October 26, 2010

Kembali ke Kotak

Saya ingin menulis hari ini. Setelah menuliskan Notes yang terakhir di Facebook, beberapa sahabat bertanya mengapa saya tidak menulis lagi. Ada yang meminta agar menuliskan sesuatu, apa saja topiknya, tidak masalah.

Tentu permintaan itu sebagai ajakan atau bisa juga sebagai penyemangat untuk menulis sesuatu. Tapi saya ingin menulis hari ini bukan karena permintaan para sahabat itu. Saya ingin menulis karena ingin menulis saja. Tapi apa yang akan saya tulis? Itu menjadi pertanyaan bagiku sekarang.

Ketika keinginan menulis ada, saya sering malah bukan menulis tapi membaca. Membaca (buku) begitu mengasyikkan sampai kadang terpikir untuk menuliskan tentang bagaimana asyiknya membaca. Kadang-kadang terpikir juga ingin menuliskan sesuatu karena pertanyaan teman-teman tentang mengapa saya menggemari membaca.

Maka, beberapa hari lalu, ketika ada keinginan untuk menulis, saya tidak menulis malah membaca buku. Bukunya sungguh menarik judulnya, When the Game Is Over, It All Goes Back in the Box, karya John Ortberg. Maka sebaiknya saya menuliskan sesuatu saja yang berhubungan dengan buku yang menarik ini.

Saya hampir tidak bisa berhenti membacanya. Isinya berisi banyak humor cerdas. Tentu itu bukan buku humor tapi buku yang berisi yang sangat dalam -- tentang waktu, tentang kehidupan manusia.
  
Sering disebut bahwa hidup semacam permainan. Tapi bagaimana kita menyikapi ungkapan atau pandangan seperti itu? Kemudian saya teringat akan ungkapan Indonesia, yang saya sendiri kurang tahu berasal dari daerah mana tapi kita buat dalam bentuk pertanyaan, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan apa?" Biasanya dijawab, "Manusia mati meninggalkan nama." Mungkin ada benarnya, tapi yang paling benar adalah, "Manusia mati meninggalkan segala-galanya!"

Jadi isi buku itu adalah tentang manusia, tentang kehidupan manusia, dan kehidupan setelah kehidupan (kematian) manusia. Maka teringat juga dengan ungkapan kuno Italia yang mirip, "Pion dan raja sama saja, semua akan kembali ke kotak."

Mungkin kita tertawa membaca ungkapan-ungkapan itu. Memang ungkapan yang membuat kita tertawa sering karena kebenaran yang ada di dalamnya, atau kebenaran yang muncul, hanya saja sebelumnya, kita tidak sadari. Dan disebutkan bahwa humor sangatlah penting untuk manusia yang hidup. Bahkan seorang tokoh reformasi, Martin Luther pernah berkata, "Jika di surga tidak diizinkan tertawa, saya tidak mau ke sana."

Memang hidup bukan hanya mengenai tertawa. Tapi alangkah meruginya manusia jika dia tidak bisa tertawa dan bersukacita. Dan memaknai sukacita dalam hidup, itulah satu hal yang disampaikan dalam buku Ortberg ini.

Dari seluruh isi buku itu, saya sangat terkesan oleh tulisan yang dikutip Ortberg dari buku Lewis B. SmedesHow Can It Be All Right When Everything Is All Wrong? Benar-benar menginspirasi.

