July 21, 2011

Bersikap Baiklah kepada Mahasiswa yang Drop Out (DO)

"Bersikap baiklah kepada mahasiswa yang mendapat nilai A karena suatu ketika bisa jadi ia kembali ke sini dan menjadi pengajar di kampus ini. Dan bersikaplah jauh lebih baik kepada mahasiswa yang 'drop out' (DO), karena suatu ketika bisa jadi ia kembali sebagai donatur yang membawa sumbangan miliaran rupiah."
:)
~ yang selalu dikatakan rektor kepada dekan dan para dosen

* * *

Itulah yang saya tuliskan di status kemarin. Sungguh menarik, bahwa banyak yang antusias dan ingin membagikan kembali ungkapan atau quote itu. 

Sudah pasti, bahwa pendidikan adalah hal yang sangat, amat penting untuk seorang manusia. Apalagi jika manusia itu hidup secara kolektif (komunitas, bahkan bangsa), maka pendidikan semakin nyata diperlukan. Boleh disebut bahwa pendidikan adalah dasar dari segala kemajuan personal atau kolektif itu. Di negara mana pun di dunia ini, pendidikan masih yang sangat menentukan jalan hidup, walaupun tentu bukan hanya pendidikan formal itu yang menentukan hidup.

Kemudian, jika kita menggunakan akal sehat secara memadai, kita pun sepantasnya menghormati kaum 'scholar'. Boleh digambarkan bahwa kaum 'scholar' adalah sebagai pembentuk, penjaga dan penjamin keilmuan, pengetahuan, bahkan kebenaran yang (akan) disepakati bersama oleh manusia-manusia tadi, sebagai konsensus, teori, hukum, bahkan konstitusi.

Jadi ungkapan di atas  tadi bukan untuk mengatakan bahwa bersekolah atau pendidikan tidak penting atau tidak ada nilainya, justru untuk menguatkan bahwa pengetahuan, sekolah, pendidikan, belum berhasil guna jika itu belum menjadi pedoman atau pembentuk manusia itu sendiri, pembentuk  karakternya, membentuk kecerdasannya, pembentuk kekuatan akal budinya, dan pembentuk kejernihan nuraninya.

Hanya yang mungkin sering menjadi masalah adalah orang-orang mengejar gelar kesarjanaan, bukan untuk menjadi sarjana, tapi untuk mengejar gelar-gelar itu sendiri. Dan jika gelar yang dikejar atau menjadi tujuan, maka hilanglah esensi kesarjanaan itu sendiri. Dan sungguh mengherankan, mengapa nama-nama dituliskan gelar-gelar kesarjanaannya. Apakah karena kurang percaya diri, ataukah merasa dia sudah benar-benar sarjana jika sudah memiliki gelar sarjana? Jadi mungkin akan semakin banyak orang yang bergelar sarjana, tapi secara ilmu, intelektual, watak, karakter, dan kearifan, belum layak dan sangat tidak pantas menjadi seorang sarjana. Apa sebenarnya makna sejati sarjana? Apakah pantas seorang sarjana bahkan sampai tingkat doktorat atau malah profesorjika yang dicarinya dan digemarinya adalah yang superfisial?

* * *

Kemudian, bagaimana pun seorang manusia yang menginginakan diri lebih baik, lebih berpemahaman, lebih berpengetahuan, lebih arif, maka pembelajaran mutlak menjadi pedoman hidup. Tentu pembelajaran pun berbagai macam bentuknya. Lebih daripada mengikuti pendidikan formal, pembelajaran inilah yang menjadi satu inti kehidupan itu sendiri. Banyak yang meyakini bahwa pembelajaran adalah untuk hidup, sebaliklnya banyak yang meyakini juga bahwa hidup itu sendiri adalah juga pembelajaran.

Untuk merefleksikan bahasan (yang menarik) ini, marilah kita renungkan sebuah cerita, yang pernah dituliskan oleh seorang dramawan dan novelis Inggris, W. Somerset Maugham (1874 – 1965):

Seorang pria bekerja sebagai penjaga di Gereja St. Peter di Neville Square, London. Ketika seorang vikaris di gereja itu mengetahui bahwa penjaga itu buta huruf, kemudian ia dipecat. Tanpa pekerjaan, pria ini mengambil tabungannya (yang jumlahnya kecil) dan memulai sebuah usaha kecil, yakni toko tembakau.

Seiring dengan berjalannya waktu, bisnisnya mulai bertumbuh dan ia berhasil menyulap pendapatannya itu menjadi jaringan toko tembakau yang lumayan menguntungkan.

Beberapa tahun kemudian, bankirnya mengatakan, "Kau sangat hebat untuk ukuran buta huruf, tapi akan seperti apa nasibmu jika kau bisa membaca dan menulis?"

Jawab pria itu, "Ya, saya pasti menjadi penjaga Gereja St. Peter di Neville Square."

:)