July 21, 2011

Bersikap Baiklah kepada Mahasiswa yang Drop Out (DO)

"Bersikap baiklah kepada mahasiswa yang mendapat nilai A karena suatu ketika bisa jadi ia kembali ke sini dan menjadi pengajar di kampus ini. Dan bersikaplah jauh lebih baik kepada mahasiswa yang 'drop out' (DO), karena suatu ketika bisa jadi ia kembali sebagai donatur yang membawa sumbangan miliaran rupiah."
:)
~ yang selalu dikatakan rektor kepada dekan dan para dosen

* * *

Itulah yang saya tuliskan di status kemarin. Sungguh menarik, bahwa banyak yang antusias dan ingin membagikan kembali ungkapan atau quote itu. 

Sudah pasti, bahwa pendidikan adalah hal yang sangat, amat penting untuk seorang manusia. Apalagi jika manusia itu hidup secara kolektif (komunitas, bahkan bangsa), maka pendidikan semakin nyata diperlukan. Boleh disebut bahwa pendidikan adalah dasar dari segala kemajuan personal atau kolektif itu. Di negara mana pun di dunia ini, pendidikan masih yang sangat menentukan jalan hidup, walaupun tentu bukan hanya pendidikan formal itu yang menentukan hidup.

Kemudian, jika kita menggunakan akal sehat secara memadai, kita pun sepantasnya menghormati kaum 'scholar'. Boleh digambarkan bahwa kaum 'scholar' adalah sebagai pembentuk, penjaga dan penjamin keilmuan, pengetahuan, bahkan kebenaran yang (akan) disepakati bersama oleh manusia-manusia tadi, sebagai konsensus, teori, hukum, bahkan konstitusi.

Jadi ungkapan di atas  tadi bukan untuk mengatakan bahwa bersekolah atau pendidikan tidak penting atau tidak ada nilainya, justru untuk menguatkan bahwa pengetahuan, sekolah, pendidikan, belum berhasil guna jika itu belum menjadi pedoman atau pembentuk manusia itu sendiri, pembentuk  karakternya, membentuk kecerdasannya, pembentuk kekuatan akal budinya, dan pembentuk kejernihan nuraninya.

Hanya yang mungkin sering menjadi masalah adalah orang-orang mengejar gelar kesarjanaan, bukan untuk menjadi sarjana, tapi untuk mengejar gelar-gelar itu sendiri. Dan jika gelar yang dikejar atau menjadi tujuan, maka hilanglah esensi kesarjanaan itu sendiri. Dan sungguh mengherankan, mengapa nama-nama dituliskan gelar-gelar kesarjanaannya. Apakah karena kurang percaya diri, ataukah merasa dia sudah benar-benar sarjana jika sudah memiliki gelar sarjana? Jadi mungkin akan semakin banyak orang yang bergelar sarjana, tapi secara ilmu, intelektual, watak, karakter, dan kearifan, belum layak dan sangat tidak pantas menjadi seorang sarjana. Apa sebenarnya makna sejati sarjana? Apakah pantas seorang sarjana bahkan sampai tingkat doktorat atau malah profesorjika yang dicarinya dan digemarinya adalah yang superfisial?

* * *

Kemudian, bagaimana pun seorang manusia yang menginginakan diri lebih baik, lebih berpemahaman, lebih berpengetahuan, lebih arif, maka pembelajaran mutlak menjadi pedoman hidup. Tentu pembelajaran pun berbagai macam bentuknya. Lebih daripada mengikuti pendidikan formal, pembelajaran inilah yang menjadi satu inti kehidupan itu sendiri. Banyak yang meyakini bahwa pembelajaran adalah untuk hidup, sebaliklnya banyak yang meyakini juga bahwa hidup itu sendiri adalah juga pembelajaran.

Untuk merefleksikan bahasan (yang menarik) ini, marilah kita renungkan sebuah cerita, yang pernah dituliskan oleh seorang dramawan dan novelis Inggris, W. Somerset Maugham (1874 – 1965):

Seorang pria bekerja sebagai penjaga di Gereja St. Peter di Neville Square, London. Ketika seorang vikaris di gereja itu mengetahui bahwa penjaga itu buta huruf, kemudian ia dipecat. Tanpa pekerjaan, pria ini mengambil tabungannya (yang jumlahnya kecil) dan memulai sebuah usaha kecil, yakni toko tembakau.

