December 22, 2010

Membaca: Kita Menjadi Bagaimana daripada Mendapatkan Apa

"Orang yang tidak pernah mengubah pendiriannya adalah seperti air yang tergenang dan menghasilkan pikiran yang busuk."
~ William Blake (1757-1827); seniman dan penyair Inggris

* * *

Barangkali, hampir semua kita ingin bersikap terbuka. Tapi apakah memang benar-benar kita ingin bersikap terbuka? Marilah kira pikirkan dan renungkan dengan sedikit lebih jujur.  

Satu cara untuk memeriksa tingkat keterbukaan kita adalah dengan merenungkan keyakinan kita. Keyakinan dalam hal apa pun, keyakinan terhadap apa pun. Untuk apa? Agar keyakinan kita bisa kita lihat dari perspektif lain, atau misalnya agar keyakinan kita lebih jernih lagi, jika ada yang perlu dijernihkan. Tapi bukankah persepsi selalu harus kita jernihkan dan sucikan?

Memeriksa atau merenungkan atau memikirkan keyakinan kita itu bisa juga dengan cara membaca. Berarti, cara agar kita bersikap terbuka adalah bisa dengan membaca. (Selalu jika kita mengatakan membaca, ya bisa membaca alam, membaca tanda zaman, tapi terutama membaca buku).

Bagaimana membaca bisa membuat seseorang bersikap terbuka? Jelas. Membaca sesuatu topik atau subjek jelas agar kita mendapatkan sesuatu dari bahasan mengenai topik atau subjek itu. Ini berarti kita mendapatkan sesuatu. Kita bisa mendapatkan fakta-fakta, cerita, kisah, pengetahuan, pemahaman, imajinasi atau apa saya yang menambahkan sesuatu dalam diri kita. Bersikap terbuka lebih kepada 'bagaimana kita' daripada 'mendapatkan apa' dari subjek atau topik itu.

Tapi selain mendapatkan sesuatu, membaca menciptakan sesuatu yang lebih hebat lagi, yakni kita menjadi seperti apa, kita menjadi bagaimana. Kalau kita mendapatkan fakta-fakta atau informasi atau pengetahuan atau pemahaman baru atau yang lebih mutakhir, tapi kita sendiri tidak berubah dan tidah berbuah dari hal yang kita dapatkan, hasilnya masih timpang.

Saya masih ingat dengan pertanyaan beberapa sahabat kepada saya, yang intinya kira-kira begini, "Kita membaca karya-karya filsafat, untuk apa?" Ini pertanyaan menarik dan menggugah. Pertanyaan ini mengandaikan dan menunjuk kepada sesuatu apa yang kita dapatkan dari bacaan. Dalam membaca (bahkan mungkin dalam kehidupan manusia secara umum) jauh lebih penting kita menjadi bagaimana daripada mendapatkan apa.

Dalam konteks yang lain, tapi masih berhubungan, Erich Fromm (1900 – 1980), seorang psikolog dan filsuf Jerman sudah mengusulkan gagasan itu menjadi To Have atau To Be yang mengakibatkan perbedaan besar menjadi antara having dan being. Satu hal yang diusulkan Fromm dengan gagasan itu adalah dengan mengumpulkan materi, uang, harta, benda apa pun; maka kita akan mendapatkan dan memperbanyak apa yang kita kumpulkan. Tapi itu tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan menjadi bagaimana kita dengan hal yang telah kita kumpulkan itu.

Membaca karya-karya yang bernada atau bernuansa atau bermuatan filosofis, kita tentu mendapatkan sesuatu atau banyak hal yang sangat bermanfaat dalam pengetahuan, pemahaman, dan yang sejenis. Tapi membaca karya-karya filosofis jauh lebih indah dan menawan lagi tatkala kita menciptakan kita lebih kepada 'berpikir bagaimana' daripada 'memikirkan atau mendapatkan apa'.

:-)


"Sebagian buku hanya untuk dijilat, sebagian lagi untuk ditelan, tetapi sedikit sekali yang benar-benar dikunyah dan dicerna."
~ Francis Bacon (1561-1626); esais dan filsuf Inggris

Waktu Luang: ke Mana Perginya?

Sering sahabat bertanya kepadaku tentang waktu, tepatnya penggunaan waktu. Tapi, sebenarnya, bisakah waktu digunakan? Apakah waktu seperti benda lain yang bisa kita kendalikan misalnya seperti cangkul, pulpen, buku, uang, laptop, hingga benda-benda itu bisa kita ambil, raih, atau kita buang sesuka kita?

Itu tentang waktu. Tapi waktu begitu lama. Kita pikirkan saja waktu yang cukup singkat, tapi sebenarnya bisa juga tergolong lama: waktu luangTapi apakah waktu luang itu?

