukan sesuatu terhadapnya, misalnya menganalogi, mencampur, mengelompokkan, mengombinasi, membandingkan, memeriksa, mengukur, mempertanyakan, menyeleksi, membuat spekulasi, menyintesis, menguji, dan atau menghubungkannya dengan yang lain. Dengan cara seperti ini, maka dari teks, fakta-fakta, atau informasi tadi, kita mendapatkan sesuatu yang baru, mungkin berupa ide, keinginan, kreativitas, pemikiran, bahkan imajinasi yang lebih banyak, luas dan tak terbatas.
Agar semua itu menjadi sesuatu yang lebih daripada sekadar menghafal adalah membuatnya menjadi sesuatu yang menjadi pengetahuan, wawasan, pemahaman, kebijaksanaan, dalam bentuk pemikiran dan juga tindakan. Sesuatu yang lebih bermanfaat bagi kita, bagi kemajuan dan kelanjutan manusia.
* * *
"Manusia atau pun bangsa tidak dapat bertahan tanpa ide yang agung."
~ Fyodor Dostoyevsky (1821 – 1881); penulis Rusia
"Kita, sewaktu membaca, harus menjadi orang Yunani, Romania, Turki, pendeta dan raja, martir dan algojo; harus menempelkan gambar-gambar tersebut menjadi semacam realitas dalam pengalaman rahasia kita, atau kita tidak akan belajar apa-apa secara benar."
~ Ralph Waldo Emerson (1803 – 1882); penyair dan filsuf Amerika
"Start by doing what's necessary; then do what's possible; and suddenly you are doing the impossible.” ~ St. Francis of Assisi
April 29, 2010
April 15, 2010
Tanjung Periok Berdarah - [Heri Latief] > Mengenang Tragedi Tanjung Priok 2010
Tanjung Periok Berdarah
suatu malam yang dingin berkabut di bulan oktober 1984, aku ada di neumunster (jerman barat). malam itu ada tamu dari jauh, yang mengabarkan kekejaman rezim suharto membabat rakyat di jalanan dengan senjata buatan amerika.
air mata berlinang, rasanya hati tertusuk bayonet, sakitnya terasa sampai sekarang. kekerasan negara terulang, setiap hari rakyat kecil hanya bisa makan sekali, itu pun kalau ada rejeki. sedangkan birokrasi asik beramai-beramai-berkorupsi.
kemarin malam di euronews diputar berulang-ulang kekejaman aparat negara mengeroyok, menginjak-injak, dan memukuli demonstran.
lalu buat apa negara-negara kaya mendukung rezim yang suka kekerasan seperti ini? buat apa kita punya pengetahuan dan rasa kemanusian jika membiarkan kekejaman terjadi di depan mata batin kita?
kawan-kawan yang baik, kabarkanlah ke seluruh dunia, indonesia dijajah kembali oleh bangsanya sendiri.
Amsterdam, 15/04/2010
suatu malam yang dingin berkabut di bulan oktober 1984, aku ada di neumunster (jerman barat). malam itu ada tamu dari jauh, yang mengabarkan kekejaman rezim suharto membabat rakyat di jalanan dengan senjata buatan amerika.
air mata berlinang, rasanya hati tertusuk bayonet, sakitnya terasa sampai sekarang. kekerasan negara terulang, setiap hari rakyat kecil hanya bisa makan sekali, itu pun kalau ada rejeki. sedangkan birokrasi asik beramai-beramai-berkorupsi.
kemarin malam di euronews diputar berulang-ulang kekejaman aparat negara mengeroyok, menginjak-injak, dan memukuli demonstran.
lalu buat apa negara-negara kaya mendukung rezim yang suka kekerasan seperti ini? buat apa kita punya pengetahuan dan rasa kemanusian jika membiarkan kekejaman terjadi di depan mata batin kita?
kawan-kawan yang baik, kabarkanlah ke seluruh dunia, indonesia dijajah kembali oleh bangsanya sendiri.
Amsterdam, 15/04/2010
Apa Lagi Hendak Kau Ambil? - [Jeppe Indrawisudha] > Mengenang Tragedi Tanjung Priok
Apa Lagi Hendak Kau Ambil?
Di utara Jakarta perang batu, perang kayu
orang-orang bertanya,
berapa lagi?
Batok kepala kau pukuli,
punggung kurus kau sabeti
tangan patah, kaki patah.
Apa lagi?
Darah
ngucur tumpah.
Di Tangerang perang otot, perang suara
orang-orang Cina miskin
tangiskan tanya.
Apa mau kau ambil dari kemiskinan?
Apa mau kau renggut dari ketiadaan?