Seiring dengan berjalannya waktu, bisnisnya mulai bertumbuh dan ia berhasil menyulap pendapatannya itu menjadi jaringan toko tembakau yang lumayan menguntungkan.

Beberapa tahun kemudian, bankirnya mengatakan, "Kau sangat hebat untuk ukuran buta huruf, tapi akan seperti apa nasibmu jika kau bisa membaca dan menulis?"

Jawab pria itu, "Ya, saya pasti menjadi penjaga Gereja St. Peter di Neville Square."

:) 

April 12, 2011

Saya Bergembira Hari Ini

"Jangan pernah meminjamkan buku karena tidak akan pernah dikembalikan.
Buku-buku di perpustakaan saya, semuanya adalah hasil pinjaman."
:)
~  Anatole France ( 1844 – 1924); penyair, jurnalis, dan novelis Prancis; peraih Nobel Literatur 1921

* * *

Kejadian ini sebenarnya kemarin. Artinya, ini adalah tulisan kemarin yang saya tuliskan hari ini.

Sekitar setahun yang lalu, seorang sahabat ingin meminjam sebuah buku saya. Sahabat ini sangat ingin membaca buku itu. Dia berkata bahwa dia ingin melakukan perubahan besar dalam hidupnya, dan memulainya dengan buku itu. Tentu saja, saya merasa bergembira saat mendengar seorang sahabat mengatakan dan menyatakan hal yang seperti itu. Apakah kita mampu untuk menolaknya begitu saja? Apakah karena Anatole France berkata seperti yang di awal tulisan ini, lantas kita harus patuh padanya dan tidak menolong teman, dengan hanya meminjamkan buku? Dalam peristiwa seperti ini, saya memilih tidak  sepakat dengan Anatole France. 
:)

Sahabat ini adalah buruh sebuah perusahaan manufaktur. Istilah 'buruh' jarang disebut, yang umum digunakan adalah operator, lulusan sekolah menengah atas (SMA/SMU). Setahun kami sudah tidak bertemu, tapi sekitar enam bulan lalu, saya meneleponnya untuk sekadar menanyakan kabarnya. Dia berkata sedang mengambil sertifikasi, dan tidak tanggung-tanggung, dia mengambil tiga sertifikasi. Yang sering saya tahu untuk jenis seperti ini adalah welding inspector. Tapi mengambil tiga sertifikasi? Benar-benar kesungguhan luar biasa. Mengapa? Karena dia berhenti dari pekerjaannya dan fokus hanya untuk mengambil sertifikasi itu. Ada lagi yang cukup menantang selain masalah berhenti dari pekerjaan dan mengambil sertifikasi itu, yakni biayanya. Dan menurutnya, tabungannya habis bahkan kurang untuk biaya ketiga sertifikasi ini.

Kata sahabat ini, dua dari sertifikasi itu umumnya hanya bisa diterima jika sudah kuliah tingkat sarjana. Setelah lulus satu sertifikasi, dia heran dengan syarat itu. Mengapa harus sarjana kalau misalnya yang bukan sarjana juga bisa?

Menghadapi kebuntuan ini, dia menemui saya saya delapan bulan lalu. Saya hanya berkata, coba temui orang yang paling bertanggung jawab mengenai materi sertifikasi itu. Barangkali memang disyaratkan sarjana dengan asumsi bahwa sarjana terutama sarjana teknik sudah mempelajari beberapa mata kuliah atau ilmu yang memang syarat atau sesuatu hal yang harus dipahami sebelum mengambil sertifikasi itu, mungkin kalkulus, aljabar linier, trigonometri, probabilitas, statistik dan pengertian-pengertian yang tidak boleh keliru, misalnya mengenai presisi dan toleransi. 

Dia mendatangi seorang instruktur yang paling bertanggung jawab mengenai materi. Sahabat ini meminta agar diuji sebagai pendahuluan apakah dia boleh atau pantas untuk ikut sertifikasi yang biasanya hanya untuk tingkat sarjana itu. Dan apa yang terjadi? Dia bisa, lulus, dan diterima!

