"Betapa sedihnya dunia ini
tanpa anak-anak,
betapa tidak manusiawinya dunia ini
tanpa orang-orang lanjut usia."
~ Samuel Taylor Coleridge (1772 – 1834); penyair dan filsuf Inggris
* * *
Walaupun tidak gemar menonton televisi, bahkan menonton acara infotainment, gosip, atau sejenisnya, atau membaca tabloid-tabloid atau majalah-majalah yang berisi hal sejenis, selalu saja membuat saya sering senyum-senyum akan sesuatu yang juga paling sering ditampilkan di sana: acara pernikahan atau perceraian.
Iya, acara pernikahan dan segala pernik-pernik, tahap-tahap dan proses sebelum pernikahan. Kemudian juga hal yang sepertinya digandrungi (oleh acara itu) adalah perceraian.
Salah satu alasan satu pasangan bercerai atau berpisah adalah ketidakcocokan atau dengan kata lain ketidaksesuaian. Saya kira alasan itu ada benarnya, masuk akal, tapi juga sekaligus konyol.
Alasan masuk akal, karena sepertinya hal yang lumrah dua orang manusia tidak cocok atau tepatnya belum cocok. Kalau kita pikir dengan lebih jelas dan kita periksa dengan lebih teliti dan lebih luas, apakah memang banyak manusia lahir di dunia ini langsung cocok dengan yang lain?
Jangankan orang-orang yang bertemu setelah dewasa, orang-orang bersaudara yang seibu-seayah saja tidak terlalu banyak yang benar-benar cocok. Mungkin saja seseorang misalnya seorang pria Jawa, mempunyai seorang manusia bisa pria, bisa wanita yang benar-benar cocok, tapi manusia yang cocok ini berada di Meksiko, dengan asal, kultur, dan bahasa dan banyak hal lagi yang berbeda. Dan menariknya, misalnya, kedua manusia 'yang cocok' ini tidak pernah bertemu. Lalu, apa artinya kecocokan seperti itu?
Alasan konyol adalah karena kita melihat ketika pada saat acara pernikahan, sepasang manusia berjanji, atau berikrar, atau bersumpah dengan pasangannya untuk setia dan sehidup semati. Tidak ada disebut di sana 'sepanjang kecocokan masih ada."
Tentang yang seperti ini, saya jadi teringat akan pengalaman Rabbi Harold S. Kushner penulis buku yang sangat fenomenal tentang makna penderitaan, When Bad Things Happen to Good People. Rabbi Kushner suatu saat akan menikahkan pasangan Yahudi Amerika. Pengantin pria membuat satu permohonan kepada Rabbi Kushner. Permohonannya menarik. Pengantin pria mencoba membuat tawar-menawar dengan sang rabbi, agar 'ketika untung dan malang' sedikit dimodifikasi menjadi 'jika masih ada kecocokan'. Rabbi Kushner menolak menikahkan mereka dengan kalimat seperti itu.
Kalau kita mengingat satu hal pendapat Charles Darwin tentang beradaptasi, tentang makhluk hidup yang beradaptasi atau menyesuaikan diri, sepertinya manusia juga tidak terlalu penting harus bertemu dengan yang langsung cocok, tetap yang lebih menentukan adalah orang-orang yang menyesuaikan diri atau membuat komitmen. Binatang yang paling berhasil bukanlah binatang yang kuat tapi yang bisa menyesuaikan diri. Lalu, binatang saja bisa menyesuaikan diri, apalagi manusia?
Apakah seorang Jawa, memang sudah pasti cocok sebagai orang Jawa? Demikian juga orang Papua, Madura, Batak, Cina, Sunda, Minang, dan semua suku di dunia ini? Dia menjadi orang Jawa karena dari lahir sebagai orang Jawa dan dengan lingkungan dan segala sesuatunya membuat dia orang Jawa.
Dan kalau alasan kecocokan, mungkin hanya sedikit kebesaran dan kehebatan yang bisa dibuat oleh manusia. Karena untuk mencapai kebesaran, keutamaan, keluarbiasaan, seorang manusia memerlukan waktu, ketekunan, antusiasme dan hal yang seperti itu. Kalau alasan tidak cocok, mungkin di sepanjang perjalanan hidup, seorang manusia akan terlalu sering menemukan ketidakcocokan: tidak cocok dengan waktu, tidak cocok dengan alat, tidak cocok dengan cuaca, tidak cocok dengan angin, tidak cocok dengan kota, tidak cocok dengan presidennya, tidak cocok dengan manajernya, tidak cocok dengan anak buah, tidak cocok dengan dosen, tidak cocok dengan guru, tidak cocok dengan orangtua, tidak cocok dengan adat, tidak cocok dengan suku, dan sejuta alasan 'tidak cocok'.
Kembali ke acara atau upacara pernikahan. Secara umum, banyak manusia senang menghadiri acara atau upacara pernikahan. Dan seperti banyak kultur di belahan bumi ini, sering sepasang insan yang (akan) menikah itu dibuat menjadi raja dan ratu semalam. Dan yang sering terlupakan pernikahan bukanlah saat upacara pernikahan, itu baru titik awal untuk menjalani pernikahan. Jadi sebenarnya juga cukup konyol jika acara yang menjadi titik awal melangkah ini menjadi sorotan yang berlebih-lebihan, bahkan sering melupakan makna dan tujuan (acara) pernikahan itu sendiri.
Tentang acara atau upacara pernikahan ini saya mendapat sesuatu yang benar-benar jarang terpikirkan yang menjadi tradisi sebuah suku, Dagara, di Afrika bagian barat. Dikatakan bahwa ketika upacara pernikahan itu, pasangan itu tidak memohon anugerah. Karena pernikahan itu sendiri sudah anugerah. Dan ketika orang-orang, para sahabat, para undangan berkumpul dengan hati gembira dan syukur, kehadiran mereka saja sudah anugerah.
Yang sangat diperlukan adalah sokongan atau dukungan dari siapa saja, terutama dari yang datang dan hadir saat pernikahan. Dukungan untuk menghadapi tantangan-tantangan dan persoalan-persoalan hidup di masa yang akan datang. Masalahnya, dalam kultur masyarakat, orang-orang gemar menghadiri acara pernikahan, tapi ketika persoalan atau prahara menimpa keluarga yang menikah itu di suatu saat, orang-orang yang menghadiri acara pernikahan itu sulit bahkan tidak bisa ditemukan. Bagaimana wujud dukungan itu?
Yang menarik dan hebat dari tradisi suku Dagara tadi adalah ketika kesulitan menimpa keluarga, mereka [orang-orang yang datang pada acara pernikahan itu] akan menjadi orang-orang yang pertama datang membantu dan mendukung.
No comments:
Post a Comment