Kalau kita cukup gemar melihat kamus atau atau melihat pengertian sesuatu yang yang sudah begitu umum, hingga jarang diperhatikan atau direnungkan, maka akan terlihat hal-hal yang mungkin di mana kita mendapatkan makna aslinya, atau makna baru, atau makna yang sesungguhnya.

Maka cobalah kita lihat kamus. Waktu luang atau free time sering diasosiasikan dengan: leisure, leisure time, spare time, atau time off. Yang cukup menarik, waktu luang didefinisikan sebagai time available for hobbies and other activities that you enjoy.

Jika waktu luang adalah waktu yang tersedia untuk melakukan hobi dan aktivitas yang menyenangkan, atau menggembirakan atau membahagiakan misalnya, maka bisa dimengerti waktu yang lain (yang bukan waktu luang) dilakukan bukan unutk hal seperti itu. 

Kalau begitu, waktu luang berarti sangat penting. Jika waktu luang begitu atau sangat penting, mengapa kita tidak mencari waktu luang atau memperbanyak atau tepatnya menambah waktu yang digunakan sebagai waktu luang?

Bagaimana dengan waktu-waktu yang digunakan bukan untuk hobi atau yang tidak tergolong menyenangkan? Baiklah, itu barangkali digunakan untuk aktivitas, pekerjaan, bahkan kegiatan yang menjadi tujuan hidup seseorang. Akan sangat menarik jika semua kegiatan itu menyenangkan. Sangat menarik jika semua kegiatan itu menjadi semacam hobi, sehingga waktu baginya hampir semua waktu luang atau mungkin tidak ada waktu luang lagi baginya. Tapi bagaimana jika kegiatan itu tidak menyenangkan bagi orang itu?

Dan ada ungkapan jika seseoarng melakukan pekerjaan yang benar-benar dia senangi, maka dia tidak perlu lagi bekerja.

Bagaimana dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan bukan sebagai yang menyenangkan atau hobi? Tentu mungkin kegiatan itu menyangkut nafkah, atau bahkan menyangkut kehidupan seseorang. Tapi sekali lagi, bagaimana jika kegiatan itu benar-benar tidak dia senangi?

Saya mendapatkan yang menarik beberapa hari lalu tentang melakukan yang tidak disenangi. Konon, satu hal yang positif dari seseorang adalah melakukan hal-hal yang tidak melulu karena disenangi. Banyak hal di dunia ini, karena juga berbagai alasan harus mengerjakan hal-hal yang tidak disenangi. Dan kemampuan untuk menyelesaikan pekerjaan yang kurang atau tidak disenangi itu, bisa dikatakan sebagai hal yang sangat penting dan bisa disebut juga sebagai hal yang membuat seseorang menjadi matang dan bertanggung jawab.

Apakah kita memang bisa hidup di dunia ini dengan mengerjakan semua hal yang kita senangi? Paling mungkin, pekerjaan atau hal yang tidak disenangi dibuat menjadi menyenangkan.

Dan sangat mungkin, sebenarnya seseorang melakukan sesuatu yang begitu mulia  bukan berdasarkan kesenangan tapi berdasarkan tujuan. 'Senang atau tidak senang, lakukan!' Ini mungkin bisa menjadi bahasan atau gagasan yang sangat menarik dan menantang.

Kembali, bahwa waktu luang adalah waktu yang begitu penting. Bagaimana dengan paradoks sibuk yang lazim terjadi di zaman sekarang bagi banyak orang?

Semua orang menginginkan waktu luang, tapi semua orang ingin sibuk juga.Semua orang sibuk, hingga mendambakan waktu luang. Tapi apa yang terjadi ketika waktu luang ada? Dia mencari kesibukan. Dia sibuk kembali.
:)


Ketika waktu luang ada, apa yang kita lakukan atau apa yang ingin kita lakukan?

December 9, 2010

Membaca Itu Mengasyikkan

Apakah kita gemar membaca? Jika belum, saya kira, kita sedang mengalami kerugian. Membaca adalah aktivitas yang sangat mengasyikkan kalau tidak mencengangkan.
:)

Kalau kita belum bisa menikmati membaca, berarti kita mengalami sesuatu yang aneh. Mengapa aneh? Karena membaca sebenarnya bukan hanya menjadi kesenangan atau hobi tapi lebih daripada itu adalah membaca adalah kewajiban atau keharusan. Menjadi aneh karena kita tidak pernah melakukan apa yang wajib atau harus kita lakukan. Siapa yang bilang begitu? Guru.