Dia mengikuti studi atau kursusnya sampai selesai. Dan begitu hebat, dari dua puluh enam peserta sertifikasi yang berbulan-bulan itu, dia lulusan terbaik!

Setelah delapan bulan inilah dia menyelesaikan ketiga sertifikasi. Dan kemarin, dia datang menemuiku, membawa dan mengembalikan buku yang dipinjamnya setahun lalu itu. Dia bercerita banyak, kesulitan biaya, tapi tidak pernah kekurangan semangat dan spirit.

Dia mengambil pilihan, keputusan, dan komitmen itu setelah membaca buku yang baginya begitu menggugah hidupnya.Saya begitu terkejut, ketika dia memutuskan untuk menjadi pembaca. Betapa hebatnya, sebuah buku mengubah dan membarui hidup seseorang. Dia meminta saya untuk menemaninya membeli buku yang bernada membangun semangat dan jiwanya. 

"Saya begitu bersyukur dan terharu hari ini, Kawan!" Saya berseru. Dia menangis, kemudian tersenyum kembali. Saya lanjutkan, "Berapa biaya yang kamu sediakan untuk buku hari ini?" Dia berkata, "Lima ratus ribu!"

Dengan momen yang menginspirasi ini, saya menemaninya membeli buku-buku yang tepat untuk suasana hati dan jiwanya. Saya merekomendasikan beberapa buku, dan ajaib, semua buku itu ada. Dia membeli buku-buku:
1. The Seven Habits of Highly Effective People,  karya Stephen R. Covey
2. The Magic of Thinking Big, karya David Schwartz.
3. How to Win Friends and Influence People, karya Dale Carnegie
4. The Power of Positive Thinking, karya Norman Vincent Peale
Dan ada satu lagi saya rekomendasikan sebuah buku dari novelis Brazil, Paulo Coelho, The Alchemist.

Empat buku yang pertama, dia memilih yang hard cover

* * *


"Saya menenggelamkan diri saya sendiri ke dalam pikiran-pikiran orang lain.
Apabila saya tidak berjalan-jalan, saya membaca.
Saya tidak dapat duduk dan berpikir.
Buku-bukulah yang berpikir untuk saya."
:)
Charles Lamb (1775-1834); esais Inggris 

February 28, 2011

Agama Mana yang Memiliki Tuhan?

‎"Fanatisme merupakan penggandaan kembali upaya Anda apabila Anda telah melupakan tujuan Anda."
~ George Santayana (1863-1952); filsuf Amerika kelahiran Spanyol

* * *
Pernahkah kita (manusia) membayangkan, jika agama tidak pernah ada di bumi ini? Kalau agama tidak pernah ada maka (ajaran atau tafsiran) agama tidak pernah menjadi alasan kekerasan, penyerangan, pembunuhan, bahkan perang.

Lalu, pernahkah kita (manusia) membayangkan seperti apakah Tuhan melihat atau memandang manusia? Atau seperti apakah Tuhan memperlakukan manusia?

Lalu pernahkah kita (manusia) merenungkan, bagaimana Tuhan memandang agama? Lalu bagaimana Tuhan memandang manusia yang beragama dan manusia yang tidak beragama?

Lalu, pernahkan kita (manusia) melihat sesuatu melalui kaca mata orang beragama, orang tidak beragama, orang suci, atau agnostik atau ateis?

Untuk siapakah agama manusia? Untuk manusia atau untuk Tuhan?

Kita masing-masing barangkali ada yang percaya Tuhan, ada yang ragu-ragu, ada yang agnostik, ada yang ateis bahkan mungkin ada yang tidak pernah tahu bahwa Tuhan ada atau tidak.

Dari mana, kapan, dari siapa, atau bagaimanakah kita semua menjadi percaya Tuhan (jika percaya)? Dari orangtua, dari saudara, dari tetangga, dari guru, dari imam, dari kitab suci, dari buku-buku, dari khotbah, atau dari mana?

