May 31, 2010

Sebuah Pelajaran dari Suku Dagara

"Betapa sedihnya dunia ini
tanpa anak-anak,
betapa tidak manusiawinya dunia ini
tanpa orang-orang lanjut usia."
~ Samuel Taylor Coleridge (1772 – 1834); penyair dan filsuf Inggris

* * *
Walaupun tidak gemar menonton televisi, bahkan menonton acara infotainment, gosip, atau sejenisnya, atau membaca tabloid-tabloid atau majalah-majalah yang berisi hal sejenis, selalu saja membuat saya sering senyum-senyum akan sesuatu yang juga paling sering ditampilkan di sana: acara pernikahan atau perceraian.

Iya, acara pernikahan dan segala pernik-pernik, tahap-tahap dan proses sebelum pernikahan. Kemudian juga hal yang sepertinya digandrungi (oleh acara itu) adalah perceraian.

Salah satu alasan satu pasangan bercerai atau berpisah adalah ketidakcocokan atau dengan kata lain ketidaksesuaian. Saya kira alasan itu ada benarnya, masuk akal, tapi juga sekaligus konyol.

Alasan masuk akal, karena sepertinya hal yang lumrah dua orang manusia tidak cocok atau tepatnya belum cocok. Kalau kita pikir dengan lebih jelas dan kita periksa dengan lebih teliti dan lebih luas, apakah memang banyak manusia lahir di dunia ini langsung cocok dengan yang lain?

Jangankan orang-orang yang bertemu setelah dewasa, orang-orang bersaudara yang seibu-seayah saja tidak terlalu banyak yang benar-benar cocok. Mungkin saja seseorang misalnya seorang pria Jawa, mempunyai seorang manusia bisa pria, bisa wanita yang benar-benar cocok, tapi manusia yang cocok ini berada di Meksiko, dengan asal, kultur, dan bahasa dan banyak hal lagi yang berbeda. Dan menariknya, misalnya, kedua manusia 'yang cocok' ini tidak pernah bertemu. Lalu, apa artinya kecocokan seperti itu?

Alasan konyol adalah karena kita melihat ketika pada saat acara pernikahan, sepasang manusia berjanji, atau berikrar, atau bersumpah dengan pasangannya untuk setia dan sehidup semati. Tidak ada disebut di sana 'sepanjang kecocokan masih ada."

Tentang yang seperti ini, saya jadi teringat akan pengalaman Rabbi Harold S. Kushner penulis buku yang sangat fenomenal tentang makna penderitaan, When Bad Things Happen to Good People. Rabbi Kushner suatu saat akan menikahkan pasangan Yahudi Amerika. Pengantin pria membuat satu permohonan kepada Rabbi Kushner. Permohonannya menarik. Pengantin pria mencoba membuat tawar-menawar dengan sang rabbi, agar 'ketika untung dan malang' sedikit dimodifikasi menjadi 'jika masih ada kecocokan'. Rabbi Kushner menolak menikahkan mereka dengan kalimat seperti itu.

Kalau kita mengingat satu hal pendapat Charles Darwin tentang beradaptasi, tentang makhluk hidup yang beradaptasi atau menyesuaikan diri, sepertinya manusia juga tidak terlalu penting harus bertemu dengan yang langsung cocok, tetap yang lebih menentukan adalah orang-orang yang menyesuaikan diri atau membuat komitmen. Binatang yang paling berhasil bukanlah binatang yang kuat tapi yang bisa menyesuaikan diri. Lalu, binatang saja bisa menyesuaikan diri, apalagi manusia?

Apakah seorang Jawa, memang sudah pasti cocok sebagai orang Jawa? Demikian juga orang Papua, Madura, Batak, Cina, Sunda, Minang, dan semua suku di dunia ini? Dia menjadi orang Jawa karena dari lahir sebagai orang Jawa dan dengan lingkungan dan segala sesuatunya membuat dia orang Jawa.

