Selama beberapa minggu belakangan, saya sering mengamati dan merenungkan makna keluarga. Keluarga yang begitu kuat membentuk kehidupan kita.
Merenungkan keluarga ini sering muncul ketika melihat bayi yang sedang tidur nyenyak, anak-anak yang bermain-main tanpa pernah letih, beberapa kali acara pernikahan, dan juga terutama kebaikan dan kehebatan seorang ibu.
Ketika melihat bayi yang sedang tidur umpamanya, terasa suasana begitu damai. Seorang bayi hadir, dia hadir dengan belum mengetahui siapa ayahnya, siapa ibunya, dan siapa yang kakaknya jika sudah ada. Dia lahir dan hadir di sebuah keluarga, yang begitu indah jika keluarga itu merindukan, menerima dan mencintainya.
Suatu saat saya melihat beberapa anak yang bermain-main tanpa henti di perosotan sampai ibunya mengambilnya dan pergi entah ke mana, mungkin ke rumah mereka.
Suatu kali saya melihat pasangant yang baru dinikahkan. Terasa begitu indah, mungkin bukan hanya bagi orang-orang yang mendatangi dan ikut bergembira, tapi terlebih kepada keluarga kedua mempelai dan terutama kedua mempelai.
Saya sering berpikir, dalam kehidupan ini, peristiwa pernikahan adalah hal yang mengubah hidup banyak orang, tapi mengapa banyak orang tidak belajar cukup untuk menempuh dan melalui hidup yang baru yang seperti dua manusia harus melakukan sesuatu secara bersama terhadap keputusan yang harus diambil satu orang umpamanya.
Bagaimana kedua pasangan ini menumbuhkan cinta yang terus-menerus? Dari mana dan bagaimana kedua pasangan ini mendapat kekuatan untuk selalu mampu mencintai?
Mungkinkah karena ada barangkali unsur naluriah, sehingga untuk menikah tidak perlu pengetahuan dan pemahaman atau malah keterampilan yang perlu dipersiapkan sebelumya?
Sungguh menarik, misalnya, untuk ketrampilan yang lain, manusia sering mempelajari dengan serius bahkan bertahun-tahun, termasuk untuk mengejari ilmu pengetahuan. Bagaimana dengan menikah dan mencintai? Apakah kedua mempelai ini sudah mempelajari hal yang cukup untuk terampil mencintai?
Suatu saat saya mengingat keluarga yang cukup banyak anak, saya membayangkan sebuah keluarga dengan delapan, sembilan, atau tiga belas anak. Sungguh menciptakan kekaguman tersendiri. Saya mengingat sebuah keluarga di kampung, dulu, di mana keluarga ini memiliki anak sepuluh orang. Rumah mereka di desa, yang belum ada fasilitas air PDAM ke rumah, dan saya bisa mengenang rumah-rumah yang tidak ada toiletnya. Rumah-rumah dengan toilet alam.
Ke mana orang-orang di kampung ini membuang air kecil dan air besar? Apakah pernah suatu saat atau malah sering dua orang manusia yang berjenis kelamin berbeda ketika akan membuang air besar bertemu di suatu tempat yang rahasia mereka untuk buang air besar?
:)
Saya mengingat tentang pertentangan yang belum bisa diatasi oleh seorang ibu untuk menentukan antara keluarg dan karir. Permenungan ini tidak hendak mengatakan pilihan bahwa seorang ibu memelihara dan merawat anak secara khusus lebih baik daripada ibu yang bekerja bahkan bekerja total meninggalkan anak. Ini hanya merenungkan makna apa saja yang bisa muncul dari kehidupan berkeluarga, apa pun pilihan ibu, apa pun pilihan keluarga.
Teringat ketika sering ungkapan bahwa seorang ibu bekerja adalah untuk keluarga (ayah juga sama). Berarti fokus dan tujuannya bekerja seorang ibu adalah keluarga. Bagaimana dengan karir?
Saya teringat akan hal menarik, mengapa banyak orang yang mendikotomikan bekerja dan keluarga? Bukankah bekerja di rumah untuk merawat anak, membesarkan anak, membesarkan keluarga, juga bisa menjadi karir seperti karir lain. Kalau saya mengingat situasi seperti ini, saya selalu mengingat seseorang ibu yang hebat, Rose Elizabeth Kennedy (1890 – 1995). Beliau adalah ibunda Presiden Kennedy dan jaksa agung Robert Kennedy. Ibu ini melahirkan anak sembilan orang. Ibu ini begitu hebat, bukan karena anaknya menjadi presiden Amerika, atau jaksa agung atau senator, tapi karena paham dan pilihannya menjadi seorang ibu. Ibu ini berkata dan berjanji kepada dirinya sendiri, kira-kira begini, "Saya akan menjadi ibu yang luar biasa bagi anak-anak, menjadi awal yang besar bagi kehidupan, bagi sebuah bangsa - ibu yang hebat." Sekali lagi, apa pun yang terbaik atau prioritas yang juga begitu banyak pertimbangannya, seroang ibu memilih akan seperti apa dia menjadi ibu. Tapi jika komitmen sudah seperti Ibu Rose tadi, apa lagi yang bisa kita komentari?
Terakhir, saya mengingat akan pembicaraan beberapa teman beberapa hari lalu ketika seorang sahabat bertanya kepada sahabatnya.
"Liburan begini, teman-teman pada ke mana dan melakukan kegiatan apa saja?"
Seseorang menyahut, "Saya tidak ada kegiatan, sedih, cuma di rumah saja bersama anak-anak."
Sahabat penanya pertama tadi menyahut kembali, "Mengapa mengatakan berada di rumah bersama anak-anak, tidak ada kegiatan dan sedih? Bukankah bersama-sama dengan anak-anak adalah hal besar dan penting?"

Apakah keluarga modern sudah semakin menyerupai kondisi dalam gambar ini?
:-)
1 comment:
iya, semakin jarang manusia yang sukses bersetia mencintai dan merawat yang sudah ada dan selalu ada di dekat dekatnya. mereka cenderung mencari hal-hal yang belum ada.
Post a Comment