Apakah ada dari kita yang sudah pernah bertemu Tuhan dan mendengarkan langsung apa yang dikatakan-Nya?

Bahkan sekiranya ada orang yang benar-benar bertemu dengan Tuhan, orang lain mungkin tidak percaya dengan adanya pertemuan itu. Dan mungkin orang yang beragama akan mengatakan bahwa pertemuan dan orang itu, sesat. Orang bertemu Tuhan, kok sesat?

Masih banyak pertanyaan dan renungan yang membuat kita harus semakin arif atau rendah hati jika menyangkut Tuhan ini. 

Thomas Aquinas berkata, bahwa pengetahuan tertinggi mengenai Tuhan adalah bahwa kita tidak mengetahui Tuhan.
:)

Sembari merenungkan ini semua, marilah kita baca cerita ini: *

Saya dan Sahabat pergi ke sebuah pameran: Pameran Agama-agama sedunia. Bukan sebuah pameran dagang. Tapi, persaingan juga sama kerasnya, dan propaganda sama gencarnya.

Di kios Yahudi, kami diberi selebaran yang mengatakan bahwa Tuhan adalah maharahim dam orang Yahudi adalah bangsa pilihannya. Iya, orang Yahudi, bukan bangsa yang lain.

Di kios Muslim kami mendengar bahwa Tuhan adalah maharahim dan Muhammad SAW adalah nabi-Nya. Keselamatan datang dari mendengarkan dan mengikuti nabi Tuhan ini.

Di kios Kristen kami mendapatkan bahwa Tuhan adalah kasih, dan tidak ada keselamatan di luar gereja. Bergabunglah dengan gereja atau Anda akan masuk neraka.

Ketika keluar, saya bertanya kepada Sahabat saya, "Apa pendapat-Mu tentang pameran ini, Tuhan? Tidakkah Engkau tahu bahwa mereka merusak nama-Mu selama berabad-abad?"

Tuhan berkata, "Saya tidak mengorganisir pameran itu dan Saya merasa malu berkunjung ke situ."

:)


TUHAN SUKA MEMBERSIHKAN LANTAI **

tak ada yang mengaku melihat tuhan
apalagi bertemu sekedar bertegursapa
tapi mereka masih saja berkoarkoar
menjualnya di sekolahan di perempatan
di peraturanperaturan di ketetapanketetapan

negeri yang sibuk dengan katakata
segala jenis petuah pidato dan pernyataan
diamdiam seperti klakson kendaraan
berdesakan dengan udara hitam
meracuni pelajar saat berangkat pagi hari

kemudian masihkah kau mau membeli obat
kerna memang belum tentu menyembuhkan
celakanya tak ada yang menjual sehat
hanya sebatas memantulkan sifat
yang mesti dinyatakan dalam keseharian

lihat ada yang datang tanpa busana
menepuknepuk kepala lalu membiarkanku
ragu pada hampir semua jenis nyanyian
suarasuara mengeringkan mata
tak rampung meski tawa telah menggema

selain tuhan tak ada lagi yang dijual
aku membeli satu yang membawa sapu

di atas lantai kita serupa debu

* ~ Cuplikan cerita oleh Anthony de Mello dari  buku 1000 Stories Can You Use karya Frank Mihalic
** ~ Puisi karya penyair Kurniawan Yunianto


January 25, 2011

Diampuni

"The first half of our lives is ruined by our parents, and
the second half by our children."
~ Clarence Darrow (1857 – 1938)

* * *

Banyak dari antara kita tidak hanya mempunyai orangtua, tetapi adalah orangtua. Kenyataan ini sudah membuat kita berpikir, karena mungkin sekali anak-anak kita akan banyak berbicara dengan kawan mereka, dengan pembimbing mereka, dengan psikiater, dan dengan pembimbing rohani mengenai diri kita!


Dan kita berusaha keras untuk tidak melakukan kesalahan yang sama seperti yang dilakukan oleh orangtua kita! Namun, karena kita lebih toleran daripada ayah atau ibu kita, mungkin saja anak-ank kita masih mengeluh karena kita kurang disiplin. Tidak mustahil juga, sementara kita berusaha agar anak-anak bebas memilih cara hidup mereka sendiri, agama mereka, atau karier mereka sendiri, mereka membicarakan kita sebagai orang-orang yang berwatak lemah, yang tidak berani memberi pengarahan yang jelas.