Siapa guru itu? Iya, guru yang mengajari kita mengenal simbol huruf, huruf, kata, dan seterusnya membaca. Dan bisa saja guru itu adalah orangtua atau nenek atau tetangga atau siapa saja yang mengajar kita membaca.

Setiap siswa atau siapa pun yang ingin pembelajaran, maka membacaadalah hal pertama dan utama yang harus dipelajari. Masih ingat menjadi siswa Sekolah Dasar (SD) atau Taman Kanak-kanak (TK) ketika kita belajar membaca? Mengapa kita harus diajari membaca? Mengapa kita harus membaca?

Kembali pertanyaan yang sering saya ajukan kepada siapa pun, "Mengapa setelah seseorang bisa membaca, lalu dia berhenti membaca?"

Membaca sebenarnya harus mutlak di zaman sekarang ini. Kecuali bidang-bidang yang mengandalkan fisik misalnya, maka membaca adalah sesuatu yang mutlak. Bahkan mengoperasikan sesuatu alat pun dibuat lewat tulisan, agar orang (bisa) membacanya.

Seperti sebelumnya, membaca lebih daripada hobi, tapi kewajiban. Bahkan kalau seseorang beragama, maka membaca semakin wajib. Apabila seseorang tidak beragama atau tidak mengakui Tuhan, maka membaca juga sama wajibnya bahkan lebih.
:-)

Baiklah. Kita anggap sebagai hobi lebih dahulu. Membaca lebih daripada aktivitas lain sangat menarik. Menarik karena membaca bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Berbeda seperti memancing atau main catur atau makin kartu atau mengoperasikan telepon genggam; membaca bisa dilakukan di mana saja. Bahkan di dalam pesawat, mengoperasikan telepon genggam atau alat elektronik lainnya dilarang. Tapi membaca tidak dilarang. Maka membaca memiliki keuntungan dan kelebihan tersendiri dibandingkan aktivitas lain yang bisa dijadikan sebagai hobi.

Lalu, mengapa masih diam saja? Beli buku yang belum pernah dibaca, atau boleh juga yang sudah pernah dibaca. Bacalah!


Membaca harus lebih daripada hobi. Teman saya berkata, "Mana ada sekarang orang yang cerdas tanpa membaca?"
:-)

December 3, 2010

Hati dan Kasih Ibu

Beberapa minggu lalu, ibu mengunjungi keluarga kami. Tentu, yang namanya ibu (bukan hanya kunjungannya saja akan sangat menyentuh dan membuat hati gembira), 'Ibu' itu sendiri sudah mengingatkan kita kepada hal yang sulit kita ungkapkan.

Sering saya membayangkan dan berpikir bahwa ungkapan atau ucapan terima kasih kepada ibu sendiri, seperti tidak bernilai dibandingkan cintanya kepada anak-anaknya. Memang berterima kasih sangatlah mulia, tapi berterima kasih kepada orangtua terlebih ibu, mirip seperti ungkapan karena tidak ada lagi ungkapan yang lebih tinggi daripada terima kasih -- paling ucapan syukur dan atau doa. Tapi itu pun semua masih tidak bisa melampaui kasih bunda kepada anak-anaknya.

Bunda kita, apalagi kalau beliau semakin berumur, maka kekuatan fisiknya pun sudah semakin melemah. Maka ketika seorang bunda yang sudah berumur menyapa, mengunjungi kita di tempat yang jauh, maka terasa semakin mengharukan.

Semakin tidak terucapkan karena ternyata kasihnya pun tidak berubah walaupun anak-anaknya sudah dewasa semua.

Sering terpikir betapa hebat kekuatan dan ketabahan seorang ibu. Maka saya sering berpikir juga, bahwa seorang ibu langkahnya sangatlah mengarah ke surga.

Ketika seorang ibu sudah semakin menua, maka dia pun sangat merindukan bahkan semakin merindukan anak-anaknya. Ketika dia berada di kampung halaman atau di tempat di tinggal (walaupun bukan kampung), maka dia selalu mengingat dan mendoakan anak-anaknya, di mana pun berada.

Menarik juga, ketika orangtua, teristimewa ibu, berada di tempat tinggalnya, yang diingatnya selalu adalah anak-anaknya, dan ketika dia berada bersama anak-anaknya di tempat yang jauh (ketika berkunjung itu), maka hatinya selalu terpaut dengan tempat dia tinggal dengan segala aktivitasnya (apakah itu tanaman kopi, bawang, padi, atau ternak peliharaan lainnya) atau bahkan hanya barang-barang yang selalu dia sentuh dan gunakan, misalnya periuknya.

Dan ketika kembali sudah menyentuh periuknya, di hatinya selalu anak-anaknya.

Ibu!