Saya adalah penggemar sepakbola. Tapi lebih daripada penggemar saja, saya pernah pemain sepakbola. Penggemar sepakbola bisa saja tidak pernah bermain sepakbola, bahkan banyak penggemar (klub) sepakbola yang tidak tahu bagaimana wasit meniupkan peluit karena pemain berada pada posisi off-side.
:)
Apa artinya penggemar sepakbola? Ya, penggemar sepakbola. Artinya, saya menggemari sepakbola. Kalau misalnya dalam final AFF dua kali, antara Malaysia v. Indonesia, siapa pun yang menang, saya tetap menikmati permainannya (menikmati sepakbolanya).
Khusus final antara Malaysia v. Indonesia dan Indonesia v. Malaysia (bagi yang belum tahu, dalam penulisan atau pengucapan tim tanding, maka yang disebut pertama adalah tuan rumah atau sering disebut main di kandang, kalau menjadi tamu disebut main tandang).
Memang di Jakarta, sebelumnya Indonesia menang dua kali melawan Malaysia, tapi bukan berarti Malaysia adalah tim yang kacau atau tidak bermutu atau tidak berkelas. Malaysia adalah tim kuat. Kemudian secara logika sederhana saja, tentu saja Malaysia tidak mau kalah tiga kali berturut-turut melawan tim yang sama.

Perspektif Sosial
Khusus Indonesia (dan beberapa negara di Amerika Selatan, mungkin sebagian Afrika), sepakbola adalah semacam pembebasan atau 'mesianik' dari segala macam kesemrawutan, penderitaan, kekesalan, kemiskinan, kekacauan dan masih banyak yang sejenis berhubungan, juga ketidakadilan dan terutama ketelanjangan ketidakadilan itu sendiri. Dan semakin parah, ketika ketelanjangan kejahatan itu sendiri dibiarkan dan bahkan semacam penunjukan simbol: 'saya bisa memperalat hukum dan penegak hukum'. (Bagaimana seorang tahanan di Jakarta bisa berlibur ke Bali?)
Apa yang bisa dikatakan lagi dengan situasi seperti ini?
Maka rakyat (tentu tidak semua - tapi kebanyakan) memerlukan pembebasan, yang pembebasan itu pun sesaat. Mengapa sesaat? Itu terjadi ketika piala diangkat oleh sang kapten tim nasional, dan diselebrasi keliling lapangan dan tepuk tangan serta euforia penonton - jika juara). Dan jika pun juara, dan setelah keluar stadion (jika menonton di Gelora Bung Karno) atau setelah tidak di depan televisi, maka penonton akan kembali persis kepada keadaan semula - situasi yang ingin pembebasan tadi.
Ada satu syarat yang 'mesianik' ini menjadi semakin indah (misalnya kalau dikatakan indah), itu terjadi jika sepakbola itu sendiri terlepas atau terpisah dari ketelanjangan tadi.
Tapi apa yang terjadi dengan sepakbola Indonesia? Apa yang terjadi dalam tubuh PSSI? (Apakah kita mengingingkan sepakbola dengan program instan dan hasil instan?)
Maka waktu pembebasan yang sesaat itu pun tidak kunjung datang.
Rakyat (penonton) semakin ternganga mulutnya, ketika tim nasional kebobolan terlebih dahulu menjadi 0 -1. Kebobolan satu berarti tim nasional harus menciptakan 5 gol. Lima gol? Menciptakan lima gol ketika tim tertinggal satu?
Maka saat kebobolan satu gol, penonton sudah mulai kehabisan tenaga. Kehabisan tenaga karena letih sendiri menanti gol yang harus terjadi. Memang terjadi gol: 1 - 1, 2 - 1, tapi waktu semakin sempit. Sekiranya tim nasional pun bisa menciptakan tiga gol lagi, tapi waktu untuk menciptakan itu tidak sempat.
Maka ketika semakin tertinggal, maka penonton semakin capek. Saya lihat sendiri bersama teman-teman saat menonton bersama, yang begitu yakin Indonesia bisa mengalahkan Malaysia 7 - 0.
Kalau biasa memperhatikan pertandingan sepakbola, ketika Indonesia tertinggal 0 -1, seharusnya teriakan penonton harus membahana menyemangati para pemain. Tapi apa yang terjadi?
Karena kehabisan tenaga, penonton pun tidak bisa teriak lagi. Tenaga yang terkuras tidak cukup lagi bagi penonton untuk melakukan anarki, misalnya. Penonton bukan tenang karena tenang dari batin, tapi karena kehabisan tenaga.
Syukurlah berakhir seperti itu!
:-)
No comments:
Post a Comment