Yang menyedihkan dalam hidup kita ialah, sementara kita menderita karena luka yang disebabkan oleh orang-orang yang mencintai kita, kita tidak dapat menghindar dari melukai orang yang ingin kita cintai.Kita begitu ingin mencintai sebaik-baiknya, memberi perhatian sebaik-baiknya, memahami sebaik-baiknya, tetapi tetap akan ada orang yang mengatakan kepada kita, "Ketika saya amat membutuhkan dirimu, kamu tidak ada di situ; kamu tidak peduli dengan yang saya kerjakan dan pikirkan; kamu tidak memahami atau berusaha memahami saya."

Kalau kita mendengar celaan seperti ini atau merasakan kritik orang-orang yang kita cintai, kita sadar bahwa - seperti halnya kita harus meninggalkan ayah, ibu, saudara, dan saudari kita - mereka pun harus meninggalkan kita dan menemukan kemerdekaan mereka sendiri. Kesadaran ini menyakitkan. Rasanya sakit kalau kita melihat orang-orang yagn amat kita cintai meninggalkan kita, dan berjalan ke arah yang kita takutkan.

Pada saat itulah kita dipanggil untuk sungguh-sungguh percaya kepada kebenaran bahwa kebapaan dan keibuan itu adalah yang dapat mengasihi.

Kalau dipegang sungguh-sungguh keyakinan ini dapat membuat kita bebas tidak hanya untuk mengampuni orangtua kita, tetapi juga membiarkan anak-anak kita mengampuni kita.


Henri J. M. NouwenHERE and NOW: Living in the Spirit

Hal Agung di Tempat Tukang Urut

Selama beberapa hari ini, saya mengunjungi seorang anggota keluarga yang sakit, sakit karena patah tulang di bagian paha dan lengan. Ternyata di tempat itu, sudah banyak orang sebelumnya yang tinggal menginap berbagai hal terutama karena patah tulang juga, terkilir, ada juga yang sakit akibat luka bakar. Banyak hal yang sangat menarik dan menakjubkan tampak di sana.


Yang tinggal di sana berobat kebanyakan akibat jatuh dari sepeda motor, selain jatuh dari ketinggian tertentu ketika menukangi sebuah rumah atau terkilir ketika melaksanakan aktivitas olahraga.

Selama berada dan jika mengingat hal-hal yang terjadi di sana,  begitu mengingatkan saya kepada banyak hal. Utamanya adalah ternyata tubuh kita begitu ringkih, dan manusia begitu terbatas secara fisik. Tapi ada yang selalu terngiang: mengenai cinta seorang ibu.

Pertama, kalau kita amati dalam berbagai pengalaman hidup, tentang patah tulang, sering terjadi di sana hal yang tidak mudah dicerna akal. Biasanya jika seseorang mengalami patah tulang, apalagi ada serpihan tulang di dalam tubuhnya, sering dianjurkan atau dinyatakan agar amputasi. Tapi di tempat tukang urut ini, hal itu tidak terjadi. Melalui tukang urut, tulang-tulang yang retak, patah,  bahkan remuk disatukan kembali.

Kedua, yang terjadi kepada mereka adalah hal yang tidak mereka inginkan. Dunia modern sering dikumandangkan mengenai keinginan-keinginan, dan mencoba memastikan agar keinginan ini benar-benar terjadi, nanti. Menginginkan yang mulia, mungkin mulia. Mengharapkan yang baik, adalah baik. Tapi bagaimana jika yang terjadi adalah bukan hal yang kita inginkan? Walaupun sepertinya menarik dan menyenangkan menginginkan seseuatu dan sesuatu itu terjadi, tapi mendapatkan yang tidak kita inginkan menciptakan hal mulia juga.