Apa mau kau curi dari keheningan?
Kau penjarah
seperti penjajah
kami lawan dalam sejarah. Catat!
Pamong-pamong palsu.
Praja-praja pongah.
Kau. Biadab!
Pulogadung, 14 April 2010
Di utara Jakarta perang batu, perang kayu
orang-orang bertanya,
berapa lagi?
Batok kepala kau pukuli,
punggung kurus kau sabeti
tangan patah, kaki patah.
Apa lagi?
Darah
ngucur tumpah.
Di Tangerang perang otot, perang suara
orang-orang Cina miskin
tangiskan tanya.
Apa mau kau ambil dari kemiskinan?
Apa mau kau renggut dari ketiadaan?
Apa mau kau curi dari keheningan?
Kau penjarah
seperti penjajah
kami lawan dalam sejarah. Catat!
Pamong-pamong palsu.
Praja-praja pongah.
Kau. Biadab!
Pulogadung, 14 April 2010
Mengenang Tragedi Tanjung Priok - Kepada Luka [oleh Syaiful Alim]
Kepada Luka
Tutuplah matamu
Mau kukecup lukamu.
Siapa yang tega melihat
Tubuhmu penuh sayat
Mayat-mayat yang dikerubungi lalat
Dekat kakimu memuntahkan bau busuk
Menusuk rahimmu yang sejuk.
Pisau-pisau risau
Menikam pualammu
Api menyala dari kepala
Membakar segala.
Anak-anakmu
Berteriak di jalan-jalan sesak
Menggenggam pisau dan kapak
Menggasak cagak-cagak air mata
Yang kau tegakkan berabad lama
Sementara polisi bagai polusi
Mencemari langit, menggemari jerit bumi.
Negeri ini ngeri!
Kami dilarang bernyanyi
Dibiarkan kami bermain dengan kelamin sepi
Mulut-mulut puisi dibekap
Dan para penyairnya disekap
Lalu siapa yang mendekap nyeri?
Penjahat-penjahat kelas kakap
Diberi izin melancong ke luar negeri
Dan naik haji
Sementara penjahit-penjahit kelas teri
Diinjak-injak harga diri mereka
Di negerinya sendiri
Negeri yang bagai pakaian
Yang membalut tubuh ringkih
Tertatih-tatih memunguti bebiji kancing baju
Peniti, jarum di pagi yang gelap
Matahari pun mulai enggan hinggap!
Elang-elang berhenti terbang
Mereka trauma dengan suara gelap: TANGKAP!
Berapa Ibu yang menangisi, menanti putra-putri mereka tak kunjung pulang.
Aku katakan cukup!
Cukup sudah
Luka-lukamu makin basah.
Kemarilah, kekasih
Tutuplah matamu
Mau kukecup lukamu.
Khartoum, Sudan, 2010
Tutuplah matamu
Mau kukecup lukamu.
Siapa yang tega melihat
Tubuhmu penuh sayat
Mayat-mayat yang dikerubungi lalat
Dekat kakimu memuntahkan bau busuk
Menusuk rahimmu yang sejuk.
Pisau-pisau risau
Menikam pualammu
Api menyala dari kepala
Membakar segala.
Anak-anakmu
Berteriak di jalan-jalan sesak
Menggenggam pisau dan kapak
Menggasak cagak-cagak air mata
Yang kau tegakkan berabad lama
Sementara polisi bagai polusi
Mencemari langit, menggemari jerit bumi.
Negeri ini ngeri!
Kami dilarang bernyanyi
Dibiarkan kami bermain dengan kelamin sepi
Mulut-mulut puisi dibekap
Dan para penyairnya disekap
Lalu siapa yang mendekap nyeri?
Penjahat-penjahat kelas kakap
Diberi izin melancong ke luar negeri
Dan naik haji
Sementara penjahit-penjahit kelas teri
Diinjak-injak harga diri mereka
Di negerinya sendiri
Negeri yang bagai pakaian
Yang membalut tubuh ringkih
Tertatih-tatih memunguti bebiji kancing baju
Peniti, jarum di pagi yang gelap
Matahari pun mulai enggan hinggap!
Elang-elang berhenti terbang
Mereka trauma dengan suara gelap: TANGKAP!
Berapa Ibu yang menangisi, menanti putra-putri mereka tak kunjung pulang.
Aku katakan cukup!
Cukup sudah
Luka-lukamu makin basah.
Kemarilah, kekasih
Tutuplah matamu
Mau kukecup lukamu.
