May 17, 2010

Bersedia Keliru

"Resep kebodohan terus-menerus adalah puaslah dengan pendapat-pendapat dan pengetahuan Anda sendiri."

~ Johann Wolfgang von Goethe (1749 – 1832); jenius Jerman

* * *
Dari dulu, kita sering mendengar ungkapan, "Tak kenal maka tak sayang". Kadang, kedengarannya kata-kata ini tidak punya makna karena mungkin terlalu sering kita dengar atau justru karena terlalu sering kita ucapkan.

Ada kecenderungan kata-kata yang terlalu sering diucapkan menjadi semakin kehilangan makna karena tidak lagi disadari makna dan maksud kata-kata itu diucapkan, sudah seperti mekanis, otomatis, dan terucap begitu saja.

Walaupun begitu, kata-kata itu sebenarnya sangat kuat dan bermakna luar biasa. Ungkapan itu menjadi hal yang sangat penting dalam hal pergaulan, relasi, komunikasi, persahabatan, persaudaraan bahkan segala hal yang berhubungan dengan pengenalan, pembelajaran, pengetahuan, keilmuan, kebijaksanaan pada seseorang menyangkut manusia lain atau objek yang mau dikenali atau diketahui lebih lanjut atau lebih baik daripada sebelumnya.

Ungkapan, "Tak kenal maka tak sayang", sebetulnya juga menyangkut apa saja yang ada pada manusia itu sehingga sesama manusia semakin mengenal, semakin dekat dan semakin beradab dan saling memahami.

* * *
Kemudian ada ungkapan lain, "Jadilah orang dengan pikiran terbuka!" Open minded. Kamus The American Heritage mendefinisikan open minded sebagai receptive to new and different ideas or the opinions of others, dan bersinonim dengan istilah yang lebih menarik, broad-minded.

Lalu, apa hubungan antara dua ungkapan 'Tak Kenal maka Tak Sayang' dan 'Berpikiran Terbuka' ini? Keduanya mau kita buat sebagai pedoman atau prinsip dalam bersahabat dan bersaudara dalam masyarakat yang majemuk dalam banyak hal ini.

Kita tidak membahas keyakinan siapa yang paling benar. Juga bukan untuk mencari-cari kesalahan pada orang lain. Juga bukan untuk menunjukkan kita lebih benar daripada orang lain. Juga bukan untuk mengatakan seseorang lebih suci daripada yang lain.

Dan sebagai awal perjalanan dan pembelajaran, kita tidak perlu menjadi indiferentis atau menjadi relativis. Kita hanya mau belajar dari mana pun termasuk dari yang berbeda dari kita. Marilah kita yakini apa yang menjadi keyakinan kita. Tapi sekaligus juga marilah kita belajar juga dari yang berbeda dengan kita. Marilah kita belajar dari keyakinan yang berbeda dengan kita.

Dalam masyarakat kita yang multiagama ini, maka sudah sangat pantas seorang beragama harus belajar tentang agama lain lebih daripada cukup. Mengapa? Seperti awal tadi, bukan untuk memperbandingkan keyakinan atau membenturkan keyakinan. Tapi untuk memperlajari dan menyerap segala sesuatu dari yang berbeda dengan kita, yang berbeda dengan keyakinan kita, bahkan dari orang yang tidak berkeyakinan. Tetaplah yang lain kemungkinan memiliki kebaikan, keluhuran, keutamaan-keutamaan, keindahan, dan kibasan-kibasan kebenaran.

Akan sangat indah sekali jika kita bisa bersahabat dengan tetangga kita. Alangkan indahnya jika kita bisa saling memahami. Pengenalan dan pemahaman akan sangat indah lagi jika kita mampu melihat dan merasakan bukan hanya ada pada permukaan, yang tampak, yang simbolis atau yang ritual saja. "Perhatikan di bawah permukaan. Jangan pernah membiarkan kualitas atau nilai hakiki sesuatu lepas dari penglihatanmu," kata Marcus Aurelius.

Memang sepertinya ada kengganan bahkan semacam ketakutan bagi banyak orang mempelajari agama orang lain. Mengapa ini bisa terjadi? Ulil Abshar-Abdalla menulis di blognya, "Iman yang kuat tak akan takut pada keraguan. Iman yang dangkal dan dogmatis selalu was-was pada pertanyaan dan keragu-raguan."

Bahkan di zaman yang katanya modern ini, orang beragama harus semakin mengkritisi diri atau membaca kritik orang lain dari siapa pun, termasuk dari para sahabat yang agnostik atau ateis. Siapa pun sekarang harus bersedia membaca dan mendengar orang lain, apalagi kalau yang dinyatakan orang lain itu mengandung kebenaran, walaupun mungkin tidak disukai oleh orang yang mendengarnya, setidaknya pada bagian awal mendengar atau membaca pernyataan yang tidak disukai. Kalaulah yang kita dengar atau baca itu hanya semacam bualan atau sesuatu yang tidak bernilai, kita sudah tahu juga seperti apa itu bagi kehidupan, tapi tetaplah ada manfaatnya, bagi kelugasan dan keluasan pemikiran. "Merupakan tanda dari pikiran yang terpelajar yang mampu menghargai sebuah pemikiran tanpa menerimanya," demikian kata filsuf Aristoteles.

Dalam hal pencarian atau memegang kebenaran, apa pun kebenaran itu dan apa pun keyakinan kebenaran, kita harus bersedia keliru, jika memang keliru, dan dari sana kita bisa berangkat menuju ke arah yang lebih baik lagi. Mengapa takut mendapatkan yang keliru pada diri kita, jika memang ada? Mengetahui yang keliru membuat kita bisa membersihkan kekeliruan dan menuju kejernihan dan ketidakkeliruan.

* * *

"Pikiran yang paling bijaksana masih perlu mempelajari sesuatu."
~ George Santayana (1863 – 1952); penyair, esais, filsuf Amerika kelahiran Spanyol

2 comments:

hmsendjaja said...
This comment has been removed by the author.
hmsendjaja said...

Jauh lebih kuat dan lebih mendalam maknanya jika ungkapan "tak kenal, maka tak sayang" dibalik menjadi "tak sayang, maka tak kenal". Makna ungkapan yang pertama (yang biasa itu) bertumpu pada 'proses pengenalan'. Proses ini mengakibatkan sikap atau rasa 'sayang' (dengan mengingat bahwa ungkapan ini dirumuskan dalam kalimat kondisional). Makna yang kedua (yang dibalik itu) bertumpu pada sikap 'sayang' atau cinta (love). Sikap sayang atau cinta ini mengakibatkan (atau lebih tepatnya: mendorong) 'proses pengenalan'. Bukankah hal yang terakhir ini dapat menghindari suatu proses pengenalan yang keliru? Dengan semangat cinta, suatu proses pengenalan akan mewujudkan relasi intim yang kooperatif dan saling membangun. "Tak sayang, maka tak kenal". Oleh karena itu, sebagaimana kata Augustinus, "Ama et fac quod fis" - "Love and do whatever you wish".

Salam,
hmsendjaja