Dan kalau alasan kecocokan, mungkin hanya sedikit kebesaran dan kehebatan yang bisa dibuat oleh manusia. Karena untuk mencapai kebesaran, keutamaan, keluarbiasaan, seorang manusia memerlukan waktu, ketekunan, antusiasme dan hal yang seperti itu. Kalau alasan tidak cocok, mungkin di sepanjang perjalanan hidup, seorang manusia akan terlalu sering menemukan ketidakcocokan: tidak cocok dengan waktu, tidak cocok dengan alat, tidak cocok dengan cuaca, tidak cocok dengan angin, tidak cocok dengan kota, tidak cocok dengan presidennya, tidak cocok dengan manajernya, tidak cocok dengan anak buah, tidak cocok dengan dosen, tidak cocok dengan guru, tidak cocok dengan orangtua, tidak cocok dengan adat, tidak cocok dengan suku, dan sejuta alasan 'tidak cocok'.

Kembali ke acara atau upacara pernikahan. Secara umum, banyak manusia senang menghadiri acara atau upacara pernikahan. Dan seperti banyak kultur di belahan bumi ini, sering sepasang insan yang (akan) menikah itu dibuat menjadi raja dan ratu semalam. Dan yang sering terlupakan pernikahan bukanlah saat upacara pernikahan, itu baru titik awal untuk menjalani pernikahan. Jadi sebenarnya juga cukup konyol jika acara yang menjadi titik awal melangkah ini menjadi sorotan yang berlebih-lebihan, bahkan sering melupakan makna dan tujuan (acara) pernikahan itu sendiri.

Tentang acara atau upacara pernikahan ini saya mendapat sesuatu yang benar-benar jarang terpikirkan yang menjadi tradisi sebuah suku, Dagara, di Afrika bagian barat. Dikatakan bahwa ketika upacara pernikahan itu, pasangan itu tidak memohon anugerah. Karena pernikahan itu sendiri sudah anugerah. Dan ketika orang-orang, para sahabat, para undangan berkumpul dengan hati gembira dan syukur, kehadiran mereka saja sudah anugerah.

Yang sangat diperlukan adalah sokongan atau dukungan dari siapa saja, terutama dari yang datang dan hadir saat pernikahan. Dukungan untuk menghadapi tantangan-tantangan dan persoalan-persoalan hidup di masa yang akan datang. Masalahnya, dalam kultur masyarakat, orang-orang gemar menghadiri acara pernikahan, tapi ketika persoalan atau prahara menimpa keluarga yang menikah itu di suatu saat, orang-orang yang menghadiri acara pernikahan itu sulit bahkan tidak bisa ditemukan. Bagaimana wujud dukungan itu?

Yang menarik dan hebat dari tradisi suku Dagara tadi adalah ketika kesulitan menimpa keluarga, mereka [orang-orang yang datang pada acara pernikahan itu] akan menjadi orang-orang yang pertama datang membantu dan mendukung.

May 17, 2010

Bersedia Keliru

"Resep kebodohan terus-menerus adalah puaslah dengan pendapat-pendapat dan pengetahuan Anda sendiri."

~ Johann Wolfgang von Goethe (1749 – 1832); jenius Jerman

* * *
Dari dulu, kita sering mendengar ungkapan, "Tak kenal maka tak sayang". Kadang, kedengarannya kata-kata ini tidak punya makna karena mungkin terlalu sering kita dengar atau justru karena terlalu sering kita ucapkan.

Ada kecenderungan kata-kata yang terlalu sering diucapkan menjadi semakin kehilangan makna karena tidak lagi disadari makna dan maksud kata-kata itu diucapkan, sudah seperti mekanis, otomatis, dan terucap begitu saja.

Walaupun begitu, kata-kata itu sebenarnya sangat kuat dan bermakna luar biasa. Ungkapan itu menjadi hal yang sangat penting dalam hal pergaulan, relasi, komunikasi, persahabatan, persaudaraan bahkan segala hal yang berhubungan dengan pengenalan, pembelajaran, pengetahuan, keilmuan, kebijaksanaan pada seseorang menyangkut manusia lain atau objek yang mau dikenali atau diketahui lebih lanjut atau lebih baik daripada sebelumnya.

Ungkapan, "Tak kenal maka tak sayang", sebetulnya juga menyangkut apa saja yang ada pada manusia itu sehingga sesama manusia semakin mengenal, semakin dekat dan semakin beradab dan saling memahami.