"Saya membeli sebuah agenda yang masih sangat baru kemarin, jenis agenda yang saya pakai setiap tahunnya -- dijilid spiral, sampulnya terbuat dari kulit imitasi berwarna hitam, dan setiap halamannya terdapat kotak-kotak kosong. Di dalam setiap kotak terdapat angka yang menunjukkan tanggal hari itu. Setiap kotak berfungsi untuk membingkai satu episode hidup saya. Sebelum saya melakukan apa yang tertulis dalam agenda itu, saya akan mengisi kotak-kotaknya dengan kelas-kelas yang saya ajar, orang-orang yang menjadi teman makan siang saya, rapat-rapat komita yang tidak pernah habis, dan semua ini hanyalah hal-hal yang tidak boleh saya lupakan. Saya juga mengisi kotak-kotak itu dengan hal-hal yang tidak saya catat sebagai hal yang perlu diingat: ribuan cangkir kopi, beberapa percintaan, beberapa doa, dan, saya harap, isyarat meminta tolong kepada tetangga. Apa pun yang saya kerjakan harus muat dalam kotak-kotak itu. Saya menjalani satu kotak setiap hari. Empat garis yang membentuk kotak itu adalah dinding-dinding waktu yang mengatur hidup saya. Setiap kotak mempunyai pintu yang tak kasatmata menuju kotak selanjutnya. Tampaknya ketukan yang pelan saja akan membuka pintu itu dan sebuah magnet akan menarik saya ke kotak satunya. Di sana saya akan, sekali lagi, mengisi penjara waktu yang mengurung saya -- mengisinya dengan kesibukan saya seperti yang saya lakukan pada kotak sebelumnya. Sementara saya semakin tua, kotak itu terlihat semakin menyempit. Satu hari nanti saya akan memasuki sebuah kotak yang tak berpintu. Tidak akan ada lagi pintu yang terbuka secara misterius. Tidak akan ada lagi langkah menuju kotak di sebelah. Salah satu dari kotak-kotak itu akan menjadi terminal. Saya tidak tahu kotak yang mana itu."

* * *

"Setiap orang harus membawa dua lembar kertas dan memperhatikan keduanya setiap hari. Pada salah satu kertas tertulis: 'Kamu seperti debu dan abu.' Dan pada kertas yang satunya tertulis: 'Karena bagimulah alam semesta diciptakan.'"
~ perkataan Rabi

October 16, 2010

Kepala Sekolah yang Mengenal Semua Muridnya

Beberapa hari lalu, saya membuat tulisan tentang Kristalisasi Pengalaman. Saat itu ada pengalaman menarik dengan guru matematika yang sekaligus guru biologi.

Peristiwa yang sangat langka, karena memang saya belum pernah mengalami sebelumnya, hari pertama menjadi siswa SMP, setelah perkenalan, langsung ulangan. Jadual saat itu adalah pelajaran matematika, tapi ulangannya adalah soal biologi. Pengalaman yang sangat berkesan dan tidak terlupakan dari SMP.

Tapi pengalaman berkesan tidak berhenti di sana. Karena di SMA juga banyak pengalaman yang lebih berkesan lagi. Pengalaman berkesan di SMA adalah tentang meminjam buku di perpustakaan dan tentang kepada sekolah.

Pernah mengenal seorang kepala sekolah yang mengenal semua siswanya? Tentu siswanya tidak sedikit. Dialah Bruder G. J. W. Peters. Bruder kelahiran Belanda yang menjadi warga negara Indonesia, yang ingin mendidik manusia Indonesia. Dia mengenal semua siswanya. Setiap bulan kepala sekolah ini ke kelas membagi nilai bulanan. Setiap siswa sudah membuat urutan mata pelajaran di kertas atau buku masing-masing,  sebelum mencatat nilainya ke buku besar daftar nilai semua siswa yang dibawa Bruder. Saat itulah dia berinteraksi dengan setiap siswa. Setelah beberapa bulan, maka Bruder ini sering tidak lagi memanggil nama seseorang, tapi memanggil nama kampung atau asalnya.

Kemudian saya mengingat dan mengenang lagi bruder ini karena tulisan sebelumnya tentang kristalisasi pengalaman dan tentang '17 Agustusan'.

Semua orang yang mengenalnya mengetahai bahwa Bruder ini seorang yang disiplin. Beliau menjadi kepala sekolah selama tujuh belas tahun. Bruder ini juga sekaligus pelatih sepakbola. Satu pengalaman menarik adalah ketika menjadi pemain sepakbola di bawah bimbingannya. Bagi siswa baru yang mengambil ekstrakurikuler sepakbola, maka sudah cukup tahu bahwa Bruder ini sangat disiplin, tapi tidak terlalu tahu bagaimana caranya Bruder ini merealisasikannya.