Kalau kita renungkan, di antara kedua ini:  'menginginkan suatu hal dan terealisasi' dan 'suatu hal terjadi kepada diri kita yang kita tidak inginkan'; yang mana yang kira-kira membuat kita semakin memaknai hidup lebih dalam, dan membuat atau menciptakan kearifan dalam diri kita? Bagaimana seseorang yang mengalami kehidupan yang sebelumnya normal, tiba-tiba berubah total menjadi hanya bisa 'hidup' dengan hanya bantuan orang lain?

Ketika kita lihat para penderita patah tulang dan bahkan harus terlentang dengan posisi yang sama, begitu tidak berdayanya seseorang tanpa bantuan orang lain. Bukan hanya tidak bisa menggerakkan sendiri tubuhnya, untuk mengganti pakaian pun, mereka tidak bisa sendiri.

Ketiga, teringat dengan tubuh yang harus dibantu oleh orang lain. Terasa begitu memilukan. Saya melihat seorang anak muda (lelaki dewasa) yang dijaga oleh seorang ibu, ibundanya sendiri. Ini kelihatan sederhana tapi begitu mengharukan. 

Biasanya seorang ibu membantu putranya untuk buang air kecil, buang air besar, mengganti celana anaknya ketika anak itu  masih kanak-kanak. Tapi di sini, seorang ibu, karena kecelakaan yang terjadi kepada anaknya, datang dan kembali merawat anak dewasanya persis seperti anak kecil: memasak makanannya, menyuapinya, mengelap atau memandikan putranya. Bahkan harus mengganti celana (dalam) anak sendiri! Ibu harus meninggalkan segalanya: aktivitasnya, rumahnya, kampungnya, segalanya demi merawat dan mengembalikan 'hidup'' anaknya kembali.



Ibu !!!


"Ya Allah,
berilah aku; 
Ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah;
Keberanian untuk mengubah apa yang harus saya ubah;
dan,
Kebijaksanaan untuk mampu membedakan keduanya."

~ Reinhold Niebuhr (1892 – 1971); teolog dan komentator sosial

Makna Keluarga

Selama beberapa minggu belakangan, saya sering mengamati dan merenungkan makna keluarga. Keluarga yang begitu kuat membentuk kehidupan kita.

Merenungkan keluarga ini sering muncul ketika melihat bayi yang sedang tidur nyenyak, anak-anak yang bermain-main tanpa pernah letih, beberapa kali acara pernikahan, dan juga terutama kebaikan dan kehebatan seorang ibu.

Ketika melihat bayi yang sedang tidur umpamanya, terasa suasana begitu damai. Seorang bayi hadir, dia hadir dengan belum mengetahui siapa ayahnya, siapa ibunya, dan siapa yang kakaknya jika sudah ada. Dia lahir dan hadir di sebuah keluarga, yang begitu indah jika keluarga itu merindukan, menerima dan mencintainya.

Suatu saat saya melihat beberapa anak yang bermain-main tanpa henti di perosotan sampai ibunya mengambilnya dan pergi entah ke mana, mungkin ke rumah mereka.

Suatu kali saya melihat pasangant yang baru dinikahkan. Terasa begitu indah, mungkin bukan hanya bagi orang-orang yang mendatangi dan ikut bergembira, tapi terlebih kepada keluarga kedua mempelai dan terutama kedua mempelai.

Saya sering berpikir, dalam kehidupan ini, peristiwa pernikahan adalah hal yang mengubah hidup banyak orang, tapi mengapa banyak orang tidak belajar cukup untuk menempuh dan melalui hidup yang baru yang seperti dua manusia harus melakukan sesuatu secara bersama terhadap keputusan yang harus diambil satu orang umpamanya.

Bagaimana kedua pasangan ini menumbuhkan cinta yang terus-menerus? Dari mana dan bagaimana kedua pasangan ini mendapat kekuatan untuk selalu mampu mencintai?

Mungkinkah karena ada barangkali unsur naluriah, sehingga untuk menikah tidak perlu pengetahuan dan pemahaman atau malah keterampilan yang perlu dipersiapkan sebelumya?

Sungguh menarik, misalnya, untuk ketrampilan yang lain, manusia sering mempelajari dengan serius bahkan bertahun-tahun, termasuk untuk mengejari ilmu pengetahuan. Bagaimana dengan menikah dan mencintai? Apakah kedua mempelai ini sudah mempelajari hal yang cukup untuk terampil mencintai?