Khartoum, Sudan, 2010
Mengenang Tragedi Tanjung Priok - Pada Sayap dan Pedangku [oleh Kupu Hitam]
Kemarin, Rabu, 14 April 2010
peristiwa berdarah terjadi di Tanjung Priok
mengenang peristiwa yang sepantasnya tidak terjadi..
Pada Sayap dan Pedangku
kembalikan sayapku Tuhan, agar aku bisa memilih ruang yang berbau anyir darah kemarin
melayang di atasnya, sebelum kuincar satu yang hendak ku buraikan selang-selang tubuhnya
kembalikan pedangku Tuhan, karena aku telah menemukan manusia bersayap durjana kemarin
yang meminum darah-darah gembala kebenaran, hendak kutebas tangannya berlumur nanah bocah lapar
kupincangkan kaki yang acapkali menginjak mulut-mulut menjerit keadilan
kembalikan Tuhan, kembalikan diriMu di telapak kaki ibu
sebelum airmatanya menenggelamkan tubuh anak-anak negeri
hanyut tanpa muara
kemarin
Kudus, 15 April 2010
peristiwa berdarah terjadi di Tanjung Priok
mengenang peristiwa yang sepantasnya tidak terjadi..
Pada Sayap dan Pedangku
kembalikan sayapku Tuhan, agar aku bisa memilih ruang yang berbau anyir darah kemarin
melayang di atasnya, sebelum kuincar satu yang hendak ku buraikan selang-selang tubuhnya
kembalikan pedangku Tuhan, karena aku telah menemukan manusia bersayap durjana kemarin
yang meminum darah-darah gembala kebenaran, hendak kutebas tangannya berlumur nanah bocah lapar
kupincangkan kaki yang acapkali menginjak mulut-mulut menjerit keadilan
kembalikan Tuhan, kembalikan diriMu di telapak kaki ibu
sebelum airmatanya menenggelamkan tubuh anak-anak negeri
hanyut tanpa muara
kemarin
Kudus, 15 April 2010
April 14, 2010
Persepsi - Makan dengan Tangan
Hari ini saya dikejutkan dengan perbincangan yang menarik, yakni tentang makan, tepatnya tentang makan menggunakan tangan. Maksudnya makan dengan tangan tanpa sendok dan garpu. Saya terkejut karena saya makan langsung menggunakan tangan tanpa cuci tangan terlebih dahulu.
Ketika itu, para sahabat merasa aneh, maka saya sampaikan saat itu, "Saya yakin dengan kebersihan tangan saya, maka saya makan langsung dengan tangan tanpa cuci tangan."
Tapi ternyata para sahabat sudah tidak tahan menunggu pendapat saya tentang makan dengan tangan itu. Kira-kira, bagaimana itu bisa terjadi, begitulah di benak mereka.
Karena yang makan bersama saya adalah sahabat-sahabat, maka perbincangan setelah setelah makan itu menjadi hangat dan seru.
* * *
Walaupun itu sebenarnya tentang tangan yang digunakan ketika makan tanpa mencucinya terlebih dahulu, tapi hal itu berhubungan dengan persepsi dan kepercayaan atau keyakinan.
Bahwa kita yakin dengan tangan kita, apa lagi yang mau diperbincangkan? Mengapa para sahabat tidak yakin dengan tangannya sendiri? Tapi itu adalah masih hal lain. Pertanyaannya barangkali lebih tepat, "Mengapa para sahabat tidak yakin dengan kebersihan tangan saya?"
:-)
Pernahkah kita naik bis, naik angkot, atau naik mobil yang bukan kita yang menyetir atau naik pesawat? Bagaimana kita bisa naik bis, angkot, mobil, atau pesawat jika kita tidak meyakini sopir atau pilotnya?
Mirip dengan itu, ada hubungannya dengan tentang mencuci tangan tadi. Pernahkah kita makan di warung Tegal (warteg) atau warung nasi Padang, atau makan soto atau pecel lele seperti banyak di pinggir jalan di Bandung atau Jakarta misalnya?
Bagaimana kita makan di sana? Kalau kita perhatikan dengan teliti maka piring, cangkir, lalapan atau bahkan makanan itu sendiri, apakah itu benar-benar bersih? Apakah air untuk mencuci semua alat-alat makan itu bersih?
Lalu apakah membersihkan piring-piring dan alat-alat makan lainnya sudah tergolong dicuci? Apa artinya mencuci? Jangan-jangan piring-piring dan alat lain itu lebih sering hanya diairi atau dibasuhkan dengan air. Apakah jika mengairi tangan lebih bersih daripada tidak?