Saat itu, semua pemain sepakbola ada di lapangan termasuk yang tidak bermain. Di pinggir lapangan tidak ada tempat berteduh yang terlindung dari hujan. Setelah bermain setengah jam, tiba-tiba hujan turun deras. Sangat deras. Maka sebagian pemain mencari tempat berteduh, terutama yang tidak bermain saat itu. Ada juga yang sedang bermain, lari dan keluar dari lapangan untuk berteduh.

Karena hujan deras, Bruder yang sudah berumur dan selalu memegang pluit ini tidak bisa memanggil semua pemain. Dia hanya mengatakan, jangan berhenti, jangan mencari perlindungan berteduh, dan terus bermain.

Ketika hujan sudah reda, dan memang waktu latihan sepakbola sudah cukup waktunya. Semua pemain dikumpulkannya lagi. Dan terjadilah yang menarik dan mengagetkan. Semua pemain termasuk yang tidak sedang bermain, yang mencari perlindungan untuk berteduh, dipecat. Tidak boleh lagi ikut ekstrakurikuler sepakbola lagi.

Saya mengenangnya pada bulan Agustus ini karena juga mengingat kebijakannya yang tidak umum di kota itu. Bruder ini memperbolehkan siswa pria memanjangkan rambut. Dan memang siswa-siswa yang gemar memanjangkan rambut seperti surgalah sekolah ini. Dia juga memberi ruang untuk segala seni yang mampu dilakukan oleh para siswa/i. Tapi di sisi lain, rambut yang panjang tidak boleh alasan untuk menjadi tidak disiplin.

Maka setiap tanggal 17 Agustusan, seperti biasa, di lapangan kota, diadakan Upacara Detik-detik Proklamasi. Ternyata anggapan umum, orang terutama siswa yang ikut upacara tidak boleh yang berambut gondrong. Tapi Bruder ini tidak peduli dengan itu, dia selalu mengirim orang yang berambut gondrong untuk upacara. Ternyata siswa-siswa yang berambut gondrong ini membuat 'malu' beberarpa orang di kota, terutama yang 'berwenang'. Tapi siapakah yang berwenang dalam hal upacara Detik-detik Proklamasi? Siapakah warga negara Indonesia? Sejak kapan seorang yang berambut gondrong tidak boleh mengikuti upacara kemerdekaan? Siapa yang lebih merdeka yang berambut gondrong atau yang tidak boleh berambut gondrong?
:-)

Dan bruder ini tidak pernah patuh untuk tidak menggondrongkan siswa prianya, sampai akhir kepala sekolahnya bahkan sampai akhir hidupnya.

Tapi kejadian yang paling menakutkan adalah yang sering terjadi hampir merenggut nyawanya. Kepala sekolah ini selalu mengendarai sepeda motor vespa. Sebenarnya vespa ini berwarna biru muda, tapi karena dipakai terus-menerus tanpa henti, maka jadilah warnanya bukan lagi biru, tapi warna aus. Apa itu warna aus? Ya, tidak berwarna lagi. Tapi menjadi semakin menakutkan karena lampu samping yang seharusnya warna kuning atau jingga, juga tidak lagi berwarna.

Karena kalau datang memasuki gerbang sekolah, maka Bruder ini harus menyalib ke kanan, karena sekolah berada di sebelah kanan. Sering terjadi hampir kecelakaan karena bruder ini langsung menyalib ke kanan. Para supir angkutan dan mobil di belakangnya kaget karena tidak melihat lampu samping kanan Bruder ini aktif. Ternyata, memang warna penutup lampu sampingnya memang sudah aus juga. Kejadian rem mendadak ini sangat sering terjadi, dan para siswa akan sangat cepat berhamburan ke gerbabg sekolah, jika mendengar suara rem mendadak ini.
:-)

Tapi secara pribadi yang paling berkesan kepada saya adalah Catatannya yang mengizinkan saya meminjam buku tidak hanya dua (seperti aturan) tapi boleh sampai sepuluh buku sekaligus.
:-)

Terima kasih, Bruder G. J. W. Peters!
Terima kasih, Guru dan Pelatihku!