* * *
Kemudian ada ungkapan lain, "Jadilah orang dengan pikiran terbuka!" Open minded. Kamus The American Heritage mendefinisikan open minded sebagai receptive to new and different ideas or the opinions of others, dan bersinonim dengan istilah yang lebih menarik, broad-minded.

Lalu, apa hubungan antara dua ungkapan 'Tak Kenal maka Tak Sayang' dan 'Berpikiran Terbuka' ini? Keduanya mau kita buat sebagai pedoman atau prinsip dalam bersahabat dan bersaudara dalam masyarakat yang majemuk dalam banyak hal ini.

Kita tidak membahas keyakinan siapa yang paling benar. Juga bukan untuk mencari-cari kesalahan pada orang lain. Juga bukan untuk menunjukkan kita lebih benar daripada orang lain. Juga bukan untuk mengatakan seseorang lebih suci daripada yang lain.

Dan sebagai awal perjalanan dan pembelajaran, kita tidak perlu menjadi indiferentis atau menjadi relativis. Kita hanya mau belajar dari mana pun termasuk dari yang berbeda dari kita. Marilah kita yakini apa yang menjadi keyakinan kita. Tapi sekaligus juga marilah kita belajar juga dari yang berbeda dengan kita. Marilah kita belajar dari keyakinan yang berbeda dengan kita.

Dalam masyarakat kita yang multiagama ini, maka sudah sangat pantas seorang beragama harus belajar tentang agama lain lebih daripada cukup. Mengapa? Seperti awal tadi, bukan untuk memperbandingkan keyakinan atau membenturkan keyakinan. Tapi untuk memperlajari dan menyerap segala sesuatu dari yang berbeda dengan kita, yang berbeda dengan keyakinan kita, bahkan dari orang yang tidak berkeyakinan. Tetaplah yang lain kemungkinan memiliki kebaikan, keluhuran, keutamaan-keutamaan, keindahan, dan kibasan-kibasan kebenaran.

Akan sangat indah sekali jika kita bisa bersahabat dengan tetangga kita. Alangkan indahnya jika kita bisa saling memahami. Pengenalan dan pemahaman akan sangat indah lagi jika kita mampu melihat dan merasakan bukan hanya ada pada permukaan, yang tampak, yang simbolis atau yang ritual saja. "Perhatikan di bawah permukaan. Jangan pernah membiarkan kualitas atau nilai hakiki sesuatu lepas dari penglihatanmu," kata Marcus Aurelius.

Memang sepertinya ada kengganan bahkan semacam ketakutan bagi banyak orang mempelajari agama orang lain. Mengapa ini bisa terjadi? Ulil Abshar-Abdalla menulis di blognya, "Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan."

Bahkan di zaman yang katanya modern ini, orang beragama harus semakin mengkritisi diri atau membaca kritik orang lain dari siapa pun, termasuk dari para sahabat yang agnostik atau ateis. Siapa pun sekarang harus bersedia membaca dan mendengar orang lain, apalagi kalau yang dinyatakan orang lain itu mengandung kebenaran, walaupun mungkin tidak disukai oleh orang yang mendengarnya, setidaknya pada bagian awal mendengar atau membaca pernyataan yang tidak disukai. Kalaulah yang kita dengar atau baca itu hanya semacam bualan atau sesuatu yang tidak bernilai, kita sudah tahu juga seperti apa itu bagi kehidupan, tapi tetaplah ada manfaatnya, bagi kelugasan dan keluasan pemikiran. "Merupakan tanda dari pikiran yang terpelajar yang mampu menghargai sebuah pemikiran tanpa menerimanya," demikian kata filsuf Aristoteles.

Dalam hal pencarian atau memegang kebenaran, apa pun kebenaran itu dan apa pun keyakinan kebenaran, kita harus bersedia keliru, jika memang keliru, dan dari sana kita bisa berangkat menuju ke arah yang lebih baik lagi. Mengapa takut mendapatkan yang keliru pada diri kita, jika memang ada? Mengetahui yang keliru membuat kita bisa membersihkan kekeliruan dan menuju kejernihan dan ketidakkeliruan.

* * *

"Pikiran yang paling bijaksana masih perlu mempelajari sesuatu."
~ George Santayana (1863 – 1952); penyair, esais, filsuf Amerika kelahiran Spanyol