Suatu saat saya mengingat keluarga yang cukup banyak anak, saya membayangkan sebuah keluarga dengan delapan, sembilan, atau tiga belas anak. Sungguh menciptakan kekaguman tersendiri. Saya mengingat sebuah keluarga di kampung, dulu, di mana keluarga ini memiliki anak sepuluh orang. Rumah mereka di desa, yang belum ada fasilitas air PDAM ke rumah, dan saya bisa mengenang rumah-rumah yang tidak ada toiletnya. Rumah-rumah dengan toilet alam.

Ke mana orang-orang di kampung ini membuang air kecil dan air besar? Apakah pernah suatu saat atau malah sering dua orang manusia yang berjenis kelamin berbeda ketika akan membuang air besar bertemu di suatu tempat yang rahasia mereka untuk buang air besar?
:)

Saya mengingat tentang pertentangan yang belum bisa diatasi oleh seorang ibu untuk menentukan antara keluarg dan karir. Permenungan ini tidak hendak mengatakan pilihan bahwa seorang ibu memelihara dan merawat anak secara khusus lebih baik daripada ibu yang bekerja bahkan bekerja total meninggalkan anak. Ini hanya merenungkan makna apa saja yang bisa muncul dari kehidupan berkeluarga, apa pun pilihan ibu, apa pun pilihan keluarga.

Teringat ketika sering ungkapan bahwa seorang ibu bekerja adalah untuk keluarga (ayah juga sama). Berarti fokus dan tujuannya bekerja seorang ibu adalah keluarga. Bagaimana dengan karir?

Saya teringat akan hal  menarik, mengapa banyak orang yang mendikotomikan bekerja dan keluarga? Bukankah bekerja di rumah untuk merawat anak, membesarkan anak, membesarkan keluarga, juga bisa menjadi karir seperti karir lain. Kalau saya mengingat situasi seperti ini, saya selalu mengingat seseorang ibu yang hebat, Rose Elizabeth Kennedy (1890 – 1995). Beliau adalah ibunda Presiden Kennedy dan jaksa agung Robert Kennedy. Ibu ini melahirkan anak sembilan orang. Ibu ini begitu hebat, bukan karena anaknya menjadi presiden Amerika, atau jaksa agung atau senator, tapi karena paham dan pilihannya menjadi seorang ibu. Ibu ini berkata dan berjanji kepada dirinya sendiri, kira-kira begini, "Saya akan menjadi ibu yang luar biasa bagi anak-anak, menjadi awal yang besar bagi kehidupan, bagi sebuah bangsa - ibu yang hebat." Sekali lagi, apa pun yang terbaik atau prioritas yang juga begitu banyak pertimbangannya, seroang ibu memilih akan seperti apa dia menjadi ibu.  Tapi jika komitmen sudah seperti Ibu Rose tadi, apa lagi yang bisa kita komentari?

Terakhir, saya mengingat akan pembicaraan beberapa teman beberapa hari lalu ketika seorang sahabat bertanya kepada sahabatnya.
"Liburan begini, teman-teman pada ke mana dan melakukan kegiatan apa saja?"

Seseorang menyahut, "Saya tidak ada kegiatan, sedih, cuma di rumah saja bersama anak-anak."

Sahabat penanya pertama tadi menyahut kembali, "Mengapa mengatakan berada di rumah bersama anak-anak, tidak ada kegiatan dan sedih? Bukankah bersama-sama dengan anak-anak adalah hal besar dan penting?"



Apakah keluarga modern sudah semakin menyerupai kondisi dalam gambar ini?
:-)

Mesianik Sepakbola

Saya adalah penggemar sepakbola. Tapi lebih daripada penggemar saja, saya pernah pemain sepakbola. Penggemar sepakbola bisa saja tidak pernah bermain sepakbola, bahkan banyak penggemar (klub) sepakbola yang tidak tahu bagaimana wasit meniupkan peluit karena pemain berada pada posisi off-side.