October 9, 2010

Kristalisasi Pengalaman

"Seorang anak yang hanya dididik di sekolah, bukanlah anak yang terdidik."
~ George Santayana (1863 – 1952); filsuf dan sastrawan Amerika kelahiran Spanyol

* * *

Tadi pagi, seorang sahabat mengajak saya untuk bertukar pikiran. Sahabat ini ternyata membaca-baca Notes yang saya tulis. Menarik, walaupun membacanya dan pengakuannya ada yang dibacanya berkali-kali, dia belum pernah berkomentar. Alasannya tidak berkomentar adalah karena takut salah.

Tapi tadi pagi, diberanikannya dirinya tidak hanya berkomentar tapi langsung menuliskan sesuatu dalam hatinya yang sudah tidak tahan lagi dipendamnya, yakni menuliskan sesuatu, yakni mengenai pendidikan.

Ternyata sahabat ini sangat concern dengan pendidikan, terutama pendidikan anak. Saya senang sekali membaca ungkapannya, dan lebih senang lagi, karena ada tambahan catatan di bawah tulisannya: "Ini adalah tulisan terpanjang yang saya buat setelah lulus dari universitas." Dia tidak tahan harus menuliskannya kepada saya, karena saya pernah menuliskan bahwa saya pernah menghadiri suatu acara alumni universitas, dan ketika saya buat pertanyaan kecil-kecilan mengenai membaca buku, nyata bahwa tak satu pun alumni perguruan tinggi ini yang membaca satu buku dengan tuntas setelah tidak ke kampus lagi. Lalu menurut pengakuan sahabat tadi, dia semakin tidak tahan karena saya pernah menuliskan bahwa sekolah formal adalah sekolah yang paling minimal.

Dan beberapa hari lalu ketika saya menuliskan Notes tentang anak-anak yang unik dan ajaib, ada juga yang tergolong tidak peduli dengan pendidikan. Sepertinya baginya pendidikan adalah sesuatu yang sudah buruk. Tapi tentulah tidak demikian kenyataannya. Semua kita adalah pendidik. Jika bukan kepada anak didik (jika kita misalnya guru), ya kepada tetangga, kepada anak tetangga, kepada keponakan, atau kepada siapa saja. Kalau pun dianggap pemikiran seseorang tidak kompeten, tapi jelaslah orang berpikir tentang pendidikan saja sudah sesuatu yang baik dan hebat. Karena pendidikan adalah hal yang paling fundamental bagi seseorang, bahkan bagi sebuah bangsa.

Pemikiran atau awareness seseorang tentang pendidikan juga sudah sesuatu yang membangkitkan semangat bagi dirinya tentang perlu dan mutlaknya pendidikan. Jika pun itu belum terealisasi kepada orang lain, setidaknya kepada diri sendiri.

Padahal pagi-pagi tadi, saya membaca hal-hal tentang pendidikan juga. Jadi seperti sinkronisitas dengan tulisan sahabat ini. Saya mendapatkan yang menarik tadi pagi tentang, kristalisasi pengalaman. Kristalisasi pengalaman adalah hal yang dialami seseorang (dulu) yang membuat perubahan besar, setidaknya yang menciptakan atau membuat ingatan yang tidak lekang oleh waktu, bahkan kadang-kadang yang memunculkan bakat, kesenangan, talenta, dan apa pun yang membuat hidup seseorang lebih hidup, lebih bermakna. Bahkan dari beberapa kristalisasi pengalaman itu, termasuk juga mengubah peradaban manusia di bumi ini lewat tokoh-tokoh yang mendunia yang akibanya pun tentu mendunia.

Setelah membaca beberapa pengalaman yang terkristal dari beberapa orang, saya pun teringat beberapa pengalaman yang tidak terlupakan sampai sekarang. Beberapa kristalisasi pengalaman itu adalah dari seniman, ilmuwan, penyair, dan filsuf.

Albert Einstein, fisikawan besar, ketika masih anak-anak, menjadi tidak bisa diam karena instrumen sains yang didapatkannya, yakni kompas dan buku geometri. Einstein sangat takjub dengan kompas, dan bertanya terus-menerus dan menyelidikinya, "Mengapa kompas bisa selalu menunjuk ke arah yang sama?"