Kita coba lebih teliti lagi. Misalnya ketika kita makan di warteg atau warung pecel lele, piring-piring sudah bertumpuk. Lalu jika pelayannya mau mengisi satu piring itu dengan nasi, maka dia mengelap piring itu. Kemudian jika pelayan mau mengisi piring berikutnya, maka pelayan juga mengelap piring dan piring berikutnya dengan lap yang sama, bahkan dengan bagian lap yang sama yang sudah mengelap piring-piring sebelumnya.
Jadi apa yang dilap oleh pelayan itu? Apa yang mau dibersihkan oleh pelayan itu. Kita anggap misalnya, debu. Lalu sebuah lap sudah penuh dengan debu karena mengelap banyak piring sebelumnya, maka lap ini juga mengelap piring-piring itu.
Artinya, tentang piring-piring itu, kita memiliki anggapan atau keyakinan bahwa itu bersih. Malah dibandingkan dengan tangan sendiri, kita sendiri jauh lebih mengetahui kebersihan tangan kita daripada kebersihan benda-benda yang baru kita dapati. Artinya, kita memiliki keyakinan tertentu tentang semua itu, maka jadilah kita melanjutkan acara yang penting dan nikmat itu: makan.
:-)
Ketika itu, para sahabat merasa aneh, maka saya sampaikan saat itu, "Saya yakin dengan kebersihan tangan saya, maka saya makan langsung dengan tangan tanpa cuci tangan."
Tapi ternyata para sahabat sudah tidak tahan menunggu pendapat saya tentang makan dengan tangan itu. Kira-kira, bagaimana itu bisa terjadi, begitulah di benak mereka.
Karena yang makan bersama saya adalah sahabat-sahabat, maka perbincangan setelah setelah makan itu menjadi hangat dan seru.
* * *
Walaupun itu sebenarnya tentang tangan yang digunakan ketika makan tanpa mencucinya terlebih dahulu, tapi hal itu berhubungan dengan persepsi dan kepercayaan atau keyakinan.
Bahwa kita yakin dengan tangan kita, apa lagi yang mau diperbincangkan? Mengapa para sahabat tidak yakin dengan tangannya sendiri? Tapi itu adalah masih hal lain. Pertanyaannya barangkali lebih tepat, "Mengapa para sahabat tidak yakin dengan kebersihan tangan saya?"
:-)
Pernahkah kita naik bis, naik angkot, atau naik mobil yang bukan kita yang menyetir atau naik pesawat? Bagaimana kita bisa naik bis, angkot, mobil, atau pesawat jika kita tidak meyakini sopir atau pilotnya?
Mirip dengan itu, ada hubungannya dengan tentang mencuci tangan tadi. Pernahkah kita makan di warung Tegal (warteg) atau warung nasi Padang, atau makan soto atau pecel lele seperti banyak di pinggir jalan di Bandung atau Jakarta misalnya?
Bagaimana kita makan di sana? Kalau kita perhatikan dengan teliti maka piring, cangkir, lalapan atau bahkan makanan itu sendiri, apakah itu benar-benar bersih? Apakah air untuk mencuci semua alat-alat makan itu bersih?
Lalu apakah membersihkan piring-piring dan alat-alat makan lainnya sudah tergolong dicuci? Apa artinya mencuci? Jangan-jangan piring-piring dan alat lain itu lebih sering hanya diairi atau dibasuhkan dengan air. Apakah jika mengairi tangan lebih bersih daripada tidak?
Kita coba lebih teliti lagi. Misalnya ketika kita makan di warteg atau warung pecel lele, piring-piring sudah bertumpuk. Lalu jika pelayannya mau mengisi satu piring itu dengan nasi, maka dia mengelap piring itu. Kemudian jika pelayan mau mengisi piring berikutnya, maka pelayan juga mengelap piring dan piring berikutnya dengan lap yang sama, bahkan dengan bagian lap yang sama yang sudah mengelap piring-piring sebelumnya.
Jadi apa yang dilap oleh pelayan itu? Apa yang mau dibersihkan oleh pelayan itu. Kita anggap misalnya, debu. Lalu sebuah lap sudah penuh dengan debu karena mengelap banyak piring sebelumnya, maka lap ini juga mengelap piring-piring itu.
Artinya, tentang piring-piring itu, kita memiliki anggapan atau keyakinan bahwa itu bersih. Malah dibandingkan dengan tangan sendiri, kita sendiri jauh lebih mengetahui kebersihan tangan kita daripada kebersihan benda-benda yang baru kita dapati. Artinya, kita memiliki keyakinan tertentu tentang semua itu, maka jadilah kita melanjutkan acara yang penting dan nikmat itu: makan.
:-)
Subscribe to:
Posts (Atom)