June 30, 2010

Sebuah Tembang dalam Hati Sahabat

Setiap momen dalam hidup ini memiliki keindahan tersendiri ...
sebuah gambar yang belum pernah dilihat
dan yang tak akan pernah dapat dilihat lagi."
~ Ralph Waldo Emerson (1803 – 1882); penyair, esais, filsuf

* * *

Kemarin saya bertemu dengan tiga orang teman lama yang sudah (tentu) lama tidak bersua. Ketika bertemu dengan para teman-teman ini, saya terharu, teringat lagi dengan teman-teman yang lebih banyak yang belum bertemu. Dulu begitu banyak kenangan, begitu banyak hal yang mau tercurahkan ketika bertemu. Curahan segala kenangan bersama dengan teman-teman yang lebih banyak lagi. Di mana semua teman-teman itu, kini? Di mana saya sekarang?

Mengapa kenangan begitu menempel di hati?

Sambil berdoa untuk semua teman-teman, teman lama dan teman yang belum bertemu. Teristimewa bagi teman-teman yang belum bertemu, memang cukup unik, berteman tapi belum pernah bertemu. Tapi sekarang dengan Facebook yang antik ini, seorang sahabat bisa datang dari mana saja, serupa munculnya harum bunga dalam tiupan angin, mendekati kita. Serupa dengan sebuah lagu yang tiba-tiba kita dengar tanpa kita undang kedatangannya. Bagaimana kalau sebuah lagu yang datang menyapa kita, sebelumnya sudah pernah kita dengar? Bahkan jika lagu itu lagu favorit? Apalagi lagu yang memiliki kenangan khusus bagi kita?

Ketika mendengar lagu yang tak disangka-sangka ini, kita pun bukan hanya mendengarkan lagunya lagi dengan penuh perhatian, kita akan kembali ke kejadian saat itu. Mengembalikan diri kita ke masa yang tidak mungkin kita ulangi.

Mengingat teman-teman kembali, saya terkenang dengan sebait sajak yang indah dan agung. Sebagai ucapan salam dan terima kasih kepada para sahabat, siapa pun, di mana pun, teriring tembang yang digoreskan oleh penyair, Henry Wadsworth Longfellow.

Sebuah Tembang

Kusiulkan sebuah tembang ke udara,
dan ia pun jatuh ke tanah
Aku tak tahu di mana ...
Dan tembang itu,
dari awal hingga akhir,
kutemukan lagi
di hati seorang sahabat.

oleh Henry Wadsworth Longfellow (1807 – 1882); penyair dan pendidik Amerika

Bunda yang Tangguh

Kemarin, saya dianugerahi kisah yang awalnya saya lihat sendiri, dan ditambah cerita dari orang-orang yang ternyata sudah mengenalnya dengan baik - tentang seorang bunda yang mengagumkan.

Sebuah keluarga mengundang saya makan siang di warungnya yang baru dibuka sekitar sebulan. Saya diteleponnya, untuk sekadar singgah dan mencoba mencicipi hidangan yang tersedia di warung makannya. Lokasinya di pinggir jalan, dan di kiri-kanan, beberapa rumah penuh dengan: besi-besi tua, scrap, botol-botol kaca, botol-botol minuman kaleng dan air mineral, alat-alat dan asesoris sepeda motor, ban-ban karet. Semuanya barang-barang bekas, dan karena banyaknya, sudah sampai bersentuhan dengan aspal jalan.

Saya mengamat-amati orang-orang yang mengantar barang-barang, pembeli-pembeli, dan juga tentu pengelola yang membersihkan besi-besi dengan air, mengelap, dan kadang-kadang menggosoknya dengan kertas pasir.

Tentulah, pekerja-pekerja usaha ini mengenakan pakaian yang sudah penuh dengan debu, keringat, hitam asap yang sepertinya sudah menggumpal di baju mereka.

Tiba-tiba, saya dan sahabat-sahabat yang makan bersama di samping saya kaget. Seorang ibu tiba-tiba mengerem sepeda motor yang dibuat menjadi beroda tiga dengan gandengan untuk barang-barang di bagian samping.