Yehudi Menuhin, seorang pemain biola dan konduktor hebat, mendapatkan pengalaman anak-anaknya ketika menonton orkestra simfoni di San Francisco. Dia terkenang terus dengan pengalamannya menonton orkestra itu.

Johann Wolfgang von Goethe, jenius Jerman, pemikir dan penulis berpengaruh dan yang menguasai beberapa bahasa itu sangat terkesan dengan ajakan neneknya. Goethe yang memiliki karya besar di bidang puisi, drama, teologi, filsafat dan sains, ketika anak-anak diajak neneknya menyaksikan teater boneka, sebelum sang nenek meninggal.

Noam Chomsky, seorang pakar linguistik (profesor di Massachusetts Institute of Technology (MIT)), ilmuwan kognitif dan aktivis politik, memiliki pengalaman yang tidak terlupakan ketika suatu kali menemukan kertas hasil koreksi ayahnya tentang tata bahasa Yahudi.

Jorge Luis Borges, sastrawan Argentina, terinspirasi dari suatu ruangan di rumahnya, tepatnya perpustakaan ayahnya. SampaiLuis Borges membuat ungkapan humor, bahwa dia tidak pernah bermain di luar perpustakaan itu.

Itulah beberapa tokoh yang mengalami sesuatu yang menjadi kristalisasi pengalaman bagi dirinya, bahkan itulah yang menjadi flowyang terjadi terus-menerus kepada mereka. Flow, adalah istilah yang diciptakan oleh Mihaly Csikszentmihalyi, psikolog dan profesor psikologi tentang suatu aktivitas di mana seseorang terkonsentrasi penuh dan benar-benar menikmatnya sampai benar-benar lupa dengan hal lain.

Tulisan sahabat tadi sangat berhubungan dengan buku yang saya baca yang berisi flow dan kristalisasi pengalaman dari beberapa orang tadi. Karena menurut sahabat tadi, bahwa di negeri ini pendidikan tidak menciptakan ruang untuk menghasilkan atau menciptakan momen-momen atau situasi yang mungkin menjadi pengalaman yang mengubah seseorang menemukan bakat, talenta atau potensinya.

Lalu, secara pribadi, seraya membaca kristalisasi pengalaman beberapa orang tadi, saya mengingat beberapa pengalaman menarik ketika masih siswa SMP. Saat itu hari pertama menjadi siswa SMP. Karena hari pertama, tentu para siswa belum memiliki jadual mata pelajaran. Masuklah guru ke dalam kelas, seorang Bapak. Setelah perkenalan, Bapak Guru mengatakan jadwal sekarang adalah matematika. Tapi karena menurut perkataannya, dia juga guru biologi, maka dia boleh menyampaikan matematika atau biologi.

Tiba-tiba Bapak Guru ini berkata, "Ambil secarik kertas. Tuliskan nama di bagian atas. Kita ulangan. Sudah siap? Soalnya hanya satu. Ingat, soal tidak perlu dicatat. Ingat saja. Soalnya adalah 'Sebutkan ciri-ciri makhluk hidup!'"

Pengalaman itu sampai sekarang saya ingat. Gurunya adalah Bapak M. Naibaho yang membuat dan menghidangkan matematika begitu indah. Pengalaman itu tidak terlupakan karena, pada hari pertama menjadi siswa SMP, setelah perkenalan, langsung ujian. Jadual adalah mata pelajaran matematika, tapi ujiannya adalah mata pelajaran biologi.

Lalu bagi para Sahabat, apa yang menjadi satu yang tergolong Kristalisasi Pengalaman itu?
:-)

Bolehlah dibagi!

* * *

"Bacaan adalah khayalanku. Aku di sini tanpa ikatan. Tidak ada perasaan yang merintangi aku, yang menutupi aku dari wacana yang manis dan ramah dari teman-temanku: buku-buku. Mereka berbicara padaku tanpa perasaan malu dan canggung."
~ Helen Keller (1880 – 1968)

Ngomong-omong, ada yang belum mengetahui Helen Keller?

