"Orang yang tidak pernah mengubah pendiriannya adalah seperti air yang tergenang dan menghasilkan pikiran yang busuk."
~ William Blake (1757-1827); seniman dan penyair Inggris
* * *
Barangkali, hampir semua kita ingin bersikap terbuka. Tapi apakah memang benar-benar kita ingin bersikap terbuka? Marilah kira pikirkan dan renungkan dengan sedikit lebih jujur.
Satu cara untuk memeriksa tingkat keterbukaan kita adalah dengan merenungkan keyakinan kita. Keyakinan dalam hal apa pun, keyakinan terhadap apa pun. Untuk apa? Agar keyakinan kita bisa kita lihat dari perspektif lain, atau misalnya agar keyakinan kita lebih jernih lagi, jika ada yang perlu dijernihkan. Tapi bukankah persepsi selalu harus kita jernihkan dan sucikan?
Memeriksa atau merenungkan atau memikirkan keyakinan kita itu bisa juga dengan cara membaca. Berarti, cara agar kita bersikap terbuka adalah bisa dengan membaca. (Selalu jika kita mengatakan membaca, ya bisa membaca alam, membaca tanda zaman, tapi terutama membaca buku).
Bagaimana membaca bisa membuat seseorang bersikap terbuka? Jelas. Membaca sesuatu topik atau subjek jelas agar kita mendapatkan sesuatu dari bahasan mengenai topik atau subjek itu. Ini berarti kita mendapatkan sesuatu. Kita bisa mendapatkan fakta-fakta, cerita, kisah, pengetahuan, pemahaman, imajinasi atau apa saya yang menambahkan sesuatu dalam diri kita. Bersikap terbuka lebih kepada 'bagaimana kita' daripada 'mendapatkan apa' dari subjek atau topik itu.
Tapi selain mendapatkan sesuatu, membaca menciptakan sesuatu yang lebih hebat lagi, yakni kita menjadi seperti apa, kita menjadi bagaimana. Kalau kita mendapatkan fakta-fakta atau informasi atau pengetahuan atau pemahaman baru atau yang lebih mutakhir, tapi kita sendiri tidak berubah dan tidah berbuah dari hal yang kita dapatkan, hasilnya masih timpang.
Saya masih ingat dengan pertanyaan beberapa sahabat kepada saya, yang intinya kira-kira begini, "Kita membaca karya-karya filsafat, untuk apa?" Ini pertanyaan menarik dan menggugah. Pertanyaan ini mengandaikan dan menunjuk kepada sesuatu apa yang kita dapatkan dari bacaan. Dalam membaca (bahkan mungkin dalam kehidupan manusia secara umum) jauh lebih penting kita menjadi bagaimana daripada mendapatkan apa.
Dalam konteks yang lain, tapi masih berhubungan, Erich Fromm (1900 – 1980), seorang psikolog dan filsuf Jerman sudah mengusulkan gagasan itu menjadi To Have atau To Be yang mengakibatkan perbedaan besar menjadi antara having dan being. Satu hal yang diusulkan Fromm dengan gagasan itu adalah dengan mengumpulkan materi, uang, harta, benda apa pun; maka kita akan mendapatkan dan memperbanyak apa yang kita kumpulkan. Tapi itu tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan menjadi bagaimana kita dengan hal yang telah kita kumpulkan itu.
Membaca karya-karya yang bernada atau bernuansa atau bermuatan filosofis, kita tentu mendapatkan sesuatu atau banyak hal yang sangat bermanfaat dalam pengetahuan, pemahaman, dan yang sejenis. Tapi membaca karya-karya filosofis jauh lebih indah dan menawan lagi tatkala kita menciptakan kita lebih kepada 'berpikir bagaimana' daripada 'memikirkan atau mendapatkan apa'.
:-)

"Sebagian buku hanya untuk dijilat, sebagian lagi untuk ditelan, tetapi sedikit sekali yang benar-benar dikunyah dan dicerna."
~ Francis Bacon (1561-1626); esais dan filsuf Inggris