:)

Apa artinya penggemar sepakbola? Ya, penggemar sepakbola. Artinya, saya menggemari sepakbola. Kalau misalnya dalam final AFF dua kali, antara Malaysia v. Indonesia, siapa pun yang menang, saya tetap menikmati permainannya (menikmati sepakbolanya).

Khusus final antara Malaysia v. Indonesia dan Indonesia v. Malaysia (bagi yang belum tahu, dalam penulisan atau pengucapan tim tanding, maka yang disebut pertama adalah tuan rumah atau sering disebut main di kandang, kalau menjadi tamu disebut main tandang).

Memang di Jakarta, sebelumnya Indonesia menang dua kali melawan Malaysia, tapi bukan berarti Malaysia adalah tim yang kacau atau tidak bermutu atau tidak berkelas. Malaysia adalah tim kuat. Kemudian secara logika sederhana saja, tentu saja Malaysia tidak mau kalah tiga kali berturut-turut melawan tim yang sama.


Perspektif Sosial

Khusus Indonesia (dan beberapa negara di Amerika Selatan, mungkin sebagian Afrika), sepakbola adalah semacam pembebasan atau 'mesianik' dari segala macam kesemrawutan, penderitaan, kekesalan, kemiskinan, kekacauan dan masih banyak yang sejenis berhubungan, juga ketidakadilan dan terutama ketelanjangan ketidakadilan itu sendiri. Dan semakin parah, ketika ketelanjangan kejahatan itu sendiri dibiarkan dan bahkan semacam penunjukan simbol: 'saya bisa memperalat hukum dan penegak hukum'. (Bagaimana seorang tahanan di Jakarta bisa berlibur ke Bali?)

Apa yang bisa dikatakan lagi dengan situasi seperti ini?

Maka rakyat (tentu tidak semua - tapi kebanyakan) memerlukan pembebasan, yang pembebasan itu pun sesaat. Mengapa sesaat? Itu terjadi ketika piala diangkat oleh sang kapten tim nasional, dan diselebrasi keliling lapangan dan tepuk tangan serta euforia penonton - jika juara). Dan jika pun juara, dan setelah keluar stadion (jika menonton di Gelora Bung Karno) atau setelah tidak di depan televisi, maka penonton akan kembali persis kepada keadaan semula - situasi yang ingin pembebasan tadi.

Ada satu syarat yang 'mesianik' ini menjadi semakin indah (misalnya kalau dikatakan indah), itu terjadi jika sepakbola itu sendiri terlepas atau terpisah dari ketelanjangan tadi.

Tapi apa yang terjadi dengan sepakbola Indonesia? Apa yang terjadi dalam tubuh PSSI? (Apakah kita mengingingkan sepakbola dengan program instan dan hasil instan?)

Maka waktu pembebasan yang sesaat itu pun tidak kunjung datang.

Rakyat (penonton) semakin ternganga mulutnya, ketika tim nasional kebobolan terlebih dahulu menjadi 0 -1. Kebobolan satu berarti tim nasional harus menciptakan 5 gol. Lima gol? Menciptakan lima gol ketika tim tertinggal satu?

Maka saat kebobolan satu gol, penonton sudah mulai kehabisan tenaga. Kehabisan tenaga karena letih sendiri menanti gol yang harus terjadi. Memang terjadi gol: 1 - 1, 2 - 1, tapi waktu semakin sempit. Sekiranya tim nasional pun bisa menciptakan tiga gol lagi, tapi waktu untuk menciptakan itu tidak sempat.

Maka ketika semakin tertinggal, maka penonton semakin capek. Saya lihat sendiri bersama teman-teman saat menonton bersama, yang begitu yakin Indonesia bisa mengalahkan Malaysia 7 - 0.

Kalau biasa memperhatikan pertandingan sepakbola, ketika Indonesia tertinggal 0 -1, seharusnya teriakan penonton harus membahana menyemangati para pemain. Tapi apa yang terjadi?

Karena kehabisan tenaga, penonton pun tidak bisa teriak lagi. Tenaga yang terkuras tidak cukup lagi bagi penonton untuk melakukan anarki, misalnya. Penonton bukan tenang karena tenang dari batin, tapi karena kehabisan tenaga.

Syukurlah berakhir seperti itu!

:-)