Tidak Ada Waktu untuk Membaca?

"Waktu umumnya terbuang dengan cara yang sama setiap hari."
~ Paul J. Meyer (1928-2009)

* * *

Saya tidak menghitung lagi berapa orang yang berkata bahwa membaca adalah hal yang sangat penting tapi tidak ada waktu untuk itu. Membaca hal yang sangat penting tapi tidak membaca karena tidak ada waktu.

Sekali lagi yang kita maksudkan membaca bukanlah sekadar membaca, seperti membaca resep masakan, atau iklan di surat kabar, tapi membaca buku, dan tidak terbatas formatnya harus kertas. Dan membaca buku pun, tidak sekadar buku.
:-)

Pertanyaan penting, "Benarkah tidak ada waktu? Waktu tidak ada?"

Kalau waktu kita tidak ada bagi hal yang sangat penting, lalu waktu kita habis untuk apa? Tinggal kemungkinan ini: waktu habis kepada hal yang kurang/tidak penting atau hal yang lebih penting daripada yang sangat penting.

Satu hal yang paling adil yang ada pada makhluk hidup (mungkin juga bagi makhluk mati) adalah waktu. Waktu dua puluh empat jam sehari, dan tujuh hari seminggu. Lalu mengapa sebagian orang memiliki waktu sedangkan sebagian orang tidak memiliki waktu. Padahal waktu sama bagi siapa pun?

Apakah karena kita terlalu memfokuskan diri kepada hal yang kurang penting?

Konon seperti olahraga atau bahkan makanan bagi raga, membaca adalah olahraga dan makanan bagi jiwa. Berarti jika kita tidak membaca, maka jiwa kita mungkin sedang kelaparan dan kehausan. Kita telah menelantarkan jiwa kita. Memang mungkin tidak seperti tubuh yang biasanya langsung merasakan lapar dan haus, jiwa lapar mungkin tidak terlalu tampak, karena memang sudah aus atau sudah tidak memiliki seperti indra perasa lagi.

Atau jika tubuh kita tidak diberi asupan makanan maka tubuh kita tidak berkembang atau malah semakin merosot. Analoginya, jika kita tidak membaca maka jiwa kita mungkin tidak berkembang. Yang menarik, jika jiwa kita tidak berkembang, barangkali itu masih lumayan, bagaimana kalau merosot dan semakin kerdil? Kemungkinannya lebih besar menjadi semakin kerdil daripada tetap, karena kita mungkin sudah melupakan banyak hal yang sudah kita ketahui sebelumnya.

Seorang bijak, Konfusius pernah berkata, "Perjalanan seribu mil dimulai dengan satu langkah." Ungkapan itu sungguh menarik. Dan sangat tepat juga untuk semua bidang kehidupan yang memerlukan perkembangan, perjalanan, dan waktu. Jadi, membaca seribu buku dimulai dengan membaca sebuah buku. Tapi jika itu pun terlalu berat, maka tepatnya diawali dengan membaca paragraf awal sebuah buku (dan tentu menyelesaikannya sampai kata dan tanda baca terakhir).

Tentang membaca ini, saya selalu teringat akan cerita tentang John Erskine. John Erskine (1879 – 1951), seorang penidik, dan orang pertama yang memimpin American Writers Association, mendapatkan suatu pelajaran yang paling berharga dalam hidupnya saat ia berusia empat belas tahun. Guru pianonya bertanya, "Berapa kali kamu berlatih dalam seminggu, dan berapa lama waktu yang kamu pakai setiap kali berlatih?"

Ia menjawab bahwa ia mencoba untuk berlatih setiap hari selama satu jam atau lebih.

"Jangan lakukan itu," kata gurunya, "Saat kamu dewasa, waktu luang yang panjang tidak selalu adaBerlatihlah dalam menit-menit yang masih luang, kapan saja kamu dapati - lima atau sepuluh menit sebelum sekolah, setelah makan siang dan pada saat istirahat. Aturlah waktumu sepanjang hari, dan musik akan menjadi bagian hidupmu."

* * *

N. B.
'Belajar piano atau musik' tinggal diganti dengan 'membaca'.