Belum selesai kaget, bagian tutup gandengannya digeser, dari dalam gandengannya, diangkatnya putranya yang berumur dua tahunan sedang tertidur, dan diletakkannya di bagian tutup yang digeser tadi. Dengan tenang putranya ini tetap tidur lelap. Menjulur lagi kepala seseorang dari dalam, putranya yang lain, yang sudah bisa turun sendiri.

Ketika kedua putranya sudah 'diamankan', maka sang ibu mengambil besi-besi, tembaga, aluminium dan berbagai jenis logam lainnya, beberapa karung dan mengangkatnya ke salah satu rumah yang penuh dengan barang-barang.

Ibu dan anak-anaknya berpakaian bersih. Ibu ini memakai jilbab.

Dengan cepat dan tawar-menawar sebentar, dia sudah menerima uang hasil usahanya, memanggil anaknya, dan kemudian memeluk anaknya yang sedang tidur lelap, dan memasukkannya ke dalam gandengan sepeda motornya. Dan sang bunda dan kedua putranya ini pergi dengan wajah tenang.

Saya sangat ingin mengabadikan momen yang sangat unik ini. Karena tidak membawa alat perekam, video, atau kamera, maka saya ingin mengabadikannya lewat tulisan ini.

Para sahabat, saya dan beberapa pengunjung warung semua menahan nafas sebelumnya melihat aksi sang ibu. Setelah sang ibu dan kedua anaknya pergi, para sahabat baru mengeluarkan nafasnya dan mulai berbicara satu sama lain. Semua mengucapkan kekaguman dan salut.

Cerita belum berhenti di situ. Saya mendekati seorang ibu yang menjadi temannya berbicara tadi sembari sang bunda tadi bekerja, dan mengajaknya ke warung untuk sekadar mengobrol.

"Ibu, bolehkan ibu bercerita sedikit tentang ibu tadi? Ibu yang membawa barang-barang butut, yang membawa putranya yang dua orang tadi?"

"Oh, dia seorang manusia ajaib! Ajaib. Saya dulu menangis mendengar ceritanya."

"Mengapa, Bu?"

"Setahun lalu, dia ditinggalkan suaminya. Dia boru Pandiangan. Suaminya pergi entah ke mana, dan meninggalan mereka bertiga. Yang ditinggalkan hanya sepeda motor tua itu. Motor yang dibuatnya menjadi motor gandengan. Mereka sering tidur bertiga di dalamnya."

"Iya? Mereka tidak mempunyai rumah?" tanya seorang sahabat.

"Mereka mempunyai rumah, tapi cukup jauh dari tempat-tempat mengambil barang-barang bekas dan tempat untuk menjualnya. Ketika dia sedang berada di tempat yang jauh dari rumahnya, dia mencari tempat yang nyaman untuk memarkirkan motornya, dan mereka tidur di situ. Itu ceritanya."

"Ibu, saya begitu heran, mengapa dia dan anak-anaknya begitu bersih dan rapi?" tanya sahabat lain penasaran.

"Menurut ceritanya langsung ke saya beberapa bulan lalu, dia sebelumnya beragama Kristen, dan setelah menikah telah menjadi muslimah."

Dua orang sahabat, satu wanita dan satu pria langsung bertanya hal yang hampir sama. "Mengapa dia tidak kembali ke Kristen?"

Pertanyaan menarik, yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan apa pun. Tapi itulah yang terjadi.

Ibu melanjutkan ceritanya, "Dia mengatakan akan tetap menjadi muslimah. Muslimah yang baik. Tentang pakaian yang dikenakan dirinya dan anaknya, dia memang selalu berusaha bersih. Dia pernah berkata, bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Dia hanya dan selalu berjuang untuk kedua anaknya dan dirinya."

Lebih daripada apa pun, masih dengan sedikit informasi dan cerita yang saya dapat, saya benar-benar kagum dan salut kepada perempuan tangguh itu: Sang Bunda.